Sabtu, 31 Desember 2011

PEMBELAJARAN AKHIR TAHUN



                Untuk sebuah penghormatan pada teman yang tinggal menjalani fase akhir menyelesaikan program doktor, dari kantor mengirim satu rombongan ke Bogor menggunakan bus. Beberapa teman protes dan mengumpat-ngumpat ketika mereka merasa didorong untuk mau bersusah-susah tetapi saat berangkat baru tahu beberapa teman mereka justru mengambil jalan yang mudah dan tidak susah serta tidak melelahkan, naik pesawat.  Mana rasa toleransi dan kebersamaannya ? Memangnya kita gak bisa beli tiket pesawat apa ? Demikian teriak yang lain, sementara yang lainnya ada juga yang merasa dikibuli karena telah dijanjikan tersedianya sarana transportasi yang lengkap dan nyaman, tetapi kenyataan jauh dari yang diharapkan. Perjalanan dari Malang ke Bogor ditempuh selama 27 Jam, pulangnya lebih hebat lagi karena harus ditempuh dengan waktu 30 jam plus bonus makin debar-debar hati dan harus melalui proses ‘ngeban’ terlebih dahulu. Bagaimana tidak berdebar-debar setelah mengetahui bahwa sang sopir ternyata yang sering nampak kelelahan dan ngantuk telah  kerja lembur empat hari sebelumnya tanpa off pulang ke rumah atau istirahat yang cukup.

                Seperti halnya kebiasaanku, walau juga gelisah, aku mencoba mengajak teman-teman yang gundah untuk tetap berupaya mencoba menikmati perjalanan yang telah kita pilih. Berupaya meminimalisir hal buruk yang bisa saja terjadi.  Aku salut atas kesabaran teman-teman. Ada teman yang sangat perhatian pada sang sopir, kalau kelihatan capai atau ngantuk berat maka kepada sang sopir diminta untuk menepi entah untuk alasan ke toilet, istirahat, sholat atau makan, sementara kebutuhan untuk sopir dan kenet selalu disediakan. Yang lain mencoba menghibur dengan bernyanyi, bersendau gurau, goda menggoda, aku sendiri ikut bernyanyi atau menggoda anak teman yang lucu menggemaskan. Kami diselamatkan oleh suasana tol jagorawi yang relative tidak ramai seperti hari biasanya, juga jalanan yang tidak macet di jalan protokol kota Bogor, trus dapat panduan dari kakakku yang mengarahkan lewat jalan baru lingkar Bogor Utara sehingga yang prediksinya kami terlambat menjadi tepat waktu mengikuti ujian terbuka sang teman.

                Menurut Guru Spiritualku, kesabaran adalah puncak dari perolehan. Jadi teman-teman yang sudah mampu bersabar  ditempa perjalanan panjang melelahkan  berarti telah lolos ujian dan berada pada puncak perolehan, mereka mau susah dan senang bersama, makan nasi indramayu seharga dua ribu perporsi pun dilahapnya dengan suka cita. Pernah suatu waktu kepada para calon pemimpin Sang Guru bertutur, bahwa ada lima (5) hal penting agar seseorang bisa dihormati omongan dan tindakannya. Satu, bisa mengerti , sadar dan mampu mengaktualisasikan apa yang hak dan bathil; dua, mampu memberi dan menerima nasehat yang baik; tiga, mengurangi perbedaan dan pertentangan dengan argumentasi yang baik, yang benar sehingga akan dapat bersifat menyadarkan; empat, tetap memperlakukan dengan baik orang-orang yang berseberangan paham dan gerakan, lawan-lawan, atau  kompetitornya; lima, menjadi  teladan, seorang terpercaya tidak cuma hanya ngomong saja tapi  menjadikan dirinya sebagai panutan yang dalam tindakan.

                Bagiku, perjalan yang kami lalukan di penghujung tahun 2011 adalah sebuah ‘hikmah’, sebuah perjalanan yang sarat dengan pembelajaran hidup. Satu, pembelajaran dari sang teman yang akhirnya meraih gelar doctor, terbetik pembelajaran bahwa hijrah dengan niat dan upaya yang kuat akan mampu merubah hidup. Kebetulan sang teman adalah seorang sarjana peternakan, lalu S3 nya dia hijrah ke perikanan, walau cukup alot perjuangannya aku melihat kehijrahannya telah  merubah banyak kehidupannya, ada lompatan yang tidak mungkin terjadi tanpa tindakan hijrah. Dua, perjalanan itu juga memberi pembelajaran padaku bahwa  beberapa ‘teman-teman’ telah beranjak menengah dan berada pada tingkat kematangan hidup yang cukup tinggi, toleransi yang tinggi, kesabaran yang tinggi, tetapi sensitif pada sikap diskriminatif dan disharmoni. Sebagian besar telah menempatkan ‘kualitas hidup’ menjadi hal yang mesti diutamakan, termasuk pementingan pada kesehatan tubuh.

                Perjalanan tersebut kata Guruku yang lain mestinya harus menjadi pembelajaran bagi siapapun yang akan menjadi pemimpin, pemimpin apapun dan tingkat apapun,  contohlah Rasulullah, walau beliau adalah seorang pilihan Allah tetapi dalam memimpin beliau selalu: bersikap lemah lembut, selalu memaafkan kesalahan orang lain betapapun besar kesalahannya terhadap beliau, selalu memintakan ampun dosa dan kesalahan orang lain bukan memanfaatkan kesalahan orang lain untuk penonjolan dirinya, selalu mengajak bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu hal dan kosekuen dengan hasil musyawarah itu, selalu bertawakal kepada Allah SWT dengan perencanaan dan sistem kerja yang diupayakan matang.  Aku berdoa mudah-mudahan perjalanan di akhir tahun kemarin bisa menjadi perjalanan ‘spiritual’ teman-teman, mampu mencerahkan hati dan hidup kita.  Amin.

Sabtu, 24 Desember 2011

WANITA PERKASA



Beberapa hari yang lalu, diluar kebiasaan, aku ke Surabaya tidak membawa kendaraan sendiri tapi menggunakan bus umum. Pingin aja, udah lama tidak naik bus umum, pingin sedikit keluar dari kebiasaan, padahal sesungguhnya malah tidak bisa fleksibel. Dalam situasi apapun, jangan pikir misal ketika jalanan macet bisa main terobos memilih jalan alternatif, sekarang harus sabar ngikuti apa keinginan sang sopir.  Berangkatnya relatif lancar, cuma di  Porong yang agak tersendat lantaran pertigaan Polsek Porong di buka sehingga arus kendaraan harus selalu bergantian. Singkat kata,  ternyata ada hikmahnya memiilih pulang pergi ke Surabaya menggunakan bus, aku seperti diingatkan pada sosok almarhum Ibuku, sosok yang sangat aku cintai, wanita perkasa, ibu dan sekaligus bapakku. Memang, aku sejak kecil cuma hidup dengan  ibuku bersama saudar-saudaraku, tepatnya aku tiga bersaudara, semenjak ayah tiada hanya ibu yang menjadi tumpuan hidup kami.

 Saat pulang, di terminal Bungurasih aku bersikap tidak memaksakan diri kalau harus masuk bus dengan cara berebut, memang penumpang cukup banyak, sehingga aku harus maklum ketika baru bisa naik pada keberangkatan bus yang ke tiga. Itupun dengan cepat bus terisi penuh, aku lihat dari arah depan seorang ibu muda sambil menjinjing tas merah bata   beringsut cepat lalu memilih duduk di sampingku. Kami saling tersenyum, berkenalan, dan sepanjang jalan mengalir berbagi cerita, sampai-sampai aku pribadi diuntungkan tidak merasa jenuh dan kecapaian hingga sampai di terminal Arjosari Malang.  Terus terang, mendengar ceritanya itulah aku jadi ingat ibuku. Menurutku ia termasuk wanita perkasa. Walau nasibnya tidak seperti Ibuku, karena wanita itu masih punya suami yang produktif, tetapi ethosnya sebagai wanita yang ikut bekerja menopang kehidupan rumah tangganya. Layak aku jadikan catatan di hari Ibu ini, hari di mana semua anak bangsa ini selalu diingatkan betapa mulianya sosok seorang ibu.

Sebut saja wanitia ini berinitial ‘S’, tinggal di pinggiran timur kota Malang, prediksiku umurnya masih 30-an tahun, bekerja sebagai ‘ujung tombak’ tenaga pemasaran di perusahaan konveksi di kota Malang, mendengar merk produk konveksi yang dijualnya, ranah pemasaran, target bulanan, pola komunikasi, cara berpikir, jelas ia bekerja di perusahaan yang sudah ‘mapan’ dan ia sendiri tentu orang pilihan.  Ia bercerita bahwa hari ini sepertinya ia tidak akan bisa pulang ke rumah, karena jalanan yang macet dan kelamaan di terminal Bungurasih sepertinya bus akan masuk malang lepas maghrib. Padahal siang esoknya ia harus ketemu ‘calon custemer’ di Bali, berarti setiba di Malang ia terpaksa harus sambung ke Bali.  Ia telp suaminya, juga anak buahnya untuk mengabarkan kerangkatannya agar semua kebutuhannya untuk ‘jualan’ di Bali bisa ia bawa sesampainya di terminal bus Arjosari Malang, tidak mungkin ia mampir ke rumah atau kantor. Ketika aku bertanya apa sekiranya tidak capai ? Dia bilang, menikmati pekerjaannya, mengambil insisiatif istirahat manakala bisa dan menganggap pekerjaan sebagai ibadah, sehingga tidak ada beban dan kita bisa enjoi. Woow…

Ketika aku tanyakan bagaimana tanggapan suami dan anak-anak terhadap pekerjaannya yang menurut pengakuannya jelas sering keluar kota dan sering harus bermalam di luar rumah.  Ia mengaku suaminya mengerti dan memahami, sementara anak-anaknya kan masih kecil dan selalu dalam pengawasan neneknya. 

“Tapi saya selalu membayar kekurangan akibat kerja itu dengan bersama mereka secara penuh ketika ‘off’  kerja, dan setiap minggu kami menyempatkan rekreatif misalnya yang paling sederhana bersepeda pagi bersama”. Ucapnya sambil terus memainkan beberapa hape di tasnya secara bergantian.

“ Kami punya kesepakatan, terutama dengan suami untuk menekankan hubungan yang berkualitas.” sambungnya.

“ Buat apa kalau kuantitas besar tapi berisi kekakuan, disharmoni, dan ketidakpuasan satu sama lainnya yang tidak pernah terselesaikan ?” Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Aku mengerti, aku katakana pada dia bahwa saya pernah menjalani itu, tapi belakangan aku ngerti bahwa anak-anak memiliki pemahaman yang berbeda dengan orang dewasa. Aku punya teman yang juga merupakan wanita karir, sampai-sampai anak sulungnya mogok belajar, dan mempertanyakan apakah ia harus membayar untuk mendapatkan waktu mamanya.

“ Yang penting niat kita dan bagaimana konsekuensi menjalaninya, juga besarnya keyakinan kita bahwa Allah akan menolong umatnya yang tulus pasrah, “ kata dia. Aku tertegun, di situ aku jadi ingat Ibuku. Akmarhumah Ibuku dulu, sebagai orang tua tunggal tentu juga tidak mungkin beliau bisa memberi perhatian penuh pada anak-anaknya. Beliau harus memastikan ada nafkah untuk kami. Aku masih ingat, ibu sering harus berangkat pagi karena ke kantor jalan kaki, aku kebagian masak, kakak cuci baju, adik bersih-bersih rumah. Sehingga aktifitas kami relatif tidak terkontrol, aku bisa mandi di sungai besar yang berbahaya, pergi jauh dari rumah, banyak hal yang bisa dilakukan kalau mau. Cuma aku selalu ingat, Ibu selalu mengatakan percaya pada kami, Ibu tidak pernah absen puasa, tirakat mendoakan kami. Keyakinan Ibu yang kukuh itulah yang menurutku menjaga kami semua dari hal-hal buruk walau beliau tidak seharian waktu bersama kami.

Guru spiritualku pernah berkata, bahwa kerja keras, ketulusan, dan keyakinan dalam berdoa adalah tiga sikap sekawan yang akan menolong kita merengkuh apa yang kita inginkan dan apa yang kita dambakan.  Kerja keras adalah implementasi fisik dari keinginan yang kuat, sedangkan ketulusan adalah implementasi rasa yang paling tanpa beban 'tulus dan pasrah', trus dilengkapi dan dikuatkan dengan keyakinan kepada kebesaran Yang Maha  yang memungkinkan segala kemungkinan termasuk yang tidak mungkin bisa terjadi menurut manusia. Perempuan yang ditemani oleh tiga sikap sekawan dalam menjalani hidupnya akan mampu menyelamatkan keluarganya dari hal-hal buruk walau secara fisik keberadaannya tidak bisa selalu ada di rumahnya. Realita yang banyak, orang seringkali  sudah merasa bekerja keras, tulus iklas dan selalu khusuk berdoa, tetapi sesungguhnya itu hanya sebatas merasa, realitanya sesungguhnya masih jauh. Tetapi jujur kalau kita mau mengakui memang menjalani ‘laku’ yang demikian tidaklan mudah, hanya mereka-mereka yang perkasa yang bisa melakukan.

Senin, 19 Desember 2011

MENJADI TANGGUH



Seorang anak rumahan, anak mama yang tidak biasa keluar rumah, tidak pernah telanjang kaki main ke lapangan, tidak pernah hujan-hujanan, tentu berbeda dengan anak kampung yang sering telanjang dada, makan juga sering minus kalori dan tak jarang mengalami sesakit.  Tentu perbedaan tersebut ada plus minusnya sendiri-sendiri. Anak mama yang cenderung selalu di rumah, bisa dikatakan adalah prototip anak yang patuh, tertib, bisa jadi rajin, pandai, ‘sehat’ karena asupan gizi yang serba kecukupan atau bisa juga berlebihan hingga tak jarang kita temui mengalami obesitas. Sementara anak kampung dapat dikatakan lebih merdeka, mungkin kurang tertib, ‘prigel’, berani menantang bahaya, walau asupan makan sederhana tapi  tubuh keras gempal jarang yang obesitas karena banyak bergerak.

Lingkungan tumbuh akan membentuk tipologi manusia yang berbeda-beda, karena tiap lingkungan memberi tantangan yang berbeda dan karena itu tentu produknya juga berbeda pula. Tidak mudah seseorang untuk menjadi anak rumahan, tantangannya adalah rasa kebosanan, pengendalian harapan, rutinitas yang sama, lemah fisik, tetapi bila mampu dilewati olah pikir anak akan lebih berkembang dan menjadi keunggulan. Tidak mudah juga menjadi anak alam, karena lingkungannya sering tidak bisa memanjakan, harus belajar menjadi survival, perlu toleransi sosial, harus kuat, salah langkah bisa membahayakan didinya. Bila bisa melalui lingkungan tumbuh seperti ini dengan baik maka akan membentuk ketangguhan fisik, mental dan pengalaman yang kuat.

Untuk menjadi tangguh dalam hal apapun seseorang memang harus mengalami tempaan yang berulang menyangkut hal tersebut. Untuk menjadi petinju yang tangguh tentu harus menjalani latihan fisik dan teknik yang berat, jam terbang latih tanding harus dialami berulang, kemampuan memukul menghindar bertahan, strategi, atur nafas dan tenaga  dan yang tidak kalah penting perlu juga tahan pukul. Seorang pelaut yang tangguh tentu ia perlu belajar hantaman ombak besar dan badai di laut. Tidak mungkin akan lahir seorang pemimpin besar tanpa cacian, makian, demo-demo rakyat yang dipimpinnya dan serangan lawan politiknya. Bangun subuh, mengeja alif, ba, ta, pukulan penggaris guru ngaji ketika keliru, hukuman menghapal surat-surat pendek karena salah adalah jalan menjadi seorang ‘dai kondang’.  

Kata guru spiritualku: “Untuk menjadi pisau yang tajam, keris yang elok, samurai yang kukuh, tentu sepotong logam harus dibakar, dibentuk dan ditempa berulang. Tidak mungkin hanya dilakukan pembakaran dan tempaan satu kali saja. Artinya untuk ‘menjadi tangguh’ dalam hal apapun jelas butuh suatu proses, butuh kegigihan tanpa menyerah, butuh loyalitas, butuh disiplin diri”. Menurutku menjadi tangguh adalah usaha dan perjuangan. Menjadi seorang maestro, tokoh besar, pemimpin dunia, atau mencapai hal-hal besar dan istimewa adalah juga melalui proses yang butuh waktu dan teruji. Ketangguhan adalah pilihan dan pengabdian diri, tidak mungkin bila hanya sekedar saja, hanya setengah hati atau hanya sambilan.

Ketangguhan yang indah adalah ketangguhan alamiah, seorang guru laku lain mengatakan bahwa ‘pertama perlu kesadaran potensi dan bakat dasar kita’ trus kedua kita padu dengan harapan dan keinginan kita, hasil kompromi itu sebagai landasan ‘menjadi tangguh’ yang kita idealkan. Sebaiknya prosesnya alamiah saja biarkan mengalir tanpa rasa takut tetapi malah menyatu dalam diri, menjadi dirinya sendiri. Artinya apa yang dipilih dan pengabdian dirinya dijalani secara natural tetapi terjada konsistensinya. Seberapa ketangguhannya bukan hal penting dan bukan kepeduliannya,  karena klaim maesto, pemimpin besar yang menilai bukanlah kita tetapi  orang lain, kita hanya perlu berusaha dan berjuang. Sangat disayangkan banyak contoh justru orang besar kebanyakan lahir seperti misteri, mereka tumbuh dari ibu kandung penderitaan, penindasan, sakit hati, penjajahan atau kebencian yang ujung-ujungnya sering melahirkan disharmonisasi. 

Jumat, 09 Desember 2011

MELAYANI RASA



Seorang teman bercerita bahwa sekarang ia harus berhati-hati dengan lambungnya, lambungnya menjadi sangat sensitif pada makanan yang ia konsumsi, bila makan makanan yang terlalu asam perut menjadi melilit-lilit  tidak karuan, pun juga terlalu pedas atau sedikit terlambat makan pasti perut akan mengirim kado rasa sakit yang lama penyembuhannya. Semua itu gara-garanya sederhana, waktu sehat dulu ia sering terlambat makan, sering mengabaikan rasa lapar, sampai kemudian datang sakit magh dan harus nginap di rumah sakit. Seorang teman lain bercerita bahwa ia kini tidak memiliki harapan apa-apa, hidupnya tinggal menunggu waktu, ginjalnya rusak dan dia sudah dua kali seminggu harus cuci darah. Dia menyesal waktu sehatnya dulu bekerja terlalu keras, ngoyo, dan sering ‘dopping’ dengan minuman- minuman berenergi. Rasa lelah ia tidak pernah perdulikan, hanya satu yang ia inginkan prestasi kerja, kebanggaan, uang dan rasa hormat.  Alhasil ia jadi kehilangan harta terbesarnya yaitu kehidupan sendiri yang sesungguhnya telah diberkahi Allah sedemikian sempurnanya.

Masih banyak cerita senada yang bisa kita dengar, kita lihat, kita rasanya dalam kehidupan masyarakat kita yang makin kompetitif, konsumtif, dan tidak normatif. Orang cenderung berkompetisi tidak sehat, main sikut, saling menjatuhkan, main sogok, kuruptif, menghalalkan segala cara untuk mencapai harapan. Bagaimana mungkin aktivitas tidak sehat bisa melahirkan kehidupan yang sehat ?  Hukum alam mengajarkan pada kita hal-hal yang sederhana, tentang pentingnya asupan makanan yang cukup pada tubuh kita agar tubuh kita sehat, tidak ada kata perlu berlebihan, jangan pula kurang sebab akan menjadikan tubuh sakit. Adanya siang dan malam mengajarkan kepada kita perlunya istirahat, perlunya tubuh tidak beraktivitas, dalam kondisi seperti ini terjadi penyeimbangan kembali organ-organ tubuh yang lelah, perbaikan-perbaikan yang rusak, distribusi nutrisi dan energi hingga kondisi tubuh mengalami keseimbangan kembali pada level yang dibutuhkannya baik fisik maupun rohani.

Ada banyak manfaat mengenal dan memahami kondisi tubuh kita sendiri, bagi yang berduit upayanya melalui general check up. Tes menyeluruh itu meliputi kondisi jantung, paru-paru, ginjal, darah, air kecing, organ reproduksi dll. Dari hasil tes kita bisa tahu status kesehatan kita, ada apa dengan tubuh kita dan bagaimana selanjutnya menjaga agar tetap sehat. Bagi yang tidak mampu, tentu tidak bisa berbuat banyak, paling hanya merasakan bagaimana tingkat normalitas tubuh, akan terasa bila ada yang sakit, ada yang tidak wajar. Bagaimana bila kerusakan tubuh tidak memberi tetanda sakit ? Tentu akan sulit untuk diketahui dan bisa terlambat untuk diatasi. Bagi mereka yang mau belajar memahami dan mengenal kondisi tubuhnya sendiri, tentu akan lebih baik, lebih responsif terhadap abnormalitas pada tubuhnya. Mereka akan makin bisa memahami signal-signal tubuh yang menandakan sesuatu hal yang berbeda dan harus bagaimana menanggapinya.

Guruku pernah mengatakan bahwa kunci dari hidup yang sehat atau tidak sehat  adalah bagaimana sikap dan pilihan kita  ‘melayani rasa’ yang melingkupi kehidupan kita. Kita harus mampu mengenalnya dan mengendalikannya, jangan sepenuhnya melayaninya, orang jawa bilang ‘ ngono yo ngono tapi ojo ngono’, artinya semua harus dibatasi sesuai dengan ‘keterbatasan’ tubuh kita. Ketika anda merasa tahan terhadap rasa lapar dan anda merasa tangguh melakukan itu, maka yang kalah adalah lambung anda, dinding lambung akan mengalami iritasi karena jonjot-jonjotnya  terus meremas tanpa ada yang diremas. Ketika anda bekerja keras, tubuh terasa capai, tetapi anda tidak perduli dan terus bekerja, maka tubuh akan mengatur keseimbangan dirinya sendiri, kita akan merasakan tubuh menjadi lemah, mata mengantuk, pikiran tidak bisa konsentrasi , di situlah titik di mana kita seharusnya melayani harapan tubuh untuk istirahat. Kalau kita berupaya menolaknya ‘karena rasa takut’ pada bos karena bisa jadi pekerjaan tidak selesai dengan asupan obat tertentu untuk melawan kecenderungan tubuh, ya …. memang itu bisa dilakukan dan bisa merubah keadaan, tapi sesungguhnya kita telah memilih mengalahkan tubuh menyakiti tubuh kita sendiri.    

Saya punya pengalaman ceroboh yang hampir merenggut nyawanya sendiri akibat melayani rasa keinginan untuk tetap menjalankan kendaraan walau kondisi ngantuk berat. Waktu itu saya mau pergi ke Jogja untuk suatu acara. Seperti biasanya saya memilih berangkat dari Malang tengah malam agar sampai Jogja pagi hari.  Malang – Solo perjalanan lancer tidak ada masalah, tetapi setelah istirahat dan makan gudeg di Manthingan rasa kantuk mulai menyerang. Saya berpikir bahwa rasa kantuk itu hanya sementara, jadi karena berkendara sendirian saya tetap lanjutkan perjalanan pelan-pelan. Di Klaten rasa kantuk itu sedemikian hebatnya, sehingga saya sadar sering membawa kendaraan ke tengah jalan. Lalu saya berkata pada diri sendiri, nanti kalau ada pom bensin saya mau berhenti dan istirahat tidur. Beberapa kilo dari saya berujar sendiri ketemulah pom bensin, tapi pom bensin itu ada di kanan jalan. Pikiran saya secara cepat berguman ‘ ah nanti saja di pom bensin kiri jalan’. Kendaraanpun terus melaju, rasa kantuk terasa dasyat, tapi keinginan terus jalan juga dasyat. Apa yang terjadi akhirnya ? Beberapa kilometer dari pom bensin yang semestinya saya istirahat. Saya menemukan diri saya tersadar dengan kendaraan yang nyungsep di selokan pinggir jalan, suara mobil meraung, saya terbangun ketika orang-orang berusaha membukakan pintu mobil untuk mematikan mesin mobil dan memastikan saya tidak apa-apa. Saya beruntung menemukan orang-orang yang dengan iklas membantu mengembalikan posisi mobil di jalan dan memungkinkan meneruskan ke Jogja setelah istirahat. Saya ikut berpesan jangan sekali-kali ‘melayani rasa’ seenaknya, layani dia seperlunya saja. 

Senin, 05 Desember 2011

TIGA ORANG TERPUJI


Seorang teman bertutur kepada saya, telah mendapat pembelajaran hidup yang sangat berarti tanpa sengaja. Suatu hari ketika ia tengah duduk-duduk di kawasan pujasera di Kota Bandung, menghirup kopi Lembang, memandang lalu lalang moyang Priyangan yang trendy, modis, tidak membosankan untuk dinikmati.  Nah…Ketika ia tengah asyik memandang gerak lenggok orang-orang di sepanjang kawasan itu yaitu jalan Dago, ia melihat seorang ibu muda bersama dua anaknya yang masih kecil baru menyeberang dan berjalan se arah di mana ia duduk. Sesekali ibu muda itu mengikuti jalan anaknya yang menunjuk jajanan yang dijual di jalan itu, sejumput sang ibu menghampiri sang penjual dan terjadi pembicaraan. Awalnya sang penjual nampak  wajahnya gembira, tapi tak lama setelah berbincang wajahnya terlihat tidak ramah dan ibu dan anak-anaknya pun kembali berlalu. Tak jauh dari kejadian itu, sang anak kembali menunjuk salah satu makanan yang dijajakan pedagang lain, terjadi kembali dialog antara ibu dan sang pedagang, lalu kejadian sebelumnya terulang lagi.

Entah berapa kali kejadian serupa terulang kemali, sampai kemudian ibu itu sampai di tenda di mana sang teman duduk,  memang duduknya agak jauh dari etalase tempat kue-kue dan sang penjualnya duduk,  tapi sempat masih bisa mendengar ketika kembali ibu itu melayani anak-anaknya yang menunjuk kue-kue di etalase.

“ Selamat siang, Ibu. Maaf anak-anak saya ingin sekali kue yang Ibu jual, bisakah saya mendapatkannya tapi saya tidak punya uang, “ tutur sang Ibu sopan dengan mengajak sabar anak-anaknya. Sang teman tertegun, semua orang yang sedang santai di kafe tenda itu dan mendengar ucapan kejujuran ibu muda itu juga terenyuh. Sejumput terlihat ada kegamangan, sang ibu dan anak-anaknya rupanya sudah  siap menerima penolakan sang pemilik kafe seperti yang dialami sebelumnya.  

“ Tidak apa, silakan pilih mana yang anak-anak ibu inginkan, “  kata sang pemilik kafe sambil tersenyum ramah. Ibu muda dan anak-anaknya malah terkejut  mendengar, masih ragu akan apa yang dikatakan sang pemilik kafe, tapi anak-anaknya sudah mulai tunjuk-tunjuk kue yang dinginkan.

“Tapi saya tidak punya uang, “ kata ibu muda. Sang pemilik kafe dengan sabar menegaskan sikapnya dengan mengambil kotak kue dan menanyakan anak-anak yang lugu yang kemudian menunjuk beberapa kue-kue lain yang diinginkannya.  Terbersit wajah-wajah ceria anak-anak itu, wajah tak bersalah yang gembira bisa menyudahi kelaparannya. Sang teman yang menyaksikan ‘drama’ kehidupan yang demikian itu, tertegun, kerongkongannya terasa kering.  Ia melihat dua orang yang mulia, ibu yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dan jujur terhadap keberadaannya, lalu pedagang budiman yang mau berbagi nikmat dan bisa menghargai orang-orang yang  jujur tapi berkekurangan. Betapa cantik pelajaran hidup hari ini pikirnya, sudah terbukti tidak banyak orang yang mau berbagi di zaman seperti ini, sepanjang jalan ibu dengan anaknya ditolak ‘harapan bisa berbagi’ dari beberapa orang, bahkan ada mungkin yang mengumpatnya.

Di tengah memikirkan pelajaran hidup itu, tiba-tiba ia mendapat pembelajaran baru lagi yang lebih mempercantik hidup. Sebut aja ‘seorang eksekutif muda’ yang saya tahu sudah lama duduk dekat dipojok lain kafe  tempat ia lagi menyantaikan diri, bertutur dengan pemilik kafe.

" Ini Ibu, uangnya..........."
“ Bapak, sebentar  uang kembaliannya …” tutur sang pemilik kafe yang menerima uang seratus ribu dari sang eksekutif muda yang terkesan mau buru-buru keluar.
“ Ya, Ibu….. sisa kembaliannya ambil saja untuk mengganti apa yang tadi Ibu berikan gratis kepada Ibu dan  anak-anaknya tadi….. saya berkesan dengan ketulusan semua . Jangan tolak ketulusan saya…. Terima kasih. ” pemilik kafe jadi bengong.
“ Lho…. Ini terlalu banyak, “ kata sang pemilik kafe. Tapi sang eksekutif muda tidak mau menerimanya dan malah berujar bahwa kita sama-sama harus bisa berbagi, sekemampuan kita berbagi. 

Kata temanku, hari itu ia dikenalkan dengan tiga orang terpuji, tiga orang yang patut dicontoh. Ia berpikir kenapa bukan ia yang terstimulasi menjadi ‘sang eksekutif muda’, padahal ia berada di sana. Kenapa tidak ada ide dan gagasan melakukan seperti itu, kenapa tidak ada dorongan ? apa karena ia kikir ? apa ia terlalu bebal dengan situasi sosial yang mengelilingi kehidupannya ? apa memang sudah jadi orang yang tidak perduli ? Dia marah pada dirinya sendiri. Tapi yang jelas, pembelajaran hidup hari itu menyadarkannya betapa manisnya orang bisa berbagi, dan ia berpikir ternyata orang yang bisa berbagi sesungguhnya bukan berarti menjadi kehilangan tetapi justru dengan berbagi orang akan mendapatkan.

Cerita teman ini, mengingatkanku pada Guru Spiritualku, beliau pernah mengatakan bahwa semangat berbagi harus terus kita kita tumbuhkan. Semestinya kita banyak belajar  pada alam. Alam telah mengajarkan kepada kita bahwa berbagi itu menjamin hidup kita makin hidup. Selapar apapun harimau, tidak akan mampu dan mau melahap semua hasil buruannya, lalu sisanya akan dimakan teman-temannya, predator yang lebih kecil, burung bangkai, bakteri tanah, cacing, serangga hingga gigisan mineralnya untuk tanaman. Tidak akan ada orang yang mampu berbagi berakhir menjadi miskin, andai  itu terjadi berati ada kesalahan dalam cara dan bagaimana berbagi, yang sering karena berbaginya belum tulus belum iklas secara penuh. Ada orang yang berbagi karena gagah-gagahan, karena ingin dihormati, karena kesombongan, karena gengsi, karena terpaksa, semua model berbagi atas alasan seperti itu tidak akan mengayakan batin kita, bisa jadi yang muncul malah kegelisahan, hidup malah menjadi tidak makin hidup.  Belajarlah secara cepat memutuskan ‘iklas berbagi’ ketika ada hasrat untuk  berbagi, jangan tunda, sebelum muncul berbagai alasan yang menggoda kita untuk tidak perlu berbagi. Salam berbagi.

Kamis, 17 November 2011

BELAJAR DARI MIMPI




Suasana lingkungan gelap gulita, tidak ada cahaya, mataku tak berguna karena tidak mampu menangkap wujud, Tanganku, dan telingaku yang membimbingku, dari suara gemericik air bercucuran aku sepertinya mengenal tempatku berada, dari kursi kayu yang aku tiduri aku makin yakin kini aku sedang di beranda belakang rumahku. Tapi kenapa gelap ? Walau malam hari, tempat di mana aku senang menghabiskan waktu tidak pernah menjadi gulita. Gambar harimau dan bunga anggrek biasanya masih bisa terlihat, tangga menuju laboratorium kultur jaringan tempat istriku sering berkutat menghabiskan waktu juga tak tampak. Kenapa ? Mengapa malam ini begitu kelam ?  Aku tidak melihat wujud, aku kehilangan keindahan warna, apa aku buta ? Aku kehilangan cahaya, aku merasa gundah, ketakutan tiba-tiba menguasai jantungku, ia berdegup keras, memacu aliran darah lebih kencang,  sekeliling masih saja gulita.

Lama dalam gelap, mataku makin nanar merindukan cahaya. “ Ayo, cepatlah waktu berlalu, segeralah pagi, aku ingin segera melihat pijar matahari !!! “.   Cukup keras  suara teriakannku, entah pada siapa aku berteriak. Rasa kehilangan itu mengapa baru terasa belakangan, Hmmm.., aku mungkin juga sebagian orang lain sering mengabaikan hal-hal kecil yang sesungguhnya sesuatu yang sangat berguna dan tak ternilai harganya. Dalam kegelapan aku baru merasakan betapa berharganya mata, betapa pentingnya telinga, pikiran, mulut, tangan kaki dan lain sebagainya. Aku mengapa egois jarang mensyukuri dilahirkan dengan kesempurnaan. Bagaimana seandainya kau lahir dengan kekurangan ? Tiba-tiba aku menangis dalam gulita, air mata tak terbendung deras mengucur di pipi. Entah mengapa makin lama makin menjadi rasa kesedihan itu, dan tubuhku tiba-tiba malah gemetar tak terkendali. Aku menggapai-nggapai apa saja yang bisa aku raih, sia-sia saja, peluh bercucuran, waktu terasa menjadi panjang, penderitaan merasuk ke seluruh sendi.

Ketika gemetaran tubuh mencapai puncaknya, dan juga hasrat telah disematkan dalam jiwa yang pasrah penuh penyesalan dan pengharapan. Tiba-tiba aku mulai merasakan ada pijar yang menjadikan sedikit benderang di sekelilingku. Walau tubuh penat tak berdaya, aku tegakkan tubuhku. Dari mata nanar, sedikit demi sedikit sekelilingku mulai mewujud, ternyata keliru, aku bukan berada di beranda belakang rumahku. Aku merasa berada di sebuah lorong, di ujung lorong sekuat mata melihat terlihat berkas cahaya. Jantungku kembali berdegup, mataku tak henti mencermati segenap arah mata angin lorong tempatku berada, cuma ada cahaya satu di depan. Atas kesadaran, hasrat hati terbebas dari gulita, lalu aku putuskan bergegas mengejarnya. Langkahku pasti, itu barangkali pijar matahari, matahariku yang selalu setia memberi panorama dan kehangatan, aku ingin menatap berawalnya hidup, barokah kesempurnaan, sebagai siluet subuh yang agung esok. Kakiku seperti melangkah ringan, menjejak sesekali di dasar lorong yang makin terang. Subhanallah, akhirnya kutemukan binar cahaya matahari yang melembayung, siluet pepohonan, suara kokok ayam terdengar. Sejenak kemudian kulihat rerumputan, kulihat pepohonan, burung-burung berkicau, bunga-bunga aneka warna menyempurnakan pandanganku yang sebelumnya gulita. Aku sujud syukur, menangis bahagia.

Aku terbangun dari sujudku. Sejenak setelah sapaan istriku dan sentuhan di bahuku, aku menjadi sadar bahwa barusan aku terbuai mimpi. Pengalaman dalam gulita dan mengejar pijar matahari adalah mimpi. Tiduran di kursi malas di beranda belakang rumah sering menjadikan siapapun untuk terlelap  tidur., karena tenang dan teduh suasanya. Mimpi kata orang adalah bunga tidur, bukan apa-apa. Tapi untuk mimpi yang satu ini, aku merasa bisa merupakan pesan atau pembelajaran hidup. Aku baru saja mendapat sapaan teman karib, anggap dia adalah guruku hari ini. Dia berkata: “ …bersahabatlah dengan kesalahan agar kita mengetahui hakekat kebenaran….”.  Wuihhh…., aku terkesima, walau bukan hal baru tapi mampu menyentil kembali kesadaranku. Mimpi sekejap itu menyadarkan kesombongan kita yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, apa kehebatan kita sih ? Merenungkan itu, aku jadi ingat kata Guru Spiritualku:

"Ketika kita lupa bersyukur, kita ingin hidup kaya ... padahal kalau direnungkan hidup ini adalah sebuah kekayaan yang tak ternilai " 

" Ketika kita selalu takut memberi ... padahal kalau kita renungkan semua yang kita miliki adalah sebuah pemberian " 

" Ketika kita ingin jadi yang terkuat .... padahal kalau kita renungkan musuh terkuat  kita adalah diri kita sendiri " 

" Ketika kita ingin jadi nomor satu ... padahal kalau kita renungkan kita dekat dengan ketiadaan " 

" Ketika kita selalu takut rugi ... padahal kalau kita renungkan bahwa  hidup kita juga merupakan sebuah keberuntungan, perolehan dari anugerahNYA" 

Karena itu kita mesti  selalu bersyukurlah dalam segala keadaan, baik suka maupun duka.   Mari terus dan tetap berkarya, dengan semangat, berusahalah untuk berbagi  Mulai jalani hidup dengan menjaga kesehatan, kejujuran, ketulusan serta keikhlasan.  Hidupilah hidup agar hidup makin hidup. Bagiku …. Tersenyum itu penting, memanjakan diri itu perlu, lalu berhenti sebentar atas suguhan keindahan yang kita jumpai di mana dan kapanpun juga merupakan ungkapan rasa syukur, karena kesempatan seperti itu belum tentu akan kita jumpai lagi di lain waktu. (HB2U).

Senin, 14 November 2011

SEBELAS-SEBELAS-SEBELAS


Aku baru sadar bahwa tiga hari yang lalu aku berada pada sebuah momentum yang sangat berbeda atau buat sebagian orang dianggap momen istimewa. Kesadaran itu muncul ketika aku hendak pergi ke Jakarta untuk suatu acara yang tidak mungkin aku tunda dan terkendala urusan tiket penerbangan yang ‘sold all’ untuk semua penerbangan, baru ada tiket tersedia untuk penerbangan besok paginya. Kalau aku pilih terbang pagi jelas waktu tidak akan cukup sampai di acara tepat waktu, karena tempat acara jauh dari bandara Sukarno Hatta. Trus waktu itu aku posisi sudah di Surabaya, nunggu hingga pagi besok jelas merupakan problem tersendiri.  Akhirnya aku putuskan nyoba naik kereta, ternyata kondisinya sama ‘semua tiket sudah terjual habis’ untuk semua kereta’, waktu itu sudah jam setengah sebelas siang menjelang jum’atan. Ketika dalam kebingungan, sang penjaga tiket bertutur, “Kalau bapak mau berspekulasi tunggu jam satu, siapa tahu ada tambahan gerbong untuk kapasitas 60 orang, kami belum bisa pastikan karena itu putusan manager’. Aku berpikir masih ada peluang, aku bisa kembali setelah sholat jum’at.

Sekembali ke stasiun dari menunaikan sholat Jum’at , antrian di loket sudah mengekor panjang, aku pesimistis, tapi tetap mencoba antri juga. Pikir-pikir toh yang antri tidak untuk satu jenis kereta, informasi tambahan gerbong ternyata juga tidak hanya yang ke Jakarta tapi untuk jurusan ke Jogja dan Bandung. Di belakangku, seorang ibu yang ikut mengantri berceloteh kesal, nasibnya hampir sama telah banyak berupaya untuk mendapatkan tiket  dan kondisinya sama dengan yang aku alami. Hal senada juga dikeluhkan oleh yang lain, bahkan ada yang telah berupaya mencari informasi ke stasiun lain dan kondisinya sama.  Seorang anak muda di antrian sampingku berkata: “ Semua ini gara-gara hari ini dianggap hari yang sangat istimewa bagi sebagian orang, sebelas-sebelas-sebelas, bahkan tadi baru saja telah kita lewati momentum ‘empat sebelas’ yaitu jam sebelas di tanggal sebelas, bulan sebelas (nopember) dan di tahun sebelas (2011).  Aku tersadarkan, benar juga pendapat anak muda ini, bisa jadi ‘high setion’ di jagat transportasi disebabkan oleh faktor itu. Sekarang banyak orang tergila-gila pada momentum istimewa, entah apa dasar alasan istimewanya  tidak begitu jelas.

Seorang Ibu muda yang mengaku mau pulang ke Jogja di antrian tidak jauh dari anak muda mengakui  bahwa ia bersama teman-teman sekelas SMAnya baru saja reuni di momentum itu, ia keburu pulang selepas  jam sebelas karena malam harus sudah ada di Jogja untuk kumpul dengan keluarganya di jam 11 malam. Wow….aku tertegun, kenapa bisa begitu ? Demikian istimewanyakah momentum serba sebelas itu ? Sehingga orang mau bersusah payah memanfaatkannya, tidak mau kehilangan karena hanya terjadi sekali dalam kehidupan ini ? Apa iya ? Kalau itu alasannya, aku berpendapat pikiran mereka harus dikoreksi, bukankah setiap waktu selalu hanya terjadi sekali dalam kehidupan, tidak ada duanya. Hanya kalau momentum itu dianggap unik aku setuju aja, karena momennya serba sebelas. Tapi kalau dipikir panjang, momen itu juga bisa terjadi di serba angka lainya misalnya di serba dua (2/2/2/22), serba tiga (3/3/3/33), serba delapan (8/8/8/88), serba sembilan (9/9/9/99), dan sebangsanya   Jadi tidak terlalu istimewa karena banyak kemungkinannya.

Guru spiritualku berpendapat bahwa seiring makin menuanya zaman maka tantangan manusia makin bertambah, manusia makin kehilangan oreintasi dalam menjalani hidupnya, mereka akan terdesak dan dijajah oleh  produk-produk manusia sendiri . Keinginan manusia yang berharap segala sesuatu sebisa mungkin bisa ‘serba mudah, instan’ berbuntut melahirkan kemanjaan, rasa malas,  tidak peduli, dan tidak mau berbagi. Kondisi ini bisa  berbuntut pada lahirnya generasi yang lemah. Bagi mereka yang berekonomi kuat mereka asyik dengan dirinya sendiri dan kelompoknya, memenuhi keinginan-keinginan yang beraroma ‘beda dan selalu ingin beda’, hal itu selalu bisa dilakukana karena kekuatan ekonomi sangat memungkinkan untuk itu.  Mereka ini kelompok yang suka pada momen khusus seperti tahun baru, valentin day, tanggal khusus yang bisa melahirkan sensassi-sensasi  dan citarasa tersendiri bagi mereka. Pada sebagian kelompok mapan ini ada yang telah mulai tercerahkan dengan mengarahkan aktifitas sensasi mereka ke bidang sosial semacam beraktifitas bakti sosial di daerah pedalaman, daerah bencana, dan lain sebagainya.   

Mereka yang mempunyai kondisi ekonominya kuat bila dilebihkan kondisi pikirannya, disadarkan bahwa ada banyak peran yang bisa ia ambil, bukan harus melakukan yang sensasional,  sesungguhnya banyak pekerjaan, cinta, dan kesempatan untuk member dan berbagi, untuk mendukung harapan-harapan semua orang. Seorang guru yang lain berkata bahwa orang yang berkemampuan atau berkelimpahan tidak punya arti tanpa rasa memiliki nilai, berkemampuan atau berkelimpahan bernilai akan memampukan orang untuk mengikuti kata hatinya dan senang berbagi kesuksesan dengan orang lain. Orang yang paling kaya dan sukses adalah orang yang paling bermurah hati. Bermurah hati bukan cuma  dengan cara memberi materi, tetapi juga meliputi berbagi waktu, informasi, ilmu, teknologi, sumberdaya, pengalaman, cinta dan kasih sayang. Nah….nah, secara tidak langsung sesungguhnya kalau kita mau berbagi….berarti kita lagi belajar berbuat untuk kaya dan sukses.  Berbagi tidak harus menunggu momentum istimewa, jangan mengekor pada tradisi yang tidak jelas. Sebenarnya mementum serba sebelas yang baru lalu merupakan pergeseran waktu yang biasa, tidak ada yang istimewanya.

Minggu, 06 November 2011

TEMPAT BASAH



Ada yang menarik ketemu dengan guruku yang cantik, bukan cuma kesenangan pribadi sebagai penggemar berat kerinduannya terobati tetapi juga lantaran kata-katanya yang tercetus sungguh menyentak kesadaran.  Ternyata pengalaman hidup, kerja, pergaulan benar-benar telah mampu merubah sikap dan pandangan seseorang termasuk guru cantikku.
“ Bayangkan…., “ ucapnya dengan antusias, bibirnya yang mungil nampak merona, indah saat bergerak-gerak menyesuikan irama bicaranya.
“ Masyarakat kita sudah salah kaprah, sering salah menilai dan menyelaraskan pandangan, sikap pada sesuatu hal. Misalnya, banyak orang tahu bahwa sebagian anggota dewan kita yang minta dihormati atau gila hormat, banyak yang memiliki perangai buruk, kinerjanya jelek, serakah, manipulatif. Tetapi pada mereka yang demikian itu kepercayaan masih kita berikan, mereka masih kita pilih ? “. Aku payah, konsentrasi menjadi terbelah untuk mendengar kata-kata yang diucapkannya dan melihat bibirnya  yang titis seksi. Salahnya aku termasuk pengikut paham kakekku yang tidak pernah menyia-nyiakan keindahan, karena keindahan belum tentu mau datang untuk yang kedua kalinya.  Keindahan adalah barokah yang perlu disyukuri.

Tidak itu saja, kita lihat bersama bahwa pimpinan negeri ini telah terang-terangan sesumbar memerangi korupsi. Untuk dan karena itu mereka kita pilih, tetapi ketika mereka jelas-jelas menghianati apa yang telah dijanjikan saat kampanye, mereka tidak berbuat banyak memerangi korupsi dan malah terkesan terlibat pada beberapa pusaran korupsi, toh demikian ternyata  masyarakat kita tidak banyak berbuat apa-apa. Tidak memberi sangsi atau hukuman, malah sebagian orang ikut ambil bagian dan membela  yang semestinya tidak perlu dibela. Kondisi masyarakat menjadi terbiasa menjumpai dan sekaligus berada pada hal yang buruk, lalu satu-satu ikut membahasakan hal yang tidak patut tersebut menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja sifatnya.

Guru cantik lebih tegas mencontohkan adanya kebiasaan masyarakat ‘mewajari’ tetangganya atau temannya memiliki penghasilan yang lebih karena ia ditempatkan di ‘tempat yang basah’, padahal mestinya kalau ‘pegawai negeri’ sudah jelas penggolongan gajinya tidak berbeda, kalaupun ada tidak mungkin bedanya seperti bumi dan langit. Lalu kenapa kita harus anggap wajar mereka ? Bukankah itu tidak wajar ? Bagaimana tidak, kalau kita sama-sama umur, kepangkatan, golongan gaji, bukankah tidak wajar atau tepatnya ‘salah’ kalau perbedaan penghasilannya sangat berbeda. Untuk yang wajar dan tidak kerja di tempat basah, tidak mampu beli apa-apa, di sisi lain yang kerja di tempat basah bisa beli segala-galanya. Tetapi karena hal tersebut sudah dianggap wajar masyarakat maka hal itu seolah-olah bukan merupakan suatu kesalahan, bukan merupakan sesuatu yang perlu melahirkan rasa malu, bukan sesuatu yang perlu kita cela,bukan sesuatu yang perlu kita anggap criminal. Padahal hal itu sdah merupakan hal yang mencurigakan dan bisa jadi mengandung tindakan criminal. Mestinya masyarakat tidak demikian, masyarakat harusnya membangun budaya menolak kecenderungan itu, kalau perlu mengembangkan ‘budaya malu’ berperilaku demikian.

Mengembangkan budaya malu di masyarakat memang bukan hal mudah, karena kondisi ‘bebal muka’ sudah sedemikian kronisnya. Terbukti kasus Gayus yang pegawai golongan tiga tapi kepemilikan kekayaannya melebihi kekayaan seorang professor yang memiliki kinerja dan prestasi sebagus-bagusnya. Seorang polisi dengan pangkat ‘rendahan’ memiliki kehidupan yang mewah di atas rata-rata aparat pemerintah segolongannya. Seorang yang kerja di bea cukai memiliki kehidupan yang lebih makmur dibanding sesama rekannya seangkatan yang bekerja di kantor pos misalnya. Padahal mereka sama-sama ‘abdi negara’ yang pengaturan kerja, kedisiplinan, pengaturan gajinya sama, kalau toh ada perbedaan tentu tidak harus menyolok sedemikian rupa. Peroleh yang tidak wajar, mestinya harus memberi ‘rasa takut, rasa salah’ pada sang pelakunya, bukan melahirkan sikap ‘tidak salah, wajar-wajar saja’. Kata Guru spiritualku semua kuncinya pada bagaimana upaya penegakan aturan dan hukum.  Sesungguhnya aturan dan hukum sudah bagus, yang belum bagus adalah ‘sikap dan perangai pelaksananya’.  Selama upaya membersihkan ‘hal yang kotor’ dilakukan dengan pelaksana (baca: sapu) yang kotor dan masyarakat kita membiarkan - mentolerirnya, maka kebersihan tidak akan tercapai. Mengaktualisasikan harapan memang butuh perjuangan, komitmen, pengorbanan dan keberanian bersama,  tidak bisa tidak.  

Rabu, 02 November 2011

ALTERNATIF



Umumnya ungkapan ‘alternatif’ sering digunakan untuk menggambarkan suatu pilihan, jalan, rencana, pendekatan dan lain-lainnya yang bersifat bukan yang utama. Kalau nggak ada pilihan A maka pilihan alternatifnya adalah B atau C, kalau jalan utama tidak dapat dilewati maka kita cari jalan lainnya, kalau rencana sat gagal kita jalankan rencana alternatif, kalau pendekatan satu tidak bisa menyelesaikan maka kita bisa coba pendekatan alternatif. Alternatif biasanya tidak akan dipilih mana kala yang utama tersedia atau bisa menyelesaikan.

Tetapi sekarang pemahaman itu telah bergeser, alternatif bukan lagi alternatif, bukan nomer dua atau tiga tapi sudah menjadi pilihan pertama, bahkan alternatif malah telah menjadi trend cara berpikir. Yaitu sebuah cara berpikir di mana orang diajak menggunakan pola pikir baru, untuk berani meninggalkan pilihan, jalan, rencana, pendekatan yang utama, yang umum. Pilihan alternatif adalah pilihan menantang, prestise, bercita rasa dan terbukti telah banyak merubah hidup orang. Terutama alternatif yang terlahir dari  inovasi cerdas, bukan sekedar alternatif-alternatifan atau keterpaksaan. Inovasi cerdas justru sering melahirkan hal baru yang sebelumnya ‘dianggap alternatif’ menjadi hal prioritas di kemudian hari.  Air kemasan misalnya, sebelumnya tidak terbayangkan bisa diterima masyarakat sebagai konsumsi hariannya terlebih terbilang mahal bisa dikatakan harganya separuh harga bensin perliternya.   

Sekarang produk-produk terbaru berbau  alternatif telah berkembang sedemikian banyak, termasuk yang paling gencar promosinya dan menarik banyak media adalah produk ‘pengobatan alternatif’. Mulai dari pengobatan alternatif yang bersifat rasional maupun pengobatan yang tidak rasional. Mulai dari pengobatnya seorang anak kecil yang masih bau kencur hingga kakek-kakek dukun yang menjelang dikubur, pengobatannya mulai dari penggunaan jamu alternatif hingga syarat maupun alat terapi alternatif berupa gelang, kalung, dan lain-lain. Yang mengherankan banyak ‘terapist’ yang mengiklankan mampu mengobati dan menyembuhkan penyakit-penyakit yang mematikan seperti: kangker, tumor, gagal ginjal, dan lain-lain. Yang lebih mengherankan lagi banyak juga yang laris manis hingga untuk berobat ke therapist tersebut harus antri bahkan mendaftar beberapa hari sebelumnya.

Gejala apa itu ? Ketidak percayaan masyarakat pada dunia kedokteran modern atau karena biaya pengobatan di rumah sakit dan dokter yang tinggi ? Atau memang pengobatan alternatif lebih memberi solusi yang lebih mujarab ? Sulit kita jawab dengan pasti.  Saya yakin anda pernah dengar ada dokter yang justru untuk pengobatan sesakitnya sendiri lebih memilih yang alternatef bukan pengobatan modern, juga mungkin pernah dengar dan menjumpai para terapis yang mengalami sakit dan berakhir pada rujukan menginap di rumah sakit. Tapi juga tidak salah sepenuhnya karena orang toh tidak bisa mengobatinya dirinya sendiri. Yang paling umum yang sering kita baca di berita televisi ataupun koran yang terberitakan bahwa problem utama masyarakat adalah menyangkut dengan biaya pengobatan di rumah sakit.

Kata guru spiritualku,  bahwa alam kita sesungguhnya adalah teladan hidup yang sangat baik ketika mau bicara tentang alternatif. Dalam kontek menjaga keseimbangan, di alam tersedia banyak keragaman yang interaktif untuk menjamin berjalannya proses kehidupan. Satu elemen memiliki peran beragam terhadap lainnya, bisa mengontrol atau dikontrol, semua saling interdependensi atau saling berketergantungan satu sama lainnya, saling melengkapi dan saling mengendalikan. Karena saling dikontrol dan mengontrol maka di alam setiap ada kekuatan dominansi yang muncul, maka secara otomatis  akan lahir kekuatan ‘anti dominansi’ sebagai jalan alternatif agar terjadi keseimbangan lagi. Manusia harusnya makin sadar, mana kala kita telah begitu dominan di alam dan terhadap alam,  ketika kita seenaknya merusak alam, maka pukulan balik ‘anti dominasi’ manusia akan muncul dari alam sebagai upaya ‘alternatif’ mengurangi dominasi, bisa berupa bencana, wabah penyakit  peperangan dan lain sebagainya. Berpikir alternatif, atau usaha pelahiran karya alternatif adalah upaya pengayaan ‘proses’ dalam hidup untuk mengurangi dominansi.   

Sabtu, 29 Oktober 2011

30-10




Thirty Ten, bagiku bukan angka biasa, angka itu seperti sebuah angka purba yang telah tinggal begitu lama di lubuk memoriku. Dari dulu setiap mengingat angka itu darahku seperti mengalir lebih deras, kegairahan seperti dinyalakan, sejarah seperti dipertontonkan kembali, ada wajah yang dulu begitu aku miliki, ada aroma yang aku tak bisa melupakan, ada lagu yang sering aku dengar, ada keterpisahan  dan kerinduan yang terpaksa terjadi. Tetapi angka itu tidak pernah terhapus dan tidak akan terhapuskan rasanya. Angka itu yang pasti dari dulu telah menjadi momentum tersendiri, pemberi makna, pemberi cita rasa hidup.  Memang sih sekian waktu pernah ada jeda akibat tak tahu ke mana aku bisa ikut berbagi memaknainya.  Tetapi aku telah mencoba menghidupinya dengan selalu merenunginya ketika stimulasinya dassyat.

Wajarkah itu ? Aku kira itu sangat wajar dan manusiawi. Angka telah banyak mempengaruhi hidup manusia, memang sebagian besar sekedar menjadi penanda saja, menjadi symbol, menjadi nilai, tetapi jangan salah ada juga yang mampu menjadi harapan, menjadi cinta, kebencian, ketakutan dan sejenisnya. Karena menurut ilmu tentang angka (numerology) setiap angka memiliki arti dan makna. Seorang teman pernah iseng membantu nelusuri ternyata bahwa angka 3010 secara prinsip hanya terdiri dua unsur angka yaitu 1 dan 3, karena 0 dimaknai sebagai 1 (mistik).  Angka 1 maknanya membawa sifat matahari, ego, bijaksana, memimpin, pionir, penuh ide, sedangkan angka 3 maknanya membawa sifat venus, cinta, artistic, romantic dan pengertian. Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa orang Cina sangat menyenangi angka 8 ? Ternyata menurut numerology angka ini memiliki sifat Saturnus dan bermakna bisa hemat dan pandai berstrategi. Bagi yang percaya memiliki angka 8 akan membawa mereka ke jalan kesuksesan dan kejayaan.  

Malam ini kembali tiba-tiba angka itu melintas di benak pikiranku, suasana sekelilingku begitu tenang cuma ada suara gemericik air kolam di belakang rumahku, di langit bulan tak kelihatan hanya sesekali terlihat kelelawar berterbangan mengajak pikiranku tuk merangkai kata-kata.  Ada bayang-bayang di ujung angka itu yang kemudian tak mau pergi, seperti ditemali oleh kesadaran masa lalu. Momen khusus mesti menjadi terminal perenungan, guliran waktu pertambahan umur harus bermakna makin mendewasakan kita, bukan sebaliknya makin tua makin kekanakkan. Bersyukur adalah hal yang layak mesti kita lakukan atas semua pengalaman, kenikmatan, anugerah kesehatan dan kebugaran yang selama ini kita rasakan. Tanpa masa lalu kita bukan apa-apa. Juga mesti kita optimis, melihat ke masa depan kehidupan kita, kita layak untuk selalu berdoa agar Tuhan tetap menganugerahi kesehatan, rejeki, dan kebahagiaan untuk  orang-orang tercinta kita. Masa depan adalah harapan yang mesti kita perjuangkan.

Pada saat terkesima baying-bayang , juga sekaligus melayani hasrat merangkai kata-kata, seorang teman bijak kebetulan bertutur lewat sms padaku, ia sampaikan bahwa karena dalam hidup tidaklah semua yang kita inginkan bisa terpenuhi maka kita harus banyak belajar menikmati dan mensyukuri yang kita miliki sekarang. Memang sih, menurutku dalam menjalani hidup 'proses' sepertinya lebih bernilai dari pada hasilnya. Karena proses lebih 'personal' mengekspresikan peran dan perjuangan kita sendiri, sedangkan hasil itu sudah ada campur tangan Yang Kuasa. Jadi ketika kita tidak bisa memiliki apa yang ingin kita miliki , tidak perlu ada sesal dan kecewa, nikmati 'usaha' yang telah kita lakukan, syukuri bahwa kita telah diberi kesempatan, pengalaman adalah guru yang baik Perenungan ini untukku sendiri ...., tapi sebagai mangayubagyo maka ….. lewat angin malam aku tulis sejumput keikutsertaan kebahagiaan …….
………………………
aku bersyukur kembali menemukanmu
seperti tetes embuh menyejukan kegelisahan purba
seperti kutemukan kembali anggrekku yang lama hilang
seperti aku temukan kembali jalan bermimpi
meraih keindahan sisa waktu

aku pesan pada cakrabala
tuk hadirkan hangat mentari
aku titip bisikan pada angin pagi
tuk nyanyikan tembang kebahgiaan
rangkaikan pelangi yang paling indah
semoga……..
esok anggrekku mekar mempesona
makin bermakna

Tidak itu saja….
Semoga
Masih ada hari tuk menyelesaikan harapan …..
Masih ada waktu tuk lebih baik
HB2U ! wish u the best.........

Kamis, 13 Oktober 2011

TOPENG-TOPENG



Aku pernah menulis puisi yang judulnya ‘hidup adalah topeng-topeng’, intinya dulu aku pernah berpikir bahwa adalah sebuah kewajaran kalau manusia hidup sering menggunakan topeng. Ketika ia merasa takut tapi malu untuk dikatakan takut maka ia berpura-pura menjadi sosok yang berani, ketika ia merasa sedih tapi tidak ingin kelihatan sedih maka ia menjelma menjadi sosok yang tegar dan gembira, ketika ia merasa malu termasuk miskin maka ia menutupinya dengan bergaya sebagai orang kaya, ketika ia merasa kurang tinggi maka ia memanipulasi dirinya agar tampak tinggi. Semua bukan sekedar kepura-puraan, tapi lebih mengarah pada kebutuhan untuk hidup, hal tersebut terbukti telah menenangkan dan ada pula yang menyenangkan serta bisa diterima, perilaku kamuflase tersebut terjadi di mana-mana, kapan saja, dilakukan oleh siapa saja, contoh kongkrit adalah hal yang dilakukan perempuan yang kita cintai, bibir mereka sesungguhnya tidak merah, lalu dipoles merah menantang, pundak mereka tidak datar mereka sumpal dengan spon di bajunya.  Tapi semua kamuflase itu kita terima dan bahkan menjadi menyukainya.

Anggapan wajar terhadap kebiasaan hidup manusia untuk menyembunyikan realita yang dialami dan dirasakan dalam hidupnya atau menggunakan kamuflase (baca: bertopeng) untuk menutupi kelemahan dirinya justru sekarang menjadi sebaliknya. Menurutku bangsa ini justru makin terpuruk karena makin maraknya mentalitas dan sikap tidak punya rasa malu, munafik dan tidak takut berbohong dan bersumpah palsu. Topeng manis tetap terpancar walau sudah terang benderang keburukan terungkap menyangkut dirinya, misalnya saja kasus pada beberapa petinggi negeri ini walau jejak korupsi telah terkuak, bukti-bukti terpaparkan, saksi-saksi bernyanyi tidak cuma satu orang, mereka masih bisa menampiknya dan berkelit menyatakan tidak atau ‘beraksi menyatakan ‘lupa’’ terhadap hal-hal yang disangkakan padanya. Dan sepertinya sudah menjadi ‘orkestra’ yang baku akan menyuarakan kekompakan nada dan irama baik polisi, jaksa, pengacara, dan hakim ikut mengalunkan tetabuhan yang jauh dari harapan masyarakat untuk memerangi penyelewengan.

Kehidupan berbangsa dan bernegara  menjadi seperti penuh dengan sandiwara, penuh kepalsuan, penuh topeng-topeng yang menutup wajah yang sebenarnya. Hukum dan perundang-undangan bisa dipelintir-pelintir, bisa diatur sesuai negosiasi dan kesepakatan yang dicapai atas prinsip ‘saling berbagi’.  Tidak heran ‘mereka yang punya uang’, walau sumbernya tidak berasal dari gaji halalnya, tetap saja uang itu yang bicara dan menentukan. Bisa juga karena keburukan sudah meranah ke mana-mana mereka yang tersangkut bisa saling takut menakuti, saling ancam mengancam untuk membuka semuanya. Sehingga semestinya mereka yang harus menegakan hukum dan aturan di negeri ini, justru sebagian besar berperan sebaliknya yaitu mengerogotinya dan merusaknya. Alhasil kondisi carut marut ini sepertinya akan sulit berubah, korupsi akan terus berjalan mungkin cuma bermetamorfosis menyesuaikan keadaan, benar kata kata banyak demonstran bahwa membersihkan kotoran tidak bisa menggunakan sapu yang kotor, harus menggunakan sapu yang bersih.

Mencari sapu yang bersih, atau mencari orang-orang yang bersih sesungguhnya tidak susah. Saya termasuk orang yang yakin masih banyak orang yang bisa memerangi ‘korupsi’. Tetapi kalau dalam proses pecariannya selalu saja melibatkan orang-orang yang tidak bersih maka proses ‘kontaminasi’ akan selalu terjadi. Masuknya ‘orang bertopeng’ akan menyuburkan proses tawar-menawar, proses pengotoran dan intimidasi. Setidaknya yang paling halus dengan memasukan lebih banyak orang-orang mereka yang ‘bertopeng’ kesantunan tetapi sesungguhnya bermental serigala, sehingga  ketika terjadi identifikasi, konfirmasi, musyawarah mencari bukti-bukti merekalah yang dominan. Sepuluh orang baik dengan 7 orang berkebaikan semu atau cuma bertopeng moralis dan anti korupsi, bisa menegaskan kenyataan ‘merah’ untuk disepakati menjadi berwarna ‘hijau’, mana kala tiga orang yang benar-benar baik tetap pada pendirian berwarna ‘merah’ sesuai realita maka pada akhir penyimpulan akan kalah karena skornya 7 lawan 3. 

Guru spiritualku pernah bertutur, bangsa ini harus mampu melahirkan generasi yang memiliki kekuatan cinta, ketekunan, kesabaran dan penguasaan diri agar bisa terhindar dari malapetaka kehancuran sebagai bangsa. Bangsa ini adalah bangsa yang tidak mencintai negerinya yang elok, luas, kaya raya, subur makmur, rukun sentosa. Hutan dibabati, tambang dieksplorasi gila-gilaan, pencemaran lingkungan di mana-mana semua untuk keinginan instan dan kemakmuran segelintir orang. Kita telah lama terbiasa tidak tekun dan sabar menjaga dan mengelola alam, negara tidak bertanggung jawab menjalankan amanat undang-undang dasar memerintahkan pengelolaan sumberdaya alam untuk sepenuhnya demi kemakmuran rakyat. Jujur harus diakui eksekusinya adalah dikelola untuk segelintir atau sekelompok orang, bahkan justru dampak negatifnya yang untuk masyarakat seperti: banjir, tanah longsor, pencemaran, pemiskinan, dan lain-lain.

Kita merindukan lahirnya generasi yang   memiliki kecintaan pada negeri dan sanggup memberikan cinta untuk kejayaan pertiwi, generasi yang ditandai kemampuan mengalahkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri; mereka adalah generasi yang berketekunan yang akan memberi kekuatan memecahkan kesulitan dan pantang putus asa; merupakan juga generasi berkesabaran yang akan memberi kekuatan untuk menanggung segala sesuatu dan tidak pernah merasa disakiti karena apapun keadaannya tetap ada usaha dan ikhtiar; semua juga merupakan generasi yang mampu menguasai diri dengan tanda-tanda mampu menguasai napsu keduniawian sehingga mereka selalu mau berbagi untuk sesame dan selalu bersyukur kepada Yang Kuasa. Generasi tanpa ‘topeng’ ini suatu saat pasti akan lahir, karena hidup dalam kepalsuan, kebohongan, kepura-puraan, omong kosong bukan tawaran hidup yang menggembirakan dan menentramkan. Kegelisahan pasti akan melahirkan peruba

Kamis, 29 September 2011

MAU MENDENGARKAN

Aku ingat pernah diajar seorang professor yang sangat unik, keunikannya menurut beberapa teman karena tidak tergambar kuatnya kearifannya dan kematangan yang umum melekat pada seorang guru besar yang tidak mudah mencapainya. Profesor ini suka dan banyak bicara, kalau sudah bicara sangat susah untuk disela. Pada setiap pembicaraan dia akan terlihat mendominasi, sangat nampak bahwa sang professor ini merasa dialah yang paling tahu dan orang lain seakan-akan dianggap di bawah kapasitasnya. Ketika sedang mengajar di kelas, semua mahasiswa harus mendengarkan dan perhatian tidak boleh ada aktivitas lain kalau tidak mau kena marahnya, termasuk menyela bicaranya dengan pertanyaan walau dengan sopan. Sehingga mahasiswa menjadi jarang bertanya walau kadang sesekali diberi kesempatan. Sehingga praktis selama proses kuliah yang terjadi cenderung komunikasi satu arah. Padahal mahasiswa S3 kebanyakan sudah berumur dan bahkan ada yang cuma selisih beberapa tahun disbanding umur sang professor, seolah-olah semua disamakan dengan mahasiswa s satu.


Keunikan sang professor itu oleh teman-teman dianggap sebagai bawaan genetis sehingga susah berubah, sangat dominan, walau sesungguhnya ‘sikap’ itu sudah tidak jamanni di era demokrasi seperti sekarang ini. Kritik dan saran telah banyak dilontarkan termasuk koreksi dari teman se senat universitasnya, tetapi tetap0 saja keunikan itu tetap terus menyertainya. Padahal professor ini sering ‘kecelik’ dengan keunikannya sendiri, sebagai contoh yang sering terjadi ketika ia member kesempatan bertanya mahasiswanya, ketika mahasiswa bertanya sering sang professor memotong pertanyaan mahasiswa dengan ungkapan: ‘ ya….ya…, saya sudah tahu maksud pertanyaan saudara,’. Tetapi tidak sedikit setelah beliau menjawab panjang lebar, beberapa mahasiswa yang berani dan jujur akan mengatakan bahwa maksud yang dipertanyakan tidaklah demikian. Kejadian tersebut konon sering berulang tetapi tidak pernah jadi pembelajaran. Memang gelar keprofesoran kadang bisa menjadi boomerang bagi yang menyandangnya, bukan menjadi seperti ilmu padi tapi malah menumbuhkan ego dan kesombongan yang tinggi.

Padahal kata guru spiritualku, sesungguhnya seorang guru apalagi maha guru atau siapapun mereka yang bekerja dengan banyak bicara, pengendali dan pemimpin maka sesungguhnya dituntut pula memiliki kemampuan untuk tekun dan mau mendengarkan. Kalau tidak mampu mendengarkan maka pasti ia akan miskin informasi dan buta situasi, pada kondisi ini mana mungkin bisa bicara tentang hal kekinian, hal yang banyak dibutuhkan orang, bagaimana mungkin bicaranya layak untuk didengarkan, bisa bicara tepat sasaran, omongannya memberi manfaat pada orang lain, up to date, dan terkoreksi oleh masyarakat sekitarnya. Mendengarkan adalah hal penting yang harus dimiliki semua orang dalam membangun komunikasi sosial, agar ia juga layak didengarkan ketika sedang bicara.

Ketika seseorang mau dan tekun mendengarkan sesungguhnya ia tengah belajar banyak hal, belajar sabar, toleransi, partisipasi, saling harga menghargai, dan berbagi peran. Tidak itu saja mendengarkan orang berbicara, sesungguhnya kita juga sedang belajar memahami cara perpikir orang, belajar pengalaman orang lain, juga belajar apa yang diketahui orang tersebut. Tentu apa yang dibicarakan orang lain tersebut ada yang enak dan mudah diterima tetapi ada pula yang sulit dimengerti dan bisa pula salah besar menurut kita. Selama kita mendengarkan dalam diri kita terjadi picuan berpikir, ada perdebatan internal, ada kesepahaman dan ketidaksepahaman, ada desakan emosi dan perasaan, ada kompromi persepsi dan jalan keluar.

Jangan salah, mendengarkan adalah sebuah aktivitas besar, walau terlihat diam tetapi sesungguhnya di dalamnya terjadi rentetan proses yang tidak sederhana. Kata guru lakuku, bahwa ketika kita mau belajar mendengarkan, sesungguhnya kita tengah belajar melakukan hal besar dalam hidup. Ketika kita sedang konsentrasi mendengar, tidak saja telinga yang bekerja tetapi indra lain kita juga bekerja, otak dan pikiran kita juga bekerja bahkan hati kita juga tergerakkan. Melalui laku mendengarkan akan terjadi proses-proses: pengarahan perhatian dan konsentrasi , penyerapan informasi dan situasi, menghidupkan logika dan persepsi, menstimulasi analisis dan perancangan, mengendalikan emosi, perasaan dan naluri, melahirkan sikap kritis dan kreatif, memupuk kecerdasan dan kemampuan berpikir, menjadikan kita pandai dan arif.

Hal terpenting ketika kita terbiasa mau mendengarkan, secara bertahap pikiran kita dan perasaan kita memiliki tambahan perbendaharaan, ‘peta’ yang lebih baik tentang hal yang baru didengarkan. Setidaknya selama mendengarkan pikiran kita telah ‘menjelajahi masalah yang dibicarakan’ dan sekaligus mengeksplorasi dan komparasi dengan apa yang ada dalam memori kita sebelumnya. Yang bagus ketika kemudian muncul pandangan-pandangan alternative, langkah alternative, pendekatan alternative, nilai-nilai alternative, dan seterusnya. Dalam hidup, terutama dalam bisnis seingkali ‘hal alternatif’ yang muncul dari kita yang setia mendengarkan omongan orang lain menjadi sesuatu yang lebih bernilai, bisa menjadi lebih besar, lebih prospektif dari yang diomongkan orang tersebut dan memberi keuntungan yang lebih besar buat kita. Pada sisi lain mau mendengarkan juga bisa menjadi dewa penolong musibah yang semestinya bisa menimpa kita. Nah, mari kita belajar sabar untuk mau mendengarkan, untuk kebersamaan dan hidup lebih baik.

Selasa, 13 September 2011

PROSES & PERSEPSI



Kang Begjo berguman lirih ketika menemui seorang sahabatnya yang berkunjung ke rumahnya, saking lirihnya gumaman itu tentu hanya dirinya saja yang mendengarnya. “ Enak ya kalau jadi ‘pengusaha sukses’ kaya kamu “. Sang teman memang terlihat beda dari segi dandanan, penampilan, kendaraan yang ditumpanginya, alat komunikasi yang dibawa, termasuk penampilan dan gaya istri yang menggelayut di lengannya layak dibanggakan, cantik, anggun dan percaya diri. “Kebahagian yang lengkap…….,” gumam Kang Begjo lagi, tapi tidak ada yang dengan karena saking lirihnya.

Tapi apakah gumaman Kang Begjo yang sempat terdengar lirih itu benar, bahwa temannya lebih bahagia dari dirinya ? Nanti dulu, karena kebahagiaan iturelatif sifatnya. Orang Jawa bilang ‘ urip iku sawang sinawang’ . Banyak pengusaha yang malah berpikiran bahwa pegawai negeri seperti Kang Begjo adalah justru orang yang paling enak, kehidupan terjamin karena gaji bulanan tetap serta jaminan hari tua berupa dana pensiun.


Guru lakuku pernah bertutur bahwa biasa seorang buruh tani akan berandai rasanya ia akan lebih bahagia bila bisa menjadi tuan tanah, sementara tuan tanah juga berandai mungkin ia akan merasa lebih bahagia bila bisa menjadi pedagang, lalu pedagang juga berandai barangkali ia akan lebih bahagia kalau jadi banker. Andai berandai tersebut akan terus berlanjut tidak akan berhenti. Bahagia itu relatif dan sangat bersifat kondisional, tidak pasti dan dari waktu ke waktu terus berubah. Oleh karena itu orang yang mengejar bahagia sama saja dengan mengejar capaian yang relatif, cenderung ketercapaiannya selalu menjadi starting baru untuk ukuran bahagia yang berbeda. Orang yang semula berpikiran akan bahagia jika sudah punya rumah, kenyataannya ketika kemudian dia sudah punya rumah, ternyata muncul juga gagasan baru bahwa mereka akan lebih bahagia jika sudah punya mobil, rumah peristirahatan dan lain-lain. Praktis dengan demikian orang jadi terjebak pada ‘dambaan hasil’ yang tidak berujung, dan sesungguhnya berarti tidak bisa menikmati kebahagian sejati.

Guru spiritualku pernah menasehatiku, janganlah menjalani hidup terfokus mengejar hasil, karena hasil bukan otoritas kita tetapi otoritas Yang Maha. Nikmati saja kebahagiaan ‘berprosesnya’ atau mulai belajar menikmati bagaimana cara menjalani dan memperoleh harapan itu. Karena hakekatnya di situlah letak kemerdekaan, kenikmatan dan kebahagian hakiki kita. Persepsi kebahagiaan harus kita rubah , kebahagiaan sejati itu ada dalam proses atau pada cara kita menjalani langkah menggapai tiap keinginan dan harapan kita tentukan. Jadi kalau kita bisa menikmati dan menyukuri tiap tindakan kita yang terjaga dari kesalahan dan keburukan, maka sesungguhnya kita sudah mendapat satu perolehan hal baik.

Kalau kita bisa demikian, maka kita tidak akan perlu merasa iri pada orang lain, tidak perlu merasa ingin seperti orang lain. Pilihan bisa berproses yang selalu disyukuri akan membimbing setiap orang untuk seterusnya berproses yang benar, terukur dan terevaluasi. Ada kesadaran bahwa jalinan proses merealisasikan harapan sudah merupakan hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Orang bijak berkata bahwa nilai tertinggi dari hidup terletak pada mutu bagaimana kita menjalaninya bukan pada apa yang kita peroleh, terlebih bila ukurannya adalah ‘materi’.

Mudah-mudahan Kang Begjo tidak terbius oleh performa ‘material’ temannya tanpa melihat proses yang dijalaninya. Sebab kita tidak tahu prosesnya benar atau salah, legal atau tidak legal, haram atau halal dan lain sebagainya. Harus disadari bahwa kita merupakan orang luar yang bisahanya menyawang dan disawang.

Jumat, 09 September 2011

LEBARAN YANG BEDA



Biasanya tradisi lebaranku adalah pulang kampung, menikmati suasana bersilahturahmi dengan sanak keluarga di kampung kelahiranku Banyumas atau di tempat kelahiran istriku di Banyuwangi. Tapi tidak kali ini, kami bersepakat untuk memanfaatkan situasi lebaran untuk ngelencer, rekreasi ke luar pulau, dan pilihan kami adalah pulau Lombok, pulangnya transit di pulau Bali. Pilihan tersebut hasil telusuran anak sulung aku yang kemudian digunakan untuk mempengaruhi adik-adiknya, aku sendiri sudah beberapa kali ke pulau itu, jadi mesti netral dan ngikut aja kesepakatan mereka. Pilihan tersebut juga diyakini berseberangan dengan arus mudik, sehingga harapannya lancar. Tetapi kewajiban bersalam-salaman dengan lingkungan tempat tinggal dan orang tua sebelumnya dipenuhi terlebih dahulu.


Benar juga, sepanjang perjalanan dari Malang hingga Banyuwangi lancer tanpa hambatan. Pilihan kami jalur selatan, mulai dari Malang melaju ke Turen terus ke Dampit, Lumajang, Kencong, Jember, Mrawan, dan berakhir di Banyuwangi. Hari berikutnya kami berangkat ke Lombok via Singaraja, sebentar menikmati pantai Lovina terus menyusuri keindahan pantai utara Bali. Jalanan sepi karena memang kebanyakan pengunjung pulau Dewata ini via jalur selatan, walau ada sebagian jalan bergelombang tidak ada kendala kendaraan kami bisa melalui. Dari Singaraja kami menuju punggung pulau ini yang dikenal dengan nama Kubutambahan, terus menyusuri tepian pantai melewati Tejakula, Tianyar, Amlapura, Karangasem hingga pelabuhan Padangbai. Waktu tempuh Banyuwangi – Padangbai berkiras 6 jam. Dari pelabuhan ini kami pilih langsung menyeberang karena pertimbangan waktu penyeberangan yang lama memakan waktu kurang lebih 5 jam, harapan kami agar sampai di Lombok tidak terlalu malam.
Lima jam perjalanan jelas waktu yang lama, untuk itu kami putuskan untuk menyewa kamar awak kapal yang persewakan, lumayan untuk meluruskan kaki dan melepas kengantukan. Tapi itupun baru aku pakai ketika hari sudah gelap, karena aku mesti menjaga ke 4 anak-anakku yang asyik melihat cakrawala dan laut lepas, belum lagi karena penasaran cerita ibunya yang kadang di samping kapal muncul rombongan lumba-lumba. Mereka merasa tidak beruntung, karena hingga matahari mulai tenggelam di cakrawala ikan-ikan itu tidak juga muncul. Panorama siluet saat matahari tenggelam di peraduan berulang diabadikan oleh anakku. Cantik sekali, matahari cahayanya mulai redup, sisa cahayanya berwarna jingga dan berbias di air laut yang seolah terbelah. Aku merasa ada energi purba yang merasuk dalam tubuhku ketika matahari itu menjingga, gairah menjadi bertambah. Aku tidak bosan Bali dan Lombok karena banyak tempat yang menawarkan kegairahan ini. Tetapi tidak juga, sebenarnya di negeri kita ini banyak tempat eksotik yang masih terpendam, beberapa aku sudah menikmatinya, dan aku tetap ingin menikmati sebisa dan semaksimal waktu yang aku punya, sebagai bentuk menyembahMU secara beda.

Seperti di Lombok kali ini, alhammdulillah aku bisa mengajak anak-anakku bersyukur ketika berada di tengah lautan yang tidak terlihat daratan mereka bisa merasakan betapa maha luasnya alam ini. Aku merasa anak-anakku ceria menikmati, sepanjang jalan penuh canda dan tawa, mereka menikmati percikan air sepanjang perjalanan ke Gili Trawangan, sebuah pulau yang sangat tersohor keindahannya. Banyak turis dari berbagai negara tumpah ruah di pulau ini, kalau dicermati sepertinya jumlahnya lebih banyak dari pada turis domestiknya. Layanan memanjakan ada di sepanjang tepian pantai pulau ini, mulai dari sewa dan layanan alat transportasi (cidomo, sepeda, kapal, perahu) tidak ada kendaraan bermotor, sewa alat renang, selancar, selam, aneka makanan minuman, pijat, tato, kasur jemur, kursi pantai, kamar hotel aneka model dan bentuk, pemandu, biro trevel, bank, restoran klas dunia, pln lokal, jaminan keamanan dan lain-lain. Berada di Gili Trawangan, termasuk juga di Gili Air, Gili Meno serasa berada di luar Indonesia, karena kita hanya pelengkap saja, semua seolah diperuntukan mereka. Bahkan sebagian pulau ini konon sudah menjadi milik orang asing, mereka menggunakan nama orang Indonesia yang ‘sangat’ kooperatif dalam menunjang kepemilikannya.

Sebagai implementasi semangat berbagi blog ‘cakrawala bening’ aku ingin berbagi kepada teman-teman yang hendak ke Lombok, ke mana kita bisa mengunjungi obyek wisatanya. Pertama, kita perlu menyempatkan ke tiga Gili yaitu Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno, pulau yang sering dianggap pulau ‘kayangan’ karena dikelilingi taman laut yang indah; kemudian ke Batu Bolong, tempat menikmati sunset yang cantik, Pantai Kuta dan Senggigi, dua pantai yang selalu disebut-sebut kalau orang ke Lombok, Narmada yaitu kebun rayanya Lombok, Sukarame tempat kerajinan tenun, Rambitan desa dengan rumah tradisi Lombok, Suranadi, tempat rekreasi lengkap dengan hotel dan kolam renang, Lingsar suatu pura yang memiliki ikan keramat, dan air terjun di Senaru. Malam hari anda bisa menikmati sayur plecing dan ayam taliwang di pusat keramaian kota Mataram bisa di rumah makan atau di warung-warung tenda.

Berlebaran melenceng dari tradisi ada plus minusnya, yang jelas bagi aku minusnya masih terasa seperti ada sesuatu yang hilang, tapi juga ada sesuatu yang tambah. Awalnya terasa ada yang mengganjal ketika meninggalkan kebiasaan ‘njung unjung’, ‘bertandang’ atau ‘anjangsana’ ke seluruh keluarga, ada yang kurang karena tahun ini hanya tetangga sekitar dan keluarga dekat yang dikunjung pasca sholat id, selebihnya setelah mudik dan rekreasi. Plusnya aku merasakan hal yang beda, minimal tidak terlibat kegaduhan proses mudik tidak merasakan kemacetan, lebih enjoi karena banyak menikmati perjalanan, menikmati tempat-tempat yang elok. Terus yang lebih penting lagi, menjadi terbuka pikiran kita bahwa wajah Indonesia tidak sesempit yang terberitakan, yang dominan memenuhi berita layar kaca, penuh dengan carut-marut problem yang 'memalukan'. Wajah Indonesia tidak sesempit ibu kota dan kota besar lainnya yang sakit, potensinya membentang luas, beragam, masih kaya dengan kesantunan masyarakatnya, masih digandrungi masyarakat luar, sayang dikotori oleh segelintir elit yang memurukkan derajat bangsa. Sangat disayangkan sekali !!!

Mudik lebaran dengan imbuhan wisata, aku kira bisa dilakukan siapapun. Bagi yang berkendaraan roda dua juga memungkinkan untuk mudik lebih santai, lebih bisa dinikmati, bisa melahirkan 'cita rasa' yang beda. Untukku, minimal sekarang terbersit inspirasi untuk mudik-mudik selanjutnya mesti didesain dengan silahturahmi plus wisata, supaya tidak melahirkan sikap memaksakan diri, rasa jenuh dan lelah, ketergesaan, yang paling banyak menjadi penyebab kecelakaan fatal. Kita sebagai bangsa juga perlu merasakan Indonesia yang lain, yang tidak sedikit diangkat di media-media informasi karena kalah komersial dengan berita politik dan kriminal. Nah, mulai sekarang mesti harus diplanning sekaligus mulai menyisihkan budget dana untuk itu.