Kamis, 31 Desember 2009

BALADA MALANG-SURABAYA

(Catatan Akhir Tahun 2009)


Menjalani hidup selama satu setengah tahun bolak balik Malang Surabaya karena tugas belajar terasa biasa-biasa saja, heran saya, karena beberapa orang teman atau kerabat kebanyakan berkeluh kesah bahkan frustasi. Bagiku mungkin keyakinan ‘nikmati hidup’ cukup membantu mengurangi kejenuhan yang cenderung akan dialami siapapun yang secara rutin mengalami perjalanan Malang Surabaya atau sebaliknya yaitu menghadapi problem kemacetan. Memang semenjak kasus lumpur Lapindo memutus jalan tol Surabaya Gempol, problem kemacetan menjadi gangguan utama berbagai aktivitas dan produktifitas masyarakat Jawa Timur.

Cerita atau keluhan terkena kemacetan berjam-jam di jalan Porong sering aku dengar, tapi alhamdulillah aku sendiri belum pernah mengalami kemacetan yang berarti, yang aku alami paling sekedar macet biasa yang dalam hitungan menit itu sudah berlalu. Mungkin juga aku sering terbantu naluriku dalam menyikapi pilihan jalan keluar menghadapi kemungkinan kemacetan, dengan mencermati tanda-tanda dan pilihan jalan alternatif yang ada. Kalau membawa kendaraan sendiri bila di pintu tol Waru atau di Japanan sudah terlihat tersendat jalan alternatif harus menjadi pilihan.

Jadi, satu setengah tahun aku lalui dengan suka cita, mengalir begitu saja, bahkan sering menemui hal-hal menarik dalam perjalanan yang bisa menjadi sarana pembelajaran hidup untukku. Misalnya saja aku harus simpati dan salut dengan para pekerja yang memiliki semangat prima yang selalu berangkat jauh sebelum matahari terbit, hormat pada sopir bus ramah yang sering mengantar kami hingga terminal Joyoboyo, prihatin menjupai orang kehilangan barang di terminal, waspada di jalan yang penuh dengan kendaraan roda dua yang seenaknya memotong jalan, merasa aneh dengan jukir wajah khas di unair yang sering guyon dalam mengatur kendaraan, dan lain-lain.

Hikmah yang paling bisa digaris bawahi menjalani hidup selama satu setengah tahun di dua kota terbesar di Jawa Timur ini adalah ‘menguatnya kesadaran untuk bersyukur’ atas nikmat yang dikaruniakan Allah SWT kepadaku. Betapa tidak, seandainya aku tidak pernah merasakan hidup di Surabaya yang panas, sulit air, kehidupan sosial yang komplek. Salah satu misalnya lantaran di Surabaya sering mandi dengan air yang keruh dan kadang berbau menyebabkan aku lebih mensyukuri sebagai orang yang bisa tinggal di lingkungan seperti tempat tinggalku sekarang, di mana air yang aku nikamati sejuk segar berasal dari gunung Panderman dan dikelola secara baik oleh masyarakat sendiri.

Kebetulan juga di Surabaya aku tinggal di daerah Bratang Gede, daerah yang kalau hujan pasti banjir dan jalanan jadi seperti sungai, mobil dan motor banyak mogok. Tak jauh dari tempat tinggalku, di pinggiran sungai Jagir Wonokromo, hanya jalan kaki lima menit dari tempatku tinggal aku temui pembelajaran betapa kerasnya hidup di Surabaya. Bayangkan, di pinggiran sungai Jagir beriri rumah-rumah ‘liar’ permanen atau tidak permanen letaknya berdempetan dengan ukuran rata-rata 6 – 10 meter persegi sebagian nampak menggantung ke bantaran sungai. Tiap petak rumah dihuni oleh urban dari berbagai daerah di sekitar Surabaya, ada yang dihuni oleh dua pasangan hidup, yang statusnya kadang meragukan, kebanyakan penghuninya lebih dari dua. Konon menurut cerita orang yang ditokohkan di Bratang, ada petak kecil seperti itu terpaksa dihuni oleh delapan orang yang terdiri dari kakek, anak dan cucu. Tidak masuk akal.

Pada situasi lingkungan hidup seperti itu jelas akan melahirkan perilaku individu dan situasi sosial yang kurang menguntungkan. Wajah-wajah yang menghuni tempat itu, tidak sedikit yang menggambarkan fenomena depresi yang kuat. Anak-anak dan orang tua banyak yang terpaksa tidur di lantai seadanya, yang kondisinya lembab dan kotor sehingga sesakit yang berkaitan dengan ‘paru-paru’ menjadi keluhan utama. Tidak sedikit mereka menjadi suka minum minuman keras, terlibat pada kegiatan prostitusi terselubung, judi, kriminalitas semua menjadi dampak ikutan yang disebabkan oleh lingkungan yang kurang menguntungkan itu. Itukah resiko pilihan urbanisasi tanpa bekal kemampuan kompetitif di kerasnya kehidupan kota ? Aku bersyukur memiliki keluarga yang lebih beruntung di banding mereka.

Catatan akhir tahun ini akan tidak lengkap tanpa cerita tentang andil teman-temanku kuliah dalam membuat ‘berwarnanya hidupku’ selama satu setengah tahun ini. Aku sering meyakini bahwa kuliah S3 di manapun, kita tidak sekedar belajar sain dan teknologi yang mutlak kita pelajari, tetapi ternyata kita digembleng juga dari aspek mental, kesabaran, keteguhan, empati, solidaritas, konsistensi dan lain-lain di luar perhitungan awal. Tiap-tiap orang mendapat pembelajarannya sendiri-sendiri, ada yang hikmahnya didapat dari promoter, ada yang dari dosen, ada yang karena ujuan, ada yang karena komunikasi, ada pula yang tantangannya justru dari keluarganya.

Aku kebetulan termasuk yang masih dipercaya beberapa teman untuk tempat berkeluh kesah, aku sendiri tidak tahu mengapa ? Yang jelas aku menghormati mereka dengan problemnya masing-masing, selalu berusaha merahasiakannya dan dalam tiap kesempatan pilihanku selalu mencoba ikut memahami persoalannya, mengajak untuk optimis bahwa semua masalah pasti ada penyelesaiannya. Segala sesuatu problem kalau kita dudukan dalam pemikiran positif, aku yakin produk solusinya adalah positif. Kalau toh ada gesekan kecil menyangkut kesalah fahaman, ketidak mengertian, ketidak cocokan, ketersinggungan semua menjadi bunga-bunga hidup dalam kebersamaan.

Terus maju sahabat-sahabatku, jalan kita masih panjang, perjuangan masih belum selesai, belum apa-apa. Mari kita tetap bersama untuk terus belajar berbagi, sabar dan mencoba selalu optimis. Untuk keluargaku, istri dan keempat anakku, aku terima kasih atas pemahaman berkurangnya perhatian dan waktuku untuk mereka. Selamat Tahun Baru 2010. Sehat dan Sukses Selalu.

Selasa, 22 Desember 2009

INNER POWER & BEAUTY




Jeihan sang maestro lukis yang tinggal di Bandung meyakini bahwa insting atau naluri adalah energi purba yang ada pada setiap mahluk, ia mencoba menggali dan memeliharanya sebagai power dalam berkarya yang kemudian menjadi ‘kekuatan’ yang selalu tersirat dalam kebanyakan lukisannya yang berkarakter perempuan bermata bolong. Menurut pelukis yang pernah mati ini, energi purba adalah energi dasyat yang selalu muncul pada kondisi terdesak. Jeihan pernah hidup dalam keterdesakan karena gagal ginjal dan harus cuci darah, konon dalam keterdesakan hidup seperti itu energi berkaryanya sangat kuat.



Naluri manusia kini cenderung tidak terasah, tumpul tak berenergi, dimanjakan oleh ilmu dan teknologi yang akhirnya menghadirkan hegenomi ‘super ego’. Super ego menjaji penguasa dominan manusia yang hidupnya sudah sangat dipengaruhi ilmu pepengetahuan dan teknologi. Tetapi disadari atau tidak naluri masih setia mendekam dalam tubuh kita, dan suatu saat bisa muncul dalam kepribadian kita ketika terdesak atau terancam kepentingannya. Aku sangat percaya pada kenyataan itu.



Dulu ketika aku masih kecil, aku sering bermain laying-layang bersama teman-teman di sawah atau di tanah lapang. Aku masih ingat bagaimana temanku ‘Bejo’ ketika berebut layang-layang ia begitu beraninya melompat pada ketinggian 3 meter, padahal pada kondisi normal kami ia tidak berani melakukan. Bagaimana ‘ Budi’ dengan tangkas memanjat pohon kelapa untuk tujuan sama mengambil laying-layang, tetapi menangis kebingungan ketika sudah di puncak pohon dan harus turun. Energi rusa betina begitu besar hingga ia berani melawan kodratnya sebagai herbivore ketika habis melahirkan, dengan kekuatan insting melindungi anaknya ia makan ari-ari anaknya yang baru lahir serta darah sisa pelahiran berarti hewan ini berubah menjadi karnivor. Sebab kalau tidak dilakukan, bau anyir ari-ari dan darah bisa memancing datangnya predator yang mengancam diri dan keluarganya.



Bicara naluri yang terdesak, aku ingat seorang sahabat yang pernah merasa ter’singgung’ berat dan merasa tiba-tiba ada ganjalan di dada yang menyesakan nafas, ketika ia disudutkan beberapa pertanyaan mendasar yang sulit dijawabnya padahal semestinya itu bidangnya. Sang sahabat malu, merasa dirinya ‘bodoh’, konyol, mestinya hal itu tidak terjadi. Keadaan itu larut dan menguasai pikiran, membuat tubuhnya lemah dan akhirnya sakit. Keadaan itu terpaksa harus diurai dengan derai tangis dan keluh kesah pada orang kepercayaannya.



Setelah mengendap beberapa malam, sahabat bercerita bahwa ketersudutan itu melahirkan kesadaran bahwa pertanyaan-pertanyaan itu adalah cambuk yang kritis. Mungkin Tuhan berpihak padanya hingga mengirim ‘sinyal’ yang dilewatkan rekan diskusinya untuk menyadarkan kekurangan dirinya. Dalam kontek ini, ‘naluri’ pribadinya tersentuh, gen ‘power purba’ nya terekspesi melahirkan semangat bertanya dan menjawab yang sangat konstruktif dan evaluatif. Pertanyaan mendasar yang sempat tidak terjawab sebelumnya akhirnya lunas, bahkan menstimulir puluhan pertanyaan yang akhirnya juga terjawab.



Tanpa sadar sang sahabat ketika harus duduk di meja pesakitan ‘ujian kualifikasi’, ia sendiri mengakui inilah performa ‘dirinya sendiri yang sebenarnya’. Ia akhirnya harus merasa berterima kasih pada rekan diskusinya yang sempat menyesakan dadanya. Dan ia bangga tanpa diduga teman-temannya memujinya beauty, percaya diri, tenang. Sang sahabat melewati ujian kualifikasi dengan ceria, mengalir seperti air, pertanyaan-pertanyaan melahirkan solusi bukan kebuntuan.



Itulah efek dari bekerjanya energi purba dari naluri pribadi sahabat yang terusik. Kesadaran itu tanpa sadar telah menggerakan rona positif yang justru menjauhkan dari rasa kegundahan, sesak nafas, tangis yang tidak perlu, dan waktu yang terbuang. Di sisi yang lain pengalaman di atas telah pula mengkristalkan kesadaran dan memunculkan pertanyaan baru , apa tidak mungkin keterdesakan justru membuat seseorang mati kutu dan kehilangan inner power dan beauty ?

HIDUP BAIK


Seseorang sahabat bertutur tentang hakekat tujuan hidup, ia yakini ssetelah melalui perenungan panjang bahkan sampai harus umroh segala, menurut dia bahwa tujuan hidup adalah bagaimana mati baik. Lalu, untuk mati baik berarti kita mesti hidup baik, demikian penyimpulannya. Mendengar penuturan itu, pikiranku yang biasanya tergelitik, ini tidak, sepertinya pikiranku mengatakan itu bukan merupakan hal baru dalam dunia pemikiran tentang hidup. Apa lagi menyangkut mati baik dan hidup baik, masih memiliki pengertian yang jamak, mati baik apakah mati dengan ketenangan, bukan kecelakaan, terbunuh, sakit atau mati dengan segudang amal dan kekaryaannya yang dirasakan manfaatnya bagi sesama dalam kehidupan di dunia ? Lalu hidup baik itu ukurannya apa ?


Semua aku rasa setuju bahwa pemahaman terakhirlah yang benar. Orang mati baik dapat diukur dari seberapa besar amal dan kekaryaannya yang bermanfaat bagi sesamannya. Amal dan kekaryaan seseorang sangat bergantung pada seberapa besar ‘kemampuan’ untuk melakukan itu. Sahabat yang bicara tentang ‘mati baik’ itu, selanjutnya bertanya padaku:


“ Kalau menurut mas, untuk bisa mati baik apakah orang harus kaya ? Apakah orang miskin tidak mungkin mati baik ? “ Ditanya demikian pikiranku mulai tergelitik, apa ya jawabnya ?


“ Aku rasa mati baik bisa dicapai siapapun, tidak pandang miskin atau kaya, “ sahabatku tersenyum, lalu ia ngomong lagi.


“ Pada kondisi miskin untuk mati baik sulit, kaya juga kurang ”.


Aku tertegun mendapat jawaban tak terduga sahabatku. Logika apa yang digunakannya hingga berpendapat demikian. Kenapa miskin dan kaya sebagai sesuatu yang berbeda didudukan pada posisi yang sama yaitu kurang mendukung pencapaian untuk mati baik ? Kalau ukuran mati baik adalah amal dan kekaryaan bukankah peluang keduanya masih mungkin untuk bisa mencapainya. Mungkin kaya akan lebih memiliki peluang lebih besar, tetapi miskin juga tidak tertutup kemungkinan untuk mati baik, sebab amal dan kekaryaan bisa saja tidak tergantung materi. Begitukan ?


“ Maksudku kurang tepat, mas ! Menurutku untuk menjamin bisa mati baik kita mesti kaya raya, “ lanjut sahabatku dengan tetap tersenyum, tetapi lebih lebar. Memancing kinerja kontemplatifku, seolah tahu apa yang berkecamuk dalam pikiranku. “ Coba mas renungkan, deh ! “ Lanjut sahabatku sambil ngeloyor pergi. Kepergian sahabatku membuat lenyap pula energi bertanya tentang ‘mati baik’, lagian pekerjaanku lagi butuh kosentrasiku.


Ketika malam hampir mencapai puncaknya, saat aku duduk termenung sendiri di ‘kursi bengong’ tempat di mana aku selalu melepas segala penat seharian kerja, sambil sesekali merenung. Sementara di rumah induk anak-anak dan istriku sudah mulai bermimpi. Pertanyaan sahabatku tentang ‘mati baik’ itu tiba-tiba menyeruak di benak pikirku. Kenapa harus kaya raya untuk bisa ‘mati baik’ ?


Orang kaya raya akan mampu beramal dan berkarya lebih baik ? Hm………, bisa jadi benar. Tapi nanti dulu, itu juga bisa salah. Kaya raya itu ukuranya apa ? Apakah ukurannya materi atau juga bisa non materi ? Aku kira ‘kaya raya’ materi saja tidak cukup untuk menjamin seseorang bisa ‘mati baik’, seseorang harus sudah teruji dulu aspek semangat keiklasan ber‘amal’ dan ber’karya’nya yang bisa memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Kaya raya dalam hal semangat berbagi, bisa jadi tanpa harus dengan ‘materi’ tetapi bisa dalam bentuk non materi seperti ‘kaya raya’ ilmu pengetahuan. Orang yang sangat kaya ilmu pengetahuannya, dan memiliki semangat berbagi ilmunya yang kuat, kemudian karya keilmuannya banyak dimanfaatkan orang bisa jadi ini ekuel dengan orang miskin materi tapi potential mati baik.



Jadi aku sangat apresiet pada siapapun yang memiliki segudang energi untuk memotifasi orang-orang di sekitarnya dengan tulus iklas, contohnya seperti sahabatku. ia banyak menyediakan waktu terbatasnya untuk berbagi dengan kawan-kawan seperjuangannya, wanita ini bisa bertahan membangun kepercayaan diri seseorang yang 'perlu amunisi' untuk berjuang sepanjang pagi hingga tengah malam tanpa mempedulikan tuntutan tubuh untuk mandi. Tidak sekedar bicara, tetapi tangannya berkeringat. Ini adalah gambaran 'amal dan kekaryaan' yang lebih bernilai, ketimbang doa-doa panjang mekanis yang mengiringi peribadatan seseorang yang
tidak sepenuh hati.

Senin, 07 Desember 2009

TIDUR NYENYAK


Aku pernah dengar ada orang yang berprinsip mengukur kualitas hidup dengan pengukuran yang sangat sederhana yaitu ‘tidur nyenyak’. Katanya kualitas hidup seseorang dianggap baik, ketika orang tersebut sudah bisa tidur nyenyak. Suatu prinsip yang unik, aku jadi tertarik untuk mencoba kontemplatif agar lebih memahami pemikiran itu. Dalam benak pikiranku, mulai muncul stimulus yang mengeja pertanyaan-pertanyaan. Pengukuran sederhana bukan berarti lahir dari buah pikiran sederhana pula, pradugaku justru ia lahir dengan landasan pemikiran yang mendalam dan realitas yang kuat tapi ‘penggaliannya’ terabaikan oleh orang lain.


Konon bagi mereka yang memahami dan meyakini pandangan holistik, hidup kita harus menyeluruh, berkeseimbangan dan selaras dengan alam. Alam memberi pembelajaran pada kita akan adanya realita dikotomis yang selalu menghias di dalamnya, misalnya: ada siang dan malam, gelap dan terang, baik dan buruk, suka dan duka, laki dan perempuan, cinta dan benci, kaya dan miskin, atas dan bawah, muda dan tua, hidup dan mati, dunia dan akhirat dan masih banyak lagi fenomena dikotomis seperti itu. Tidak itu saja bahkan bagi orang yang tidak mau dianggap berkacamata kuda fenomena itu tidak sekedar dikotomis mungkin ‘polikotomis’, mereka meyakini bahwa realita itu alternatifnya banyak, dari fenomena di atas kita mengenal: sore, medium, remang-remang, kecukupan, banci, dewasa, matisuri dan lain-lain yang semestinya juga satu kesatuan tak terpisahkan.


Hidup kita apakah harus dipaksa berada pada satu sisi fenomena ? Kadang kita sering dengar orang berbicara: “ Orang kok mementingkan duniawi saja, akhirat nggak dipikir”. Atau ada juga yang sebaliknya nggak begitu peduli pada kehidupan duniawi yang diutamakan kepentingan spiritual yang tujuannya akhirat. Sesungguhnya mementingkan salah satu saja hematku tidak benar, hidup kita sesungguhnya butuh keseimbangan. Orang yang hanya sekedar mengejar spiritual saja apa tidak berarti menyia-nyiakan hidup yang sesungguhnya membuka begitu banyak kemungkinan. Sebaliknya orang yang hanya mengejar duniawi saja berarti menafikkan esensi dirinya sendiri sebagai ‘manusia’, mahluk yang paling sempurna di muka bumi ini.


Ukuran kualitas hidup manusia berarti semestinya harus dilihat dari nilai pencapaian bersama dua hal yang sangat berbeda yaitu pencapaian spirituan dan keduniawian. Spiritual semestinya jangan ditafsir hanya terbatas pada peribadahan kita kepadaNya melalui sholat, dzikir, puasa, semedi, dan sebangsanya. Tetapi juga harus dilihat secara menyeluruh, artinya spiritualitas harus juga masuk dalam laku dunia demikian sebaliknya duniawi juga menguatkan spiritualitas. Spiritualitas dapat diukur dengan bahasa hati, semua harus sepenuh hati. Bekerja sepenuh hati, makan ya sepenuh hati, belajar sepenuh hati, sholat ya sepenuh hati, mandi ya sepenuh hati. Intinya, semua yang kita lakukan dalam menjalani hidup harus dengan kesadaran penuh, iklas, tawa’dhu. Dengan begitu kita berarti menghargai hidup yang telah diberikan kepada kita.


Semua yang dilakukan dengan sepenuh hati, akan memberi kenyamanan batin pada yang melakukan maupun lingkungannya. Tindakan sepehuh hati berarti tindakan tanpa ada ganjalan atau kegelisahan, orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati akan ditandai dengan laku menjalani dengan rasa ringan, ceria, suka cita atau ‘enjoi’ kalau meminjam bahasa iklan. Di mana saja, bagaimanapun situasinya kalau kita sudah memilih, maka kita harus bisa belajar menerimanya dan menikmatinya. Itu adalah awal belajar berada pada kondisi ‘sepenuh hati’.


Maka dari itu ketika orang berpendapat bahwa kualitas hidup dapat diukur dari perilaku tidur, ya logis juga. Kalau memang bahwa orang yang dianggap berkualitas hidupnya adalah orang yang telah mampu menyeimbangkan pencapaian kehidupan spiritualitas dan duniawinya. Pada dirinya akan dijumpai ketenangan lahir, batin serta pikirannya. Jelas pada orang-orang yang telah mencapai tataran ini, kegelisahan akan menjauh sehingga dalam memenuhi hajat tidurpun mereka bisa menjalaninya sepenuh hati sehingga mereka bisa ‘tidur nyenyak’. Tentu ini harus dibedakan dengan tidurnya orang yang masa bodo, cuek, gila yang juga 'nyenyak'.


Kita sering tidak enjoi, karena kita sering tidak sepenuh hati menjalankan sesuatu hal. Sebagai mahasiswa mengerjakan tugas dilakukan dengan kurang serius, asal-asalan, atau sekedarnya dengan disambi melakukan aktivitas lainnya, hasilnya adalah kegelisahan karena akan muncul pertanyaan ‘lulus atau tidak ya ?’. Kalau di sisi yang lain sebagai misalnya jadi anak, jadi ibu atau bapak perannya juga tidak dilakukan sepenuh hati maka kegelisahan akan bertambah, keresahan akan meningkat, sehingga bagaimana mereka bisa ‘tidur nyenyak’ ?


Kata kakekku, memang belajar untuk bisa menjalani sepenuh hati dalam semua laku memang tidak mudah. Butuh tempaan belajar, butuh pengorbanan, butuh ketekunan, butuh kesabaran, butuh keiklasan, butuh semangat berbagi. Jangan ikuti semua ‘ego’ yang ada dalam diri yang cenderung mendorong kearah pemuasan keinginan duniawi yang tidak pernah terpuaskan. Ingat bahwa hidup kita pendek, orang jawa bilang ‘urip kur mampir ngombe’, jadi manfaatkan sepenuhnya dengan bijak, jalani hidup dan nikmati.

Jumat, 04 Desember 2009

KERANGKA KONSEPTUAL


Kemarin ketika ujian kualifikasi, semua penguji cenderung memulai pertanyaan dengan mempertanyakan apa-apa yang tertuang dalam bagan ‘kerangka konseptual’. Kebetulan kerangka konseptualku sengaja tak buat dengan gambaran yang menarik plus sentuhan warna yang diharapkan menghilangkan kesan ilmu itu kaku. Kesan warna-warni itulah yang kemudian juga menarik untuk teman-teman minta bantuan ke aku untuk mendandani kerangka konsep punya mereka.

Memang menurutku membuat kerangka konseptual ya susah-susah gampang, maksudnya buat orang yang memahami maksud, tujuan, manfaat dan cakupan penelitian tentu menjadi gampang, tetapi buat orang yang awam dan tidak mendalami pada maksud, tujuan, manfaat dan cakupan penelitian tersebut tentu akan susah membuatnya. Jadi para professor memulai pertanyaan dari kerangka konseptual adalah pilihan tepat dan amat cerdas karena dari sinilah kapasitas pemikiran ‘mahasiswa’ yang diuji bisa dilihat.

Kerangka konseptual menurutku disimak dari akar katanya yaitu ‘kerangka’ dan ‘konsep’, maka kerangka konseptual adalah gambaran mendasar atau pemikiran yang mendasari penelitian kita yang berisi konsep-konsep dan jabarannya. Kerangka konseptual merupakan kerangka pikir dasar mengenai hubungan antar konsep-konsep, variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian atau hubungan antar konsep, variabel dengan konsep, atau variabel dengan variabel lainnya dari masalah yang diteliti sesuai dengan apa yang peroleh dari studi pustaka.

Sementara pengertian konsep dalam hal ini adalah suatu abstraksi atau gambaran, buah pikiran yang dibangun dengan menggeneralisasikan suatu pengertian. Karena sifatnya yang general itu, konsep tidak dapat diamati dan diukur secara langsung. Agar supaya konsep tersebut dapat diamati dan diukur, maka konsep tersebut harus dijabarkan terlebih dahulu menjadi variabel-variabel. Variabel adalah sesuatu yang nilainya dapat diukur, nilainya berubah-ubah menurut waktu, elemen atau tempat.

Kerangka konseptual akan menjadi ‘frame’ atau ‘boundary’ yang menegaskan masalah yang dikaji, fokus dengan batas cakupan yang jelas. Setidaknya ketika ada ketegasan mana ranah yang diteliti, memudahkan identifikasi fungsi variabel (mana yang independent, dependent, kendali, dll), hal tersebut akan memudahkan kita memformulasi hipotesis, serta menyusun pendekatan metode penelitian yang layak dilakukan. Akan sangat sulit orang lain yang tidak memahami permasalahan dan substasi penelitian untuk diminta membuatkan kerangka konsep. Tetapi begitu jadi kerangka konsep, orang lain yang tidak faham akan mudah terfahamkan.

Mungkin menggambarkan dengan contoh akan lebih mudah kita mengingat, dalam penelitianku ‘Aklimatisasi’ adalah konsep. Aklimatisasi adalah hal umum tentang proses menumbuhkan bibit tanaman hasil kultur in vitro agar adaptif bisa hidup di lingkungan yang baru (ex vitro) dan berbeda dari lingkungan sebelumnya. Agar bisa diukur maka harus dijadikan variabel misalnya; teknik aklimatisasi, media aklimatisasi, penggunaan pupuk dan obat. Ada teman penelitian vernalisasi pada tanaman bawang merah, vernalisasi adalah konsep, ini harus dijabarkan dalam bentuk variabel misalnya saja: tingkat derajat suhu, lama atau periode vernalisasi.

Dalam sudut pandang epitemik dedutif maka teknik aklimatisasi, media aklimatisasi, penggunaan pupuk dan obat; tingkat / derajat suhu, lama /periode vernalisasi dapat didudukan sebagai variabel bebas atau independen, terus variabel dependen atau tergantungnya apa ? Bisa misalnya: laju pertumbuhan, kecepatan berakar, kecepatan berbunga, jumlah bunga dan lain-lain. Jadi konsep dan variabel yang telah kita tentukan tadi kira-kira kalau kemudian kita buat interkorelasinya dalam kerangka konsep adalah seperti di bawah ini:

Teknik Aklimatisasi ----------------
Jenis Media ------------------------- Laju Pertumbuhan
Jenis Pupuk / Obat ----------------


Tingkat Suhu ----------------------
Lama Waktu ------------------------ Laju Pembungaan
Umur Tanaman -------------------

Catatan: mestinya titik-titik di atas berupa garis yang mengarah ke Laju Pertumbuhan atau Pembungaan.
Interkorelasi antara konsep dengan konsep atau konsep dengan variabel yang telah kita buat, selanjutnya harus di 'breakdown' dengan mengajukan pertanyaan hal apa yang dapat diinterkolerasikan selanjutnya ? apa yang menjadi faktor dari suatu konsep atau variabel yang sudah kita tentukan ? Misal ketika aku bicara tentang konsep 'aklimasisasi', maka faktor yang mempengaruhi adalah: jenis anggrek, jenis media in vitro, teknik aklimatisasi, operator, nutrisi, dan faktor lingkungan (cahaya, media, suhu, kelembaban, angin). Proses 'breakdown' terus dilakukan sampai pada lingkup yang kita inginkan, dengan mempertimbangkan sarana, dana dan waktu yang tersedia untuk penelitian. Ini banyak dipertanyakan dalam ujian, aku sadar karena 'ruh' penelitian memang kan ada di sana.

Untuk mengembangkan kerangka konseptual tentu saja kita harus memperkaya asumsi-asumsi dasar yang relevan yang berasal dari bahan-bahan referensi yang terpercaya dan baru. Tetapi juga alangkah baiknya kalau dapat diperkuat dengan informasi, pengetahuan yang diamati, diperoleh langsung pada lingkup area masalah yang akan dijadikan penelitian, seperti aku berarti permasalahan di masyarakat peranggrekan. Dengan demikian kerangka konseptual yang dibuat merupakan paduan yang kaya dan lengkap karena merupakan gabungan antara hasil pemikiran dari konsep-konsep (produk deduksi) dan fenomena empiris (produk induksi). Karena pengetahuan baru umumnya terbangun melalui pendekatan ini (lihat tulisan: epistemik deduksi).

Singkatnya kalau tidak sempat lihat, berpikir deduksi adalah proses berlogika yang berdasar dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan memverifikasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena tersebut yang lebih khusus. Berpikir induksi adalah proses berlogika yang berangkat dari data empirik (khusus) lewat observasi menuju kepada suatu teori (umum). Dengan kata lain induksi adalah proses mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah (khusus) menjadi suatu rangkuman hubungan atau suatu generalisasi (umum).

Kamis, 03 Desember 2009

STORY OF THE 'PLONG'



Mat Yudha pada suatu hari di pagi yang tidak begitu cerah, wajahnya jemberut, padahal wajahnya semestinya lumayan smart, dengan kaca matanya yang kebilang tebal maka kali ini jadi tidak proporsional, tapi itulah penampilan sekarang. Tangannya memegangi perutnya, sesekali wajahnya meringis, gelisah nggak karuan. Dalam bahasa kegundahan dia berada pada kondisi yang ia tidak inginkan.

“ Siapa yang di kamar mandi ? “ teriaknya.
“ Aku Mas, “ ucap istrinya lirih dari dalam, “ Sebentar, nanggung dah sabunan Mas “.
“ Aduh…… cepat dikit dong ! “ desak Mat Yudha mendekat pintu kamar mandi. Istrinya diam, yang terdengar suara air ditimba. Gejebar....gejebur............. Wajah Mat Yudha memerah, tangannya tak pernah lepas memegangi perutnya. Badannya menekuk setengah bongkok, seperti udang yang baru digoreng. Dunia bagi Mat Yudha terpenting adalah kamar mandi. Tidak perduli lagi berita televisi yang lagi getol memberitakan tontonan baru layar kaca pasca kasus pertarungan buaya lawan cecak (baca: porli vs KPK) yaitu kasus yang tak kalah seru bertajuk ‘ Dana Siluman Bank Century 6.7 triliun’.

“ Udah…. Ayo cepat, “ teriak Mat Yudha lagi. Pintu kamar mandi terbuka, Mpok Tanti si istri Mat Yudha keluar nggak jangkep pakaiannya, bagian tubuhnya yang semestinya tertutup menjadi tontonan cecak yang ada di dinding.
“Cek….cek….cek”, suara cecak. Sepertinya cecak mengagumi lekuk tubuh yang sejenak tampil di depannya, tapi keburu tubuh itu hilang di balik pintu kamar utama. Heran Mat Yudha tidak marah cecak menikmati kemolekan istrinya, padahal biasanya semut merah menjamah kulitnya langsung dibunuhnya. Tetangga melirik saja sudah ditantang duel satu lawan satu. Makin jelas Mat Yudha lagi tidak perduli pada dunia di sekitarnya.

Begitu masuk kamar mandi, Mat Yudha langsung melepas celananya yang komprang dengan mudahnya dan tidak sempat menggantungkan di dinding, tapi melipat sekenanya dan buru-buru jongkok. Dan dengan tanpa jeda, ……. terdengar tembakan bayonet dari muara perut Mat Yudha. Breeeeeeeeeeettttttt…. Breeeeeetttttttt….breeeeett. Lalu terlihatlah wajah Mat Yudha yang berbeda, seperti lega sekali lepas dari beban berat sebelumnya, jadi nampak kesmartannya.

“ Rasanya Plong !” batin dia.

Nah, rasa seperti itulah yang aku rasakan sekarang ini. Rasa Plong, sebuah rasa tanpa beban, tanpa kegundahan, setelah beberapa hari yang lalu penasaran dengan gerangan yang namanya ‘ujian kualifikasi doktor’. Sampai akhirnya Kamis lalu aku jalani, jam 8 pagi sampai jam 10 pagi, dimulai aku presentasi rencana disertasi, kemudian 100 menit dicecar pertanyaan oleh 7 pakar Science yang bergelar professor dan doktor. Sungguh….. aku merasa bersyukur ujian lancar, cair, penuh keakraban, dengan joke awal ‘tentang anggrek' dari sang Ketua Penguji. Koreksi, masukan, debat mempertahankan pendapat menurut saya itu nilai plus dari forum akademis, aku mencintai dan menghormatinya. Lalu soal kebuntuan menjawab rasanya harus disadari sulit dihindari walau kita sudah merasa maksimal mempersiapkan. Itu juga saya ambil hikmah positif bahwa kita memang tidak boleh berhenti belajar, dan jangan merasa pintar.
Hikmah positif harus aku rasakan, ujian kualifikasi tidak menakutkan seperti yang dibayangkan dan diceritakan orang-orang. Tapi dibilang enteng atau sepele jelas menurut saya itu konyol. Memang ada sementara orang beranggapan bahwa kegiatan itu formalitas, pasti lulus, atau terpaksa diluluskan. Itu jelas anggapan yang salah, lagian siapa yang mau diperlakukan 'terpaksa diluluska'. Yang jelas, pengalaman aku yang sekarang sudah 'plong' bahwa untuk ujian kualifikasi kita mesti cukup bekal dan memahami betul penelitian yang akan kita lakukan, karena sumber pertanyaan semua berakar dari sana. Sekecil dan sesepele apapun konsep, terminologi, masalah, metode sebaiknya kita fahami.
Kecerobohan, menyepelekan hal sederha menurut kita (tidak menurut mereka), misalnya kurang atau buntunya komunikasi, atau komunikasi yang mengambang, tidak tegas dari pengambil kebijakan, mengesampingkan saran pakar, entah atas nama alasan tidak ada waktu, kurang pustaka, dan lain sebagainya sebaiknya diantisipasi agar tidak jadi ganjalan saat ujian, karena yang rugi bukan siapa-siapa, tetapi kita sang mahasiswa. Kalau sudah 'plong' seperti ini sungguh sesakit, capai, gundah, emosi, stresss, semua menjauh sendiri. Nah, siapa mau ikut 'plong' ? Aku ingin menyemangatinya.

Selasa, 01 Desember 2009

SKALA PENGUKURAN


Ketika diskusi dengan bu Diana di Perpustakaan Pasca, aku ingat mimik beliaunya yang lancar menerangkan tentang skala pengukuran yang lazim difahami seorang peneliti. Sebetulnya tidak hanya skala pengukuran yang penting dipahami, seorang peneliti perlu faham tentang unit analisys, karakteristik, variabel, populasi, sampel, sampling, dan lain-lain. Kembali ke apa yang dipaparkan oleh bu Diana tentang skala pengukuran. Beliau menjelaskan bahwa menyangkut skala pengukuran dikenal ada 4 skala utama, yaitu: Nominal, Ordinal, Interval dan Rasio. Tapi di akhir diskusi, karena beliau harus balik ke Malang, beliau berpesan: “ Tolong dicek lagi siapa tahu salah.”


Setelah saya cek ulang di buku-buku statistic yang aku punya, ternyata apa yang disampaikan bu Diana benar. Trim, bu Diana. Skala pengukuran sering juga disebut skala data. Data adalah catatan atas kumpulan fakta, yang diterima secara apa adanya. Data merupakan bentuk jamak dari datum. Datum berasal dari bahasa latin yang berarti ‘sesuatu yang diberikan’. Kumpulan fakta tersebut merupakan hasil dari proses pengukuran atau pengamatan suatu variabel yang bentuknya dapat berupa angka, kata-kata atau citra. Sehingga nilai data sangat bergantung pada validitas alat ukurnya, pengukur serta bagamana cara mengukurnya.


Menurut begawan statistik bahwa tipe data memegang peranan penting di dalam penentuan jenis uji statistik yang akan digunakan. Secara umum data statistik digolongkan menjadi 2 macam, yaitu: data diskrit, yaitu data yang tidak dikonsepsikan adanya nilai-nilai di antara data lain yang terdekat. Misalnya data jumlah ternak, jumlah anak, jumlah pohon yang ada di suatu rumah, tidak mungkin ada 12,4 anak, 4.6 pohon dan lain-lain. Data kedua disebut data continue, yaitu data yang didapat dari hasil pengukuran yang sudah terstandar.


Data didapatkan dari perhitungan dan pengukuran. Pengukuran adalah penggunaan aturan untuk menetapkan bilangan pada obyek atau peristiwa. Dengan kata lain, pengukuran memberikan nilai-nilai variabel dengan notasi bilangan. Aturan penggunaan notasi bilangan dalam pengukuran disebut skala atau tingkat pengukuran (scales of measurement). Secara lebih rinci, dalam statistik terdapat 4 skala pengukuran yaitu nominal, ordinal, interval dan rasio.


Skala Nominal, ialah angka yang berfungsi hanya untuk membedakan, merupakan identitas, urutan tidak berlaku, operasi matematik juga tidak berlaku, artinya 2 tidak harus lebih besar dari satu atau tidak lebih kecil dari 4 (hasil kali, bagi, penjumlahan, pengurangan tidak mempunyai arti). Hanya sebagai lambang, symbol atau identitas. Contohnya: Jenis kelamin: perempuan (o) dan laki-laki (1); Agama: Islam (1), Kristen (2), Hindu (3); Suku: Jawa(1), Minang(2), Batak(3), Dayak(4) dan seterusnya. Bisa juga angka dari alamat rumah, nomor kamar hotel, nomor KTP, SIM, Nomor Punggung Pemain Bola dan sebangsanya.


Skala Ordinal, ialah angka yang selain berfungsi sebagai nominal juga menunjukan urutan, bahwa sesuatu lebih baik, lebih bagus, lebih disenangi, dari pada yang lain. Misalnya ada 5 anak SD dengan perolehan nilai matematika sebagai berikut: A=50; B=45; C=75; D=100; dan E=80, maka peringkat anak SD tersebut dalam nilai matematika adalah D=1; E=2; C=3; A=4; dan B=5. Pada data tersebut jarak nilai tidak sama, akan tetapi terlihat urutannya makin besar (menuju 5) atau makin kecil (menuju 1).


Skala Interval, ialah angka yang selain berfungsi sebagai nominal dan ordinal juga menunjukan jarak yang sama, akan tetapi tidak sampai berapa kali, sebab titik nol letaknya sembarang, dipergunakan untuk ‘rating’. Contoh adalah suhu atau temperature naik dari 20o – 30o atau 40o – 60o jaraknya 10o – 20o . Akan tetapi tingkat panas yang ditunjukan oleh angka 30o tidak berarti 1.5 kali panas yang ditunjukan oleh angka 20o. Demikian juga kalau kita bicara tentang tingkat kepuasan, misalnya ditunjukan dengan angka 1,2,3,4,5. Walaupun jaraknya sama, tetapi tidak berarti tingkat kepuasan 4 adalah dua kali dari kepuasan 2 atau kepuasan 5 adalah lima kali kepuasan 1.


Skala Rasio, ialah angka yang selain berfungsi sebagai nominal, ordinal, dan interval juga menunjukan berapa kali, sebab angka nol letaknya tidak sembarang. Misalnya berat badan A=60 kg, B=30 kg, berate berat A adalah dua kali berat B, atau berat B setengah dari berat A.


Terima kasih buat bu Diana, sungguh bayangan wajah anda akan memudahkan mengingatkanku pada hal-hal di atas. Tipe orang macam apa aku ini, tak tahulah, aku hanya punya keyakinan untuk berupaya: membayangkan yang aku lihat, mengingat yang aku baca, rasakan yang aku alami, kerjakan yang aku sukai. Welah……welah…… stress kok guyon.

Senin, 30 November 2009

EPISTEMIK DEDUKSI


Ketika aku lagi membuat presentasi kualifikasi, pikiranku yang semula mengalir dari satu tahapan ke tahapan lain, tiba-tiba buntu. Tahu-tahu tumpul ketika ada pertanyaan apa itu Epistemik Deduksi ? Kan ketika kita memaparkan kerangka konsep tentang penelitian yang akan kita lakukan, kita mesti harus mampu meresum sesungguhnya apa epistemic deduksinya ? Pertanyaan itu tidak mungkin terjawab manakala kita sendeiri tidak tahu apa itu epistemic deduksi. Ya kan ?


Disimak dari kata yang menyusunnya berasal dari kata ‘epistemik’ dan ‘deduksi’. Epistemik berkait dengan terminologi epistemology yaitu maknanya berkaitan dengan bagaimana pengetahuan dicari, sedangkan deduksi bermakna proses mencari pengetahuan yang dilakukan dengan metode bagaimana cara melihat dan menyimpulkan suatu persoalan yang dimulai dari pernyataan yang bersifat umum menuju kepada pernyataan yang bersifat khusus. Dengan demikian epistemic deduksi adalah ‘bagaimana membuat kesimpulan khusus yang dihasikan dari kasus-kasus yang bersifat umum.


Masih ingat kuliah filsafat ilmu yang lalu, bahwa Untuk mendapatkan pengetahuan baru bisa dilakukan dengan dua cara : pertama dengan metode induksi, yaitu sebuah metode bagaimana cara melihat dan menyimpulkan suatu persoalan yang dimulai dari pernyataan yang bersifat khusus menuju kepada pernyataan yang bersifat umum. Bagaimana membuat kesimpulan umum yang dihasilkan dari kasus-kasus yang bersifat khusus atau individual.


Untuk menajamkan pemahaman tersebut, kita ambil contoh misalnya : besi jika dipanaskan akan memuai, timah jika dipanaskan akan memuai, seng jika dipanaskan akan memuai, emas jika dipanaskan akan memuai, perak jika dipanaskan akan memuai, tembaga jika dipanaskan akan memuai. Dari pemahaman itu maka secara umum bisa disimpulkan bahwa : Semua logam jika dipanaskan akan memuai.


Penyimpulan secara umum dilakukan dengan melihat dan meneliti kasus-kasus khusus dari beberapa sampel yang mempunyai sifat sejenis, baru kemudian dibuat suatu kesimpulan yang umum. Pendekatan proses mendapatkan pengetahuan ini dianggap sebagai metode yang paling praktis, karena untuk menyimpulkan bahwa ‘semua logam jika dipanaskan akan memuai’ kita tidak perlu lagi meneliti semua jenis logam yang ada di alam semesta ini.


Cara kedua untuk mendapatkan pengetahuan adalah dengan metode deduksi, metode ini adalah kebalikan dari metode induksi, yaitu dari memahami pernyataan yang bersifat umum, menuju kesimpulan yang bersifat khusus. Kita ambil contoh tetap dengan kasus logam, bahwa kita sudah memiliki pemahaman umum bahwa ‘logam jika dipanaskan akan memuai’. Maka dengan metode deduktif kita bisa mengkaji bagai mana dengan timbel yang juga logam, bagaimana kondisi timbel jika dipanaskan. Kenyataan membuktikan bahwa timbel memuai setelah dipanaskan, maka timbel benar-benar logam.

Dengan penalaran deduktif maka kita akan mendapatkan pengetahuan baru yang lebih terpercaya lagi, bahwa timbel jika dipanaskan akan memuai, walaupun kesimpulan ini kita dapatkan tidak melalui penelitian terlebih dahulu, tetapi berdasarkan pemahaman sebelumnya yang diperoleh secara induktif. Memang akhirnya kita bisa lihat kelebihan yang kita dapatkan dengan penalaran deduktif, akan lebih hemat biaya dan waktu untuk menyimpulkan suatu masalah.


Menurut pikiranku dalam mengkaji sesuatu, sebagai cara mengembangkan pemikiran sekaligus pengetahuan, rasanya dua pendekatan induktif deduktif tidak bisa jalan sendirian. Dua hal tersebut harus berjalan beriringan, saling topang, saling mengisi dan melengkapi, menguatkan bangunan ketelitian pemikiran dan pengetahuan. Toh, dalam kenyataan keseharian kehidupan manusia pendekatan cara melihat dari hal khusus ke umum dan dari umum ke khusus atau pendekatan verifikasi dan generalisasi adalah merupakan hal yang selalu bersinergi.


Sekarang, aku jadi tahu di mana resum epistemic deduksi dari penelitian yang akan aku lakukan. Hal umum tentang media, kontaminasi yang terjadi, stagnansi pada proses aklimatisasi, perubahan pada kondisi khusus dengan gula dan antibiotic lalu …………….. bla…..bla…. dan …….bla….bla.

Senin, 23 November 2009

GUNDAH


Entah ada reaksi chemikalis, biologis apa yang terjadi di dalam tubuh ini, ada kegundahan yang berjalan sendiri, tidak terkontrol oleh kendali otak yang memilikinya. Kegundahan itu selalu muncul di setiap waktu, tidak mengenal tempat tidak mengenal situasi. Konyolnya dari waktu ke waktu terasa kualitasnya makin meningkat, makin menekan menjajah hasrat-hasrat lain yang semestinya hadir dan tetap mengisi kewajaran hidup. Apakah ini sebuah anomali raga yang wajar lantara deraan kegelisahan pikiran. Apakah sedemikian kuatnya kegelisahan pikiran hingga mampu menguasai kendali otak ?


Kondisi seperti itu hadir tanpa diminta dan diharap, ia muncul begitu saja ketika focus pikiran tertumpu pada pekerjaan yang belum juga selesai, kesiapan yang belum mantap, padahal waktu terus berjalan dan kenyataannya ‘jadwal ujuan kualifikasi’ makin dekat. Malam ini aku merenung, mencoba bercanda dengan kegundahan itu, aku berharap bisa merayunya, mengajaknya bersahabat, kalau perlu mengajaknya kembali menyatu dengan ranah dan kendali otakku. Wahai ‘gundah’ siapa engkau ? Maumu apa ? Bisakah kita bersahabat ?


Kegundahan hati konon adalah suatu puncak kegelisahan yang disebabkan oleh adanya problematika hidup yang penuh dengan konflik, rumit dan tidak kunjung terselesaikan. Kalau wajah gundah itu demikian, aku merasa tidak sepantasnya gundah itu hadir padaku. Problematikaku tidak penuh konflik, tidak juga rumit, dan rasanya ada secercah harapan itu akan terselesaikan. Lalu siapa dan macam apa gundahku ? Ya….. mungkin, gundahku hanya merupakan perasaan tidak nyaman terhadap suatu keadaan saja. Konon, gundah jenis ini akan terasa berkurang ketika kita bersosialisasi dan bercerita pada orang-orang terdekat kita yang dimungkinkan kena nasib yang sama.

Sahabatku, hampir lebih tiga jam aku terdiam melanjutkan kontemplasi ini. Hanya terpekur, mencoba meyakinkan bahwa wajah gundahku adalah perasaan tidak nyaman saja. Tidak nyaman menghadapi sesuatu yang banyak orang menggambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan, menegangkan, penuh ketidakpastian hasil. Ya, orang-orang menganggap demikian pada ‘ujian kualifikasi’ dan aku terlarut mengikutinya. Perasaan itu berkurang, ketika aku sesekali waktu bercerita dengan teman-teman yang juga sama sibuknya, gumuhnya, stresnya mempersiapkan itu. Bisa berkurang ketika mendengar, melihat ada teman yang ternyata permasalahannya lebih rumit dibanding kita.


Gundah ini hadir maunya apa ? Gundah konon kata orang pintar, sesungguhnya merupakan bahasa hati dalam mengungkapkan harapan sebaliknya. Kalau kita tahu gundah kita adalah perasaan tidak nyaman, maka sesungguhnya hati kita tengah memberi signal agar kita cepat bergegas menemukan akar permasalahan, lalu mengurangi, menghindari, menuntaskan apa yang semestinya kita lakukan agar tubuh kita, pikiran kita selanjutnya berada pada situasi yang nyaman. Dalam kasus ini, kegundahanku sepertinya ingin mengajak aku untuk focus, rubah pendekatan, dan disiplin diri. Ya, selama ini jujur tidak fokus, banyak berada pada pikiran dan kerja yang tidak semestinya, pendekatannya asal-asalan dan samben, trus disiplinya payah.


Ketika ranah berpikir positifnya jalan, pemahamanku berubah tentang gundah, kita semestinya sadar bahwa menempatkan kegundahan sebagai musuh adalah salah. Kegundahan adalah sahabat baik kita, dokter pribadi kita, dukun nujum kita yang selalu setia mengingatkan laku kita ketika kita berada pada jalur yang tidak semestinya. Ia adalah bahasa hati yang secepatnya harus kita tanggapi, jangan terlambat sebelum bermetamorfosis menjadi realita yang ‘menggoncang jiwa’.


Aku pernah punya pengalaman gundah dalam perjalanan dengan sebuah bus dari Bogor ke Purwokerto. Awalnya perasaan biasa saja ketika aku naik dan duduk di bangku depan dekat supir, lewat puncak kegundahan muncul dan makin menguat ketika mau memasuki Bandung, intuitifku mengajak duduk ke belakang, mundur satu bangku masih gundah, mundur lagi beberapa bangku, dan lucu kegundahan itu berkurang. Demi Allah, semenjak itu aku menjadi yakin bahwa suara hati adalah suaranya bisa kita panuti. Bayangkan, tak diduga tak dinyana di satu kilometer sebelum Bandung, tepatnya di tol dekat Pasir Kaliki bus yang saya tumpangi menabrak truk yang sarat muatan, bus penyok di bagian depannya, penumpang yang duduk 3-4 di depan menjadi korban meninggal dan luka-luka. Percaya ? Maka jangan takut dengan kegundahan kita, kenali maunya raih hikmahnya.

Senin, 26 Oktober 2009

HIKMAH ‘NIAT’


Ketika seorang kerabat bertanya tentang pendapat saya perihal makna ‘niat’, benar-benar saya menjadi termenung, bibir ini kelu, pertanyaan sederhana tetapi ternyata tidak mudah menjawabnya. Bukankah ‘niat’ adalah sesuatu hal biasa yang mewarnai hidup kita, sehingga pertanyaan makna niat seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak lazim dan tidak penting. Tetapi bagi sang kerabat hal itu rupanya tiba-tiba menjadi penting. Mengapa demikian ?

Sikap rasa ingin tahu pada makna niat kerabat itu bermula dari kejadian sederhana yang dialaminya baru-baru ini. Ceritanya diawali ketika dia menukar setengah juta uang miliknya dengan uang baru recehan dan kemudian ‘berniat’ membagikannya kepada saudara, tetangga, dan masyarakat dikampungnya terutama pada anak-anak pada momen lebaran tahun ini. Setelah lewat lebaran dan melakukan pembagian ‘ang pao’, ada hal yang mengusik pikirannya. Dia merasa salah, dan merasa beberapa buntut kesialannya yang belakangan menimpanya adalah berpangkal pada ‘niat’ itu. Ia merasa telah ingkar niat, dengan jujur ia sampaikan apa yang dia niati belum sepenuhnya dia lakukan. Uang yang ditukarkan masih banyak yang belum ia bagi-bagikan.

Perasaan salah makin menjadi ketika ia juga sadar, bahwa ia telah berlaku pilah-pilah dalam memberi uang ang pao itu. Tidak semua anak-anak yang bersilahturahmi padanya diberi ang pao, jumlah yang diberikan juga tidak sama dari satu anak ke anak yang lainnya. Memang dia tidak bisa menghindari untuk melepaskan pertimbangan, misalnya: kedekatan, polah anak, kepatuhan, dan lain-lain. Menurut penalarannya, ia sadar telah melukai harapan beberapa anak-anak kecil yang biasanya saling gethok tular tentang siapa yang pada saat lebaran membagi-bagikan uang. Mungkin ada anak yatim atau yatim piatu atau anak biasa sekalipun yang merasa kecewa dan terbedakan. Padahal mereka tentunya punya hak atas berkah ‘niat’ kita yang sama.

Kata orang bijak niat termasuk perbuatan hati. Sehingga inti niat terletak pada lubuk hati bukan pada ucapan atau perkataan. Sehingga ketika seseorang ‘berniat’ maka sesungguhnya yang terjadi adalah sebuah kontrak ‘seuatu hal’ antara pelakunya yang mencetuskan niat dengan Allah SWT. Di sini butuh kejujuran dan konsistensi kontrak tersebut karena hanya ia dan Allah SWT yang tahu. Dalam kontek lebih lanjut memang semestinya nilai niat menjadi lebih bermakna mana kala ada keselarasan antara kata hati, lesan dan amal perbuatannya. Karena bisa terjadi niat yang baik, ketika kemudian sampai pada tataran praktisnya berevolusi menjadi niat kosong, atau menjadi niat jelek atau juga bisa sebaliknya ada ucapan, perbuatan yang baik tetapi sesungguhnya didorong oleh niat yang jelek.

Niat adalah sesuatu hal yang menentukan nilai suatu perbuatan. Baik dan buruknya nilai suatu perbuatan tergantung pada niat pelakunya. Bahkan, dalam kontek ibadah sering kita diingatkan bahwa tanpa niat, bisa jadi amal perbuatan atau ibadah kita bisa tidak bernilai sama sekali. Hemat penulis niat baik atau suci itu selangkah lebih maju dari pada tanpa niat. Kalaupun niat baik itu kemudian sebagian tidak terlaksanakan atau bahkan tidak terlaksana sama sekali, itu bukan seperti ‘hutang’ yang harus dibayar dengan rentetan resiko bunga-bunganya, bukan pula kemudian beresiko melahirkan buntut kesialan seperti yang dirasakan kerabat di atas.

Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah SAW menegaskan, ''Sesungguhnya Allah telah menentukan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka barang siapa yang berniat melakukan kebaikan tetapi tidak melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya kebaikan yang sempurna. Dan jika ia melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya sepuluh kebaikan sampai dengan tujuh ratus kali lipat. Dan barang siapa yang berniat melakukan keburukan tetapi tidak melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya kebaikan yang sempurna. Dan jika ia melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya satu keburukan.'' (HR Bukhari).

Jadi bagi kerabat yang telah digundahkan oleh ‘niat’ baiknya itu, sesungguhnya tidak perlu resah dan tidak perlu gundah, waktu belum habis untuk meneruskan semangat berbagi. Uang yang belum terbagi ya bagikan saja. Adalah hal biasa ketika sedang berbagi kemudian kita berlaku pilah-pilah dalam memberi besaran nominal ang pao, itu positif saja, karena hal seperti itu bisa menjadi edukasi sederhana pada anak-anak agar ia harus tumbuh baik, sopan, penurut pada orang tua dan lain-lain. Tetapi mengkaitkan segala musibah dengan permasalahan belum sempurnanya menjalankan niat yang telah dikontrakan rasanya juga bukan merupakan hal yang salah. Terlebih kalau itu kemudian melahirkan niat baru untuk perbaikan kekurangan yang lalu. Jadi, teruslah berniat baik, teruslah berintropeksi.

Minggu, 11 Oktober 2009

ORANG YANG BERBAHAGIA


Berbahagiakah kamu ? Begitu tanya seorang sahabat kepada saya di suatu pertemuan semacam ‘reuni’ kecil dari teman-teman sekampung ketika sama-sama mudik lebaran. Saya jadi tercenung mendapat pertanyaan yang tiba-tiba, bukan tidak bisa menjawab, tetapi memang dalam hati kecil kemudian jadi bertanya-tanya. Berbahagiakah saya ? Ya, berbahagiakah saya ? Cukup lama kami diam, baru ketika sang teman kembali mengulang pertanyaan itu, dengan spontan saya jawab: Ya, saya bahagia. Untung saja teman itu tidak bertanya lagi, seperti yang saya takutkan sebelumnya. Rupanya pertanyaan itu cuma berhenti sampai di situ, dan hanya beralih pada teman-teman yang lainnya.
Sepulang reuni kecil itu, pikiran saya justru tidak bisa bergeser dari pertanyaan sederhana teman tentang ‘bahagia’ itu ? Bagi saya spontan menjawab ‘ya bahagia’ sebetulnya hanya untuk menghindari rasa sungkan atau mungkin malu dianggap tidak bisa menjawab lebih nggak enak lagi kalau dianggap ‘nggak bahagia’. Kenyataannya justru hal itu malah melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dan muncul seperti ‘reaksi berantai’. Bahagia itu apa ? Apa ukuran bahagia ? Bahagia untuk apa ? Bahagia untuk siapa ? dan masih banyak lagi pertanyaan.
Bahagia, merupakan kata yang sering menjadi bahan perbincangan kita. Sepertinya itu menjadi termilologi yang setiap orang merasa tahu. Barangkali seperti terminologi ‘cinta’, gampang diucapkan, diungkapkan, divisualisasikan, seolah-olah dimengerti tetapi sulit didifinisikan kebanyakan orang. Yang jelas difinisi bahagia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia dimaknai sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram lahir dan batin (lepas dari segala yang menyusahkan). Dalam pemahaman Islam dalam surat Al-Ahzab: 71 ditegaskan orang yang berbahagia adalah mereka yang mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Dua makna bahagia di atas jelas berbeda, tetapi kalau disimak sesungguhnya memiliki singgungan benang merah yang tidak perlu dipermasalahkan. Bayangkan saja, bahagia kadang juga bisa lahir atau mewakili suatu kondisi yang sederhana, singkat, tanpa landasan ‘ketauhidan’ dan sesungguhnya juga beraroma kesusahan. Seorang anak keluarga fakir miskin dapat makan setiap harinya dia merasa sudah bahagia; seorang bapak merasa bahagia ketika ia mendapat kabar anaknya yang merantau di Padang terhindar dari gempa padahal ia tahu rumah anaknya luluh lantak; seorang kakek katanya merasa bahagia ketika ia bisa melihat matahari pagi diberanda sambil minum kopi. Nah, kalau begitu. Makna bahagia menjadi sangat personal dan kondisional bukan ?
Bahagia sering dikaitkan dengan aspek materi, pangkat, jabatan, popularitas, kecantikan, kebugaran dan lain sebagainya. Ketika seseorang mengatakan saya bahagia karena saya bisa mendapat yang saya inginkan atau seseorang lain mengatakan saya sedang sakit hati kekasih saya ingkar janji, saya orang paling tidak bahagia di dunia ini. Semua menggambarkan suasana ‘kebahagiaan atau ketidak kebahagiaan’ sesaat. Padahal pertanyaan awal ‘apakah anda bahagia ?’ adalah mestinya bermakna kebahagiaan dalam hidup. Sebuah resum apa yang kita dapatkan dan rasakan selama ini, selama hidup.
Sebagai penutup, perenungan tentang bahagia. Saya tertarik pada konsep dalam Islam tentang bagaimana sebaiknya kita selalu berusaha mencari jati diri sebagai hamba (makrifatullah). Memahami ‘kehambaan’ akan banyak membantu kita selalu syukur, tidak sombong dengan perolehan harta, kedudukan, ketenaran, kemolekan dan lain sebagainya. Menyukuri apa yang kita dapatkan setelah upaya kita menghidupi hidup, dan mampu memaknai dan mengevaluasi berbagai peristiwa yang menghiasi hidup kita termasuk yang menyedihkan sekalipun adalah ‘ruh bahagia’.
Bahagia akan bermakna holistik tidak akan bernilai sekedar sesaat, parsial mana kala dihiasi rasa syukur, tidak sombong, positif, ada semangat berbagi dan korektif. Seorang pengkotbah Jum’at mengatakan orang yang ‘bahagia’ adalah orang yang dalam hidupnya bisa dengan iklas memberi nasehat, mampu memlahirkan ide-ide dan member solusi. Nah, pertanyaan saya: apakah anda bahagia ?

Sabtu, 26 September 2009

Hari Fitri dan Semangat Berbagi




Setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, menahan lapar-haus-dahaga, datanglah hari di mana matahari tenggelam digantikan rona bulan tersebul di cakrawala sebagai pertanda hadirnya bulan Syawal 1430 H. Takbir tahlil dan tasmid terdengar di mana-mana, suaranya menggetarkan hati, Esok adalah Hari Raya Idhul Fitri, Hari Lebaran, hari kemenangan bagi mereka yang menjalani puasa dengan iklas, sabar, banyak amal, serta menyempurnakan dengan zakat fitrah.




Lelaku puasa tentu saja diharapkan tidak saja hadir cuma pada bulan ramadhan saja, kegiatan puasa bisa dilanjutkan dengan puasa-puasa sunah sesuai waktunya. Lebih penting lagi semestinya 'ruh puasa' mampu merubah, memperbaiki, membimbing laku kita di hari-hari kehidupan kita selanjutnya. Hakekat puasa terpenting menurut saya adalah : ketakwaan, pengendalian diri, dan semangat berbagi.




Dimensi ketakwaan pasca puasa tentu harus berbeda dengan sebelum puasa, melalui puasa tubuh, pikiran, laku dituntun pada kondisi yang positif, maka diharapkan ketakwaan kita juga berubah ke arah makin positif. Semestinya kesadaran akan 'kemahlukan' kita harus makin mempertajam keyakinan kita akan ke-mahaan-Nya. Sungguh kita miskin tanpa rejekiNya, sungguh kita bodoh tanpa ilmuNya, kita tak berdaya tanpa kekuatanNya, kita tersesat tanpa petunjukNya, kita.............




Pasca puasa juga harus memperbaiki pengendalian diri kita, kita mesti harus seimbangkan antara harapan dan kenyataan, kita harus menyadari power tubuh kita, kapasitas pikir kita, kekuatan hati kita dalam setiap aktualisasi hidup. Mengesampingkan salah satu dari ketiganya bisa mengakibatkan sakit tubuh, sakit pikir ataupun sakit hati. Kalau sesakit itu tidak mengenai kita juga bisa mengenai keluarga terdekat kita, tetangga kita atau masyarakat bangsa kita, yang akhirnya juga berdampak pada kita juga.




Untuk itu, karena kita berada pada suatu sistem hidup, ada kita, keluarga kita, saudara kita, masyarakat bahkan alam semesta ini. Kita sesungguhnya berapa pada interdependensi atau saling berketergantungan 'mahluk' dengan 'mahluk' pada penciptaNya dan kita tidak bisa hidup sendiri. Sehingga sesungguhnya semangat berbagi di dalam kehidupan ini adalah penting.




Masyarakat Indonesia jika dilihat dari konsep kemiskinan di mana masyarakat yang tingkat pendapatan perkapitanya kurang dari 1 US dolar, jumlahnya kurang lebih 40 juta orang. Tetapi jika berdasarkan ketentuan PBB di mana orang dianggap miskin jika berpenghasilan kurang dari 2 US dolar maka jumlah masyarakat miskin di Indonesia membengkak menjadi kurang lebih 100 juta orang. Kondisi yang sangat memprihatinkan bila melihat kenyataan bahwa negara kita dikenal memiliki kekayaan alam yang sangat besar.




Kenyataan di atas, tentu ada sebabnya mengapa bisa terjadi. Hal tersebut salah satunya adalah minimnya semangat berbagi. Kekayaan alam hanya dimonopoli segelintir orang, yang mengatas namakan kepentingan rakyat, wakil rakyat, pemimpin rakyat. Hak rakyat dikorupsi melalui tipu muslihat, tipu daya yang akar ujungnya demi mementingkan diri dan keluarga atau kelompoknya. Sudah saatnya semangat berbagi yang telah dicanangkan pendiri negeri ini lewat UUD 1945 diaktualisasikan. Mendukung pemperantasan korupsi, nepotisme dan monopoli adalah sudah sinal positif 'untuk berbagi'.

Sabtu, 12 September 2009

Malam Lailatul Qodar


Malam ini, ramadlan telah beringsut ke hari yang ke 21. Aku sengaja beranjak dari rumah, ingin ke mesjid AR. Fahruddin di jalan menuju kota Batu, tempat di mana aku sering mendapat hikmah. Aku berkendara, berjalan seirama dengan kumandang orang mengeja ayat Al Qur'an. Di sepanjang perjalanan, walau waktu sudah di puncak malam kulihat orang-orang mulai berbondong-bondong mendatangi masjid, bergegas dengan niat yang kukuh, tidak peduli pada hawa dingin yang selalu membalut kota Malang. Masjid milik kampus Universitas Muhammadiyah Malang ini menjadi berbeda dari hari biasanya, mobil-mobil berjajar di parkiran. Di dalam orang-orang mengisi beberapa sudut-sudut masjid, mereka kebanyakan berzikir, ada juga yang sembahyang,....... tapi ada juga yang sekedar tiduran. Sepertinya semua berharap mendapat berkah 'malam lailatul qodar'.


Aku lihat di seberang masjid, ada orang tua berumur 60 tahunan mendorong gerobag angsle yang disinari lampu teplok. Wajahnya penuh keteduhan, nampak iklas menjalani lakon hidup sebagai penjual minuman khas jawa timuran itu. Kopiah hitam yang sudah mulai kumal adalah piranti yang melengkapi kekhasan tukang angsle yang akhirnya aku kenal bernama ' Zaenal'. Menurut ceritanya ia telah berjualan angsle selama 30 tahun, bekerja untuk menghidupi istri dan 4 anaknya. Kala bulan puasa, mulai berjualan sore menjelang magrib dan sering terpaksa harus berjualan hingga larut malam, seperti halnya malam ini. Pak Zaenal tidak sempat beritifkah atau bertadzabur di masjid, ia hanya iklas menjalani hidup berjualan angsle untuk keluarganya. Sholat tarawih ia lakukan setelah selesai berjualan dan ia lakukan sendiri di rumahnya, sangat jarang dan kecil kemungkinan ia dapatkan nikmat tarawih berjamaah, tapi ia selalu pasrah dan iklas.


Bertemu dengan pak Zaenal si tukang Angsle, berkecamuk dalam benak pikirku. Muncul pertanyaan-pertanyaan. Apakah orang seperti Zaenal masih bisa mendapatkan anugerah dan berkah malam lailatul qodar ? Apakah berkah malam seribu bintang hanya diperuntukan bagi mereka yang berkutat di masjid pada malam-malam dimungkinkan datangnya malam lailatul qodar ? Apakah tidak mungkin orang biasa-biasa saja, yang tidak terang-terangan memburu malam lailatul qodar, beribadah di sela perjuangan hidup yang sulit, tetapi ia selalu tawaqdu menjalani hidup.


Apakah tidak mungkin malam lailatul qodar bersinar di rumah pak Karto si tukang becak yang selalu memuliakanNya di biliknya yang sempit ? Bukankah Islam adalah agama yang manfaatnya berdimensi 'rahmatan lil alamin'. Tentu dengan melihat ranah 'rahmat bagi seluruh alam' itu, saya punya keyakinan bahwa barokah malam lailatul qodar itu dimensi barokahnya juga bersifat 'lil alamin', artinya siapapun yang ada di alam ini sebagai mahluk Allah SWT yang iman dan islam memiliki kesempatan bisa mendapatkannya. Lagi pula hanya Allah SWT yang mengetahui kepada siapa dan kapan barokah malam lailatul qodar akan diturunkan. Rizki memiliki kaki seribu, kalau itu hak kita di manapun ia akan menghampiri kita, pun demikian kalau itu bukan hak kita sedekat apapun ia akan menjauhi kita. Allahu Akbar.