Sabtu, 29 Oktober 2011

30-10




Thirty Ten, bagiku bukan angka biasa, angka itu seperti sebuah angka purba yang telah tinggal begitu lama di lubuk memoriku. Dari dulu setiap mengingat angka itu darahku seperti mengalir lebih deras, kegairahan seperti dinyalakan, sejarah seperti dipertontonkan kembali, ada wajah yang dulu begitu aku miliki, ada aroma yang aku tak bisa melupakan, ada lagu yang sering aku dengar, ada keterpisahan  dan kerinduan yang terpaksa terjadi. Tetapi angka itu tidak pernah terhapus dan tidak akan terhapuskan rasanya. Angka itu yang pasti dari dulu telah menjadi momentum tersendiri, pemberi makna, pemberi cita rasa hidup.  Memang sih sekian waktu pernah ada jeda akibat tak tahu ke mana aku bisa ikut berbagi memaknainya.  Tetapi aku telah mencoba menghidupinya dengan selalu merenunginya ketika stimulasinya dassyat.

Wajarkah itu ? Aku kira itu sangat wajar dan manusiawi. Angka telah banyak mempengaruhi hidup manusia, memang sebagian besar sekedar menjadi penanda saja, menjadi symbol, menjadi nilai, tetapi jangan salah ada juga yang mampu menjadi harapan, menjadi cinta, kebencian, ketakutan dan sejenisnya. Karena menurut ilmu tentang angka (numerology) setiap angka memiliki arti dan makna. Seorang teman pernah iseng membantu nelusuri ternyata bahwa angka 3010 secara prinsip hanya terdiri dua unsur angka yaitu 1 dan 3, karena 0 dimaknai sebagai 1 (mistik).  Angka 1 maknanya membawa sifat matahari, ego, bijaksana, memimpin, pionir, penuh ide, sedangkan angka 3 maknanya membawa sifat venus, cinta, artistic, romantic dan pengertian. Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa orang Cina sangat menyenangi angka 8 ? Ternyata menurut numerology angka ini memiliki sifat Saturnus dan bermakna bisa hemat dan pandai berstrategi. Bagi yang percaya memiliki angka 8 akan membawa mereka ke jalan kesuksesan dan kejayaan.  

Malam ini kembali tiba-tiba angka itu melintas di benak pikiranku, suasana sekelilingku begitu tenang cuma ada suara gemericik air kolam di belakang rumahku, di langit bulan tak kelihatan hanya sesekali terlihat kelelawar berterbangan mengajak pikiranku tuk merangkai kata-kata.  Ada bayang-bayang di ujung angka itu yang kemudian tak mau pergi, seperti ditemali oleh kesadaran masa lalu. Momen khusus mesti menjadi terminal perenungan, guliran waktu pertambahan umur harus bermakna makin mendewasakan kita, bukan sebaliknya makin tua makin kekanakkan. Bersyukur adalah hal yang layak mesti kita lakukan atas semua pengalaman, kenikmatan, anugerah kesehatan dan kebugaran yang selama ini kita rasakan. Tanpa masa lalu kita bukan apa-apa. Juga mesti kita optimis, melihat ke masa depan kehidupan kita, kita layak untuk selalu berdoa agar Tuhan tetap menganugerahi kesehatan, rejeki, dan kebahagiaan untuk  orang-orang tercinta kita. Masa depan adalah harapan yang mesti kita perjuangkan.

Pada saat terkesima baying-bayang , juga sekaligus melayani hasrat merangkai kata-kata, seorang teman bijak kebetulan bertutur lewat sms padaku, ia sampaikan bahwa karena dalam hidup tidaklah semua yang kita inginkan bisa terpenuhi maka kita harus banyak belajar menikmati dan mensyukuri yang kita miliki sekarang. Memang sih, menurutku dalam menjalani hidup 'proses' sepertinya lebih bernilai dari pada hasilnya. Karena proses lebih 'personal' mengekspresikan peran dan perjuangan kita sendiri, sedangkan hasil itu sudah ada campur tangan Yang Kuasa. Jadi ketika kita tidak bisa memiliki apa yang ingin kita miliki , tidak perlu ada sesal dan kecewa, nikmati 'usaha' yang telah kita lakukan, syukuri bahwa kita telah diberi kesempatan, pengalaman adalah guru yang baik Perenungan ini untukku sendiri ...., tapi sebagai mangayubagyo maka ….. lewat angin malam aku tulis sejumput keikutsertaan kebahagiaan …….
………………………
aku bersyukur kembali menemukanmu
seperti tetes embuh menyejukan kegelisahan purba
seperti kutemukan kembali anggrekku yang lama hilang
seperti aku temukan kembali jalan bermimpi
meraih keindahan sisa waktu

aku pesan pada cakrabala
tuk hadirkan hangat mentari
aku titip bisikan pada angin pagi
tuk nyanyikan tembang kebahgiaan
rangkaikan pelangi yang paling indah
semoga……..
esok anggrekku mekar mempesona
makin bermakna

Tidak itu saja….
Semoga
Masih ada hari tuk menyelesaikan harapan …..
Masih ada waktu tuk lebih baik
HB2U ! wish u the best.........

Kamis, 13 Oktober 2011

TOPENG-TOPENG



Aku pernah menulis puisi yang judulnya ‘hidup adalah topeng-topeng’, intinya dulu aku pernah berpikir bahwa adalah sebuah kewajaran kalau manusia hidup sering menggunakan topeng. Ketika ia merasa takut tapi malu untuk dikatakan takut maka ia berpura-pura menjadi sosok yang berani, ketika ia merasa sedih tapi tidak ingin kelihatan sedih maka ia menjelma menjadi sosok yang tegar dan gembira, ketika ia merasa malu termasuk miskin maka ia menutupinya dengan bergaya sebagai orang kaya, ketika ia merasa kurang tinggi maka ia memanipulasi dirinya agar tampak tinggi. Semua bukan sekedar kepura-puraan, tapi lebih mengarah pada kebutuhan untuk hidup, hal tersebut terbukti telah menenangkan dan ada pula yang menyenangkan serta bisa diterima, perilaku kamuflase tersebut terjadi di mana-mana, kapan saja, dilakukan oleh siapa saja, contoh kongkrit adalah hal yang dilakukan perempuan yang kita cintai, bibir mereka sesungguhnya tidak merah, lalu dipoles merah menantang, pundak mereka tidak datar mereka sumpal dengan spon di bajunya.  Tapi semua kamuflase itu kita terima dan bahkan menjadi menyukainya.

Anggapan wajar terhadap kebiasaan hidup manusia untuk menyembunyikan realita yang dialami dan dirasakan dalam hidupnya atau menggunakan kamuflase (baca: bertopeng) untuk menutupi kelemahan dirinya justru sekarang menjadi sebaliknya. Menurutku bangsa ini justru makin terpuruk karena makin maraknya mentalitas dan sikap tidak punya rasa malu, munafik dan tidak takut berbohong dan bersumpah palsu. Topeng manis tetap terpancar walau sudah terang benderang keburukan terungkap menyangkut dirinya, misalnya saja kasus pada beberapa petinggi negeri ini walau jejak korupsi telah terkuak, bukti-bukti terpaparkan, saksi-saksi bernyanyi tidak cuma satu orang, mereka masih bisa menampiknya dan berkelit menyatakan tidak atau ‘beraksi menyatakan ‘lupa’’ terhadap hal-hal yang disangkakan padanya. Dan sepertinya sudah menjadi ‘orkestra’ yang baku akan menyuarakan kekompakan nada dan irama baik polisi, jaksa, pengacara, dan hakim ikut mengalunkan tetabuhan yang jauh dari harapan masyarakat untuk memerangi penyelewengan.

Kehidupan berbangsa dan bernegara  menjadi seperti penuh dengan sandiwara, penuh kepalsuan, penuh topeng-topeng yang menutup wajah yang sebenarnya. Hukum dan perundang-undangan bisa dipelintir-pelintir, bisa diatur sesuai negosiasi dan kesepakatan yang dicapai atas prinsip ‘saling berbagi’.  Tidak heran ‘mereka yang punya uang’, walau sumbernya tidak berasal dari gaji halalnya, tetap saja uang itu yang bicara dan menentukan. Bisa juga karena keburukan sudah meranah ke mana-mana mereka yang tersangkut bisa saling takut menakuti, saling ancam mengancam untuk membuka semuanya. Sehingga semestinya mereka yang harus menegakan hukum dan aturan di negeri ini, justru sebagian besar berperan sebaliknya yaitu mengerogotinya dan merusaknya. Alhasil kondisi carut marut ini sepertinya akan sulit berubah, korupsi akan terus berjalan mungkin cuma bermetamorfosis menyesuaikan keadaan, benar kata kata banyak demonstran bahwa membersihkan kotoran tidak bisa menggunakan sapu yang kotor, harus menggunakan sapu yang bersih.

Mencari sapu yang bersih, atau mencari orang-orang yang bersih sesungguhnya tidak susah. Saya termasuk orang yang yakin masih banyak orang yang bisa memerangi ‘korupsi’. Tetapi kalau dalam proses pecariannya selalu saja melibatkan orang-orang yang tidak bersih maka proses ‘kontaminasi’ akan selalu terjadi. Masuknya ‘orang bertopeng’ akan menyuburkan proses tawar-menawar, proses pengotoran dan intimidasi. Setidaknya yang paling halus dengan memasukan lebih banyak orang-orang mereka yang ‘bertopeng’ kesantunan tetapi sesungguhnya bermental serigala, sehingga  ketika terjadi identifikasi, konfirmasi, musyawarah mencari bukti-bukti merekalah yang dominan. Sepuluh orang baik dengan 7 orang berkebaikan semu atau cuma bertopeng moralis dan anti korupsi, bisa menegaskan kenyataan ‘merah’ untuk disepakati menjadi berwarna ‘hijau’, mana kala tiga orang yang benar-benar baik tetap pada pendirian berwarna ‘merah’ sesuai realita maka pada akhir penyimpulan akan kalah karena skornya 7 lawan 3. 

Guru spiritualku pernah bertutur, bangsa ini harus mampu melahirkan generasi yang memiliki kekuatan cinta, ketekunan, kesabaran dan penguasaan diri agar bisa terhindar dari malapetaka kehancuran sebagai bangsa. Bangsa ini adalah bangsa yang tidak mencintai negerinya yang elok, luas, kaya raya, subur makmur, rukun sentosa. Hutan dibabati, tambang dieksplorasi gila-gilaan, pencemaran lingkungan di mana-mana semua untuk keinginan instan dan kemakmuran segelintir orang. Kita telah lama terbiasa tidak tekun dan sabar menjaga dan mengelola alam, negara tidak bertanggung jawab menjalankan amanat undang-undang dasar memerintahkan pengelolaan sumberdaya alam untuk sepenuhnya demi kemakmuran rakyat. Jujur harus diakui eksekusinya adalah dikelola untuk segelintir atau sekelompok orang, bahkan justru dampak negatifnya yang untuk masyarakat seperti: banjir, tanah longsor, pencemaran, pemiskinan, dan lain-lain.

Kita merindukan lahirnya generasi yang   memiliki kecintaan pada negeri dan sanggup memberikan cinta untuk kejayaan pertiwi, generasi yang ditandai kemampuan mengalahkan keinginannya untuk mementingkan diri sendiri; mereka adalah generasi yang berketekunan yang akan memberi kekuatan memecahkan kesulitan dan pantang putus asa; merupakan juga generasi berkesabaran yang akan memberi kekuatan untuk menanggung segala sesuatu dan tidak pernah merasa disakiti karena apapun keadaannya tetap ada usaha dan ikhtiar; semua juga merupakan generasi yang mampu menguasai diri dengan tanda-tanda mampu menguasai napsu keduniawian sehingga mereka selalu mau berbagi untuk sesame dan selalu bersyukur kepada Yang Kuasa. Generasi tanpa ‘topeng’ ini suatu saat pasti akan lahir, karena hidup dalam kepalsuan, kebohongan, kepura-puraan, omong kosong bukan tawaran hidup yang menggembirakan dan menentramkan. Kegelisahan pasti akan melahirkan peruba