Minggu, 31 Juli 2011

STADIUM TIGA



Hiruk pikuk politik di bangsa ini sungguh memprihatinkan, kata Guru aku keadaannya sudah masuk penyakit politik stadium tiga. Sebuah stadium yang menggambarkan kondisi penyakit politik di mana kebobrokan sistemik merambah ke mana-mana, ada pelanggaran aturan secara jamaah oleh para penyelenggara negara, dirasakan dampaknya oleh masyarakat, lalu muncul kegelisahan, muncul keberanian mengekspresikan bahkan melakukan demontrasi dan perlawanan. Stadium ini adalah stadium berbahaya, stadium yang membutuhkan penanganan ekstra hati-hati dan perlu tindakan cepat sebelum gejolak kegelisahan menjelma menjadi ‘gerakan tuntutan’ merambah ke semua lini masyarakat agar pucuk pimpinan negeri ini mundur sebelum waktunya. Sejarah telah mengajarkan pada masyarakat Indonesia ketika Soeharto dilengserkan melalui gerakan reformasi.


Bangsa ini, sesungguhnya memiliki toleransi yang demikian besar, memiliki tingkat kesabaran yang tinggi dan dengan mudah bisa memaafkan. Sifat ini pula yang barangkali menjadi ‘hal’ yang sengaja dimanfaatkan oleh politisi-politisi yang tidak bertanggung jawab. Mestinya sikap toleransi, sabar dan mudah memaafkan tidak harus menjadikan bangsa ini lemah, ketegasan sikap terhadap yang salah dan benar-benar melanggar aturan harus dijalankan agar tidak menjadi preseden buruk, tidak memberi efek jera bagi orang yang melanggar aturan sehingga tak segan melakukan pelanggaran berulang. Kalau dibiarkan terus ya kondisinya seperti sekarang ini, banyak pelanggaran terjadi, banyak orang jelas-jelas salah dengan tersenyum menyatakan tidak bersalah. Korupsi di negeri ini jelas tinggi, tapi mereka yang terindikasi korupsi ‘sering bisa lolos’ dari jerat hukum karena uang dan kekuasaan.


Sangat memrihatinkan dan tentu menyinggu harkat rakyat dan bangsa ini ketika justru dari seorang Ketua DPR gagasan bertoleransi pada koruptor digulirkan. Gila, bodoh, konyol, tidak mengerti, …..dan masih banyak lagi komentar orang-orang pada pelontar ide itu. Bagaimana tidak demikian, pada saat semua orang, media terkaget-kaget pada pengungkapan kasus-kasus yang menimpa tokoh-tokoh partainya yaitu Partai Demokrat oleh kader Demokrat sendiri, di mana kecenderungan masyarakat berharap besar SBY melaksanakan janjinya menjadi yang paling depan dalam memberantas korupsi, orang ini justru melawan arus untuk bagaimana koruptor dimaafkan saja dan KPK dibubarkan saja. Jadi tidak heran banyak orang kemudian memaki-maki, bahkan ada yang berpikiran bahwa ide itu sebagai jalan keluar menghadapi kebutuan partainya terkena masalah korupsi yang lebih besar yang tidak menutup kemungkinan akan terkuak.


Keberanian manyuarakat dan perorangan memerangi kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah sekarang muncul di mana-mana, tanpa tedeng aling-aling bahkan berani menyebut ‘SBY telah gagal’, ‘SBY bohong’, dan ada yang mulai menyuarakan ‘SBY turun’. Mudah-mudahan tidak ada ‘pemakjulan’ presiden lagi, mudah-mudahan ada penyelesaian cermelang untuk bangsa ini keluar dari sesakit politik. Kata Guruku, sesungguhnya bangsa ini kalau mau keluar dari permasalahan cukup menjalankan dua hal yaitu ‘penegakan hukum’ dan ‘mensejahterakan masyarakat’. Kata beliau bangsa ini tidak saja suka melanggar dan bermain-main aturan dan hukum (sakit stadium satu) tapi juga hal tersebut sudah menjadi kebobrokan tersistem (sakit stadium dua), stadium ketiga menggambarkan kondisi penyakit politik yang makin sistemik kronis, ada pelanggaran aturan secara jamaah oleh para penyelenggara negara, dirasakan dampaknya oleh masyarakat, lalu muncul kegelisahan, muncul keberanian mengekspresikan bahkan melakukan demontrasi dan perlawanan gejalanya seperti yang terjadi sekarang. Kalau tidak ditangani secara bijak dan memuaskan rakyar, penyakit politik ini bisa masuk ke stadium empat, yaitu pemerintah negara ini kolep dan rakyatlah yang kembali mengambil pimpinan kekuasaan tertinggi.


Langkah apa yang harus di ambil pemimpin bangsa ? Aku sendiri buta soal ini, banyak orang mengemukakan ‘sulit’ untuk sekarang ini. Karena ‘pimpinan’ bangsa sudah tersandera oleh problem Partai yang dilahirkannya dan yang selalu dibelanya yang makin terendus kebusukan korupnya padahal semestinya sebagai pimpinan ia tidak boleh lagi berlaku demikian dan harus netral, juga tersandera oleh ‘para koruptor’ kelas kakap yang mungkin ‘ikut berpartisipasi’ menjadikan ‘pimpinan’ bagi dirinya, juga tersandera oleh ‘acaman buka-bukaan’ lawan politik dan mitra koalisi misalnya saja menyangkut ‘pemakzulan lewat skandal bank’ jika aib merekajuga dibuka. Artinya jika ia memerangi secara riil korupsi, membuka secara transparan kasus-kasus besar, dan menindak tegas para pelakunya sama saja menggali kuburannya sendiri. Bagaimana nasib negeri ini ? Masa harus dibelenggu oleh sakit politik terus menerus.

Senin, 25 Juli 2011

PROdikMAS




Aku punya seorang guru, yang menurutku berbeda dengan guru-guruku yang lain. Sang guru ini kalau dicermati dari cara berpikir, ucapan, tindakan benar-benar menggambar seorang mahaguru yang diharapkkan kebanyakan orang. Orang Jawa bilang ‘sembodo’, apa yang diucapkannya sebagai ajaran bukan sesuatu yang kosong, cenderung klop antara yang diucapkan dengan tindakannya, dan pikirannya terbiasa tertantang untuk menjawab permasalahan riil di lingkungannya, tidak mau duduk manis di atas singgasana akademiknya yang sudah purna. Membaca pikirannya kita diajak untuk menyingsingkan lengan baju, mengasah kecerdasan, turun kemasyarakat, bersifat humanis berbaur menggali kearifan lokal, memupuknya dengan iptek yang ada untuk mendayakan, memandirikan dan mensejahterakan masyarakat.


Sang guru ini, kepada siapapun dekat, menghargai setiap orang dan sering menjadi penggagas, inspirator, motivator gerakan yang ruhnya bertumpu pada keinginan terwujudnya ‘peradaban wilayah membudaya dan teraktualisasi di masyarakat’. Upaya merengkuh ‘profesional pendidik masyarakat atau PROdikMAS’, lalu menyatukan gerak langkah sedang beliau lakukan. Beliau selalu menekankan bagaimana semestinya ada sinergitas dan integritas kerja dalam pengabdian kepada masyarakat, jangan sepotong-potong, sendiri-sendiri, kasuistik dan individual. Mudah-mudahan gerakan ini bisa menjadi virus yang cepat menular, menjadi warna baru gerakan pendidikan. Pendidikan memang seharusnya mencerahkan kehidupan masyarakat, harus menjadi penerang kegelalan, harus menjadi pendobrak kebuntuan, agar bisa berperan demikian perguruan tinggi sebagai ibu kandung ‘iptek’ harus berani mengaktualisasikan nya di masyarakat.


Sangat sulit barangkali, menemukan guru yang demikian di jaman seperti ini. Kebanyakan maha guru lebih asyik dengan berkutat di masyarakat kampus saja, sangat kurang aktivitas di masyarakat nyata. Problem yang banyak disentuh adalah problem-problem yang dibangun oleh pikirannya sendiri bukan problem riil yang ada di mayarakat. Jadi amat banyak pendidik di perguruan tinggi yang sesungguhnya tercerabut dari peran totalitas yang mesti disandangnya untuk mengembangkan Tri Darma secara berimbang. Mereka masih banyak cuma menjalankan darma pendidikan pengajaran dan penelitian, darma pengabdiannya sangat minus untuk tidak dibilang tidak ada.


Aku lebih angkat topi pada sang maha guru ini, karena semangatnya menghimpun orang-orang perguruan tinggi yang memiliki perhatian lebih pada aspek pengabdian kepada masyarakat, bahkan kemudian memopulerkannya dengan sebutan yang menarik yaitu ‘PROdikMAS’. Prodikmas adalah akronim dari Profesional Pendidik Masyarakat. Suatu sebutan yang layak sebagai penghargaan untuk orang-orang yang melawan arus peran di perguruan tinggi yang member keseimbangan tiga darma dengan semangat mengabdi pada persoalan riil di masyarakat. Tidak mudah untuk menjadi prodikmas kareana tuntutannya tidak sebatas menguasai iptek tapi harus humanis, mau susah bayah, iklas walau tanpa imbalan insentif sekalipun.


Menjadi prodikmas berarti menjadi guru yang dapat digugu dan ditiru. Bisa menerima kearifan local masyarakat dan tidak memaksakan teori-teori yang dipahaminya tetapi berupaya mengkonstruksikan sesuai kondisi dan harapan masyarakat supaya bisa diterima dan terbangun sebagai buah pikiran yang lebih terevaluasi. Menjadi prodikmas harus memiliki semangat tinggi, karena merubah masyarakat tidak bisa dilakukan secara cepat, secara instan tetapi butuh waktu dan kesabaran. Prodikmas harus menguasai hal-hal praktis, karena hal itu akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Mengajari masyarakat naik sepeda sangat naïf bila pengajarnya tidak bisa naik sepeda.


Sungguh akan sangat berarti bila kelahiran prodikmas terjadi di mana-mana, anggaplah separoh pendidik di perguruan tinggi bisa menjadi prodikmas atau ‘aktor perubahan’ di masyarakat maka perubahan hidup, kemadirian dan kesejahteraan masyarakat akan mudah tercapai. Tidak itu saja, kesuksesan pendidik mengetahui realita di masyarakat juga akan memberi kekuatan pada proses ‘pendidikan pengajaran’ nya di bangku kuliah, sehingga mahasiswa juga memahami hal riil masyarakat te3mpat nantinya ia kembali setelah lulus. Juga hal tersebut akan melahirkan ide-ide penelitian yang rasional dan cemerlang yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan lagi penelitian yang mendaki-daki tapi tidak ada manfaatnya bagi masyarakat sekitarnya.

Sabtu, 23 Juli 2011

NYANYI SENDU DI TORAJA


................
kabut menyapa pandangku
dingin mengeryutkan pori-pori sekujur tubuhku
sejauh mata memandang cakrawala seperti beludru membalut bukit kapur
aroma bebungaan, cericit burung dan dendang tari anak-anak sekolah
aku terdiam di antara 'tongkonan' tempat kami singgah
dan merebah
terasa seperti di surga yang mengawang di atas awan
membuatku terkesima
di sini lagi-lagi kutemukan diriMU

................
sepanjang jalan sering aku lihat
cengkrama kerbau dengan burung sawah bersama petani yang tangguh
kadang di balik bilik kayu perempuan tua wajahnya bergurat kesabaran
memilin-milin kapas menjadi benang
menggerakan alat penenun dengan tangan dan kakinya yang perkasa
teman-temanku terharu biru

....................
di ujung perkampungan Pala'tokke ada Rambu Solo
orang-orang berkumpul di balai tongkonan
di rusuk tengah puluhan tanduk kerbau bicara ketokohan sang empunya
aku dengar nyanyi sendu di timpa gemerisik daun bambu
mewartakan kedukaan
lalu ada geliat darah puluhan 'todung' dan babi-babi
yang menggelepar di antara batu-batu megalitik
lalu doa-doa dilafalkan
gerak tubuh, tatap mata, kata hati
ditambatkan pada yang tak kasad
: persembahan padaMU

aku tak bisa berhitung
betapa besar pengabdian Tanah Toraja pada kematian
pada nyanyi sendu hilangnya orang tercinta
pada harapan kedamaian alam baka
.....................
di sini aku dibisiki
tak ada beda
semua kepercayaan menggariskan 'korban'
sebagai ujian keimanan
....................
untuk hidup ......
kekal bersamaMU.

Kamis, 07 Juli 2011

PUASA BICARA



Seorang teman yang biasanya banyak bicara, banyak berpendapat lantaran pikirannya benar-benar banyak gagasan, kalau dalam diskusi terasa sering pikirannya mendominasi dan mudah dipahami yang lainnya, tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat dan terasa banyak memilih diam. Apapun kondisinya ia lebih memilih diam, tidak banyak bicara, hemat gagasan, banyak member kesempatan orang lain bicara. Banyak orang jadi bingun merasakan hal tersebut, karena tidak ada penjelasan maka muncul berbagai spekulasi; bahwa sang teman lagi marah besar, lagi kecewa, lagi sakit hati, lagi sakit gigi, lagi ngambek, lagi protes dan berbagai alasan lain yang dipikir nyambung.


Sang teman pada suatu kesempatan pernah berbisik-bisik kepadaku, mengatakan bahwa apa yang didukakan teman-temannya kepadanya adalah salah semua, karena ‘kediaman’ dia sesungguhnya hanya sebuah ‘eksperimen’ kecil dia untuk mencoba ‘puasa bicara’ yang disarankan guru spiritualnya untuk dilakukan di luar kebiasaan puasa pada umumnya. Hikmah spiritual menyangkut apapun yang namanya puasa merupakan kegiatan mengendalikan diri, terutama mengendalikan dorongan napsu dan dorongan-dorongan hasutan setan untuk melakukan tindakan yang tidak disukai oleh Allah SWT.


Puasa bicara secara ideologis pernah dilakukan oleh Siti Maryam AS yang dikenal sangat santun dan saleh, kemudian harus menerima kenyataan ia ditakdirkan punya anak walau belum bersuami dan masyarakat mempertanyakan dan menghujat kenyataan itu. Atas perintah Allah SWT Maryam diminta untuk puasa bicara, tidak perlu menanggapi pertanyaan dan hujatan masyarakat. Perlakuan buruk masyarakat akhirnya bisa dihindari dan bahkan masyarakat bisa dicerahkan aspek spiritualitasnya dengan menyadari bahwa apapun bisa saja terjadi bila Allah SWT menghendaki.


Orang bijak mengatakan bahwa ‘puasa bicara’ adalah tindakan pengendalian yang dapat memperindah diri, karena dengan pengendalian bicara seseorang bisa menahan diri untuk tidak lepas kendali. Orang yang terlalu banyak bicara bisa lepas kendali, sehingga tanpa sadar menyampaikan hal yang bisa menyakiti hati orang lain, karena kata-katanya bersifat membuka aib, melaknat, menghina, kotor dan merendahkan. Kata-kata sering bisa lebih tajam dari pedang, bisa melukai yang lebih menyakitkan, bisa menimbulkan dendam tujuh turunan. Omongan yang tidak terkendali bisa membuat orang kehilangan kecintaan, kasihsayang, kehormatan, kepercayaan, tidak itu saja bisa menggiring seseorang masuk ke hotel prodeo yang berjeruji besi karena menjadi masalah hukum.


Puasa bicara pada kontek yang lebih konteplatif dengan nuansa kebeningan hati sesungguhnya merupakan upaya berdiam diri, ‘tafakur’ agar sensitifitas batin kita lebih terasah. Dengan memilih mengistirahatkan mulut berarti member ruang untuk hati kita yang lebih leluasa bicara banyak, lalu kita yang harus menjadi pendengar setia, sehingga bisa menajamkan mata, telinga dan pikiran kita sehingga mampu melihat, mendengar dan memikirkan hal-hal yang selama ini tidak mampu atau tidak sempat kita lihat, dengar, dan pikirkan. Ruh intropeksi bisa kita hembuskan terus menerus sehingga kita tidak bebal, tuli dari suara hati kita sendiri. Semangat spiritual bisa kita sentuhkan agar kita makin dekat dengan Allah SWT dan makin menjadikan kita selalu bersyukur, tidak gelisah terus-menerus karena masih merasa kurang dan kurang, masih merasa benar dan benar, masih merasa pintar dan pintar.


Kesalahan bicara bila kita rajin mengevaluasi diri tentu bisa saja terjadi pada kita, termasuk kesalahan bicara pada orang yang kita cintai. Mungkin saja kesalahan ini klimak yang tak tertahankan dan merupakan akumulasi ‘kemenerimaan’ sepihak yang tak kesampaian untuk diucapkan. Bisa saja karena kebebalan sepihak yang memang sulit menerima kritikan, sepihak yang toleransinya kurang, sepihak yang amat sensitif. Untuk itu sebaiknya semua orang juga sadar punya kewajiban ‘bercermin’, mencari sisi minus dari dirinya yang bisa memicu omongan orang yang menyakitkan. Cerna terlebih dulu ‘kata yang kita klaim menyakitkan’ itu, jangan-jangan itu memang sebuah kritik konstruktif dan sebuah kejujuran yang justru sedang dan akan menyelamatkan kita.