Sabtu, 30 Oktober 2010

SARJANA NGANGGUR ?


Melihat di Koran foto fenomena orang pencari kerja yang berjubel, ngantri dan banyak yang Nampak loyo saya menjadi trenyuh. Terlebih membaca data statistik yang dikeluarkan BPPS total pengangguran negeri ini sudah di angka 8.59 juta, terasa memprihatinkan karena sudah menjadi pemahaman umum bahwa kenyataannya justru lebih besar bahkan bisa berlipat. Trus yang lebih konyol 14.24 % atau 1.22 juta dari penganggur itu justru penganggur terdidik atau ‘sarjana’. Memprihatinkan !!


Kenyataan makin bertambah tahun makin banyak orang pinter (baca: sarjana) yang justru mungkin masih luntang lantung di negeri ini belum memiliki pekerjaan yang tetap. Bayangkan tahun 2009 masih 700.000, dalam setahun pengangguran naik setengah juta orang. Salah siapa ini ? Apakah ini berarti bahwa lembaga pendidikan tinggi (PT) sudah gagal dalam proses edukasinya. Atau salah pemerintah yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan karena gagal menarik investasi lantaran ribet dengan urusan politik,


Kata seorang motivator usaha kewirausahaan muda dari Jogja MW , kalau dilihat dari kewajiban pemerintah menurut undang-undang harus memenuhi hajat masyarakat banyak maka pemerintah yang keblinger dililit problem politik. Tapi kalau kita tidak ingin menyalahkan pemerintah, trus bila muatan edukasi dan motivasi kewirausahaan di PT bisa ditingkatkan untuk menciptakan sarjana wirausaha dan bukan sarjana pencari kerja.


PT harus mempunyai orang-orang yang memiliki komitmen, spirit, kalau perlu jadi contoh penggerak dan pelaku kewirausahaan. Orang-orang ini yang bertugas memprovokasi civitas akademika kampus terutama mahasiswa dan alumni untuk tertarik dan terjun di dunia kewirausahaan. Orang-orang itu diharapkan mampu membangun ‘bisnis center’ atau ‘inkubator bisnis’ di kampus yang bisa jadi sumber income PT juga.


Melalui incubator ini diharapkan akan tercipta wirausaha baru yang terdidik yang secara otomatis sangat memungkinkan mereka juga bisa malah membuka lapangan kerja baru yang dapat ikut mengurangi angka pengangguran kita. Bahkan kalau ‘inkubator’ bisnit PT itu benar-benar mampu memaksimalkan perannya maka produk dari proses incubator itu bahkan bisa menjadi kepanjangan tangan peran mereka di masyarakat. Jadi akan tercipta efek ‘karambol’ atau ‘snow ball’ pada bidang kewirausahaan.


Gulu laku di bidang ini yang mampu membangun usaha dari kecil hingga sukses membangun usaha berbasis produk dari laut dari Jawa Timur member satu rumus untuk menjadi wirauswaha sukses yaitu beranilah untuk ‘out of the box’. Untuk dapat menjadi pengusaha sukses orang berlu berpikir di luar kelaziman cara berpikir orang pada umumnya. Harus mau keluar dari tradisi yang ada, harus berani keluar dan meninggalkan romantisme kondisi yang lama dan mungkin menina bobokan kita.


Saya kira ‘out of the box’ merupakan bahasa sederhana yang di agama Islam sesungguhnya tidak lain adalah ‘hijrah’. Sang Rosul kita jelas mengajarkan kepada umatnya untuk hijrah agar tercapai suatu perubahan yang lebih baik, hijrahlah untuk memperoleh hasil kerja yang lebih baik, hijrahlah untuk mendinamisasikan kemandegan, hijralah untuk membuka kebuntuan pikiran kita, hijrahlah untuk mendapatkan kualitas hidup yang berkemajuan.

Jumat, 22 Oktober 2010

'BIADAB', BUKAN MANUSIA


Jam sepuluh lebih sepuluh menit di bulan sepuluh tahun dua ribu sepuluh menjadi momentum istimewa bagi segelintir orang yang memang sengaja ‘mengistimewakan’ kejadian waktu serba sepuluh itu. Ada yang untuk momentum pernikahan, ada yang untuk melahirkan anak, ada yang untuk lamaran, buka usaha, lounching produk dan lain-lain. Keinginan menjadi istimewa, beda, mendorong geseran waktu yang sesungguhnya biasa diimagekan sebagai yang istimewa. ‘All of Ten’ menjadi kebanggaan, tonggak sejarah, sesuatu yang beda dengan lainnya. Untuk meraih sensasi dan kebanggaan itu ada saja orang mau bersusah payah, mengeluarkan biaya besar dan menempuh tantangan.

Menurut berita, di sebuah kota besar ada pasangan muda kaya yang menjadikan all of ten menjadi tonggak kelahiran anak pertama mereka yang sebetulnya belum genap 9 bulan dalam perut ibunya. Dengan teknologi kebidanan masa kini hal seperti itu bukan hal sulit, kelahiran berarti bisa dipercepat sesuai order waktu, bayi yang lahir belum waktunya bukan masalah karena ditopang teknologi incubator yang menjamin pertumbuhan yang baik. Tentu kejadian itu, melalui diskursus dan prosedur klinis yang dapat dipertanggung jawabkan dan difahami ke dua belah pihak termasuk biaya dan resiko sebagai sesuatu yang dibenarkan. Pada batas ini, walau sesungguhnya waktu kelahiran mahluk semestinya adalah otorita yang di atas, rasanya kita masih bisa mentorerir atas dasar telaah ilmu dan teknologi yang dikuasai manusia.

Pada guliran waktu serba sepuluh, tanpa disengaja aku baca berita yang diendus Komnas Perlindungan Anak bahwa pada tahun 2009 lalu tercatat 186 bayi dibuang dan 68 sudah dalam keadaan meninggal di Indonesia. Tahun 2010 belum ada data, mungkin meningkat karena kabarnya kesusahan masyarakat makin meningkat. Berita di bulan sepuluh ini saja saya catat ada 5 bayi di buang, dimulai penemuan di daerah Tambora (6/10), Depok (7/10), Tangerang (15/10), Batu Ceper (15/10) dan Kalideres (17/10). Kemudian di China di temukan 21 mayat bayi di sungai se sebuah desa. Gila !!! Manusia makin tidak beradab saja rasanya. Makin banyak manusia menjadi bukan manusia. Kenapa bayi tidak berdosa diterlantarkan begitu saja, padahal ‘sang bayi’ adalah buah dari perbuatan senang orang yang melahirkannya, yang semestinya harus mempertanggungjawabkannya.

Orang bilang bayi dibuang bisa jadi atas alasan: ekonomi, rasa malu, aib, dan kelainan jiwa. Faktor ekonomi konon merupakan faktor utama yang menyebabkan hal itu, mungkin saja benar, dalam situasi sekarang di mana program KB yang dulu digalakkan pemerintah sekarang terkesan melempem kelahiran bayi seperti tidak dibatasi lagi walau dengan slogan sekalipun. Banyak di kantung-kantung kemiskinan kita jumpai pasangan keluarga yang tidak ber-KB, anak mereka banyak sementara ekonomi mereka buruk. Daerah seperti ini rawan sebagai daerah yang menyumbangkan meningkatnya jumlah anak jalanan, anak tak terdidik, anak putus sekolah. Hemat saya, anak-anak yang tumbuh dan berkembang tanpa tanggung jawab orang tua akan pemenuhan makanan bergizi, pendidikan, kesehatan, masa depan sama saja dengan tindakan orang tua yang ‘membuang’ anaknya juga.

Atas alasan apapun membuang darah daging sendiri adalah tidakan tidak berperasaan, sudah gelap mata, gelap pikiran. Manusia yang kehilangan rasa, kehilangan pikiran maka sesungguhnya ia telah kehilangan kemanusiaannya atau ia bukan lagi manusia. Karena beda antara manusia dengan mahluk Allah lainnya terutama pada adanya rasa dan pikiran. Binatang saja banyak yang berperangai penuh kasih dan selalu melindungi anaknnya dari mara bahaya dan gangguan lingkungan sekitarnya. Mestinya perilalu manusia harus di atas semua itu, karena manusia mesti sadar bahwa anak adalah titipan Sang Pencipta, tanggung jawab dan sekaligus masa depan kita.

Sadar dan bersyukurlah ketika kita diberi kenyataan memiliki kesempurnaan sebagai mahluk, bisa makan dan minum dengan sempurna, bisa bergerak, bisa tumbuh dan berkembang sempurna, bisa adaptasi berbagai cuaca, dan bisa pula berketurunan. Tidak sumua manusia diberi kesempurnaan, ada yang sakit, cacad, hilang pikiran, ada pula yang tidak berkemampuan untuk mendapatkan anak. Jadi mendapat anak adalah barokah, adalah rejeki, dan merupakan hal yang harus disyukuri, berarti kita diberi kemampuan meneruskan generasi, kita terpilih dalam proses evolusi jagad raya ini. Kelahiran adalah pertanda keberlangsungan hidup, pertanda kehidupan baru, masa depan baru yang mungkin kita belum tentu mengalami. Jadi jangan hakimi kehidupan masa depan yang bi bawa anak-anak kita dengan menghentikan paksa.

Kata Khalil Gibran bahwa anak adalah ‘anak panah’ dan kita adalah ‘gendewa’nya. Anak punya hidup dan dunianya sendiri-sendiri, tugas kita adalah mengarahkan anak panah pada sasaran yang menurut kita tepat, baik, lalu melesatkannya dan selesai. Soal anak panah itu benar mengenai sasaran, sedikit meleset, melenceng jauh adalah hak anak panah dan pilihan mereka masing-masing sesuai dengan tantangan mereka dan harapan mereka yang sangat mungkin berbeda. Yang penting jangan mematahkan anak panah itu, meluluh lantakannya, menghancur leburkan tanpa berkesempatan merasakan bentangan gendewa kita dan melesat sebagai anak zaman. Kalau hal itu terjadi berarti kita telah gagal sebagai manusia, dan kita bukan manusia.

Senin, 11 Oktober 2010

JANGAN KENTUT DARI MULUT (JATUTRILUT)


Aku tertarik mengikuti cerita bersambung harian Kompas berjudul ‘Matahari’ karya Remi Silado, sebuah cerbung yang menggambarkan kekayaan pengetahuan budaya si penulisnya. Setiap pagi cuma tulisan itu yang aku baca habis loper koran melemparkan di teras rumahku, yang lain seperti berita, opini cuma aku baca sekilas, jatah bacanya siang atau kadang kalau memang lagi ada waktu longgar ya sama-sama dibaca tapi tetap belakangan setelah menyimak cerita yang selalu terpampang di halaman 15 bawah. Matahari bercerita tentang seorang perempuan Indo Belanda, penari eksotik, terkesan berparas cantik dan bergaya nakal. Satu hal yang membuat aku tertarik pada cerita ini adalah seringnya tercetus kata-kata menggelitik yang bisa direnungkan kebenarannya.

Seperti yang terlontar sebagai gumaman sang tokoh ketika ia berdebat tentang makna erotik dengan eksotik menyangkut tarian yang diperagakannya, ia mampu memperbobot nilai tari jawa ‘dengan keindahan tubuh’ tapi tidak erotic. Lalu mengomentari petinggi militer Jerman yang omongannya tidak bisa dipercaya dengan ungkapan ‘kentut dari mulut’. Sekedar berbagi cerita saja sang Mata Hari ini dengan eksotika tarinya mampu menjadi maestro tari di Eropa dan sekitarnya bahkan akhirnya dilamar untuk menjadi ‘agen rahasia’ Prancis dan Jerman. Kembali ke ungkapan kentut dari mulut, ini menarik untuk direnungkan, sesungguhnya sederhana tapi kena. Maka tulisan renungan ini saya coba angkat dengan judul 'JATUTRILUT' maksudnya Jangan Kentut Dari Mulut.

Sang Pencipta membuat organ tubuh kita berbeda-beda, berbeda pula fungsinya. Jadi kalau kentut yang semestinya dari dubur kemudian dialihkan ke mulut jelas hal yang keliru. Tetapi menurut saya maknanya tidak sekedar itu, tidak sekedar menguatkan tesis orang tua jawa yang melarang anaknya sendawa atau ‘antob’ karena itu tidak sopan, tidak patut, sebab buang angin mestinya lewat bawah bukan lewat mulut. Lebih dari itu karena ungkapan itu bisa dimaknai kita mesti pandai menjaga mulut, orang jalanan bilang ‘jangan asal njeplak’ atau ‘jangan asbun atau asal bunyi’. Gunakan mulut kita untuk bicara hal yang baik, yang benar, yang berguna, yang bertanggung jawab, yang bisa memberi ketenangan lahir dan batin siapapun yang mendengarkannya.

Kalau kita tidak bisa menjaga mulut, lalu misalnya dengan mudah kita berbohong, berkata-kata kasar, jorok, sering menebar fitnah, bergunjing keburukan orang, bahkan yang sederhana omong yang tidak perlu dan tidak pada tempatnya adalah penggambaran kita sudah kentut lewat mulut. Karena itu akan menebarkan kebusukan yang lebih busuk dari kentut, kentut tidak sampai lima menit akan hilang tertiup angin. Tetapi kebusukan dari mulut akan bertahan untuk waktu yang lama, bahkan akan menjadi pemicu hal-hal yang dibenci Allah dan bisa merusakan ketenangan lahir dan batin orang yang terkena sasaran kebusukan mulut itu.

Kata guru spiritualku, lebih baik kita diam dari pada kita bicara hal-hal yang buruk, dari pada kita melontarkan ungkapan jorok, berbohong, menghasut orang, bergunjing atau bergelisah. Berpikirlah sebelum bicara, timbang baik buruk apa yang akan kita ucapkan, pilih kata yang tepat yang menggembirakan atau yang menyejukkan kita sendiri dan orang lain yang mendengarkannya. Bayangkan juga perasaan kita bagaimana kalau kita yang mendapatkan omongan yang tidak mengenakan, kita yang jadi korban, kita yang teraniaya. Jangan mengikuti ego, walau kita sedang berkuasa, sedang berwenang, sedang di atas angin. Lebih baik sadar bahwa hal itu sewaktu-waktu bisa berubah, bisa terbalik seratus delapan puluh derajat dalam sekejap jika yang di atas menghendaki.

Orang bijak lain bilang ‘bicaralah dengan hati’ karena hati selalu diselimuti kejujuran, selalu setia mengingatkan kita untuk menghindari keburukan yang selalu menjadi pintu setan untuk bercokol di hati kita. Kenali dan akrabi suara hati kita, integrasikan dengan lisan yang terjaga kalau bisa menjadi lisan yang mulia, yang selalu bisa berbagi ayat Allah, berbagi nikmat Allah, lalu bisa menjelmakan semua itu ke dalam tindakan nyata. Sabda Rosullullah ‘ Orang yang paling bijaksana adalah mereka yang mampu menjaga lisan dan perbuatannya’. Tidak menebar kebusukan lewat mulutnya, atau kentut lewat mulut kata Mata Hari di cerbung Kompas.