Minggu, 29 April 2012

PERSONAL BRENDED



            Dalam kehidupan kita, sering kita mendengar ‘julukan atau label’ yang melekat atau diberikan pada kelompok atau perorangan, misal cap terhadap anak-anak Malang sebagai ‘Singo Edan’, atau suporter Persebaya sebagai ‘Bonek”, label itu seolah menggambarkan anak-anak Malang bisa sangat galak, suporter persebaya sangat berani ‘nekat’ modalnya. Label perorangan sering pula kita dengar, missal si Tanto itu ‘Kompor’ kalau ada dia suasana pasti jadi panas dan heboh, si Tantri itu ‘Prangko’ gampang nempel pada siapa saja, Si Rendra seniman Si Burung Merak, kalau tampil sangat menawan. Sesungguhnya semua orang bisa punya label, atau dalam kontek positif semestinya punya ‘label’. Tapi pernahkah kita merenungkan tentang ‘label atau julukan’ yang melekat pada kita ?  Apakah pernah kita perduli dengan ‘label’ kita ?

            Seorang teman bertutur kepada saya, “saya sih orangnya suka berbagi”. Pada keseharian, sang teman ternyata benar punya kecenderungan bisa berbagi dengan teman-temannya, ia lihat sang teman mudah ringan tangan membantu, mentraktir, memberi sesuatu, berbagi sesuatu walau hanya sederhana berupa informasi. Dengan suka rela begitu ia mendapatkan informasi penting untuk teman-temannya, ia sempatkan kirim berita melalui sms ke seluruh teman-temannya. Berbeda sekali dengan Dodo seorang teman lainnya yang cenderung ‘Cuek’, segala hal menyangkut informasi dan lain-lainnya cenderung semua untuk sendiri dan tidak mau dibagi. Ketika label sudah terbentuk, maka kecenderungan pembentukan karakter personal tentu akan diwarnai label tersebut. Kalau kita faham akan hal ini, maka sesungguhnya ‘personal branded’ menjadi sangat penting dan bisa menjadi strategi pengembangan diri.

            Selayaknya kita perlu merenungkan dan melakukan pencarian ‘branding’ atau ‘label’ yang layak melekat pada kita. Label biasanya berkait dengan pandangan hidup seseorang, visi dan misi, cara berbicara, perilaku, kegemaran, baik menyangkut hal sederhana maupun hal komplek menyangkut hal itu. Karena itu sesunmgguhnya ‘personal branded’ bisa dibentuk, bisa ditata sesuai dengan harapan seseorang.  Saya jadi ingat sang teman yang bertutur betapa indahnya bisa berbagi, sesungguhnya ia tengah melebel dirinya ‘orang yang suka berbagi’. Ternyata semangat itu begitu kuat terbangun dan sering menjadi corak kehidupan hariannya. Sang teman bila tidak ada hal yang benar-benar menghalanginya akan dengan senang hati berbagi dengan siapapun, termasuk orang yang baru dikenalnya. Suatu saat saya merasakan sendiri ketika pulang dari Surabaya bersama dalam satu bus, karena keterbatan tempat duduk kami duduk terpisah. Begitu duduk ia terlihat menyawa orang disampingnya, lalu terlihat asyik berbincang, sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa karena orang yang sebangku denganku tertidur pulas. Kebiasaan berbagi cerita sang teman, menjadikan perjalanan yang bagiku menjenuhkan karena macet di Porong justru bagi dia terasa tidak terasa, tahu-tahu sudah sampai tempat tujuan karena keasyikan berbagi cerita. Karena konsep berbagi tidak harus berbagi material, berbagi informasi dan pengetahuan adalah juga tindakan berbagi.

            Ketika kita menemukan ‘label’ yang kita inginkan melekat pada diri kita, maka dorongan pikiran, kata-kata, tindakan dan ukuran kepuasan secara otomatis akan berkiblat ke label tersebut. Label ‘destroyer’ akan menggiring seseorang pada tindakan cenderung merusak, pikirannya, kata-kata pilihan, tindakan akan diwarnai hal yang merusak dan rasa kepuasan juga menuntuk ‘puas’ kalau ada yang rusak. Oleh karena itu, kata Guru Spiritualku personal brended bisa pula konstruktif untuk membangun pribadi yang baik. Misalnya ketika kita melabel diri kita sebagai ‘Si Bijak’, maka secara otomatis cenderung akan melahirkan keinginan mewujudkan klaim label itu. Yang pasti kita akan mefahamkan tentang apa yang dimaksud bijak dan bagaimana bisa berpikir, berkata-kata, bertindak dengan bijak dengan penuh keiklasan. Kalau seseorang ‘mengklaim atau diklaim’ sebagai ‘Si Lamban’ maka pikiran, kata-kata, tindakan dan perasaan akan mentolerir hal-hal yang menjadikan mereka lamban. Jadilah mereka benar-benar lamban.

            Membuat label diri dan mengaktualkannya adalah hal penting sebagai strategi hidup, hidup jangan digulirkan saja tanpa ‘disain’ bentukan seperti apa ‘diri kita’ hendak dikembangkan. Ibarat membuat bangunan sebagai tempat tinggal kita, maka perencanaan menyangkut disain, tata ruang, hingga pilihan cat dan dekorasi rumah menjadi hal yang sangat membantu dalam mewujudkan rumah impian itu. Mari kita belajar mencari dan menentukan ‘personal branded’ macam apa yang layak untuk diri kita. Lalu kita renungkan dan pikirkan bagaimana langkah-langkah untuk mewujudkannya. Jadikan label itu hidup dalam pikiran kita, lahirkan daya dan power yang dasyat. Keberanian untuk terus mengevaluasi capaian menuju ‘label’ yang kita inginkan dan mencoba terus memperbaikinya akan makin mendekatkan pada ‘harapan’ yang kita cita-citakan.