Jumat, 21 Mei 2010

BAHAGIA



Bahagia apakah sama dengan senang ? Begitu pertanyaan seorang teman kepadaku. Menurutku konsep tentang bahagia dan senang jelas berbeda, bahagia memiliki 'value' yang lebih tinggi ketimbang 'senang'. Bahagia adalah sebuah penyikapan menerima terhadap apa yang kita dapatkan, kita alami, baik menyangkut hal menyenangkan atau menyedihkan. Sedangkan 'senang' konotasinya lebih ditekankan pada penyikapan akibat terpenuhi keinginannya kita. Orang yang hartanya melimpah ada bisa jadi merasa senang, ia bisa memenuhi berbagai keinginannya, tetapi ingat bahwa keinginan akan muncul dan muncul, dan harapan selalu datang, jadi belum tentu mereka bisa merasa bahagia. Mereka akan bahagia ketika kesenangan didapatkannya diikuti dengan rasa selalu bersyukur.

Jadi sikap bahagia itu bila kita cermati ia memiliki makna spiritual, suatu penyikapan yang berdimensi transendental, suatu keiklasan bersyukur pada Sang Kholiq yang menggiring pada ketenangan lahir dan batin, sementara senang tidak, ia hanya di pusaran lahir saja. Jadi sesungguhnya berbahagia itu kuncinya bagaimana kita mampu menyeiramakan pengalaman lahir dengan kesadaran batin. Orang merasa susah berbahagia karena ukuran bahagia itu dibingkai dengan rasa ingin terpenuhinya semua keinginan, padahal keinginan itu selalu muncul dan bisa berubah-ubah. Jadi bingkainya merupakan doktrin yang mustahil tercapai. Kondisi ini akan memunculkan sikap rasa tidak puas, tidak percaya diri, rasa kuatir, dan akan makin kuat ketika pengalaman masa lalu menjadi bumbu justifikasi munculnya keragu-raguan dan kebimbangan untuk dapat mencapai kebahagiaan.

Bahagia dan tidak bahagia sesungguhnya kalau kita cermati itu adalah merupakan pilihan. Bahagia dan tidak bahagia adalah sebuah penyikapan kita menyangkut pengalaman hidup yang kita alami, baik yang menyenangkan maupun menyedihkan. Karena sebuah pilihan, maka bahagia dan tidak bahagia adalah produk dari 'pelabelan' kita sendiri. Orang senang dan orang sedih bisa sama-sama bahagia ketika mampu menemukan pemaknaannya. Hakekat kausalnya, bahagia datang bukan dari luar diri tetapi datang dari dalam diri, artinya kalau kita berharap kebahagiaan itu harus datang dari luar diri kita maka hal itu adalah keliru.

Untuk itu belajar menyikapi 'pengalaman' yang menyertai kehidupan kita, melahirkan semangat untuk memberi ruh 'spiritual' pada hal-hal itu adalah hal penting yang harus kita lakukan. Sehingga hal negatif yang sebelumnya sering timbul, seperti rasa tidak puas, kekuatiran, kegundahan harus kita konversi menjadi 'energi' untuk menata ulang sikap-sikap, harapan, cara kerja, dan komunikasi spiritual kita. Kalau kita tidak mampu mengkonversinya hal negatif itu maka ia akan menjadi energi perusak yang akan membawa kita mudah menyerah, jatuh sakit, depresi, atau hal-hal lain yang menjauhkan kita dari ranah kebahagiaan.

Setidaknya itulah, sebuah perenungan yang tiba-tiba menyeruak di benak pikiranku yang perlu aku ladeni pasca menyelesaikan beberapa aktivitas di dua kota Surabaya dan Malang yang menyedot pikiran dan tenagaku akhir-akhir ini. Ternyata ketika aku mencoba belajar membangun kesadaran diri, intropeksi terhadap makna 'kemanusiaan' , belajar melabel secara filosofi dan spiritual pengalaman hidup, mengkonstruksi bangunan keluarga, menjaga persahabatan dan membangun komunikasi sosial, lalu juga konsistensi menjaga tubuh agar sehat dengan tetap hash, sesekali juga menghibur diri dan memanjakan diri, adalah hal yang membuat aku 'bahagia'. Bagaimana anda ?

Kamis, 06 Mei 2010

MARAH BOLEH KOK



Ada orang, atau sekali-kali aku mau gunakan terminologi 'engkau' saja ya. Hmmm.... Engkau bukan pemarah, engkau peramah, sopan dan dengan mudah memberi senyum pada mereka yang dikenalnya. Semua orang merasakan ketika berinteraksi dengan engkau, yang terasakan adalah kesan tipologi wajahmu yang mampu mengelola rasa yang menyejukan dan lebih kooperatif. Itulah kelebihan engkau. Seribu satu teman yang pernah melihat engkau berekspresi marah, apalagi mimiknya seperti di gambar atas.

Kebanyakan orang tentu setuju bahwa wajah yang teralu akrab dengan tipologi tertentu dan jarang mengekspresikan penggambaran emosi lain terutama yang bertentangan dengan emosi biasanya, Misalnya ekspresi marah, sedih, dan lain-lain. Tentu keadaan ini akan menyulitkan orang melihat, memahami dan kemudian membedakan yang bersangkutan sesungguhnya pikiran dan kecamuk batinnya sedang pada ekspresi apa. Bayangkan, jengkel pun masih tersenyum, sakit perut tidak mengeryit, mau pinsanpun masih bisa bergurau, tidak setuju tapi tidak ada mimik menolak, rindu tapi biasa-biasa aja. Bagaimana orang mau menerjemahkan kondisi sebenarnya ekspresi model sosok seperti ini. Dan itu aku jumpai pada 'engkau' .

Menariknya, bahwa sesungguhnya walau engkau lekat dengan ekspresi harmoni tertentu itu, seperti ramah, mudah tersenyum, tapi ada yang lupa teramati orang lain yaitu kadang 'pilihan kata' yang diucapkan, nada dan penekanan serta pola komunikasi yang muncul masih menunjukan kelugasan emosi yang sebenarnya, belum terbiasa mengikuti mimik muka yang sudah mewatak. Tetapi jangan heran bahwa fenomena inipun, kadang ketika dikonfirmasikan ke 'engkau' , maka sering dengan mimik yang sejuk meyakinkan akan menampiknya, bahwa itu tidak benar. Tetapi kalau sabar sedikit dan tekun aku ajak engkau bicara, maka 'emosi' yang sebenarnya akan keluar dari bibir, atau terekspresi dengan sendirinya.

Sesungguhnya 'sosok wajah' dengan harmoni kelembutan, keramahan tentu menjadi dambaan setiap orang normal yang ingin mempunyai 'nilai' secara sosial. Kenapa ada kursus kepribadian yang perlu diikuti oleh pejabat publik ? Ya, alasannya tidak jauh dari diperlukannya perangai yang terjaga untuk 'bernilai' menyenangkan, mengesankan orang lain. Tetapi menata perangai tidak harus mengelabui diri sendiri , mengorbankan perasaan diri sendiri, dan buntutnya juga merugikan diri sendiri. Ekskpresi jujur yang kontra dengan 'perangai lembut' tidak haram untuk ditampilkan, kita diberikan anugerah rasa dan ekspresi 'marah, cemburu, sedih, ' untuk bisa kita kelola menyempurnakan hidup.

Omong-omong, rasanya aku juga cenderung seperti engkau (masa ? ramah nggak, sopan hmmmm, murah senyum wo..., mulai menyembunyikan perasaan ya). Tapi.....He....he...he, itu karena sekarang aku banyak belajar pada kau ! Kemarin aku ketemu guru lakuku ia menasehati aku, mungkin bisa kau adopsi juga mungkin. Beliau berkata: "Berekspresi marahlah ketika engkau sedang marah, bersedihlah engkau saat ingin bersedih, tertawalah engkau kalau ingin tertawa. Yang penting engkau sadar, pada siapa, atas alasan apa serta kapan kau harus marah, harus sedih serta harus tertawa". Menyembunyikan harapan dan keinginan ekspresi tubuh sama saja memendam energi potensial tubuh yang pada saatnya bisa jadi bom waktu.

Senin, 03 Mei 2010

DENGAN SENANG HATI


Aku punya dua orang teman yang perangainya benar-benar bertolak belakang, kalau disitir dari cerita pewayangan barangkali dapat ditelusuri mungkin secara genetis mereka berdua tertirah dari dua trah gen yang berbeda yaitu : trah Astina dan trah Kurawa. Kalau keduanya bertemu selalu terjadi 'perang' yang tentu di landasai akibat perbedaan aktivitas ekspresi gen yang berbeda itu. Walau kelihatan diampun, mereka sesungguhnya sudah berseberangan pikirannya, yang satu cenderung berpikir positif dan yang lainnya berpikir negatif.

Berbagi cerita tentang perilaku teman yang jelek dari trah Kurawa saya pikir bukan hal yang utama, tidak baik menggunjingkan kejelekan teman. Maka ijinkan aku mau cerita tentang teman yang satunya saja, yang cenderung memvisualisasikan sosok yang mungkin bisa jadikan 'guru laku'. Konon lebih baik kita belajar dari pengalaman orang lain dari pada kita harus mengawalinya, harus kita akui berjalan di jalan yang sudah terbangun lebih mudah dari pada kita harus mengawali membuat jalan sendiri, kita harus menebas semak belukar, mengikis batu karang dan lain sebagainya.

Sisi baik teman yang ingin aku soroti pada tulisan ini adalah mengapa ia nampak melakukan banyak hal selalu bisa dilandasi dengan rasa 'senang hati' ? Siapapun mengakui bahwa satu teman itu, memiliki banyak sahabat dan bisa berkomunikasi baik dengan siapapun, sekalipun dengan mereka yang berseberangan pemikirannya. Ada hal menarik ketika aku bertandang ke tempatnya, Ada lukisan semi abstrak motif kaligrafi yang awalnya saya pikir itu benar-benar kaligrafi arab, eh... ternyata tulisan biasa. Ketika kita simak benar, akan terbaca: .....don't try to have thing that you love, .....but try to love thing that you have.

Dari kata-kata dalam lukisan itu, aku mulai mengajak tukar pikiran tentang hidup dan kehidupan. Menurut sang teman baik ini, semangat utama yang perlu dikembangakan untuk merengkuh kebahagiaan yang seluas-luasnya adalah ' bersyukur'. Orang sering lupa pada apa yang dimilikinya, apa yang telah dianugerahkan Allah padanya. Benar, ketika kita telah memdapatkan 9 dari 10 hal yang kita inginkan, pikiran kita tidak tercurah pada mensyukuri 9 yang telah kita peroleh tetapi justru terfokus pada 1 hal yang belum kita dapatkan. Dengan membiasakan bersyukur, rasa ketenangan akan terbangun dan hal itu akan membuat kita bisa menjalani hidup dengan hati yang senang.

Sang teman menyitir kata-kata sang bijak Imam Gozali yang intinya mengatakan: "Kebahagiaan yang sebenarnya dan lagi utama terletak pada kemenangan kita dalam memerangi hawa napsu dan menahan kehendak yang berlebih-lebihan". Maka dari itu membangun diri harus dilihat dalam kontek 'tidak untuk sendiri'. Pengembangannya perlu dengan semangat intropeksi, cobalah melakukan apapun dengan 'senang hati' agar feedbacknya juga bersenang hati. Upayakan kita sukses dengan melibatkan dan mengajak orang lain juga menjadi sukses. Berbagilah menyangkut hal yang baik, agar kebaikan itu tumbuh seperti virus merambah ke mana-mana, sehingga atmosfir kita makin menyenangkan.

Laku bersenang hati lahir dari semangat mencoba menikmati (baca: mensyukuri) apapun yang harus kita alami. Kalau kita tidak rajin menyuburkan rasa suka hati, siapa lagi yang harus melakukan. Bayangkan kit berada dalam bus tanpa ac lalu terjebak dalam kemacetan, kita diburu waktu untuk suatu acara, dan kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Kalau kita jengkel, mangkel, marah akan banyak energi positif hilang dan kita akan dikuasai energi negatif yang makin menyesakan dada, sakit hati dan waktu jadi terasa panjang. Tetapi ketika persepsi kita rubah dengan semangat 'nikmati aja', misalnya dengan mengajak diskusi hal yang menarik dengan teman di sebelah kita, atau mengabadikan (memotret, menulis) momen itu atau menelepon teman, maka suasana hati tidak akan begitu gundah, lalu kita belajar bisa menerima kenyataan tak terduga itu. Itulah hidup.