Senin, 28 Juni 2010

DASYATNYA KEPERCAYAAN

Aku tanpa sadar bicara pada anak-anakku ketika sedang santai makan bersama di sebuah rumah makan kesukaan kami, .........bahwa hidup ini sesungguhnya seperti kita sedang membangun dan meraih kepercayaan. Bicara begitu anak-anakku cuma diam, aku sadar mereka belum cukup mengerti untuk memahami pemikiran yang lebih jauh. Cuma anakku sulung yang mulai tanggap tetapi tetap bertanya maksud perkataanku. Aku perjelas, bahwa hidup kamu akan makin berarti kalau makin banyak orang-orang di sekitarmu mempercayaimu. Artinya apa ? Bahwa kepercayaan adalah hal, harkat tertinggi yang harus diraih manusia agar bisa meraih kebahagiaan lahir dan batin, dunia akherat.

Jadi kalian sekolah juga sebetulnya tidak sekedar mencari dan belajar ilmu, tetapi intinya kalian tengah belajar bagaimana membangun kepercayaan. Nilai yang kalian peroleh sesungguhnya sebuah refleksi 'tingkat kepercayaan guru' kepada kalian bahwa kalian benar-benar belajar. Pun demikian di rumah, rumah sesungguhnya juga merupakan sarana belajar yang paling tepat untuk kalian belajar membangun kepercayaan. Kalau kalian tidak mau memanfaatkannya keliru, sebab di tempat inilah sebagian besar waktu kita dihabiskan, lalu toleransi proses pembelajarannya juga paling longgar.

Artinya seharusnyalah setiap anggota keluarga sadar betapa pentingnya orang-orang terdekat kita dalam upaya membangun kepercayaan yang lebih besar. Sehingga semestinya hal itu mendorong memanfaatkannya secara maksimal rumah sebagai tempat belajar untuk saling percaya mempercayai. Anak yang tidak dapat dipercaya oleh orang tua dan saudara-saudaranya bagaimana akan dapat dipercaya oleh orang lain ? Nilai kepercayaan sering berkaitan dengan kejujuran, etika, tanggung jawab, sopan santun, keramahan, tepo sliro, semangat berbagi, bijaksana, ketekunan, kemampuan, keuletan dan lain-lain. Semua itu memerlukan proses untuk mendapatkannya, tidak bisa begitu saja berubah.

Kenapa orang tua selalu menekankan 'jangan bohong' karena kejujuran dan tanggung jawab itu penting untuk membangun kepercayaan. Pintar saja tidak cukup untuk bekal hidup, harus ada upaya untuk memoles dan menghiasi kepintaran dengan 'soft skill' berupa keramahan dalam kata-kata, keramahan dalam buah pikirnya, keramahan dalam bekerja, keramahan dalam berbagi. Tanpa itu jangan harap ada kepercayaan. Egoitas diri, sombong, tidak toleran, mau menang sendiri adalah 'pil manis' yang akan meluluh lantakan kepercayaan orang lain kepada kita, dan itu harus kita jauhi.

Orang dewasa yang sudah berkeluarga, bekerja, menduduki jabatan, banyak kolega, sahabat, teman bisa dianggap orang dewasa itu telah merengkuh tingkatan 'tertentu' menyangkut nilai kepercayaan orang lain pada dirinya. Orang itu bisa berkeluarga berarti ia telah dipercaya pasangannya, keluarga pasangannya, tidak mungkin kalau tidak dipercaya. Ia bisa diterima kerja, menduduki jabatan juga lantaran kepercayaan orang yang menyeleksinya serta dukungan dan kepercayaan teman-teman sekerjanya. Pun demikian menyangkut banyaknya kolega, sahabat, teman hal itu bertanda iorang itu mampu membangun rasa kepercayaan pada tanaman sosial yang lebih luas.
Lebih jauh dari itu bahwa kepercayaan kalau kita cermati bisa menjadi energi yang dasyat, hal tersebut bisa dipelajari bahwa dalam sejarah manusia semua nabi-nabi memiliki kepercayaan yang agung, iklas kepada Sang Pencipta hingga implikasinya mereka mampu melakukan tindakan supranatural yang tidak mungkin dilakukan orang lain, seperi tahan api, mampu membelah samudra, mampu menghidupkan yang mati dan lain-lain. Dalam kehidupan manusia sekarang proses penyembuhan sering lebih berdaya akibat dilandasi kepercayaan yang besar terhadap penyembuhnya. Pencapaian maha karya dan kesuksesan usaha diyakini sangat dipengaruhi oleh kepercayaan pelakunya untuk melakukannya. Tidak heran agama mensyaratkan penganutnya untuk 'mengimani' atau 'mempercayai' terlebih dulu 'inti ajaran' sebagai landasan sikap.

Sebuah pencapaian harkat, derajat hidup yang menggambarkan betapa pentingnya nilai 'kepercayaan' dapat kita telaah dari gelar yang disandang Rosulullah Muhammad SAW. Beliau adalah junjungan kita, teladan kita yang bisa menjadi 'kaca benggala' atau cerminan ke mana kita sebaiknya membentuk diri. Rosulullah mendapat gelar 'Al Amin' yang artinya orang terpercaya, kenapa tidak 'orang terpintar', 'orang terhebat', 'orang terunggul' ? Berarti menjadi terpercaya atau membangun kepercayaan adalah hal paling substasial dalam hidup agar kita bisa mengaktualkan berkah hidup baik sebagai kalifah di muka bumi secara lebih baik. Kehilangan kepercayaan adalah cobaan hidup yang harus kita hindari.

Kamis, 24 Juni 2010

BIJAKNYA ANGGREK



Kata orang jaman sekarang hidup menjadi serba susah, dunia tempat kita tinggal bersama kondisinya makin merusak. Hutan-hutan digunduli, bumi digagahi isinya hingga carut marut rupanya. Konon pada mulanya niat dan slogannya untuk atas nama kesejahteraan manusia, tetapi kenyataannya justru sebaliknya, karena etika dan kebijaksanaan tidak dipedulikan. Nyatanya justru tindakan itu membuat kerusakan sistem alam, yang menyebabkan hilangnya keseimbangan, dan keteraturan alam. Dimulai dengan naiknya suhu panas bumi, hilangnya keanekaragaman hayati, berkurangnya sumber energi, terjadinya bencana alam di berbagai belahan bumi, instabilitas ekonomi, instabilitas keamanan dan lain-lain.


Refreksi kondisi yang sulit itu di negeri ini bisa dicermati mulai dari dirasakan terjadinya serentetan bencana, munculnya problem pangan, mundurnya tingkat kesehatan masyarakat dan lingkungan, besarnya angka pengangguran, meningkatnya keresahan masyarakat, maraknya perilaku disharmoni sosial dan lain-lain. Pada kondisi seperti ini upaya untuk hidup dan keluar dari krisis tanpa semangat bersama untuk memperbaiki kerusakan alam akan makin memparah situasi, memperburuk keadaan serta makin mengancam kehidupan manusia.



Rasanya juga harus disadari bahwa membangun semangat bersama bukan merupakan hal yang mudah dilakukan, terlebih menyangkut hal yang dalam jangka pendek belum tentu dapat dirasakan hasilnya, menyangkut hal yang dalam melakukan memerlukan semangat mau berkorban dan berbagi. Kesadaran itu perlu menjadi alasan bagaimana masing-masing orang terdorong untuk mulai melakukan secara individual. Dalam kontek ini, untuk survival hidup pada masa sulit kita bisa belajar pada cara tanaman anggrek menghadapi lingkungan yang membuat stress.



Tanaman anggrek secara umum di alam hidup pada lingkungan yang marginal, miskin air dan hara. Ada beberapa cara tanaman anggrek yang bisa menjadi pelajaran 'bijak' menghadapi kondisi stress lingkungan, misalnya dengan cara anggrek melakukan aktifitas metabolisme minimal, serta ditunjang daya adaptasi morfologi dan fisiologi yang cermelang. Karena lingkungan hidupnya cenderung selalu kekurangan air, tanaman anggrek beradaptasi hingga memiliki kemampuan regulasi air yang bagus, ia membangun 'seperti' kanal air di organ akar yang disebut 'vilamen', yaitu jaringan lapisan terluar akar yang memiliki kemampuan menangkap dan menyimpan air, juga di setiap bagian tanaman ini memiliki jaringan parenkim yang juga beragam fungsi termasuk bisa untuk menimbun air dan makanan yang mudah dimobilisasi sesauai kebutuhan.



Karena itulah kalau ada orang mengatakan tanaman anggrek adalah tanaman yang manja, hal itu salah besar. Tanaman anggrek adalah tanaman yang paling tidak manja sehingga tidak heran keluarga tanaman ini termasuk keluarga tanaman yang memiliki anggota jenis terbesar dibandingkan keluarga tanaman lain, karena paling adaptif. Urutannya adalah orchidaceae, asteraceae dan leguminoceae. Bayangkan saja, misalnya tanaman anggrek dimasukan dalam kemasan lalu dipaketkan selama satu minggu bahkan bisa dua minggu, tanaman tersebut masih mampu hidup ketika ditangani dengan baik oleh yang menerima paket. Pada kondisi sulit air dan hara anggrek masih tetap memberi keindahan pada lingkungannya. Untuk tanaman lain tentu sudah lalu dan kering.



Marilah secara individu kita belajar bijak dengan memulai melakukan hemat air, kurangi suhu bumi dengan ikut berpartisipasi menghijaukan tempat hidup kita ini kembali yaitu dengan memulai menanam tanaman di sekitar rumah kita, kampung kita, kota kita. Lakukan tidakan-tidakan kecil, kebaikan-kebaikan sederhana karena dari hal seperti itu kita bisa mendapat perubahan besar.

Rabu, 23 Juni 2010

PLASTISITAS PIKIRAN



Seorang teman bertutur tentang kegelisahannya yang baru-baru ini muncul. Kegelisahan sederhana, menyangkut komunikasi sosialnya. Ia mengeluh mempunyai sahabat terpercaya yang tiba-tiba berubah sikapnya entah karena sebab apa. Sahabat yang tadinya selalu berpikir positif, tiba-tiba dirasuki oleh semacam kegelisahan dan sikap tidak positif dalam menanggapi sesuatu hal. Komunikasinya jadi tidak harmoni karena sedikit-sedikit respon dan tanggapannya terasa tidak mengenakan. Misalnya ketika ia sedang tidak enak badan, dan cenderung diam karena menahan sakit, hal itu sudah diartikan 'mendiamkan' sang sahabat itu.

Sang teman merasa bahwa ia sepertinya sudah tidak dipercaya oleh sahabatnya, hal yang biasanya dilakukan berdua, sekarang dibutuhkan orang ketiga agar terasa 'aman'. Apa yang dilakukan, apa yang diucapkan respon dan tanggapan dari sahabatnya membuatnya serba salah. Komunikasi jadi berkurang dengan sendirinya, terlebih ditambah kesibukan masing-masing juga memang padat. Sebelumnya sepadat apapun kesibukan 'say hello' masih menjadi komitmen mereka. Jadi suasana sekarang membingungkan bagi sang teman. Mendekat salah dan menjauh juga salah.

Tentu perubahan sikap sahabat itu tanpa pemikiran panjang pasti ada sebabnya. Sayang sang teman tidak tahu pasti dan tidak mampu menemukannya dan juga belum berani menanyakan kepada yang bersangkutan secara langsung. Takut juga malah memperburuk hubungan. Hanya saja, menurutku perubahan sikap sering disebabkan oleh adanya rasa ketersinggungan, dihianati, terhinakan, sakit hati, amarah atau bisa saja cuma salah paham. Semua itu mungkin juga bisa ditunjang oleh suasana yang sedang dialami oleh sang sahabat yang mendukung untuk munculnya sikap demikian, mungkin karena sedang dirundung kejenuhan, rasa capai, gundah gulana, rasa takut, sakit yang diderita, problem keluarga dan lain-lain.

Dilihat dari aspek cara berpikir, maka lahir dan munculnya sikap yang berbeda dari biasanya itu dapat ditelusuri prosesnya. Umumnya dimulai dari ‘signal-signal yang dirasakan sebelumnya’ signal itu kemudian akan merubah pikiran, perubahan pikiran akan merubah kejernihan berpikir, lalu kejernihan berpikir akan merubah suasana perasaan hati, dan lahirlah sikap dan hasil yang senada. Hasilnya negatif kalau dimulai dari kuatnya pikiran negatif dan hasilnya positif kalau dimulai dengan pikiran positif yang kuat. Maka dari itu sikap dan keyakinan diri akan sangat menentukan proses dan produk berpikir.

Buat sang teman, sudahlah jangan resah dan jangan gundah. Tetaplah berpikir, bersikap dan berkeyakinan positif , bersabarlah kalau anda benar tidak merasa bersalah. Tetaplah berintropeksi karena itu tetap penting untuk perbaikan diri kita. Tetaplah bersahabat secara positif sebisanya, semampunya, nikmati saja bianglala hidup yang sedang terjadi. Jangan jauhi sahabat itu karena perbuatan itu tidak disukai Allah. Lagi pula yakinlah bahwa signal positif suatu saat pasti akan datang padanya untuk merubah pikiran menjadi positif, karena pikiran bersifat plastis. Plastisitas pikiran bukan berarti ketidakkonsistenan berpikir, tetapi cebderung sebagai suatu keadaan alamiah 'pikiran manusia' yang lentur dan adaptif dari informasi yang masuk. karena itu manusia bibedakan dari mahluk lainnya, ia diberi kebebasan untuk menilai dan memilih setelah sesuatu mempengaruhi pikirannya.

Senin, 14 Juni 2010

LUKA HATI



Pada suatu kesempatan ketika aku baru saja selesai diskusi kelas dan mencoba duduk-duduk di bangku serambi pasca, seorang sahabat datang dengan wajah gelisah, lalu duduk di bangku sebelahku. “Suamiku masih di kantor, bakalan lama aku harus menunggu.” Gumamnya pendek. “ Eh…kamu kelihatan tidak sehat ?!” Sambungnya lagi sambil menatapku. Ketika aku sedang mengangguk kecil bermaksud mengiyakan pertanyaannya, mulutnya nyerocos lagi. “Ok, jangan pulang dulu, kamu temani aku makan malam sambil nunggu jemputan suamiku. Bagaimana ?!”. Akupun tanpa pikir panjang menyetujuinya, dengan syarat cari makan yang sejalur dengan arah tempat kostku, dan sahabatkupun setuju.

Pilihan akhirnya jatuh pada ‘soto djayus’ dekat kebon bibit Bratang, yang rupanya juga untuk memudahkan suami sahabatku menemukannya. Sejurus ketika aku menikmati menu special di warung itu yaitu ‘soto telur ayam muda’, tiba-tiba sms masuk. Tetap sambil makan aku buka sms itu, ternyata dari temanku yang rodho ‘istimewa’. Bunyi smsnya: ‘……… dinner kok di soto Djayus, ……….’. Aku tertegun, nada smsnya tidak mengenakan. Aku sengaja diam, tidak menunjukkan pada sahabatku yang mengajak ‘makan’, takut itu akan membuat tersinggung dan luka hatinya. Aku sendiri menerima sms ‘darinya’ yang bernada merendahkan tidak cuma sekali ini. Jadi bagiku sudah tidak heran.

Pada satu sisi menyangkut sms dinner di soto djayus, aku ingin sampaikan bahwa tempat makan memang bisa memberi citra, insyaallah saya bisa dan pernah makan di tempat yang lebih istimewa dari yang 'nyelatu', tetapi saya punya asumsi sendiri bahwa boleh jadi makan di manapun sama yang penting bagaimana kita mampu tidak menciptakan suasana hati menerima dan menikmati pilihan kita. Pada sisi yang lain yang lebih penting, kita harus berani belajar untuk tidak ngurusi pilihan orang lain, harus mau belajar menghormati pilihan orang lain. Belakangan aku baru tahu ternyata sang teman ini tidak sekedar sms ke aku, tetapi juga memberitahukan ke orang-orang lain, dengan bumbu yang sedaaap. Apa maksudnya ?

Aku jadi ingat kata guru spiritualku, bahwa ‘cara bertutur kata, cara berpikir, cara bersikap adalah cermin dari kepribadian seseorang’. Pribadi santun akan ditunjukan oleh tutur dan cara berpikir dan sikap yang juga santun, pribadi yang sabar akan tergambarkan oleh tutur kata, raut wajah yang sabar dan cara berpikir juga yang sabar pula. Berkepribadian adalah proses, pilihan yang harus ditata, ditempa melalui sederatan pengalaman yang kemudian mengkristalkan pancaran kekuatan pribadi.

Seorang yang berkepribadian, tabu untuk usil dan mengurusi apa yang dilakukan orang lain. Tidak asal bicara, bahasa jawa gaulnya ‘ora asal njeplak’, tetapi tertata dan mampu memilih kata-kata yang proporsional. Bicarapun ‘umpan paran’ dan ‘umpan papan’ artinya bagi orang yang berupaya berkualitas ia faham pada dirinya, dan juga faham harus bagaimana bicara dengan siapa dan kapan harus bicara. Untuk itu bicara butuh asupan nilai ‘art, teposliro, tatakrama’, agar orang yang kita ajak bicara tetap meramahi - menghormati kita.

Mari kita coba memulai untuk tidak melukai hati orang lain, jaga kata-kata kita, jaga hati kita. Luka hati diterapi, diobati dengan cara apapun akan masih tetap meninggalkan goresan yang susah untuk dilupakan. Maka perlu sekiranya kita simak kata orang bijak yang menurut saya bisa menjauhkan kita dari ‘melukai hati’ orang. Minimal mulailah hiasi perkataan, pemikiran, dan laku empati kita dengan keramahan. Karena ‘keramahan dalam perkataan akan mampu menciptakan keyakinan dan kepercayaan, keramahan dalam pemikiran akan mampu menciptakan kedamaian, dan keramahan dalam kita memberi akan mampu memunculkan kasih sayang’. Begitu jeng !!!!

Selasa, 08 Juni 2010

PERLUKAH BERSEDIH ?



Lantaran mendapat informasi dari seorang teman yang tahu kalau aku punya blog yang sering mengulas tentang masalah sederhana kehidupan, seseorang yang merasa gagap teknologi bertanya padaku: Perlukah bersedih bila kita titinggalkan kekasih hati ? Ya, benar-benar pertanyaan sederhana yang sangat umum problemnya dijumpai di masyarakat, tetapi tidak pernah dipertanyakan secara kritis seperti ini.

Bersedih adalah sebuah ekspresi tubuh dan pikiran akibat adanya disorientasi harapan, dalam kontek pertanyaan di atas berarti ekspresi tubuh dan pikiran karena hilangnnya seorang kekasih hati padahal ia masih memerlukan belahan hati itu. Kata tanya ‘perlukah’ memiliki peran menekankan seberapa nilai ‘kebutuhan’ untuk menyikapi keadaan ‘sedih’ tersebut yang bila kita telusuri hal itu akan sangat berkait dengan status emosi masing-masing orang.

Sesungguhnya ekspresi bersedih atau berduka adalah hak setiap orang untuk mengekpresikaqn, bahkan mungkin tidak ada aturan yang melarangnya. Tetapi ketika diawali pertanyaan ‘perlukah’, maka ini tidak lagi merupakan pertanyaan sederhana karena pertanyaan tersebut masuk ranah yang jawabannya butuh cara pandang, cara berpikir yang lebih dalam menyangkut masalah itu.

Ketika aku didesak untuk segera menjawab, pengetahuan bawah sadarku, yang mungkin juga lantaran diwarnai status maskulinitas dan terhidupinya kesadaran intuitif spontan menjawab: ‘Tidak Perlu Bersedih !’. Alasannya apa ? Aku jawab belum tahu. Untuk alasan jawaban itu aku tulis di blog ini dan maaf agak sedikit terlambat postingnya.

Menurut ‘Guru’ metafisisku jawaban aku sudah benar. Kesedihan tidak perlu dan tidak tepat untuk alas an hilangnya seorang kekasih hati, terlebih bila kesedihan itu terjadi berlarut-larut hingga mengganggu anugerah kehidupan yang selayaknya kita jaga.

Sang Guru bertutur lebih lanjut: ‘bahwa ketika seseorang meratapi, menangisi hilangnya seorang kekasih hati, pada tahapan tertentu akan dapat membawa pada situasi bahwa ia merasa ia tidak bisa hidup tanpa kekasih itu, hidup akan tidak punya arti tanpa belahan hati itu. Maka pada tahapan ini secara tidak langsung yang bersangkutan telah menafikan keberadaan yang mengatur hidup.

Kelemahan kita yang setiap waktu disuguhi dan dilingkungi pengalaman fisik, nyata, terlihat, terasakan maka dengan susah akan mengakui yang ‘metafisis, tidak nyata, tidak terlihat, tidak terasakan’. Kekasih hati yang memberi pengalaman fisik, nyata, terlihat, terasa sesungguhnya tidak ada artinya, karena kalau kita cermati ‘hal fisik’ sering mengecewakan. Harus dibangun kesadaran bagi mereka yang sedang kehilangan ‘kekasih’, bahwa di luar kekasih fisik ada kekasih metafisis yaitu Allah. Bahwa hidup kita tentu masih punya arti mana kala kita punya keyakinan ‘percaya kepada Allah’, dengan ikhtiar, doa yang di bantarkan pada kesabaran maka permasalahan hidup menjadi ringan dan kita tidak perlu bersedih.