Minggu, 08 Januari 2012

SIMPONI HARMONI



Kalau anda seorang manager, komponen yang anda ‘manage’ makin banyak maka kesulitan mengelola makin bertambah pula. Tubuh organisasi ketika bertambah umur makin gemuk, maka mulai perlu perhatian dan energi tambahan. Anggota yang banyak, akan menghadirkan suara dan bunyian yang beragam. Ibarat sebuah kumpulan ‘orkesta’ anda punya beragam alat musik, penyanyi dengan beragam tingkatan suara, semangat bermusik dan tenggangrasa bersimponi. Artinya mengelolanya tidak semudah ketika permasalahan hanya muncul menyangkut satu dua alat musik saja, ketika permasalahan hanya muncul dari harapan, gagasan, ide satu atau dua orang saja, tetapi pada organisasi yang komplek akan banyak problematika, tidak mudah seorang ‘dirigen’ (baca: manager) bisa menghadirkan ‘simponi yang harmoni’, merdu mendayu,dan  enak didengar oleh siapapun. 

Kegemukan organisasi, atau kompleksitas anggota organisasi, memaksa organisasi itu melahirkan kesepakatan-kesepakatan, aturan-aturan, ketentuan-ketentuan, berikut sangsi-sangsi agar keinginan organisasi bisa tercapai secara maksimal. Paling tidak minimal dimulai dari yang paling sederhana yaitu ‘kepatuhan pada komitmen yang disepakati’,  dan ketegasan sikap bagi yang melanggar komitmen. Konsistensi sikap adalah ukuran sebuah kesepakatan, manakala ada poin kesepakatan yang dilanggar dengan dalih pengecualian maka itu akan mempermudah pengingkaran pada komitmen itu untuk selanjutnya, dan akan berpotensi terjadinya disharmoni organisasi. Misal kalau ada yang malkomitmen atau yang melanggar tetapi karena dalih pelanggar adalah ‘pemrakarsa’ atau ‘big bos’ lalu kemudian lahir kebijakan ‘mentorerir’, tutup kasus dan tidak ada ketegasan menghukum, maka ini adalah awal malapetaka organisasi.

Guru spiritualku mengumpamakan gambaran sebuah simpony yang paling harmony yang bisa menjadi pembelajaran bagi kita adalah tubuh kita sendiri. Dari segi biologi di dalam tubuh manusia terdapat dari 75 -100 trilyun sel, yang meliputi sel tubuh (yang kemudian membentuk jaringan, organ, sistem organ), sel darah, sel mikroorganisme dalam tubuh. Bayangkan, betapa banyaknya yang bermain ‘orkestra’ di dalam tubuh kita, untuk itu manusia dianggap organisme terkomplek di muka bumi ini. Bagaimana jasad yang super komplek ini mampu melahirkan ‘harmony’ sebagai mahluk yang ‘individus’ atau tak tak terbelah, tiap elemen tubuh bersatu-padu membentuk sistem yang saling topang dan saling melengkapi satu sama lain. Ketika ada kerusakan pada satu bagian maka komponen yang lain akan berkonsentrasi memulihkan. Fleksibilitas terbagun satu sama lain, tidak ada dominasi peran, tidak ada monopoli peran, semua berperan menjaga keseimbangan hidup.  

Hal menarik lain yang bisa menjadi pembelajaran kita dari tubuh manusia  adalah ‘darah’, sel darah sebagai komponen terbesar tubuh manusia bukannya menjadi ‘arogan’ karena mayoritas menyusun tubuh, tapi ia justru tampil sebagai pelayan dan pelindung tubuh yang melayani dengan setia. Ia bekerja tak kenal waktu mengedarkan energi dan oksigen untuk keperluan metabolism hidup tiap sel-sel tubuh, juga ia memiliki pasukan ‘leucocyt’ yang siap melawan  sesakit di  bagian tubuh manapun tanpa perkecualian. Semua itu bisa terjadi karena tubuh manusia mempunyai satu mekanisme pengendalian menyeluruh dalam menjalankan organisasi terhadap tiap komponennya. Kalau ada proses yang disharmoni dalam salah satu komponen tubuh dan  tidak teratasi, hal itu potensial menjadi penyebab disharmoni menyeluruh sistem tubuh karena sistem terjalin satu sama lain. Orang yang di dalam darahnya terlalu banyak gula, dan tidak cepat teratasi akan berakibat, jantungnya bekerja lebih berat dan cepat rusak, ganguan seksual, ganjal rusak dan gagal berfungsi, dan ujungnya menghadirkan komplikasi penyakit yang mematikan.

Karena itu untuk membangun ‘simponi yang harmoni’, organisasi atau orchestra apapun membutuhkan tatanan sistem yang bisa melayani, menghidupi dan menjaga tiap komponen penunjangnya seperti tubuh itu. Kesadaran tentang adanya ketergantungan peran harus dibangun, rasa kebersamaan harus ditanamkan, komitmen untuk konsisten dan amanah menjalan tugas dan peran masing-masing harus menjadi ethos semua yang terlibat. Kata guru spiritualku manusia memang harus berusaha, proses mencapai harapan merupakan puncak karya kita, karena ‘kesempurnaan dan ‘hasil’ kerja sudah bukan urusan kita saja tetapi tergantung padaNYA.