Sabtu, 31 Desember 2011

PEMBELAJARAN AKHIR TAHUN



                Untuk sebuah penghormatan pada teman yang tinggal menjalani fase akhir menyelesaikan program doktor, dari kantor mengirim satu rombongan ke Bogor menggunakan bus. Beberapa teman protes dan mengumpat-ngumpat ketika mereka merasa didorong untuk mau bersusah-susah tetapi saat berangkat baru tahu beberapa teman mereka justru mengambil jalan yang mudah dan tidak susah serta tidak melelahkan, naik pesawat.  Mana rasa toleransi dan kebersamaannya ? Memangnya kita gak bisa beli tiket pesawat apa ? Demikian teriak yang lain, sementara yang lainnya ada juga yang merasa dikibuli karena telah dijanjikan tersedianya sarana transportasi yang lengkap dan nyaman, tetapi kenyataan jauh dari yang diharapkan. Perjalanan dari Malang ke Bogor ditempuh selama 27 Jam, pulangnya lebih hebat lagi karena harus ditempuh dengan waktu 30 jam plus bonus makin debar-debar hati dan harus melalui proses ‘ngeban’ terlebih dahulu. Bagaimana tidak berdebar-debar setelah mengetahui bahwa sang sopir ternyata yang sering nampak kelelahan dan ngantuk telah  kerja lembur empat hari sebelumnya tanpa off pulang ke rumah atau istirahat yang cukup.

                Seperti halnya kebiasaanku, walau juga gelisah, aku mencoba mengajak teman-teman yang gundah untuk tetap berupaya mencoba menikmati perjalanan yang telah kita pilih. Berupaya meminimalisir hal buruk yang bisa saja terjadi.  Aku salut atas kesabaran teman-teman. Ada teman yang sangat perhatian pada sang sopir, kalau kelihatan capai atau ngantuk berat maka kepada sang sopir diminta untuk menepi entah untuk alasan ke toilet, istirahat, sholat atau makan, sementara kebutuhan untuk sopir dan kenet selalu disediakan. Yang lain mencoba menghibur dengan bernyanyi, bersendau gurau, goda menggoda, aku sendiri ikut bernyanyi atau menggoda anak teman yang lucu menggemaskan. Kami diselamatkan oleh suasana tol jagorawi yang relative tidak ramai seperti hari biasanya, juga jalanan yang tidak macet di jalan protokol kota Bogor, trus dapat panduan dari kakakku yang mengarahkan lewat jalan baru lingkar Bogor Utara sehingga yang prediksinya kami terlambat menjadi tepat waktu mengikuti ujian terbuka sang teman.

                Menurut Guru Spiritualku, kesabaran adalah puncak dari perolehan. Jadi teman-teman yang sudah mampu bersabar  ditempa perjalanan panjang melelahkan  berarti telah lolos ujian dan berada pada puncak perolehan, mereka mau susah dan senang bersama, makan nasi indramayu seharga dua ribu perporsi pun dilahapnya dengan suka cita. Pernah suatu waktu kepada para calon pemimpin Sang Guru bertutur, bahwa ada lima (5) hal penting agar seseorang bisa dihormati omongan dan tindakannya. Satu, bisa mengerti , sadar dan mampu mengaktualisasikan apa yang hak dan bathil; dua, mampu memberi dan menerima nasehat yang baik; tiga, mengurangi perbedaan dan pertentangan dengan argumentasi yang baik, yang benar sehingga akan dapat bersifat menyadarkan; empat, tetap memperlakukan dengan baik orang-orang yang berseberangan paham dan gerakan, lawan-lawan, atau  kompetitornya; lima, menjadi  teladan, seorang terpercaya tidak cuma hanya ngomong saja tapi  menjadikan dirinya sebagai panutan yang dalam tindakan.

                Bagiku, perjalan yang kami lalukan di penghujung tahun 2011 adalah sebuah ‘hikmah’, sebuah perjalanan yang sarat dengan pembelajaran hidup. Satu, pembelajaran dari sang teman yang akhirnya meraih gelar doctor, terbetik pembelajaran bahwa hijrah dengan niat dan upaya yang kuat akan mampu merubah hidup. Kebetulan sang teman adalah seorang sarjana peternakan, lalu S3 nya dia hijrah ke perikanan, walau cukup alot perjuangannya aku melihat kehijrahannya telah  merubah banyak kehidupannya, ada lompatan yang tidak mungkin terjadi tanpa tindakan hijrah. Dua, perjalanan itu juga memberi pembelajaran padaku bahwa  beberapa ‘teman-teman’ telah beranjak menengah dan berada pada tingkat kematangan hidup yang cukup tinggi, toleransi yang tinggi, kesabaran yang tinggi, tetapi sensitif pada sikap diskriminatif dan disharmoni. Sebagian besar telah menempatkan ‘kualitas hidup’ menjadi hal yang mesti diutamakan, termasuk pementingan pada kesehatan tubuh.

                Perjalanan tersebut kata Guruku yang lain mestinya harus menjadi pembelajaran bagi siapapun yang akan menjadi pemimpin, pemimpin apapun dan tingkat apapun,  contohlah Rasulullah, walau beliau adalah seorang pilihan Allah tetapi dalam memimpin beliau selalu: bersikap lemah lembut, selalu memaafkan kesalahan orang lain betapapun besar kesalahannya terhadap beliau, selalu memintakan ampun dosa dan kesalahan orang lain bukan memanfaatkan kesalahan orang lain untuk penonjolan dirinya, selalu mengajak bermusyawarah dalam memutuskan sesuatu hal dan kosekuen dengan hasil musyawarah itu, selalu bertawakal kepada Allah SWT dengan perencanaan dan sistem kerja yang diupayakan matang.  Aku berdoa mudah-mudahan perjalanan di akhir tahun kemarin bisa menjadi perjalanan ‘spiritual’ teman-teman, mampu mencerahkan hati dan hidup kita.  Amin.

Sabtu, 24 Desember 2011

WANITA PERKASA



Beberapa hari yang lalu, diluar kebiasaan, aku ke Surabaya tidak membawa kendaraan sendiri tapi menggunakan bus umum. Pingin aja, udah lama tidak naik bus umum, pingin sedikit keluar dari kebiasaan, padahal sesungguhnya malah tidak bisa fleksibel. Dalam situasi apapun, jangan pikir misal ketika jalanan macet bisa main terobos memilih jalan alternatif, sekarang harus sabar ngikuti apa keinginan sang sopir.  Berangkatnya relatif lancar, cuma di  Porong yang agak tersendat lantaran pertigaan Polsek Porong di buka sehingga arus kendaraan harus selalu bergantian. Singkat kata,  ternyata ada hikmahnya memiilih pulang pergi ke Surabaya menggunakan bus, aku seperti diingatkan pada sosok almarhum Ibuku, sosok yang sangat aku cintai, wanita perkasa, ibu dan sekaligus bapakku. Memang, aku sejak kecil cuma hidup dengan  ibuku bersama saudar-saudaraku, tepatnya aku tiga bersaudara, semenjak ayah tiada hanya ibu yang menjadi tumpuan hidup kami.

 Saat pulang, di terminal Bungurasih aku bersikap tidak memaksakan diri kalau harus masuk bus dengan cara berebut, memang penumpang cukup banyak, sehingga aku harus maklum ketika baru bisa naik pada keberangkatan bus yang ke tiga. Itupun dengan cepat bus terisi penuh, aku lihat dari arah depan seorang ibu muda sambil menjinjing tas merah bata   beringsut cepat lalu memilih duduk di sampingku. Kami saling tersenyum, berkenalan, dan sepanjang jalan mengalir berbagi cerita, sampai-sampai aku pribadi diuntungkan tidak merasa jenuh dan kecapaian hingga sampai di terminal Arjosari Malang.  Terus terang, mendengar ceritanya itulah aku jadi ingat ibuku. Menurutku ia termasuk wanita perkasa. Walau nasibnya tidak seperti Ibuku, karena wanita itu masih punya suami yang produktif, tetapi ethosnya sebagai wanita yang ikut bekerja menopang kehidupan rumah tangganya. Layak aku jadikan catatan di hari Ibu ini, hari di mana semua anak bangsa ini selalu diingatkan betapa mulianya sosok seorang ibu.

Sebut saja wanitia ini berinitial ‘S’, tinggal di pinggiran timur kota Malang, prediksiku umurnya masih 30-an tahun, bekerja sebagai ‘ujung tombak’ tenaga pemasaran di perusahaan konveksi di kota Malang, mendengar merk produk konveksi yang dijualnya, ranah pemasaran, target bulanan, pola komunikasi, cara berpikir, jelas ia bekerja di perusahaan yang sudah ‘mapan’ dan ia sendiri tentu orang pilihan.  Ia bercerita bahwa hari ini sepertinya ia tidak akan bisa pulang ke rumah, karena jalanan yang macet dan kelamaan di terminal Bungurasih sepertinya bus akan masuk malang lepas maghrib. Padahal siang esoknya ia harus ketemu ‘calon custemer’ di Bali, berarti setiba di Malang ia terpaksa harus sambung ke Bali.  Ia telp suaminya, juga anak buahnya untuk mengabarkan kerangkatannya agar semua kebutuhannya untuk ‘jualan’ di Bali bisa ia bawa sesampainya di terminal bus Arjosari Malang, tidak mungkin ia mampir ke rumah atau kantor. Ketika aku bertanya apa sekiranya tidak capai ? Dia bilang, menikmati pekerjaannya, mengambil insisiatif istirahat manakala bisa dan menganggap pekerjaan sebagai ibadah, sehingga tidak ada beban dan kita bisa enjoi. Woow…

Ketika aku tanyakan bagaimana tanggapan suami dan anak-anak terhadap pekerjaannya yang menurut pengakuannya jelas sering keluar kota dan sering harus bermalam di luar rumah.  Ia mengaku suaminya mengerti dan memahami, sementara anak-anaknya kan masih kecil dan selalu dalam pengawasan neneknya. 

“Tapi saya selalu membayar kekurangan akibat kerja itu dengan bersama mereka secara penuh ketika ‘off’  kerja, dan setiap minggu kami menyempatkan rekreatif misalnya yang paling sederhana bersepeda pagi bersama”. Ucapnya sambil terus memainkan beberapa hape di tasnya secara bergantian.

“ Kami punya kesepakatan, terutama dengan suami untuk menekankan hubungan yang berkualitas.” sambungnya.

“ Buat apa kalau kuantitas besar tapi berisi kekakuan, disharmoni, dan ketidakpuasan satu sama lainnya yang tidak pernah terselesaikan ?” Aku manggut-manggut mendengar penjelasannya. Aku mengerti, aku katakana pada dia bahwa saya pernah menjalani itu, tapi belakangan aku ngerti bahwa anak-anak memiliki pemahaman yang berbeda dengan orang dewasa. Aku punya teman yang juga merupakan wanita karir, sampai-sampai anak sulungnya mogok belajar, dan mempertanyakan apakah ia harus membayar untuk mendapatkan waktu mamanya.

“ Yang penting niat kita dan bagaimana konsekuensi menjalaninya, juga besarnya keyakinan kita bahwa Allah akan menolong umatnya yang tulus pasrah, “ kata dia. Aku tertegun, di situ aku jadi ingat Ibuku. Akmarhumah Ibuku dulu, sebagai orang tua tunggal tentu juga tidak mungkin beliau bisa memberi perhatian penuh pada anak-anaknya. Beliau harus memastikan ada nafkah untuk kami. Aku masih ingat, ibu sering harus berangkat pagi karena ke kantor jalan kaki, aku kebagian masak, kakak cuci baju, adik bersih-bersih rumah. Sehingga aktifitas kami relatif tidak terkontrol, aku bisa mandi di sungai besar yang berbahaya, pergi jauh dari rumah, banyak hal yang bisa dilakukan kalau mau. Cuma aku selalu ingat, Ibu selalu mengatakan percaya pada kami, Ibu tidak pernah absen puasa, tirakat mendoakan kami. Keyakinan Ibu yang kukuh itulah yang menurutku menjaga kami semua dari hal-hal buruk walau beliau tidak seharian waktu bersama kami.

Guru spiritualku pernah berkata, bahwa kerja keras, ketulusan, dan keyakinan dalam berdoa adalah tiga sikap sekawan yang akan menolong kita merengkuh apa yang kita inginkan dan apa yang kita dambakan.  Kerja keras adalah implementasi fisik dari keinginan yang kuat, sedangkan ketulusan adalah implementasi rasa yang paling tanpa beban 'tulus dan pasrah', trus dilengkapi dan dikuatkan dengan keyakinan kepada kebesaran Yang Maha  yang memungkinkan segala kemungkinan termasuk yang tidak mungkin bisa terjadi menurut manusia. Perempuan yang ditemani oleh tiga sikap sekawan dalam menjalani hidupnya akan mampu menyelamatkan keluarganya dari hal-hal buruk walau secara fisik keberadaannya tidak bisa selalu ada di rumahnya. Realita yang banyak, orang seringkali  sudah merasa bekerja keras, tulus iklas dan selalu khusuk berdoa, tetapi sesungguhnya itu hanya sebatas merasa, realitanya sesungguhnya masih jauh. Tetapi jujur kalau kita mau mengakui memang menjalani ‘laku’ yang demikian tidaklan mudah, hanya mereka-mereka yang perkasa yang bisa melakukan.

Senin, 19 Desember 2011

MENJADI TANGGUH



Seorang anak rumahan, anak mama yang tidak biasa keluar rumah, tidak pernah telanjang kaki main ke lapangan, tidak pernah hujan-hujanan, tentu berbeda dengan anak kampung yang sering telanjang dada, makan juga sering minus kalori dan tak jarang mengalami sesakit.  Tentu perbedaan tersebut ada plus minusnya sendiri-sendiri. Anak mama yang cenderung selalu di rumah, bisa dikatakan adalah prototip anak yang patuh, tertib, bisa jadi rajin, pandai, ‘sehat’ karena asupan gizi yang serba kecukupan atau bisa juga berlebihan hingga tak jarang kita temui mengalami obesitas. Sementara anak kampung dapat dikatakan lebih merdeka, mungkin kurang tertib, ‘prigel’, berani menantang bahaya, walau asupan makan sederhana tapi  tubuh keras gempal jarang yang obesitas karena banyak bergerak.

Lingkungan tumbuh akan membentuk tipologi manusia yang berbeda-beda, karena tiap lingkungan memberi tantangan yang berbeda dan karena itu tentu produknya juga berbeda pula. Tidak mudah seseorang untuk menjadi anak rumahan, tantangannya adalah rasa kebosanan, pengendalian harapan, rutinitas yang sama, lemah fisik, tetapi bila mampu dilewati olah pikir anak akan lebih berkembang dan menjadi keunggulan. Tidak mudah juga menjadi anak alam, karena lingkungannya sering tidak bisa memanjakan, harus belajar menjadi survival, perlu toleransi sosial, harus kuat, salah langkah bisa membahayakan didinya. Bila bisa melalui lingkungan tumbuh seperti ini dengan baik maka akan membentuk ketangguhan fisik, mental dan pengalaman yang kuat.

Untuk menjadi tangguh dalam hal apapun seseorang memang harus mengalami tempaan yang berulang menyangkut hal tersebut. Untuk menjadi petinju yang tangguh tentu harus menjalani latihan fisik dan teknik yang berat, jam terbang latih tanding harus dialami berulang, kemampuan memukul menghindar bertahan, strategi, atur nafas dan tenaga  dan yang tidak kalah penting perlu juga tahan pukul. Seorang pelaut yang tangguh tentu ia perlu belajar hantaman ombak besar dan badai di laut. Tidak mungkin akan lahir seorang pemimpin besar tanpa cacian, makian, demo-demo rakyat yang dipimpinnya dan serangan lawan politiknya. Bangun subuh, mengeja alif, ba, ta, pukulan penggaris guru ngaji ketika keliru, hukuman menghapal surat-surat pendek karena salah adalah jalan menjadi seorang ‘dai kondang’.  

Kata guru spiritualku: “Untuk menjadi pisau yang tajam, keris yang elok, samurai yang kukuh, tentu sepotong logam harus dibakar, dibentuk dan ditempa berulang. Tidak mungkin hanya dilakukan pembakaran dan tempaan satu kali saja. Artinya untuk ‘menjadi tangguh’ dalam hal apapun jelas butuh suatu proses, butuh kegigihan tanpa menyerah, butuh loyalitas, butuh disiplin diri”. Menurutku menjadi tangguh adalah usaha dan perjuangan. Menjadi seorang maestro, tokoh besar, pemimpin dunia, atau mencapai hal-hal besar dan istimewa adalah juga melalui proses yang butuh waktu dan teruji. Ketangguhan adalah pilihan dan pengabdian diri, tidak mungkin bila hanya sekedar saja, hanya setengah hati atau hanya sambilan.

Ketangguhan yang indah adalah ketangguhan alamiah, seorang guru laku lain mengatakan bahwa ‘pertama perlu kesadaran potensi dan bakat dasar kita’ trus kedua kita padu dengan harapan dan keinginan kita, hasil kompromi itu sebagai landasan ‘menjadi tangguh’ yang kita idealkan. Sebaiknya prosesnya alamiah saja biarkan mengalir tanpa rasa takut tetapi malah menyatu dalam diri, menjadi dirinya sendiri. Artinya apa yang dipilih dan pengabdian dirinya dijalani secara natural tetapi terjada konsistensinya. Seberapa ketangguhannya bukan hal penting dan bukan kepeduliannya,  karena klaim maesto, pemimpin besar yang menilai bukanlah kita tetapi  orang lain, kita hanya perlu berusaha dan berjuang. Sangat disayangkan banyak contoh justru orang besar kebanyakan lahir seperti misteri, mereka tumbuh dari ibu kandung penderitaan, penindasan, sakit hati, penjajahan atau kebencian yang ujung-ujungnya sering melahirkan disharmonisasi. 

Jumat, 09 Desember 2011

MELAYANI RASA



Seorang teman bercerita bahwa sekarang ia harus berhati-hati dengan lambungnya, lambungnya menjadi sangat sensitif pada makanan yang ia konsumsi, bila makan makanan yang terlalu asam perut menjadi melilit-lilit  tidak karuan, pun juga terlalu pedas atau sedikit terlambat makan pasti perut akan mengirim kado rasa sakit yang lama penyembuhannya. Semua itu gara-garanya sederhana, waktu sehat dulu ia sering terlambat makan, sering mengabaikan rasa lapar, sampai kemudian datang sakit magh dan harus nginap di rumah sakit. Seorang teman lain bercerita bahwa ia kini tidak memiliki harapan apa-apa, hidupnya tinggal menunggu waktu, ginjalnya rusak dan dia sudah dua kali seminggu harus cuci darah. Dia menyesal waktu sehatnya dulu bekerja terlalu keras, ngoyo, dan sering ‘dopping’ dengan minuman- minuman berenergi. Rasa lelah ia tidak pernah perdulikan, hanya satu yang ia inginkan prestasi kerja, kebanggaan, uang dan rasa hormat.  Alhasil ia jadi kehilangan harta terbesarnya yaitu kehidupan sendiri yang sesungguhnya telah diberkahi Allah sedemikian sempurnanya.

Masih banyak cerita senada yang bisa kita dengar, kita lihat, kita rasanya dalam kehidupan masyarakat kita yang makin kompetitif, konsumtif, dan tidak normatif. Orang cenderung berkompetisi tidak sehat, main sikut, saling menjatuhkan, main sogok, kuruptif, menghalalkan segala cara untuk mencapai harapan. Bagaimana mungkin aktivitas tidak sehat bisa melahirkan kehidupan yang sehat ?  Hukum alam mengajarkan pada kita hal-hal yang sederhana, tentang pentingnya asupan makanan yang cukup pada tubuh kita agar tubuh kita sehat, tidak ada kata perlu berlebihan, jangan pula kurang sebab akan menjadikan tubuh sakit. Adanya siang dan malam mengajarkan kepada kita perlunya istirahat, perlunya tubuh tidak beraktivitas, dalam kondisi seperti ini terjadi penyeimbangan kembali organ-organ tubuh yang lelah, perbaikan-perbaikan yang rusak, distribusi nutrisi dan energi hingga kondisi tubuh mengalami keseimbangan kembali pada level yang dibutuhkannya baik fisik maupun rohani.

Ada banyak manfaat mengenal dan memahami kondisi tubuh kita sendiri, bagi yang berduit upayanya melalui general check up. Tes menyeluruh itu meliputi kondisi jantung, paru-paru, ginjal, darah, air kecing, organ reproduksi dll. Dari hasil tes kita bisa tahu status kesehatan kita, ada apa dengan tubuh kita dan bagaimana selanjutnya menjaga agar tetap sehat. Bagi yang tidak mampu, tentu tidak bisa berbuat banyak, paling hanya merasakan bagaimana tingkat normalitas tubuh, akan terasa bila ada yang sakit, ada yang tidak wajar. Bagaimana bila kerusakan tubuh tidak memberi tetanda sakit ? Tentu akan sulit untuk diketahui dan bisa terlambat untuk diatasi. Bagi mereka yang mau belajar memahami dan mengenal kondisi tubuhnya sendiri, tentu akan lebih baik, lebih responsif terhadap abnormalitas pada tubuhnya. Mereka akan makin bisa memahami signal-signal tubuh yang menandakan sesuatu hal yang berbeda dan harus bagaimana menanggapinya.

Guruku pernah mengatakan bahwa kunci dari hidup yang sehat atau tidak sehat  adalah bagaimana sikap dan pilihan kita  ‘melayani rasa’ yang melingkupi kehidupan kita. Kita harus mampu mengenalnya dan mengendalikannya, jangan sepenuhnya melayaninya, orang jawa bilang ‘ ngono yo ngono tapi ojo ngono’, artinya semua harus dibatasi sesuai dengan ‘keterbatasan’ tubuh kita. Ketika anda merasa tahan terhadap rasa lapar dan anda merasa tangguh melakukan itu, maka yang kalah adalah lambung anda, dinding lambung akan mengalami iritasi karena jonjot-jonjotnya  terus meremas tanpa ada yang diremas. Ketika anda bekerja keras, tubuh terasa capai, tetapi anda tidak perduli dan terus bekerja, maka tubuh akan mengatur keseimbangan dirinya sendiri, kita akan merasakan tubuh menjadi lemah, mata mengantuk, pikiran tidak bisa konsentrasi , di situlah titik di mana kita seharusnya melayani harapan tubuh untuk istirahat. Kalau kita berupaya menolaknya ‘karena rasa takut’ pada bos karena bisa jadi pekerjaan tidak selesai dengan asupan obat tertentu untuk melawan kecenderungan tubuh, ya …. memang itu bisa dilakukan dan bisa merubah keadaan, tapi sesungguhnya kita telah memilih mengalahkan tubuh menyakiti tubuh kita sendiri.    

Saya punya pengalaman ceroboh yang hampir merenggut nyawanya sendiri akibat melayani rasa keinginan untuk tetap menjalankan kendaraan walau kondisi ngantuk berat. Waktu itu saya mau pergi ke Jogja untuk suatu acara. Seperti biasanya saya memilih berangkat dari Malang tengah malam agar sampai Jogja pagi hari.  Malang – Solo perjalanan lancer tidak ada masalah, tetapi setelah istirahat dan makan gudeg di Manthingan rasa kantuk mulai menyerang. Saya berpikir bahwa rasa kantuk itu hanya sementara, jadi karena berkendara sendirian saya tetap lanjutkan perjalanan pelan-pelan. Di Klaten rasa kantuk itu sedemikian hebatnya, sehingga saya sadar sering membawa kendaraan ke tengah jalan. Lalu saya berkata pada diri sendiri, nanti kalau ada pom bensin saya mau berhenti dan istirahat tidur. Beberapa kilo dari saya berujar sendiri ketemulah pom bensin, tapi pom bensin itu ada di kanan jalan. Pikiran saya secara cepat berguman ‘ ah nanti saja di pom bensin kiri jalan’. Kendaraanpun terus melaju, rasa kantuk terasa dasyat, tapi keinginan terus jalan juga dasyat. Apa yang terjadi akhirnya ? Beberapa kilometer dari pom bensin yang semestinya saya istirahat. Saya menemukan diri saya tersadar dengan kendaraan yang nyungsep di selokan pinggir jalan, suara mobil meraung, saya terbangun ketika orang-orang berusaha membukakan pintu mobil untuk mematikan mesin mobil dan memastikan saya tidak apa-apa. Saya beruntung menemukan orang-orang yang dengan iklas membantu mengembalikan posisi mobil di jalan dan memungkinkan meneruskan ke Jogja setelah istirahat. Saya ikut berpesan jangan sekali-kali ‘melayani rasa’ seenaknya, layani dia seperlunya saja. 

Senin, 05 Desember 2011

TIGA ORANG TERPUJI


Seorang teman bertutur kepada saya, telah mendapat pembelajaran hidup yang sangat berarti tanpa sengaja. Suatu hari ketika ia tengah duduk-duduk di kawasan pujasera di Kota Bandung, menghirup kopi Lembang, memandang lalu lalang moyang Priyangan yang trendy, modis, tidak membosankan untuk dinikmati.  Nah…Ketika ia tengah asyik memandang gerak lenggok orang-orang di sepanjang kawasan itu yaitu jalan Dago, ia melihat seorang ibu muda bersama dua anaknya yang masih kecil baru menyeberang dan berjalan se arah di mana ia duduk. Sesekali ibu muda itu mengikuti jalan anaknya yang menunjuk jajanan yang dijual di jalan itu, sejumput sang ibu menghampiri sang penjual dan terjadi pembicaraan. Awalnya sang penjual nampak  wajahnya gembira, tapi tak lama setelah berbincang wajahnya terlihat tidak ramah dan ibu dan anak-anaknya pun kembali berlalu. Tak jauh dari kejadian itu, sang anak kembali menunjuk salah satu makanan yang dijajakan pedagang lain, terjadi kembali dialog antara ibu dan sang pedagang, lalu kejadian sebelumnya terulang lagi.

Entah berapa kali kejadian serupa terulang kemali, sampai kemudian ibu itu sampai di tenda di mana sang teman duduk,  memang duduknya agak jauh dari etalase tempat kue-kue dan sang penjualnya duduk,  tapi sempat masih bisa mendengar ketika kembali ibu itu melayani anak-anaknya yang menunjuk kue-kue di etalase.

“ Selamat siang, Ibu. Maaf anak-anak saya ingin sekali kue yang Ibu jual, bisakah saya mendapatkannya tapi saya tidak punya uang, “ tutur sang Ibu sopan dengan mengajak sabar anak-anaknya. Sang teman tertegun, semua orang yang sedang santai di kafe tenda itu dan mendengar ucapan kejujuran ibu muda itu juga terenyuh. Sejumput terlihat ada kegamangan, sang ibu dan anak-anaknya rupanya sudah  siap menerima penolakan sang pemilik kafe seperti yang dialami sebelumnya.  

“ Tidak apa, silakan pilih mana yang anak-anak ibu inginkan, “  kata sang pemilik kafe sambil tersenyum ramah. Ibu muda dan anak-anaknya malah terkejut  mendengar, masih ragu akan apa yang dikatakan sang pemilik kafe, tapi anak-anaknya sudah mulai tunjuk-tunjuk kue yang dinginkan.

“Tapi saya tidak punya uang, “ kata ibu muda. Sang pemilik kafe dengan sabar menegaskan sikapnya dengan mengambil kotak kue dan menanyakan anak-anak yang lugu yang kemudian menunjuk beberapa kue-kue lain yang diinginkannya.  Terbersit wajah-wajah ceria anak-anak itu, wajah tak bersalah yang gembira bisa menyudahi kelaparannya. Sang teman yang menyaksikan ‘drama’ kehidupan yang demikian itu, tertegun, kerongkongannya terasa kering.  Ia melihat dua orang yang mulia, ibu yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dan jujur terhadap keberadaannya, lalu pedagang budiman yang mau berbagi nikmat dan bisa menghargai orang-orang yang  jujur tapi berkekurangan. Betapa cantik pelajaran hidup hari ini pikirnya, sudah terbukti tidak banyak orang yang mau berbagi di zaman seperti ini, sepanjang jalan ibu dengan anaknya ditolak ‘harapan bisa berbagi’ dari beberapa orang, bahkan ada mungkin yang mengumpatnya.

Di tengah memikirkan pelajaran hidup itu, tiba-tiba ia mendapat pembelajaran baru lagi yang lebih mempercantik hidup. Sebut aja ‘seorang eksekutif muda’ yang saya tahu sudah lama duduk dekat dipojok lain kafe  tempat ia lagi menyantaikan diri, bertutur dengan pemilik kafe.

" Ini Ibu, uangnya..........."
“ Bapak, sebentar  uang kembaliannya …” tutur sang pemilik kafe yang menerima uang seratus ribu dari sang eksekutif muda yang terkesan mau buru-buru keluar.
“ Ya, Ibu….. sisa kembaliannya ambil saja untuk mengganti apa yang tadi Ibu berikan gratis kepada Ibu dan  anak-anaknya tadi….. saya berkesan dengan ketulusan semua . Jangan tolak ketulusan saya…. Terima kasih. ” pemilik kafe jadi bengong.
“ Lho…. Ini terlalu banyak, “ kata sang pemilik kafe. Tapi sang eksekutif muda tidak mau menerimanya dan malah berujar bahwa kita sama-sama harus bisa berbagi, sekemampuan kita berbagi. 

Kata temanku, hari itu ia dikenalkan dengan tiga orang terpuji, tiga orang yang patut dicontoh. Ia berpikir kenapa bukan ia yang terstimulasi menjadi ‘sang eksekutif muda’, padahal ia berada di sana. Kenapa tidak ada ide dan gagasan melakukan seperti itu, kenapa tidak ada dorongan ? apa karena ia kikir ? apa ia terlalu bebal dengan situasi sosial yang mengelilingi kehidupannya ? apa memang sudah jadi orang yang tidak perduli ? Dia marah pada dirinya sendiri. Tapi yang jelas, pembelajaran hidup hari itu menyadarkannya betapa manisnya orang bisa berbagi, dan ia berpikir ternyata orang yang bisa berbagi sesungguhnya bukan berarti menjadi kehilangan tetapi justru dengan berbagi orang akan mendapatkan.

Cerita teman ini, mengingatkanku pada Guru Spiritualku, beliau pernah mengatakan bahwa semangat berbagi harus terus kita kita tumbuhkan. Semestinya kita banyak belajar  pada alam. Alam telah mengajarkan kepada kita bahwa berbagi itu menjamin hidup kita makin hidup. Selapar apapun harimau, tidak akan mampu dan mau melahap semua hasil buruannya, lalu sisanya akan dimakan teman-temannya, predator yang lebih kecil, burung bangkai, bakteri tanah, cacing, serangga hingga gigisan mineralnya untuk tanaman. Tidak akan ada orang yang mampu berbagi berakhir menjadi miskin, andai  itu terjadi berati ada kesalahan dalam cara dan bagaimana berbagi, yang sering karena berbaginya belum tulus belum iklas secara penuh. Ada orang yang berbagi karena gagah-gagahan, karena ingin dihormati, karena kesombongan, karena gengsi, karena terpaksa, semua model berbagi atas alasan seperti itu tidak akan mengayakan batin kita, bisa jadi yang muncul malah kegelisahan, hidup malah menjadi tidak makin hidup.  Belajarlah secara cepat memutuskan ‘iklas berbagi’ ketika ada hasrat untuk  berbagi, jangan tunda, sebelum muncul berbagai alasan yang menggoda kita untuk tidak perlu berbagi. Salam berbagi.