Senin, 19 Desember 2011

MENJADI TANGGUH



Seorang anak rumahan, anak mama yang tidak biasa keluar rumah, tidak pernah telanjang kaki main ke lapangan, tidak pernah hujan-hujanan, tentu berbeda dengan anak kampung yang sering telanjang dada, makan juga sering minus kalori dan tak jarang mengalami sesakit.  Tentu perbedaan tersebut ada plus minusnya sendiri-sendiri. Anak mama yang cenderung selalu di rumah, bisa dikatakan adalah prototip anak yang patuh, tertib, bisa jadi rajin, pandai, ‘sehat’ karena asupan gizi yang serba kecukupan atau bisa juga berlebihan hingga tak jarang kita temui mengalami obesitas. Sementara anak kampung dapat dikatakan lebih merdeka, mungkin kurang tertib, ‘prigel’, berani menantang bahaya, walau asupan makan sederhana tapi  tubuh keras gempal jarang yang obesitas karena banyak bergerak.

Lingkungan tumbuh akan membentuk tipologi manusia yang berbeda-beda, karena tiap lingkungan memberi tantangan yang berbeda dan karena itu tentu produknya juga berbeda pula. Tidak mudah seseorang untuk menjadi anak rumahan, tantangannya adalah rasa kebosanan, pengendalian harapan, rutinitas yang sama, lemah fisik, tetapi bila mampu dilewati olah pikir anak akan lebih berkembang dan menjadi keunggulan. Tidak mudah juga menjadi anak alam, karena lingkungannya sering tidak bisa memanjakan, harus belajar menjadi survival, perlu toleransi sosial, harus kuat, salah langkah bisa membahayakan didinya. Bila bisa melalui lingkungan tumbuh seperti ini dengan baik maka akan membentuk ketangguhan fisik, mental dan pengalaman yang kuat.

Untuk menjadi tangguh dalam hal apapun seseorang memang harus mengalami tempaan yang berulang menyangkut hal tersebut. Untuk menjadi petinju yang tangguh tentu harus menjalani latihan fisik dan teknik yang berat, jam terbang latih tanding harus dialami berulang, kemampuan memukul menghindar bertahan, strategi, atur nafas dan tenaga  dan yang tidak kalah penting perlu juga tahan pukul. Seorang pelaut yang tangguh tentu ia perlu belajar hantaman ombak besar dan badai di laut. Tidak mungkin akan lahir seorang pemimpin besar tanpa cacian, makian, demo-demo rakyat yang dipimpinnya dan serangan lawan politiknya. Bangun subuh, mengeja alif, ba, ta, pukulan penggaris guru ngaji ketika keliru, hukuman menghapal surat-surat pendek karena salah adalah jalan menjadi seorang ‘dai kondang’.  

Kata guru spiritualku: “Untuk menjadi pisau yang tajam, keris yang elok, samurai yang kukuh, tentu sepotong logam harus dibakar, dibentuk dan ditempa berulang. Tidak mungkin hanya dilakukan pembakaran dan tempaan satu kali saja. Artinya untuk ‘menjadi tangguh’ dalam hal apapun jelas butuh suatu proses, butuh kegigihan tanpa menyerah, butuh loyalitas, butuh disiplin diri”. Menurutku menjadi tangguh adalah usaha dan perjuangan. Menjadi seorang maestro, tokoh besar, pemimpin dunia, atau mencapai hal-hal besar dan istimewa adalah juga melalui proses yang butuh waktu dan teruji. Ketangguhan adalah pilihan dan pengabdian diri, tidak mungkin bila hanya sekedar saja, hanya setengah hati atau hanya sambilan.

Ketangguhan yang indah adalah ketangguhan alamiah, seorang guru laku lain mengatakan bahwa ‘pertama perlu kesadaran potensi dan bakat dasar kita’ trus kedua kita padu dengan harapan dan keinginan kita, hasil kompromi itu sebagai landasan ‘menjadi tangguh’ yang kita idealkan. Sebaiknya prosesnya alamiah saja biarkan mengalir tanpa rasa takut tetapi malah menyatu dalam diri, menjadi dirinya sendiri. Artinya apa yang dipilih dan pengabdian dirinya dijalani secara natural tetapi terjada konsistensinya. Seberapa ketangguhannya bukan hal penting dan bukan kepeduliannya,  karena klaim maesto, pemimpin besar yang menilai bukanlah kita tetapi  orang lain, kita hanya perlu berusaha dan berjuang. Sangat disayangkan banyak contoh justru orang besar kebanyakan lahir seperti misteri, mereka tumbuh dari ibu kandung penderitaan, penindasan, sakit hati, penjajahan atau kebencian yang ujung-ujungnya sering melahirkan disharmonisasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar