Sabtu, 29 September 2012

MERASA


Seorang istri berkata pada suaminya bahwa alat-alat perkakas yang baru digunakan diminta dikembalikan pada tempatnya. Sang suami yang rupanya lagi istirahat dari kerja ‘utak-atik’ alat yang juga merupakan reaksi dari keluhan istrinya, hanya merespon dengan anggukan kecil dan matanya tetap asyik menyaksikan berita petang TV yang menjadi kegemarannya. Entah mengapa sang istri masih ‘menggerutu’ entah omong apa yang kedengaran samar-samar sama suaminya. Suaminya yang sesungguhnya tengah asyik menonton hiburan satu-satunya karena jarang ke luar rumah, merasa tidak enak dan beranjak mencoba membenahi peralatan yang masih tercecer.  Ketika dia membenahi, sang suami melihat berkas-berkas istrinya berceceran, kursi rumah yang tidak tertata rapi dan kotor, di kamar terlihat baju-baju teronggok tidak karuan, tiba-tiba ‘merasa’ diingatkan bahwa istrinya juga tidak benar atau ‘jarkoni’ bahkan lebih parah lagi kondisinya. Muncullah protes dalam dirinya, ‘kenapa ia tidak ngomel perihal kekurangan istrinya juga ? Sebagai suami juga ia punya hak meminta bagaimana tugas istri semestinya’.
  
Kesadaran itu, entah mengapa bahkan melahirkan kesadaran baru yang lebih besar dan irama protes itu kian mengalir dalam diri sang suami. Ia ‘merasa istrinya’lah yang sesungguhnya lebih parah, sesungguhnya kalau tadi ‘tidak tersulut’, sebagai suami ia sadar dan mengerti bahwa istrinya adalah wanita karir, jadi tidak bisa diharapkan menjadi istri yang relatif sebagaimana umumnya seorang istri, ada kemandirian yang besar, separuh waktu tidak ada di rumah, sering jam 8 pagi harus berangkat kantor dan umumnya pulang jam 5 sore, pulang kantor yang sering dicari koran (bila pagi tidak sempat membaca) lalu berbaringan di kamar dan atau sambil sesekali berkomunikasi dengan anak-anak tetapi sering nadanya berupa ‘perintah dan komunikasi bernada tegang’ ’, misalnya saja: ‘mandi !!!’, ‘hayo belajar ’, ‘lewat maghrib tidak boleh nonton TV’, ‘kamu kenapa kemarin pulang malam’, ‘udah jangan main melulu’, ‘jangan tanya, baca dulu bukunya’ dan seterusnya. Anak-anak tak disangka jadi terasa lebih berani membantah atau menanggapi dengan nada tinggi kepada ibunya ketika bicara. Sang istri menjadi harus minta campur tangan suami ketika tidak bisa mengatasi, bukan tidak intropeksi bagaimana cara pendekatan dan perhatian yang lebih pada mereka. Kalau diingatkan atau disalahkan yang terjadi menyalahkan kembali dan sering anak menjadi sasaran perintah ini itu. Bagi sang suami, istri adalah ibu dari anak-anaknya, ibu adalah kunci, doa dan jalan pembentukan pribadi dan kesuksesan bagi anak-anak, maka sebaiknya ia punya waktu banyak untuk mereka. Bayangkan kalau biasanya istrinya tidur jam 9-10 malam, coba hitung waktu efektif untuk komunikasi positif pada anak ? 

Pada sisi lain, sang istri ‘merasa’ bahwa ia telah bekerja banting tulang ikut menafkahi rumah tangga, mana cukup mengandalkan gaji suaminya saja, jadi jangan salahkan waktu saya tersita untuk kerjaan kantor, urusan rumah kan sudah saya serahkan pembantu yang ngurus, urusan anak dan yang kurang termasuk menyangkut rumah ya tanggung jawab bersama, komunikasi dengan anak-anak dan suami baik kan lewat hp juga bisa sekarang, soal yang kurang misal sering tidak ada sarapan pagi di rumah, pulang sore, rumah yang dianggap kurang rapi ‘ya jangan dibebankan ke saya saja’.  Suami saya kan juga sering ke luar kota, itu juga yang harus menjadi instropeksinya, kadang ia tidak tahu perkembangan anak-anak, sering lupa hari-hari yang penting untuk keluarga, perhatian ke saya juga kurang, terus rumah seperti ini kan melelahkan mengurusnya, anak-anak ditugasi untuk urusan rumah sering lupa dan harus selalu diingatkan, kadang capai kita. 

Dua belah pihak, istri dan suami ‘merasa’ telah melakukan hal yang benar menurut mereka masing-masing. Dari kacamata masing-masing tentu itu benar, karena mereka menilai dengan ukurannya sendiri-sendiri. Memang ‘merasa’ kata guru spiritualku adalah merupakan penyakit yang harus kita hindari, karena ‘merasa’ adalah suatu keadaan sepihak yang sesungguhnya semu dan bukan keadaan yang sesungguhnya terutama dinilai dari keadaan komunal mereka. Kalau ukuran tentang pribadi maka tata nilai yang menjadi ukuran adalah ‘personal’ tetapi kalau menyangkut ‘pasangan’, ‘keluarga’, ‘kelompok’, ‘masyarakat’ maka ukurannya tidak bisa lagi personal tetapi berlakukah ‘norma umum’ yang berlalu di komunal tersebut. Terjadinya perselisihan, perceraian, perpecahan kelompok paling banyak terjadi karena penyakit subyektivitas personal yang ‘merasa’ paling benar atau paling lainnya. Tanpa saling memahami masing-masing peran, kesukaan, harapan, kelemahan, kebencian, kesepakatan, komitmen pada pasangan, keluarga atau kelompok maka harmonisasi tidak akan kita dapatkan. 

Klaim 'merasa' ini tidak saja terjadi dalam keluarga, di organisasi juga bisa terjadi, seseorang anggoto atau pengurus sering merasa paling berperan, berjasa dalam pengembangan organisasi. Untuk menyehatkan hubungan sebaiknya bisa berperan secara riil, bukan merasa, Seorang guru laku lain menyarankan agar kita 'rendah diri', mau mendengar koreksi dari orang lain, lalu belajar secara jernih mawas diri yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan ikhlas. Iklas menjadi kunci, karena orang yang ikhlas sesungguhnya adalah orang yang sayang pada jiwa dan tubuhnya, sebab itu berlaku ikhlas pada dasarnya menyehatkan. Ketika kita masih mementingkan diri sendiri lebih banyak dan memaksa orang lain menuruti kemauan kita, maka sesungguhnya ‘kita belum ikhlas berkesadaran dan berkesabaran’, kita masih memilih peluang menyakiti diri kita dan keluarga kita. Ikhlas juga bermakna siap berbagi hak dan kewajiban, tidak terus-menerus menyalahkan orang lain, tetapi mau berupaya menggali kesalahan diri sendiri dan gentlemen mau memperbaikinya. Intropeksi itu penting. Semisal dalam keluarga terjadi seorang suami yang sepenuhnya sudah menyerahkan gajinya pada istrinya, sewajarnya sang istri mencoba amanah pada kepercayaan itu, termasuk menyediakan sarapan pagi yang diperlukan segenap anggota keluarga. Jangan sampai sang suami terus menerus bersabar, atau terpaksa mencari-cari sarapan dengan cara yang lain yang bisa menyinggung atau menyakitkan. Masing-masing harus saling ikhlas mengisi, jangan mempermasalahkan kesalahan kecil yang tidak perlu, sebab hal itu bisa menjadi pemicu ‘tumpahan’ permasalahan yang lebih besar. Berbahaya !!!!!!

Kamis, 06 September 2012

'GOYANG JURNAL' INUL



Hari ini Kamis 6 September sampai nanti hari Sabtu 8 September 2012 saya berada di Grand Palace Malang mencoba ngecas semangat tentang bagaimana kita memiliki kemampuan menulis jurnal dengan benar. Para pendekar penulisan jurnal menyampaikan jurus-jurus ampuh bagaimana memulai penulisan jurnal. Hal awal penting yang tidak boleh dilupakan ketika akan memulai menulis jurnal adalah dengan mengawalinya melakukan evaluasi diri.  Evaluasi diri dimaksudkan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan diri kita sebagai ilmuwan serta penelitian-penelitian kita. Ketahui berapa besar ‘delta’ sumbangan simpulan kegiatan penelitian kita bagi khazanah ilmu pengetahuan. Ketahui seberapa besar makna temuan, capaian.  substansi  hasil penelitian yang kita lakukan. Hal itu penting  sebagai pijakan bagaimana kita membahasakan hasil penelitian kita di jurnal yang akan kita pilih secara tepat sasaran dan benar.

Wow….saya sadar, selama ini saya tidak begitu serius evaluasi diri, atau tidak pernah memulai dengan cara ‘evaluasi diri’. Evaluasi diri akan menggiring kita terjauh dari penyakit ‘produk tulisan’ jurnal yang asal-asalan.  Akan terbangun kesadaran positif, betapa pentingnya kita memahami posisi/ peran kita dalam kronstruksi besar keilmuan kita. Akan menyadarkan pentingnya  ‘etika, unggah-ungguh, dan strategi menulis jurnal.  Setidaknya agar tidak terjebak pada tindakan culas ‘ilmiah’, misalnya mereka-reka atau mengubah-ubah data (falsifikasi), mengarang atau membuat data penelitian untuk simpulan yang kita inginkan (fabrikasi), atau mengakui penelitian orang lain menjadi penelitian dirinya sendiri (plagiasi).  Evaluasi diri penting juga  untuk membantu mengarahkan kita agar kita bisa ‘menempatkan diri’ kita pada komunitas keilmuan kita, ‘wadah jurnal’ yang akan kita pilih, termasuk berkesadaran untuk berkemauan mengikuti ‘gaya selingkung’ jurnal  yang beda satu dengan yang lain, karena penulis yang baik tentu tidak akan  berkontribusi hanya pada satu jurnal saja.

Kata guru-guru laku senior yang menjadi nara sumber pada kegiatan itu, bahwa hal umum yang sering mengurangi kredibilitas penulis adalah tindakan ‘plagiarisme’, yaitu mengambil kata-kata atau kalimat atau teks orang lain tanpa memberikan acknowledgment (dalam bentuk sitasi) yang secukupnya.  Plagiarisme adalah penganiayaan intelektual, karena hal ‘karya orang’ lain yang selayaknya kita hargai justru mereka lakukan perampokan atau penyulikan atas ‘buah pikiran’ mereka dengan klaim karya dirinya. Plagiarisme juga bisa terjadi tidak menyangkut kekaryaan orang lain, tetapi menyangkut pencurian ilmiah pada dirinya sendiri, orang menyebut sebagai ‘self plagiarisme’. Keculasan ilmiah pada dirinya sendiri ini dicirikan dengan adanya tindakan publikasi berulang karya dirinya yang sesungguhnya sama, akan lebih parah kalau itu dilakukan atas dasar oreintasi kredit poin.

Di dunia maya sekarang ini sedang dihebohkan atas munculnya ‘semacam’ tindakan pelecehan jurnal ilmiah akibat munculnya ‘karya ilmiah’ dengan autor guyonan mencatut nama penyanyi dangdut tenar Inul Daratista dan penyanyi seksi Agnes Monika di African Journal of Agricultural Research vol 7 (28) terbitan bulan Juli 2012 berjudul ‘Mapping Indonesian paddy fields using multipletemporal satellite imagery’.  Pencatutnya juga tidak jelas, karena menggunakan nama samara ‘Nono Lee’ beralamat Institute of Dangdut, Jalan Tersesat No.100. Jakarta. 10000. Indonesia.  Komunitas jurnal, beberapa Koran, blogger, peneliti menjadi heboh, mereka berkomentar atas pandangan masing-masing terhadap tohokan tersebut. Ada yang menyalahkan pihak jurnal yang memuat karena dianggap ceroboh. Ada yang menganggap ini kritik terhadap ‘dunia kejurnalan’ nasional dan internasional.  Ada yang menganggap hal tersebut sebagai bentuk pelecehan ilmiah. Di sisi lain suka tidak suka Inul dan Agnes namanya kembali jadi pembicaraan, kemudian African Journal situsnya banyak dikunjungi.

Guru spiritualku berpendapat bahwa fenomena yang digambarkan di atas sepertinya bukan merupakan tindakan sederhana seseorang, tetapi bisa juga merupakan tindakan orang-orang yang sedang ‘protes’ terhadap kebijakkan pemerintah yang ‘nyata menilai lebih tinggi’ publikasi internasional’ dibanding publikasi nasional.  Apa yang dilakukan Nono Lee ini,  ternyata bukan yang pertama karena ia telah melakukan hal serupa pada bulan Juni, juga ada kesan’ meledek’, tetapi tidak heboh karena pada penerbitan pertama tidak mencatut nama populis. Mungkin Nono Lee ingin mengingatkan bahwa ‘pubikasi internasional’ bukan satu-satunya jalan keluar menumbuhkan ‘standing academic’. Publikasi nasional juga harus diberi peran yang besar, diapresiasi dan tumbuhkan secara konstruktif.  Guliran kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang merekomendasikan ’publikasi internasional’ menjadi syarat bagi kelulusan mahasiswa pascasarjana di Indonesia. Ada orang bicara bahwa masyarakat perguruan tinggi kita belum siap. Dikawatirkan kebijakkan tersebut justru akan mempersulit kelulusan atau terjadi pemudahan atas fasilitas jurnal internasional ‘abal-abal’ yang sangat mungkin dikelola oleh ‘petualang ilmiah’ yang melihat bahwa pengelolaan ‘kejurnalan internasional’ memiliki peluang ekonomi yang prospektif, karena penduduk Indonesia yang besar dan masih banyak tidak malu menempuh jalan instan. 

Jumat, 08 Juni 2012

RAKUS

Bincang-bincang tentang nasib bangsa, terbersit aneka permasalahan. Ada permasalahan kemiskinan, permasalahan pengangguran, permasalahan korupsi, permasalahan kekerasan, permasalahan pelanggaran hak asasi, permasalahan hukum, permasalahan kinerja anggota dewan, permasalahan banjir, sengketa lahan dan masih banyak lagi permasalahan bangsa ini. Permasalah-permasalahan di atas kalau kita telusuri dan kita cermati akar masalahnya bertumpu pada 'sikap rakus' sebagian bangsa ini, bukan seluruh bangsa, tetapi walau sebagaian kecil mereka yang rakus ini demikian dominan sehingga mampu membungkam hal-hal yang semestinya 'terang benderang'.


Bumi bangsa yang siapapun tentu mengakui gemah ripah loh jinawinya, carut marut dieksploitasi bukan untuk sepenuhnya demi kemakmuran rakyat Indonesia tetapi bergeser dari UUD 1945 menjadi demi kemakmuran segelintir orang. Karena itu, tidak heran kemudian semua potensi alam negara bangsa ini sebagian besar berpindah tangan penelolaannya ke pihak asing, dan tentu sebagian besar keuntungan akan terdistribusi ke pihak asing yang sebesar-besarnya dan hanya sedikit yang berkucur ke masyarakat Indonesiua. Free Port di Timika Papua jelas-jelas produktivitas emas dan logam-logam tambang lainnya mengalir ke Amerika, penulis saksikan sendiri masyarakat di sekitarnya jauh dari sentuhan kesejahteraan, bahkan mereka seperti dibiarkan dalam kemiskinan dan kebodohan. Di Kalimantan eksplorasi batu bara tanpa malu dan merasa bersalah meninggalkan permasalahan kerusakan lingkungan masyarakat  di sana, dan berpotensi bencana longsor dan banjir di kemudian hari setelah mereka menguras rupiah dan dollar di sama.


Tali temali kerakusan memungkinkan semua terjadi, satu pihak penambang yang rakus tidak peduli merusak lingkungan demi melegalkan aktivitasnya bermitra dengan para petualang tambang yang mengetahui betul dengan siapa mereka harus bermitra misalnya pejabat, penegak hukum, tetua adat,  keamanan, preman-preman yang juga rakus atau bisa diajak rakus. Kerakusan di sini adalah mengambil sebanyak-banyaknya tanpa peduli kebutuhan tersebut sesungguhnya telah mengambil hak orang lain. Akhirnya penambangan yang semestinya pada areal yang sempit bisa bertambah luas, yang semestinya legal jadi tidak legal, yang semestinya terkendali menjadi tidak terkendali. Kongkalikong tidak terjadi bidang pertambangan saja, tetapi di berbagai sektor dan bidang.


Kasus korupsi adalah gambaran nyata tindakan lain yang berlandasakan  sikap rakus. Mereka yang korup entah mengapa tidak puas dengan apa yang semestinya mereka terima berdasarkan hasil kerjanya. Bagi mereka yang sudah kerasukan sifat 'rakus', gajih seberapapun besarnya yang mereka terima masih akan terasa kurang dan mereka akan berbuat dengan berbagai cara dan upaya untuk mengambil lebih. Nalar positif yang biasanya mengajak untuk menghindari perilaku dan tindakan tidak baik sudah mati rasadan tidak kuat lagi membisiki sang rakus agar tersadarkan untuk berhenti mengambil secara berlebihan dengan cara yang tidak benar. Mereka yang sudah rakus sudah bebal terhadap ancaman-ancaman, hukuman, resiko dunia akherat; kadang bahkan mereka pikir semua bisa dibeli.


Kerakusan bisa dihindari, dicegah dan diperangi dengan puasa. Itulah, mengapa hampir semua agama dan kepercayaan selalu mengajarkan puasa. Puasa mengajarkan kepada kita merasakan bagaimana berada dalam situasi kelaparan, kesusahan, dan kemiskinan. Guruku spiritualku pernah berkata Apalah artinya mendapat banyak kalau hanya sedikit yang bisa kita nikmati. Harus kita sadari bahwa sudah memiliki batas asupan, kalau asupan kita berlebih maka ada konsekuensi bahwa pada sisi lain yang terkurangi. Dalam hidup ada hukum interdependensi, hukum saling berketergantungan, satu hal akan menjadi sebab dan penyebab keadaan yang lainnya. Hukum limitasi atau hukum keterbatasan, semua hal sudah ada ukurannya siapa mengambil lebih tentu ada implikasi ketika lebih. Semua bertemali menjalin satu dorongan energi, kalau kita positip akan positif tetapi kalau kita rakus maka hal negatif yang akan kita panen. Jadi menurutku, belajar berbagi itu memang sangat penting.




   


Sabtu, 26 Mei 2012

LADY GAGAL


                Jagat Indonesia yang tenang-tenang saja, tiba-tiba hiruk pikuk gegap gempita lantaran ada penolakan ‘pagelaran Lady Gaga’. Tidak itu saja, hiruk pikuk rencana pertunjukan kini malah berubah menjadi kegaduhan. Dimulai dari ancaman ‘ormas keras’ yang menolak dan mengancam akan membubarkan pertunjukan jika tetap diselenggarakan, hal tersebut memunculkan kegundahan penggiat seni atas pelanggaran kebebasan ekspresi , mengundang empati para penggiat HAM, mengundang simpati para agamawan yang mengedepankan toleransi, menjadikan posisi polisi yang canggung dan serba salah karena tidak mau terpancing emosi. Sikap polisi yang canggung, memancing kritik masyarakat terhadap salah satu institusi penegak hukum ini, masyarakat sampai pada kesimpulan polisi tidak berani menghadapi ‘ormas keras’, polisi menjadi banci, menjadi tidak berdaya.
                Seorang guru bijak menulis di media, bahwa bangsa ini tidak pernah dewasa, bahwa bangsa ini tidak cerdas, tidak sadar bahwa ‘polemik’ adalah cara modern untuk publikasi gratis. Konser Lady Gaga sesungguhnya bila diwajarkan, paling hanya akan ditonton oleh sebagian masyarakat yang menggilainya. Maksimal sesuai kapasitas tempat pertunjukan, hanya akan ditonton oleh orang yang mampu membayar tiket ratusan ribu hingga jutaan. Tetapi begitu dipolemikan, seluruh bangsa ini dipaksa mengenal Lady Gaga melalui polemik di televisi, radio, internet, anak-anak muda secara otomatis penasaran ingin mengetahui ‘penyanyi kontroversial’ ini. Akhirnya yang semestinya bila Lady Gaga hanya dilihat masyarakat melalui pertunjukkannya, maka masyarakat hanya mengetahui apa yang boleh ditampilkan di Indonesia. Tetapi ketika terbangun polemik, kepenasaran masyarakat terutama anak muda, dengan leluasa terpenuhi oleh keterbukaan dunia maya. Di dunia maya siapapun bisa melihat penampilan sang lady dalam berbagai gaya, termasuk yang bagi masyarakat Indonesia dianggap tidak layak menjadi tontonan.
                Angka brossing tentang Lady Gaga tentu terus menerus naik, karena dari hari ke hari kepenasaran dan komentar melalui posting di web juga terus naik, kreativitas komentar, dorongan untuk berpendapat tentu menggelitik semua orang. Seperti penulis ini, terus terang, berarti sudah tergelitik menambah jumlah tulisan tentang sang lady. Bila kita brossing akan tersedia ratusan juta hal menyangkut penyanyi kontroversial ini. Ini yang menurut sang guru bahwa ‘polemik’ yang terjadi telah lebih merusak pikiran bangsa ini, dibanding bila tanpa kontroversi di masyarakat yang cenderung dikipas-kipasi oleh pers dan media elektronik. Bila dihitung secara rupiah, energy, waktu yang tersedot kasus ini  tentu nilai kerugian dan kesia-siaan tidak sedikit. Pengguna internet di Indonesia menurut Word Internet Statistic 2012 negeri ini berjumlah 55 juta pengguna. Sangat besar potensi masyarakat yang bisa terpancing untuk yang menggugah ‘polemik panas’, dan sangat besar potensi kesia-siaan penggunaan waktu, dana, energy yang bakal terjadi.
                Terus terang saya pribadi menjadi tertarik komentar dan menulis ini adalah ketika ada salah seorang teman di BBM mengupload gambar bertajuk ‘Lady Gagal’, ya bukan Lady Gaga, dan yang terpasang adalah wajah artis komedian dengan wajah kocak plus keriput-keriput di kulit muka, tetapi dandanannya bergaya Lady Gaga. Kontan saya ketawa kecil, beberapa teman yang ikut melihat malah tertawa ngakak. Bayangkan, polemik tersebut secara pasti mendorong keisengan orang, sangat ironis, karena foto semacam itu bisa bermakna pelecehan pada seseorang, penghinaan pada orang lain yang bisa jadi melanggar hukum. Saya yakin awalnya mungkin peng-up load hanya ingin guyon dan iseng, tapi hal tersebut bisa berbalik menjadi kasus hukum, yang tidak pernah disadarinya sebelumnya. Hukum pemikiran selalu akan terjadi, mana kala berkembang pemikiran negatif di masyarakat maka energy, daya, kreativitas  negatif secara otomatis akan terdorong menyertainya. Ya….beginilah masyarakat kita, mudah terpancing. Masyarakat kita butuh panutan. Padahal kita semua juga belum tahu bagaimana sesungguhnya Lady Gaga sesungguhnya, denger-denger dia bukan orang biasa, tetapi orang pintar dan orang berprinsip di era serba hypermodern atau dengan kata lain bukan orang gagal. Sudahlah mari kita sudahi pembicaraan kita tentang Lady Gaga. Stop dan stop.
                Seorang bijak lain bertutur, memang capaian apapun dalam kehidupan sungguh sangat ditentukan bagaimana sikap kita terhadap segala sesuatu hal yang tengah kita hadapi. Kalau kita memandangnya secara negatif, maka segala hal menyangkut diri kita baik pikiran, waktu, semangat, energy, intuisi akan teraktualisasi untuk menggali dan menyuguhkan hal-hal negatif ke kepala kita. Juga segala hal menyangkut lingkungan kita, jelas akan mengakomodir harapan negatif kita dan energy, suasana, bayangan-bayangan, materi, orang-orang, keluarga dan lain-lain akan cenderung memberi input yang negative. Ekstrinya, misal bila kita sudah berpikir negatif pada orang terdekat kita, maka kecurigaan, prasangka akan terus datang mendera, dan secara tidak sadar kedekatan kita makin berkurang, akan lahir sikap, pandangan yang membentuk jarak, yang biasanya mesra jadi tidak mesra, yang biasanya penuh perhatian menjadi cuek, yang biasanya bermanja lahir sikap cuek. Jangan salah jika kemudian lingkungan luar akan mendorong juga partisipasi membangun negativitas yang kita bayang dan pikirkan. Orang terdekat kita yang sesungguhnya tengah berada pada pikiran positif, bisa jadi tidak akan terus-menerus kuat tergoda paparan hal negatif yang kita bangun. Bisa jadi orang tercinta kita malah menemukan hal positif baru. Pikiran memang dasyat bisa menggiring energy dan lain-lain sesuai dengan apa yang dibangunnya.    

Minggu, 29 April 2012

PERSONAL BRENDED



            Dalam kehidupan kita, sering kita mendengar ‘julukan atau label’ yang melekat atau diberikan pada kelompok atau perorangan, misal cap terhadap anak-anak Malang sebagai ‘Singo Edan’, atau suporter Persebaya sebagai ‘Bonek”, label itu seolah menggambarkan anak-anak Malang bisa sangat galak, suporter persebaya sangat berani ‘nekat’ modalnya. Label perorangan sering pula kita dengar, missal si Tanto itu ‘Kompor’ kalau ada dia suasana pasti jadi panas dan heboh, si Tantri itu ‘Prangko’ gampang nempel pada siapa saja, Si Rendra seniman Si Burung Merak, kalau tampil sangat menawan. Sesungguhnya semua orang bisa punya label, atau dalam kontek positif semestinya punya ‘label’. Tapi pernahkah kita merenungkan tentang ‘label atau julukan’ yang melekat pada kita ?  Apakah pernah kita perduli dengan ‘label’ kita ?

            Seorang teman bertutur kepada saya, “saya sih orangnya suka berbagi”. Pada keseharian, sang teman ternyata benar punya kecenderungan bisa berbagi dengan teman-temannya, ia lihat sang teman mudah ringan tangan membantu, mentraktir, memberi sesuatu, berbagi sesuatu walau hanya sederhana berupa informasi. Dengan suka rela begitu ia mendapatkan informasi penting untuk teman-temannya, ia sempatkan kirim berita melalui sms ke seluruh teman-temannya. Berbeda sekali dengan Dodo seorang teman lainnya yang cenderung ‘Cuek’, segala hal menyangkut informasi dan lain-lainnya cenderung semua untuk sendiri dan tidak mau dibagi. Ketika label sudah terbentuk, maka kecenderungan pembentukan karakter personal tentu akan diwarnai label tersebut. Kalau kita faham akan hal ini, maka sesungguhnya ‘personal branded’ menjadi sangat penting dan bisa menjadi strategi pengembangan diri.

            Selayaknya kita perlu merenungkan dan melakukan pencarian ‘branding’ atau ‘label’ yang layak melekat pada kita. Label biasanya berkait dengan pandangan hidup seseorang, visi dan misi, cara berbicara, perilaku, kegemaran, baik menyangkut hal sederhana maupun hal komplek menyangkut hal itu. Karena itu sesunmgguhnya ‘personal branded’ bisa dibentuk, bisa ditata sesuai dengan harapan seseorang.  Saya jadi ingat sang teman yang bertutur betapa indahnya bisa berbagi, sesungguhnya ia tengah melebel dirinya ‘orang yang suka berbagi’. Ternyata semangat itu begitu kuat terbangun dan sering menjadi corak kehidupan hariannya. Sang teman bila tidak ada hal yang benar-benar menghalanginya akan dengan senang hati berbagi dengan siapapun, termasuk orang yang baru dikenalnya. Suatu saat saya merasakan sendiri ketika pulang dari Surabaya bersama dalam satu bus, karena keterbatan tempat duduk kami duduk terpisah. Begitu duduk ia terlihat menyawa orang disampingnya, lalu terlihat asyik berbincang, sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa karena orang yang sebangku denganku tertidur pulas. Kebiasaan berbagi cerita sang teman, menjadikan perjalanan yang bagiku menjenuhkan karena macet di Porong justru bagi dia terasa tidak terasa, tahu-tahu sudah sampai tempat tujuan karena keasyikan berbagi cerita. Karena konsep berbagi tidak harus berbagi material, berbagi informasi dan pengetahuan adalah juga tindakan berbagi.

            Ketika kita menemukan ‘label’ yang kita inginkan melekat pada diri kita, maka dorongan pikiran, kata-kata, tindakan dan ukuran kepuasan secara otomatis akan berkiblat ke label tersebut. Label ‘destroyer’ akan menggiring seseorang pada tindakan cenderung merusak, pikirannya, kata-kata pilihan, tindakan akan diwarnai hal yang merusak dan rasa kepuasan juga menuntuk ‘puas’ kalau ada yang rusak. Oleh karena itu, kata Guru Spiritualku personal brended bisa pula konstruktif untuk membangun pribadi yang baik. Misalnya ketika kita melabel diri kita sebagai ‘Si Bijak’, maka secara otomatis cenderung akan melahirkan keinginan mewujudkan klaim label itu. Yang pasti kita akan mefahamkan tentang apa yang dimaksud bijak dan bagaimana bisa berpikir, berkata-kata, bertindak dengan bijak dengan penuh keiklasan. Kalau seseorang ‘mengklaim atau diklaim’ sebagai ‘Si Lamban’ maka pikiran, kata-kata, tindakan dan perasaan akan mentolerir hal-hal yang menjadikan mereka lamban. Jadilah mereka benar-benar lamban.

            Membuat label diri dan mengaktualkannya adalah hal penting sebagai strategi hidup, hidup jangan digulirkan saja tanpa ‘disain’ bentukan seperti apa ‘diri kita’ hendak dikembangkan. Ibarat membuat bangunan sebagai tempat tinggal kita, maka perencanaan menyangkut disain, tata ruang, hingga pilihan cat dan dekorasi rumah menjadi hal yang sangat membantu dalam mewujudkan rumah impian itu. Mari kita belajar mencari dan menentukan ‘personal branded’ macam apa yang layak untuk diri kita. Lalu kita renungkan dan pikirkan bagaimana langkah-langkah untuk mewujudkannya. Jadikan label itu hidup dalam pikiran kita, lahirkan daya dan power yang dasyat. Keberanian untuk terus mengevaluasi capaian menuju ‘label’ yang kita inginkan dan mencoba terus memperbaikinya akan makin mendekatkan pada ‘harapan’ yang kita cita-citakan. 

Minggu, 25 Maret 2012

MULTI TALENTA



Saya punya seorang teman kuliah yang sangat istimewa, ndak tahu apa yang membuatnya demikian, karunia Allah barangkali, tapi sungguh saya bisa katakan bahwa dia ‘teman serba bisa’. Di kelas IP-nya selalu di atas 3, tak heran beberapa dosen memilihnya menjadi asisten di laboratoriumnya. Dia juga aktivis mahasiswa, dalam periode kuliahnya ia pernah jadi dedengkot Senat Mahasiswa atau Badan Perwakilan Mahasiswa. Dia juga penggerak perkesenian di kampunya, ngurusi teater, karawitan, seni lukis. Dia adalah aktor teater tangguh, pemain watak, kalau berpantomin membuat teman-temannya kagum atau tertawa karena lucu. Dia juga sutradara yang pintar membuat pentas diminati penonton dan sponsor menyumbang. Di luar kampus aku juga tahu dia jadi penggerak pelukis di kotanya, lukisannya juga tidak memalukan. Dia juga pemain inti softball di kampus, sering kalau tanpa kehadirannya timnya jadi pincang karena dia berposisi di picher, sang pelempar bola, tidak semua bisa.
Keistimewaan sang teman ini tidak berhenti di situ, suaranya ketika harus menyanyi juga bermain musik bisa diterima anggota group lainnya. Aku masih ingat bagaimana kami memenangkan kompetisi ‘tari se Indonesia’ , tampil dengan “rampak banyumasan’ dan dialah yang jagi vokal dengan celotehan jenakanya. Ia bisa menjadi pelawak, tapi juga bisa menjadi sosok yang serius berdebat dan diskusi bidang ilmunya.  Termasuk juga bisa menjadi anak muda yang romantis, tidak seperti aku  yang jomblo hingga tua di kampus, sementara dia punya kekasih yang cantik jelita.
Guru spiritualku bilang bahwa orang seperti teman yang satu ini adalah orang yang dikaruniani ‘ bakat –bakat bawaan’ , ia banyak mempunyai keistimewaan , seolah menjadi orang serba bisa. Akupun meyakini karunia seperti itu, tidak banyak orang bisa memiliki keistemewaan seperti itu. Kemampuan memang bisa diasah, bisa dibentuk, tapi kalau tidak memiliki bakat bawaan akan sulit mematangkannya apa lagi untuk eksis menjadi bekal hidup di masyarakat. Bukti lain keistimewaan sang teman yang adalah pada bidang kepemimpinan, belakangan aku dapat kabar bahwa ‘dia’ sekarang sukses menjadi ‘seorang bupati’ di daerah asalnya dan dicintai rakyatnya.
Guru spiritualku yang lain mengatakan bahwa orang seperti teman yang menjadi cerita pada tulisan ini adalah ‘seorang dengan multi talenta’ , yaitu orang yang lahir dengan kemampuan –kemampuan  istimewa yang banyak. Allah membekali otak, indra dan badan yang sama kuatnya, sehingga antara kerja pikiran, olah indra dan tubuhnya bisa berjalan seirama, harmonis, sehingga menghasilkan olah pikir dan tubuhnya seringkali sesuai dengan harapannya.  Menurutku, sang teman yang yang memiliki multi talenta itu barangkali kuncinya karena dia juga percaya memiliki kepercayaan diri yang besar, kepercayaan diri itu yang membuatnya melakukan banyak hal tanpa bebean, keyakinan itu pula yang membuat ia bisa meraih apa yang diinginkannya.
Keyakinan adalah modal penting untuk kita berbuat dan meraih kesuksesan. Karena keraguan diri , rasa takut, emosi, kegelisahan pikiran akan melahirkan disoreintasi dan disingkronisasi antara pikiran dan tubuh. Niat hati ingin bersuara merdu tapi yang keluar sumbatan di tenggorokan sehingga keluarlah suaranya yang parau dan sumbang, niat hati dan pikiran untuk mengajak gelak tawa tawa orang tapi yang muncul tata kalimat yang justru menyinggung orang lain dan laku yang tidak semestinya, niat hati dan pikiran untuk tampil sabar dan tenang tapi ternyata tubuh tidak kompromi sehingga muncul tangan yang gemetar dan wajah yang memerah, Memang disharmoni pikiran, tubuh dan indra kita harus dinetralisir dengan kepercayaan diri yang tangguh, tapi itu tidah mudah, tidak gampang apalagi tanpa talenta dari sononya.  

Rabu, 29 Februari 2012

SALAH KAPRAH

Mengikuti diskusi di masmedia, topik hangat yang lagi naik daun dikupas adalah mengenai banyak pihak yang menganggap banyak politisi kita yang  suka berbohong. Salah satu yang dicurigai bohong adalah keterangan Anggie ketika menjadi saksi kasus M Nazaruddin. Sepertinya keadaan tersebut makin membenarkan klaim para pemuka agama beberapa waktu yang lalu bahwa punggawa 'pemerintah' negeri ini telah banyak melakukan kebohongan.Makin hari makin terkuak, makin terang benderang kebusukan-kebusukan para punggawa negeri yang telah kita percayai memimpin bangsa dan negeri ini. Korupsi makin-menjadi-jadi, kemiskinan bukan berkurang malah makin bertambah, pembangunan terseok-seok, bencana, kekerasan menjadi hal biasa yang menyedihkan.

Seorang guru mengatakan keadaan negeri ini sudah salah kaprah. Pembenahannya sangat sulit, banyak hal kondisinya berada pada tataran yang tidak semestinya. Misalnya, kita bicara Anggota Dewan yang terhormat, kenyataannya kita semua tahu banyak berisi orang-orang yang gila hormat dan tidak layak dihormati. Lagi misalnya Hakim yang mulia, bagaimana bisa mulia kalau dalam menangani persidangan keseimbangan dia tidak menyadari bahwa ia lagi sebagai 'Tangan Tuhan " sehingga putusannya semestinya tidak terpengaruh oleh lembaran dolar, emas batangan, kekuasaan atau ancaman.Misal lagi 'polisi' sebagai aparat penegak hukum banyak kita tahu banyak yang bermain manipulatif dan kolutif, yang punya uang dibelani dan yang miskin dan tak berdaya dipenjarakan.

Pendidikan, kebenaran, moralitas bukan hal menarik lagi karena semua tidak memiliki arti di masyarakat, semua bisa dibeli dengan uang, kolusi dan nepotisme. Buat apa susah-susah belajar, orang yang tidak tamat sekoilah atau kuliah bukan rahasia lagi mereka bisa dengan uang ia dapat ijasah dan gelar doktor sekalipun. Kerja, jabatan, karir, kedudukan, pendapatan tidak banyak similar dengan jenjang kecakapan, kepandaian dan pendidikan. Seorang profesor yang untuk mendapatkannya sedemikian sulit, gajinya masih kalah dengan   seorang sarjana yang kerja di perpajakan. Kebenaran bukan hal yang membanggakan karena bisa dipelintir sedemikian rupa dengan uang dan kebohongan jamaah. Moralitas juga bukan hal yang 'adi luhung' dan menarik untuk diperjuangkan, karena sekarang banyak menjadi kedok para pemimpin, politis, 'ulama' untuk mencapai kehendaknya sehingga susah dicerna positifnya.

Saya setuju dengan seorang Suhu dari China, yang menyarankan rakyat Indonesia meniru bangsa China mengatasi problem keterpurukannya dahulu, yaitu dengan melakukan 'revolusi berdarah'. Semua koruptor dan orang yang salah besar pada kebobrokan negara dihukummati dan hartanya disita untuk negara. Cuma saya pikir juga akan sulit pelaksanaannya, mungkin karena lantaran banyaknya orang yang harus dihukum mati. Usul menarik dari teman di Banyuwangi, yaitu dia berpendapat bagaimana bisa tidak dukun-dukun santet bersatu, menyepakati sebuah santet nasional berkait korupsi, siapa yang benar-benar korupsi akan menderita penyakit aneh dan mematikan. Mungkin dengan cara demikian kesalah kaprahan bisa diperbaiki, bisa menjadi momok dan hal menakutkan orang yang akan melakukan. Ah....Ngoyoworo...   
 

NGLURUG TANPO BOLO MENANG TANPO NGASORAKE



                Seorang teman bincang-bincang dengan teman lainnya tentang kehebatan bangsa ‘Jepang’. Mulai dari semangat samurai, hakakiri, Yakuza, Fuji Film, Honda, Gunung Fujiyama, hingga bunga sakura. Siapa tidak mengenal negeri matahari terbit ?  Demikian kata salah seorang yang ada di komunitas bincang-bincang tersebut. Sekarangpun anak-anak kita barangkali Nampak lebih akrab dengan produk negeri ini disbanding dengan mengenal produk negeri sendiri. Filom anak misalnya anak-anak lebih familier dengan ‘Doraewmon’ di banding ‘Si Unyil’ bahkan film yang lainnya misalnya: sepakbola Jepang, Komik Jepang, Maruto dan lain-lain.
                “Produk Jepang sedemikian rupa bisa merajai di berbagai belahan dunia, pernahkah kita mencoba memikirkan mengapa bisa demikian ?” Tanya seseorang lainnya.
                “ Itu karena ethos mereka, pernah lihat film samurai ? Wooo ….. sangat mengesankan, kita bisa melihat bagaimana ‘kegigihan’, ‘kegagahan’ , ‘rasa hormat’, ‘ketaatan’ …….” Kata yang lainnya.
                   Berceritera tentang Jepang, aku ingat seorang Guru pernah membuat sebuah pembelajaran yang menarik dengan contoh ‘produk Jepang’. Sang Guru menjelaskan bahwa ‘bangsa Jepang’ yang berkenalan dengan budaya Jawa hanya seumur jagung, justru telah mampu menerapkan falsafah jawa penting yaitu: nglurug tanpo bolo menang tanpo ngasorake. Melalui produk-produk industrinya  Jepang ada di mana-mana, menembus lintas batas Negara bangsa. Melalui produk-produk unggulan mereka mampu diterima dengan suka cita, produk mereka  mempengaruhi kehidupan masayarakat Negara lain tanpa membawa ‘bala tentara’ untuk mempengaruhinya. Sebuah inperialisme gaya baru, barang-barang mereka menjajah kita dan menjadi penghidupan mereka tanpa harus perang dan mengalahkan.
                Perang masa kini adalah perang ekonomi, perang produk, perang dengan senjata sudah bukan jamannya lagi, selain seluruh bangsa-bangsa mengecam tindakan perang senjata juga perang jelas-jelas mengsengsarakan rakyat bangsa yang berperang. Di mana ada perang yang memakmurkan dan mententramkan masyarakat ? Bangsa yang cerdas mengalihkan ‘heroitasnya’ pada perang yang lebih bermartabat tidak banyak ditentang yaitu ‘perang produk yang berkecanggihan teknologi’, mulai dari produk pangan, sandang, papan, kendaraan, alat komunikasi hingga produk-produk kesehatan. Jadi terjadilah kompetisi ‘ekonomi’, perang ekonomi, sebuah keasyikan baru manusia dalam globalisasi dunia. Melalui keunggulan produk, suatu bangsa atau bahkan hanya suatu ‘perusahaan’ bisa memiliki unit usahanya di berbagai belahan dunia dengan karyawan seolah sebagai warga yang harus patuh pada tata aturan yang dimilikinya. Mereka tidak perlu membawa masyarakat bangsa negaranya untuk menjalankan ‘perusahaan’ di belahan bumi lainnya, dengan suka cita mereka akan mengabdi kerja, juga masyarakat yang ‘seolah terjajah’ oleh adanya perusahaan tersebut tidak akan merasa kalah tetapi sering merasa diuntungkan.
                Seorang Guru bijak berkata bahwa nglakoni ‘nglurug tanpo bolo lan menang tapi ora ngasorake’ bukan hal yang mudah. Karena untuk bisa ‘nglurug tanpo bolu’ orang harus berani, berani bukan asal berani, tapi berani dengan perhitungan yang cerrmat.  Orang yang berani nglurug berarti di dalam dirinya bersemayam mental juara, bukan mental ‘kroyokan’.  Juga falsafah Jawa itu, mengajarkan kepada kita bahwa kemenangan yang terhormat adalah kemanangan yang tidak merendahkan orang atau pihak lain yang menjadi lawannya. Di situ mengandung makna bagaimana seharusnya kita sebagai manusia bisa tetap menjunjung  harkat martabatnya sendiri dan sesamanya, menjaga kehidupan dan sadar akan kewajaran perbedaan.

Selasa, 07 Februari 2012

HARMONI DARI TANA TOA




                Dalam kegiatan Forum Layanan Iptek Bagi Masyarakat  di Sulawesi Selatan salah satu kegiatan yang menarik adalah perjalanan ke kecamatan Kajang tepatnya untuk melihat lebih dekat masyarakat tradisi ‘taha toa’. Memasuki kawasan Tana Toa seluruh rombongan disarankan menggunakan baju gelap kalau hitam lebih baik, warna menyolok tidak diperkenankan. Kenapa ? Jangan Tanya karena hal itu sudah berlaku turun temurun. Mungkin itu ada kaitannya dengan kesejarahan ‘masyarakat tana toa’, konon masyarakat ini adalah masyarakat yang sengaja mengisolasi dari ketidakberaturan hidup masyarakat pada waktu itu. Kondisi yang liar mendorong mereka membentuk masyarakat yang beraturan hingga kini. Mungkin warna menyala / norak termasuk warna yang berkonotasi panas, beringas yang mereka hindari, atau bisa jadi pilihan warna hitam untuk memudahkan bersembunyi dan warna cerah mudah terlihat.
                Sementara teman-teman ke rumah Ammatoa, saya berkenalan dengan anak muda Tana Toa yang kemudian antusias menemani aku keliling kampung. Alhasil aku dapat tontonan beragam anggrek di hutan-hutan Tana Toa; wow….ada Grammatophyllum scriptum, Cymbidium finlaysonianum, Vanda dearii,  Bulbophyllum vaginatum, Dipodium fictum, Eria densa, Liparis latifolia, serta anggrek-anggrek yang lain yang menggerombol di pohon-pohon besar. Keberuntungan juga ketika jalan-jalan di antara rumah masyarakat dalam suku kajang ini penulis berkenalan dengan  Camat Kajang dan dikenalkan dengan beberapa ‘Juru’ yang membantu Ammatoa, salah satunya adalah Galla Puto yaitu Sekretaris dan  Juru Bicara Tana Toa. Dari sang juru bicara inilah aku mengetahui beberapa hal tentang Tana Toa, beliau besama Bapak Camat dan sepertinya ajudannya dengan tekun menjelaskan berbagai hal tentang Tana Toa termasuk menuliskan lafal bahasa yang aku tidak mudeng. Dalam komunikasi harian masyarakat Suku Kajang  menggunakan bahasa Konjo. Bahasa konjo merupakan salah satu rumpun bahasa Makassar yang berkembang tersendiri dalam suatu komunitas masyarakat.
                Menurut Galla Puto umumnya masyarakat adat Tana toa hidup dari bertani dan memelihara hewan ternak. Kehidupan mereka sangat sederhana, tercermin dari misalnya rumah mereka yang sangat sederhana, tiap rumah hanya memiliki satu tangga berikut pintu masuk dibagian depan. Pada bagian dalam tidak ada kamar, yang ada hanyalah dapur yang terdapat pada bagian depan rumah tepat di sebelah kiri pintu masuk. Penempatan dapur di dekat pintu mengandung filosofis bahwa Orang Kajang sangat mamuliakan dapur sebagai sumber kehidupan. Tidak adanya sekat ruangan memiliki makna bahwa orang Kajang ingin menunjukkan sikap keterbukaannya kepada para tamu yang datang.
                Masyarakat kawasan adat Tana Toa dipimpin oleh Ammatoa yang sangat dipatuhi. Ammatoa berarti bapak atau pemimpin yang dituakan. Ammatoa memegang tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dia dinobatkan. Ammatoa bukanlah pemimpin yang dipilih oleh rakyat melainkan seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Yang Kuasa.  Apabila seorang Ammatoa meninggal dunia, maka Ammatoa berikutnya akan ada lagi tiga tahun kemudian. Dalam masa tiga tahun, para tetua adat akan melihat-lihat orang sekitar yang diyakini memiliki ciri-ciri tertentu yang biasanya terdapat pada seorang calon Ammatoa. Setelah masa tiga tahun, para calon Ammatoa yang telah terpilih dikumpulkan, lalu seekor ayam yang telah dilepas pada penobatan terdahulu didatangkan lagi, lalu ayam tersebut dilepas kembali, ketika ayam tersebut lepas dan hinggap pada seorang calon Ammatoa, maka dialah yang menjadi Ammatoa.
                Sebagai tetua adat Ammatoa tidak sendirian, tetapi didampingi oleh dua orang Anronta, yaitu Anronta Ribungkina dan Anronta Ripangi serta 26 orang pemangku adat. Ke-26 orang pemangku adat ini antara lain Galla Puto yang bertugas sebagai wakil atau sekretaris sekaligus juru bicara dan Galla Lombo yang bertugas untuk urusan luar dan dalam kawasan. Selain itu ada Galla Kajang yang mengurusi masalah keagamaan, Galla Pantama untuk urusan pertanian, dan Galla Meleleng untuk urusan perikanan. Yang jelas di Tana Toa sudah ada tatanan, dan tatanan tersebut benar-benar dijunjung dengan teguh, ditaati bersama, bagi yang melanggar juga ada sangsi sesuai hokum adat. Ada beberapa hukum adat, mulai dari hukuman paling ringan sampai paling berat. Hukuman paling ringan atau disebut juga cappa babala adalah keharusan menbayar denda sebesar 12 real ditambah satu ekor kerbau. Satu tingkat di atasnya adalah tangga babala dengan denda 33 real ditambah satu ekor kerbau, denda paling tinggi adalah poko babala yang diharuskan membayar 44 real ditambah dengan seekor kerbau. real yang digunakan dalam hal ini adalah nilainya saja, karena uang yang digunakan adalah uang benggol yang saat ini sudah sangat jarang ditemukan.
                Juga ada dua bentuk hukuman lain di selain hukuman denda yaitu: tunu panroli dan tunu Passau. Tunu panroli biasanya dilakukan bagi kasus pencurian bertujuan untuk mencari palakunya. Caranya seluruh masyarakat harus memegang linggis yang membara setelah dibakar. Jika tersangka lari dari hukuman dengan meninggalkan kawasan adat Tana Toa, maka pemangku adat akan menggunakan tunu Passau. Caranya Ammatoa akan membakar kemenyan dan membaca mantra yang dikirimkan ke pelaku agar jatuh sakit atau meninggal secara tidak wajar. Adanya hukum adat dan pemimpin yang sangat tegas dalam menegakkan hukum membuat masyarakat kawasan adat Tana Toa sangat tertib dan mematuhi segala peraturan dan hukum adat.
                Kata Guru spiritual di Kajang  bahwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat Tana Toa memegang teguh pasanga ri Kajang (pesan di Kajang) yang juga adalah ajaran leluhur mereka. Isi pasanga ri Kajang yaitu:
  1. Tangurangi mange ri turiea arana, yang berarti senangtiasa ingat pada Tuhan Yang Berkehendak.
  2. Alemo sibatang, abulo sipappa, tallang sipahua, manyu siparampe, sipakatau tang sipakasiri, yang artinya memupuk persatuan dan kesatuan dengan penuh kekeluargaan dan saling memuliakan.
  3. Lambusu kigattang sabara ki pesona, yang artinya bertindak tegas tetapi juga sabar dan tawakkal.
  4. Sallu riajoka, ammulu riadahang ammaca ere anreppe batu, alla buirurung, allabatu cideng, yang artinya harus taat pada aturan yang telah dibuat secara bersama-sama kendati harus menahan gelombang dan memecahkan batu gunung
  5. Nan digaukang sikontu passuroangto mabuttayya, yang artinya melaksanakan segala aturan secara murni dan konsekuen.

                Bagiku mengenal dan berada di masyarakat Tana Toa merupakan hal yang menarik sekali, masyarakat suku Kajang yang dianggap ‘kuno’  dan menutup diri dari gempuran modernisasi zaman ternyata  memiliki ‘hal adi luhung’ yang sekarang makin banyak ditinggalkan masyarakat modern. Lima poin pasanga ri Kajang rasanya perlu menjadi pembelajaran buat kita ‘kumpulan siapapun, partai apapun, generasi manapun ’ yang menganggap lebih moderat, lebih rasional ketibang masyarakat tradisional tentu harus mampu  mengaktualisasi diri meninggalkan ‘kegaduhan, tidak beraturan, amoralitas’  yang jauh dari akar rumput masyarakat ketimuran yang semestinya santun, bisakah kita menelurkan ‘pasanga ri  kita’ yang bisa menggawangi bingkai kebangsaan kita yang beragam untuk tetap bersatu menjaga harmoni negeri . Masa kita tidak malu dengan Suku Kajang yang sederhana. Heeee !!!!!

Minggu, 08 Januari 2012

SIMPONI HARMONI



Kalau anda seorang manager, komponen yang anda ‘manage’ makin banyak maka kesulitan mengelola makin bertambah pula. Tubuh organisasi ketika bertambah umur makin gemuk, maka mulai perlu perhatian dan energi tambahan. Anggota yang banyak, akan menghadirkan suara dan bunyian yang beragam. Ibarat sebuah kumpulan ‘orkesta’ anda punya beragam alat musik, penyanyi dengan beragam tingkatan suara, semangat bermusik dan tenggangrasa bersimponi. Artinya mengelolanya tidak semudah ketika permasalahan hanya muncul menyangkut satu dua alat musik saja, ketika permasalahan hanya muncul dari harapan, gagasan, ide satu atau dua orang saja, tetapi pada organisasi yang komplek akan banyak problematika, tidak mudah seorang ‘dirigen’ (baca: manager) bisa menghadirkan ‘simponi yang harmoni’, merdu mendayu,dan  enak didengar oleh siapapun. 

Kegemukan organisasi, atau kompleksitas anggota organisasi, memaksa organisasi itu melahirkan kesepakatan-kesepakatan, aturan-aturan, ketentuan-ketentuan, berikut sangsi-sangsi agar keinginan organisasi bisa tercapai secara maksimal. Paling tidak minimal dimulai dari yang paling sederhana yaitu ‘kepatuhan pada komitmen yang disepakati’,  dan ketegasan sikap bagi yang melanggar komitmen. Konsistensi sikap adalah ukuran sebuah kesepakatan, manakala ada poin kesepakatan yang dilanggar dengan dalih pengecualian maka itu akan mempermudah pengingkaran pada komitmen itu untuk selanjutnya, dan akan berpotensi terjadinya disharmoni organisasi. Misal kalau ada yang malkomitmen atau yang melanggar tetapi karena dalih pelanggar adalah ‘pemrakarsa’ atau ‘big bos’ lalu kemudian lahir kebijakan ‘mentorerir’, tutup kasus dan tidak ada ketegasan menghukum, maka ini adalah awal malapetaka organisasi.

Guru spiritualku mengumpamakan gambaran sebuah simpony yang paling harmony yang bisa menjadi pembelajaran bagi kita adalah tubuh kita sendiri. Dari segi biologi di dalam tubuh manusia terdapat dari 75 -100 trilyun sel, yang meliputi sel tubuh (yang kemudian membentuk jaringan, organ, sistem organ), sel darah, sel mikroorganisme dalam tubuh. Bayangkan, betapa banyaknya yang bermain ‘orkestra’ di dalam tubuh kita, untuk itu manusia dianggap organisme terkomplek di muka bumi ini. Bagaimana jasad yang super komplek ini mampu melahirkan ‘harmony’ sebagai mahluk yang ‘individus’ atau tak tak terbelah, tiap elemen tubuh bersatu-padu membentuk sistem yang saling topang dan saling melengkapi satu sama lain. Ketika ada kerusakan pada satu bagian maka komponen yang lain akan berkonsentrasi memulihkan. Fleksibilitas terbagun satu sama lain, tidak ada dominasi peran, tidak ada monopoli peran, semua berperan menjaga keseimbangan hidup.  

Hal menarik lain yang bisa menjadi pembelajaran kita dari tubuh manusia  adalah ‘darah’, sel darah sebagai komponen terbesar tubuh manusia bukannya menjadi ‘arogan’ karena mayoritas menyusun tubuh, tapi ia justru tampil sebagai pelayan dan pelindung tubuh yang melayani dengan setia. Ia bekerja tak kenal waktu mengedarkan energi dan oksigen untuk keperluan metabolism hidup tiap sel-sel tubuh, juga ia memiliki pasukan ‘leucocyt’ yang siap melawan  sesakit di  bagian tubuh manapun tanpa perkecualian. Semua itu bisa terjadi karena tubuh manusia mempunyai satu mekanisme pengendalian menyeluruh dalam menjalankan organisasi terhadap tiap komponennya. Kalau ada proses yang disharmoni dalam salah satu komponen tubuh dan  tidak teratasi, hal itu potensial menjadi penyebab disharmoni menyeluruh sistem tubuh karena sistem terjalin satu sama lain. Orang yang di dalam darahnya terlalu banyak gula, dan tidak cepat teratasi akan berakibat, jantungnya bekerja lebih berat dan cepat rusak, ganguan seksual, ganjal rusak dan gagal berfungsi, dan ujungnya menghadirkan komplikasi penyakit yang mematikan.

Karena itu untuk membangun ‘simponi yang harmoni’, organisasi atau orchestra apapun membutuhkan tatanan sistem yang bisa melayani, menghidupi dan menjaga tiap komponen penunjangnya seperti tubuh itu. Kesadaran tentang adanya ketergantungan peran harus dibangun, rasa kebersamaan harus ditanamkan, komitmen untuk konsisten dan amanah menjalan tugas dan peran masing-masing harus menjadi ethos semua yang terlibat. Kata guru spiritualku manusia memang harus berusaha, proses mencapai harapan merupakan puncak karya kita, karena ‘kesempurnaan dan ‘hasil’ kerja sudah bukan urusan kita saja tetapi tergantung padaNYA.