Seorang istri berkata pada suaminya bahwa alat-alat perkakas
yang baru digunakan diminta dikembalikan pada tempatnya. Sang suami yang
rupanya lagi istirahat dari kerja ‘utak-atik’ alat yang juga merupakan reaksi
dari keluhan istrinya, hanya merespon dengan anggukan kecil dan matanya tetap
asyik menyaksikan berita petang TV yang menjadi kegemarannya. Entah mengapa sang istri
masih ‘menggerutu’ entah omong apa yang kedengaran samar-samar sama suaminya.
Suaminya yang sesungguhnya tengah asyik menonton hiburan satu-satunya karena jarang ke luar rumah, merasa
tidak enak dan beranjak mencoba membenahi peralatan yang masih tercecer. Ketika dia membenahi, sang suami melihat
berkas-berkas istrinya berceceran, kursi rumah yang tidak tertata rapi dan
kotor, di kamar terlihat baju-baju teronggok tidak karuan, tiba-tiba ‘merasa’
diingatkan bahwa istrinya juga tidak benar atau ‘jarkoni’ bahkan lebih parah
lagi kondisinya. Muncullah protes dalam dirinya, ‘kenapa ia tidak ngomel
perihal kekurangan istrinya juga ? Sebagai suami juga ia punya hak meminta bagaimana
tugas istri semestinya’.
Kesadaran itu, entah mengapa bahkan melahirkan
kesadaran baru yang lebih besar dan irama protes itu kian mengalir dalam diri
sang suami. Ia ‘merasa istrinya’lah yang sesungguhnya lebih parah, sesungguhnya
kalau tadi ‘tidak tersulut’, sebagai suami ia sadar dan mengerti bahwa istrinya
adalah wanita karir, jadi tidak bisa diharapkan menjadi istri yang relatif
sebagaimana umumnya seorang istri, ada kemandirian yang besar, separuh waktu
tidak ada di rumah, sering jam 8 pagi harus berangkat kantor dan umumnya pulang
jam 5 sore, pulang kantor yang sering dicari koran (bila pagi tidak sempat
membaca) lalu berbaringan di kamar dan atau sambil sesekali berkomunikasi
dengan anak-anak tetapi sering nadanya berupa ‘perintah dan komunikasi bernada
tegang’ ’, misalnya saja: ‘mandi !!!’, ‘hayo belajar ’, ‘lewat maghrib tidak
boleh nonton TV’, ‘kamu kenapa kemarin pulang malam’, ‘udah jangan main
melulu’, ‘jangan tanya, baca dulu bukunya’ dan seterusnya. Anak-anak tak disangka
jadi terasa lebih berani membantah atau menanggapi dengan nada tinggi kepada
ibunya ketika bicara. Sang istri menjadi harus minta campur tangan suami ketika
tidak bisa mengatasi, bukan tidak intropeksi bagaimana cara pendekatan dan
perhatian yang lebih pada mereka. Kalau diingatkan atau disalahkan yang terjadi
menyalahkan kembali dan sering anak menjadi sasaran perintah ini itu. Bagi sang
suami, istri adalah ibu dari anak-anaknya, ibu adalah kunci, doa dan jalan pembentukan
pribadi dan kesuksesan bagi anak-anak, maka sebaiknya ia punya waktu banyak
untuk mereka. Bayangkan kalau biasanya istrinya tidur jam 9-10 malam, coba
hitung waktu efektif untuk komunikasi positif pada anak ?
Pada sisi lain, sang istri ‘merasa’
bahwa ia telah bekerja banting tulang ikut menafkahi rumah tangga, mana cukup
mengandalkan gaji suaminya saja, jadi jangan salahkan waktu saya tersita untuk
kerjaan kantor, urusan rumah kan sudah saya serahkan pembantu yang ngurus,
urusan anak dan yang kurang termasuk menyangkut rumah ya tanggung jawab
bersama, komunikasi dengan anak-anak dan suami baik kan lewat hp juga bisa
sekarang, soal yang kurang misal sering tidak ada sarapan pagi di rumah, pulang
sore, rumah yang dianggap kurang rapi ‘ya jangan dibebankan ke saya saja’. Suami saya kan juga sering ke luar kota, itu
juga yang harus menjadi instropeksinya, kadang ia tidak tahu perkembangan
anak-anak, sering lupa hari-hari yang penting untuk keluarga, perhatian ke saya
juga kurang, terus rumah seperti ini kan melelahkan mengurusnya, anak-anak
ditugasi untuk urusan rumah sering lupa dan harus selalu diingatkan, kadang
capai kita.
Dua belah pihak, istri dan suami
‘merasa’ telah melakukan hal yang benar menurut mereka masing-masing. Dari
kacamata masing-masing tentu itu benar, karena mereka menilai dengan ukurannya
sendiri-sendiri. Memang ‘merasa’ kata guru spiritualku adalah merupakan
penyakit yang harus kita hindari, karena ‘merasa’ adalah suatu keadaan sepihak
yang sesungguhnya semu dan bukan keadaan yang sesungguhnya terutama dinilai
dari keadaan komunal mereka. Kalau ukuran tentang pribadi maka tata nilai yang
menjadi ukuran adalah ‘personal’ tetapi kalau menyangkut ‘pasangan’,
‘keluarga’, ‘kelompok’, ‘masyarakat’ maka ukurannya tidak bisa lagi personal
tetapi berlakukah ‘norma umum’ yang berlalu di komunal tersebut. Terjadinya
perselisihan, perceraian, perpecahan kelompok paling banyak terjadi karena
penyakit subyektivitas personal yang ‘merasa’ paling benar atau paling lainnya.
Tanpa saling memahami masing-masing peran, kesukaan, harapan, kelemahan,
kebencian, kesepakatan, komitmen pada pasangan, keluarga atau kelompok maka
harmonisasi tidak akan kita dapatkan.
Klaim 'merasa' ini tidak saja terjadi dalam keluarga, di organisasi juga bisa terjadi, seseorang anggoto atau pengurus sering merasa paling berperan, berjasa dalam pengembangan organisasi. Untuk menyehatkan hubungan sebaiknya bisa berperan secara riil, bukan merasa, Seorang guru laku lain menyarankan agar kita 'rendah diri', mau mendengar koreksi dari orang lain, lalu belajar secara jernih mawas diri yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan ikhlas. Iklas menjadi kunci, karena orang yang ikhlas
sesungguhnya adalah orang yang sayang pada jiwa dan tubuhnya, sebab itu berlaku
ikhlas pada dasarnya menyehatkan. Ketika kita masih mementingkan diri sendiri lebih
banyak dan memaksa orang lain menuruti kemauan kita, maka sesungguhnya ‘kita
belum ikhlas berkesadaran dan berkesabaran’, kita masih memilih peluang
menyakiti diri kita dan keluarga kita. Ikhlas juga bermakna siap berbagi hak
dan kewajiban, tidak terus-menerus menyalahkan orang lain, tetapi mau berupaya
menggali kesalahan diri sendiri dan gentlemen mau memperbaikinya. Intropeksi
itu penting. Semisal dalam keluarga terjadi seorang suami yang sepenuhnya sudah
menyerahkan gajinya pada istrinya, sewajarnya sang istri mencoba amanah pada
kepercayaan itu, termasuk menyediakan sarapan pagi yang diperlukan segenap
anggota keluarga. Jangan sampai sang suami terus menerus bersabar, atau
terpaksa mencari-cari sarapan dengan cara yang lain yang bisa menyinggung atau
menyakitkan. Masing-masing harus saling ikhlas mengisi, jangan mempermasalahkan
kesalahan kecil yang tidak perlu, sebab hal itu bisa menjadi pemicu ‘tumpahan’
permasalahan yang lebih besar. Berbahaya !!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar