Sabtu, 29 September 2012

MERASA


Seorang istri berkata pada suaminya bahwa alat-alat perkakas yang baru digunakan diminta dikembalikan pada tempatnya. Sang suami yang rupanya lagi istirahat dari kerja ‘utak-atik’ alat yang juga merupakan reaksi dari keluhan istrinya, hanya merespon dengan anggukan kecil dan matanya tetap asyik menyaksikan berita petang TV yang menjadi kegemarannya. Entah mengapa sang istri masih ‘menggerutu’ entah omong apa yang kedengaran samar-samar sama suaminya. Suaminya yang sesungguhnya tengah asyik menonton hiburan satu-satunya karena jarang ke luar rumah, merasa tidak enak dan beranjak mencoba membenahi peralatan yang masih tercecer.  Ketika dia membenahi, sang suami melihat berkas-berkas istrinya berceceran, kursi rumah yang tidak tertata rapi dan kotor, di kamar terlihat baju-baju teronggok tidak karuan, tiba-tiba ‘merasa’ diingatkan bahwa istrinya juga tidak benar atau ‘jarkoni’ bahkan lebih parah lagi kondisinya. Muncullah protes dalam dirinya, ‘kenapa ia tidak ngomel perihal kekurangan istrinya juga ? Sebagai suami juga ia punya hak meminta bagaimana tugas istri semestinya’.
  
Kesadaran itu, entah mengapa bahkan melahirkan kesadaran baru yang lebih besar dan irama protes itu kian mengalir dalam diri sang suami. Ia ‘merasa istrinya’lah yang sesungguhnya lebih parah, sesungguhnya kalau tadi ‘tidak tersulut’, sebagai suami ia sadar dan mengerti bahwa istrinya adalah wanita karir, jadi tidak bisa diharapkan menjadi istri yang relatif sebagaimana umumnya seorang istri, ada kemandirian yang besar, separuh waktu tidak ada di rumah, sering jam 8 pagi harus berangkat kantor dan umumnya pulang jam 5 sore, pulang kantor yang sering dicari koran (bila pagi tidak sempat membaca) lalu berbaringan di kamar dan atau sambil sesekali berkomunikasi dengan anak-anak tetapi sering nadanya berupa ‘perintah dan komunikasi bernada tegang’ ’, misalnya saja: ‘mandi !!!’, ‘hayo belajar ’, ‘lewat maghrib tidak boleh nonton TV’, ‘kamu kenapa kemarin pulang malam’, ‘udah jangan main melulu’, ‘jangan tanya, baca dulu bukunya’ dan seterusnya. Anak-anak tak disangka jadi terasa lebih berani membantah atau menanggapi dengan nada tinggi kepada ibunya ketika bicara. Sang istri menjadi harus minta campur tangan suami ketika tidak bisa mengatasi, bukan tidak intropeksi bagaimana cara pendekatan dan perhatian yang lebih pada mereka. Kalau diingatkan atau disalahkan yang terjadi menyalahkan kembali dan sering anak menjadi sasaran perintah ini itu. Bagi sang suami, istri adalah ibu dari anak-anaknya, ibu adalah kunci, doa dan jalan pembentukan pribadi dan kesuksesan bagi anak-anak, maka sebaiknya ia punya waktu banyak untuk mereka. Bayangkan kalau biasanya istrinya tidur jam 9-10 malam, coba hitung waktu efektif untuk komunikasi positif pada anak ? 

Pada sisi lain, sang istri ‘merasa’ bahwa ia telah bekerja banting tulang ikut menafkahi rumah tangga, mana cukup mengandalkan gaji suaminya saja, jadi jangan salahkan waktu saya tersita untuk kerjaan kantor, urusan rumah kan sudah saya serahkan pembantu yang ngurus, urusan anak dan yang kurang termasuk menyangkut rumah ya tanggung jawab bersama, komunikasi dengan anak-anak dan suami baik kan lewat hp juga bisa sekarang, soal yang kurang misal sering tidak ada sarapan pagi di rumah, pulang sore, rumah yang dianggap kurang rapi ‘ya jangan dibebankan ke saya saja’.  Suami saya kan juga sering ke luar kota, itu juga yang harus menjadi instropeksinya, kadang ia tidak tahu perkembangan anak-anak, sering lupa hari-hari yang penting untuk keluarga, perhatian ke saya juga kurang, terus rumah seperti ini kan melelahkan mengurusnya, anak-anak ditugasi untuk urusan rumah sering lupa dan harus selalu diingatkan, kadang capai kita. 

Dua belah pihak, istri dan suami ‘merasa’ telah melakukan hal yang benar menurut mereka masing-masing. Dari kacamata masing-masing tentu itu benar, karena mereka menilai dengan ukurannya sendiri-sendiri. Memang ‘merasa’ kata guru spiritualku adalah merupakan penyakit yang harus kita hindari, karena ‘merasa’ adalah suatu keadaan sepihak yang sesungguhnya semu dan bukan keadaan yang sesungguhnya terutama dinilai dari keadaan komunal mereka. Kalau ukuran tentang pribadi maka tata nilai yang menjadi ukuran adalah ‘personal’ tetapi kalau menyangkut ‘pasangan’, ‘keluarga’, ‘kelompok’, ‘masyarakat’ maka ukurannya tidak bisa lagi personal tetapi berlakukah ‘norma umum’ yang berlalu di komunal tersebut. Terjadinya perselisihan, perceraian, perpecahan kelompok paling banyak terjadi karena penyakit subyektivitas personal yang ‘merasa’ paling benar atau paling lainnya. Tanpa saling memahami masing-masing peran, kesukaan, harapan, kelemahan, kebencian, kesepakatan, komitmen pada pasangan, keluarga atau kelompok maka harmonisasi tidak akan kita dapatkan. 

Klaim 'merasa' ini tidak saja terjadi dalam keluarga, di organisasi juga bisa terjadi, seseorang anggoto atau pengurus sering merasa paling berperan, berjasa dalam pengembangan organisasi. Untuk menyehatkan hubungan sebaiknya bisa berperan secara riil, bukan merasa, Seorang guru laku lain menyarankan agar kita 'rendah diri', mau mendengar koreksi dari orang lain, lalu belajar secara jernih mawas diri yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan ikhlas. Iklas menjadi kunci, karena orang yang ikhlas sesungguhnya adalah orang yang sayang pada jiwa dan tubuhnya, sebab itu berlaku ikhlas pada dasarnya menyehatkan. Ketika kita masih mementingkan diri sendiri lebih banyak dan memaksa orang lain menuruti kemauan kita, maka sesungguhnya ‘kita belum ikhlas berkesadaran dan berkesabaran’, kita masih memilih peluang menyakiti diri kita dan keluarga kita. Ikhlas juga bermakna siap berbagi hak dan kewajiban, tidak terus-menerus menyalahkan orang lain, tetapi mau berupaya menggali kesalahan diri sendiri dan gentlemen mau memperbaikinya. Intropeksi itu penting. Semisal dalam keluarga terjadi seorang suami yang sepenuhnya sudah menyerahkan gajinya pada istrinya, sewajarnya sang istri mencoba amanah pada kepercayaan itu, termasuk menyediakan sarapan pagi yang diperlukan segenap anggota keluarga. Jangan sampai sang suami terus menerus bersabar, atau terpaksa mencari-cari sarapan dengan cara yang lain yang bisa menyinggung atau menyakitkan. Masing-masing harus saling ikhlas mengisi, jangan mempermasalahkan kesalahan kecil yang tidak perlu, sebab hal itu bisa menjadi pemicu ‘tumpahan’ permasalahan yang lebih besar. Berbahaya !!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar