Rabu, 14 April 2010

LOGIKA CEMERLANG


Pada halaman 40 buku kecil berjudul ‘Menjelajah Angkasa Luar’ karya Kh. Bahaudin Mudhary terbitan Pustaka Kreatif tahun 1989 (cetakan ke-5, pertama tahun 1966), tertulis kalimat: “ Jika tenaga atom yang berasal dari benda mati dapat menggerakan benda-benda yang besar sekalipun, maka tenaga atom yang berasal dari benda hidup, yakni ‘rohani manusia’ tentu lebih mampu, dari tenaga atom untuk menggerakan benda-benda”. Menurutku kalimat tersebut menggambarkan daya logika yang cemerlang dari penulisnya. Sebetulnya masih banyak kalimat dalam buku tersebut yang pasti akan menguatkan pendapatku tentang kecermerlangan logika sang penulis.
Logika di atas sesungguhnya merupakan sebuah logika sederhana tetapi mendalam, mengajak pembaca untuk merenungi sekaligus menyadari bahwa setiap manusia sebagai mahluk hidup memiliki energi potential yang lebih besar dari benda mati, sayangnya energi itu banyak tetap sebagai energi potensial yang tidak atau belum tergunakan. Manusia umumnya masih hanya menggunakan energi yang 'kasad indra' saja, padahal manusia mempunyai 'energi lain' yang bisa dikelola untuk mengatasi problematika hidupnya secara lebih bermakna.
Aku jadi ingat guru spiritualku waktu aku masih kecil dulu almarhum Ustadz Maulana serta kakekku Muhammad Ikhsan, beliau bukan orang keluaran pendidikan formal tetapi ‘laku hidupnya’ mencerminkan kekayaan ‘ilmu’ dan ‘ngelmu’ yang dimilikinya. Almarhum Ustadz Maulana selalu mengajarkan kepada jamaahnya termasuk aku bagaimana beriman dengan iklas, merengkuh ‘energi’ hidup dengan dzikir, dan bagaimana mengelola rahmat. Sementara kakekku yang paling membekas bagaimana beliau acap kali memberikan pengalaman-pengalaman supranatural berupa kemampuan mengobati orang-orang tercintanya dengan laku sederhana berupa doa dan usapan ibu jari ke kening atau cara lain yang sekarang sepertinya lebih dikenal dengan terapi metafisik.
Kedua guru spiritualku dulu sepertinya mungkin ingin menyampaikan apa yang sekarang aku baca dari pikiran KH. Bahaudin Mudhary, bahwa manusia dikaruniai dua jenis tubuh, yaitu tubuh kasar dan tubuh halus. Jasmani dan rohani, yang masing-masing memiliki indera sendiri-sendiri yaitu indera lahir dan indera batin. Indera lahir mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan alam kecil (mikrokosmos) yang cenderung nyata, sedangkan indera batin mempunyai kemampuan untuk menghubungkan ide dengan dunia luar atau jagat besar (makrokosmos) yang cenderung abstrak atau transendental, sesungguhnya manusia adalah mahluk paling sempurna. Kita semestinya mampu mengoptimalkan penggunaan ke dua karunia tersebut, sehingga kita akan memiliki kesadaran lahir dan kesadaran batin yang akan membimbing kita memahami permasalahan hidup kita yang jelas-jelas menyangkut hal-hal yang nyata dan abstrak atau tidak masuk akal.
Jadi membaca buku metafisis ini perlu menjadi momentum untuk perbaikan diri, kayaknya aku menjadi diingatkan kembali untuk mulai lagi menyadari, mengenal, merasakan, mengelola totalitas kepemilikan indra lahir dan indra batin. Rasa syukur selalu aku panjatkan kepada Sang Akbar yang memberi kelengkapan indra lahir, aku sadari kehilangan satu indra saja sudah menjukkan kepincangan hidup yang cukup menyusahkan. Alhamdulillah, rasanya aku juga tidak memiliki gangguan rohani yang merepresentasikan adanya kebebalan indra batin. Indra batinku rasanya masih potensial aku bisa kelola dan fungsikan. Belakangan tanpa sadar, aku lebih inten terdorong mulai lagi menggunakan indra batinku dalam aktivitas ‘kontemplatif’, gerak hati, ibadah, bersahabat, walau itu jelas masih kurang.
Aku merasa sang penulis buku yang konon mempunyai kemampuan berbahasa Arab, Inggris, Belanda , Jerman dan Prancis ini, telah berhasil menggabungkan kemampuan indra lahir dan indra batin yang dimilikinya. Ini contoh ‘orang berilmu’ yang sebenarnya yang mampu membangun logika emas atau logika cermelang yang menjembatani tidak sekedar menyangku pemahaman pengetahuan dunia nyata saja tetapi juga menyangkut pengetahuan dunia abstrak.
Selama ini kita sangat didominasi oleh cara berpikir rasional yang hanya toleransif pada hal nyata tidak termasuk yang abstak. Sehingga sering kita menyepelekan hal-hal yang abstak dan tidak rasional. Padahal kalau kita sadar bahwa sumber pengetahuan adalah satu yaitu dari Allah SWT, maka dikotomis dominasi pemikiran itu semestinya tidak perlu ada. Untuk itu mari kita sadar, siapa sih tidak ingin memiliki ketajaman indra lahir dan indra batin, kesadaran lahir dan kesadaran batin, karena kepemilikan itu yang akan berimplikasi melahirkan kebahagian lahir dan kebahagiaan batin.
(Terima Kasih Buat Bu Dian Atas Pinjaman Bukunya).

Sabtu, 10 April 2010

GOLDEN MOMENT



Ini seperti cerita dunia 1001 malam, kalau aku diminta komentar tentang cerita itu, rasanya aku akan menganggap juga ini sebuah cerita pepesan, cerita bohongan yang keluar dari seorang teman yang rupanya pikirannya lagi krodit alias stress lantaran tugas-tugas belajar di S3. Sebutlah nama temanku Mat Yudha, ia bercerita tentang bagaimana ia bertaruh dengan sahabat karibnya. Botokan gaya mahasiswa kawakan kalau yang kalah harus mbayari makan dan nonton film. Lalu bertaruh apa ?

Nah, begini ceritanya. Mat Yudha dengan sahabatnya yang 'dia rahasiakan namanya' sudah lama berbeda pendapat tentang 'poligami'. Bagi Mat Yudha walau dia mengakui suka melirik wanita cantik tetapi ia orang yang konsisten pada kelebihan ikatan hidup monogami, ia berpendapat poligami itu 'menyakiti dan menyakitkan', tidak ada kebahagian bersama dalam poligami. Sementara temannya yang memang dari keluarga poligami, ia mengatakan ada kebahagiaan bersama dalam poligami. Mat Yudha bertaruh, kalau temennya dalam satu bulan bisa menunjukkan bapaknya bisa mengajak ke 4 istrinya bersama dalam suatu momen di luar rumahnya. Maka temannya dianggap menang taruhan dan berhak menentukan makan dan monton film apa dan di mana.

Kamis sore di awal bulan April yang baru lalu, handpone Mat Yudha berdering cuma sebentar lalu mati. Miss call dari temannya. Ketika dinyalakan hpnya ada sms masuk yang belum dibuka, rupanya miss call itu cuma memberi tanda agar Mat Yudha segera membacanya SMS tersebut. ' Yud, sore ini loe gue ajak nglencer ke SUTOS, mbuktiin babe gue 'poligaminye' beda, ok ?'. Hm.... sms bergaya tutur Betawi itu membuat penasaran, dan ia pertanyaakan kepastiannya pada temannya yang memang ada darah betawinya. Ia jadi tambah penasaran dan mengharap waktu berjalan lebih cepat ketika sahabatnya memastikan: ya.

Jam 5 sore Mat Yudha sudah dijemput temannya dan meluncur ke SUTOS, sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya Barat Daya yang belum begitu ramai namun megah. Sepanjang perjalanan mereka tidak banyak saling bicara, mereka saling penasaran sendiri-sendiri. Sempat di kepala Mat Yudha terbersit pikiran ia jangan-jangan cuma diakali oleh teman satu ini, hanya diajak nglencer lalu buntut akhirnya ia yang disuruh mbayari segalanya setelah nongkrong di cafe, seperti biasanya.

+ " Kamu gak boongi aku kan ? " Mat Yudha buka suara ketika masuk parkiran SUTOS.
- " Percayalah, hari ini gua mau tunjukkin lu 'golden moment', biar mata lu kebuka lebar ".
+ " Oke, mari kita lihat !"

Tiba-tiba tangan Mat Yudha diremas keras oleh temannya, ia nyengir ke temannya, perhatiannya ke cafe-cafe yang belum ramai dan biasa ramai cuma di akhir pekan oleh anak-anak muda yang mendominasinya, buyar. Matanya dibimbing telunjuk temannya ke bawah balkon Cinema yang berjejer maniken-maniken dengan baju yang trend-trend, didekatnya kulihat sang bapaknya yang beinitial BS bersama ke 4 istrinya. Satu istri yang paling muda menunjuk pada daster cantik motif lembut, istri yang lain mengomentari dan BS tersenyum-senyum. Kerongkongan Mat Yudha kering, tidak bisa bicara, tertegun pada hal yang tidak terbayangkan sebelumnya. Benar, dia dipertontoni adegan kebahagiaan bersama, ke 4 istri itu fusif, tidak ada batas dan kecanggungan di antara mereka, mereka kadang saling bisik-bisik sesamanya, tidak beda istri tua atau muda.

Kalau momen itu dibilang momen istimewa (baca: golden moment) menurut teman taruhannya, tanpa berdebat Mat Yudha akhirnya mengakuinya benar. Sangat sulit dijumpai peristiwa keakraban seperti itu. Dalam memori pikirannya perempuan menurutnya tidah mudah menerima untuk diduakan, dianggap bukan yang utama, ternyata dihadapan matanya hal itu bisa terjadi, seolah mereka sanggup berbagi. Tapi itu kan gambaran fisik, jangan-jangan di masing-masing wanita itu masih ada gejolak membara kecemburuan, rasa iri dengki, cuma mereka mampu menutupinya dengan perangai fisiknya. Pikiran seperti itu cuma berkecamuk di dalam pikirannya.

Dalam kondisi keterheranan yang masih belum terjawab, Mat Yudha tambah terheran ketika ia diajak membuntuti mereka yang ternyata menaiki tangga dan masuk ke Cinema. Dari balik kaca mereka terlihat saling berkomentar tentang film yang hendak ditonton, dan ternyata dengan mudah mereka memutuskan pilihan untuk bersama menonton ' My Name is Khan' di teater 4. Sebuah film yang bicara tentang umat Islam di Amerika yang berjuang untuk tidak ikut dicap dan dianggap sebagai teroris pasca peledakan WTC 11 September dulu. Padahal alternatif film lainnya juga bagus-bagus. Akhirnya Mat Yudha mengaku kalah dan menerima resikonya, temannya ngajak makan di cafe Toraja dan malam minggu depan mau nonton 'Dragon' sebuah film 3 dimensi baru.

Bagi aku, cerita Mat Yudha masih 'not logic', bisa saja itu imaji ideal atau guyonan. Tapi tidak usah diperdebatkan, mari kita lihat hikmahnya saja, aku kira kita memang tidak boleh 'nggebah uyah' kalau menurut bahasa jawanya. Pukul rata, menganggap sama pada semua atau sesuatu hal. Sang pencipta akan selalu bisa menunjukan kelemahan kita, kecongkakan kita, dengan menunjukan realita yang tak terbayangkan sebelumnya bahwa hal itu mungkin saja terjadi. Kenyataan sesuatu pasti ada kekhususan dan perkecualian atau tepatnya anomalisnya, tapi apapun itu juga realita yang juga harus bisa diterima. Mungkin, yang terpenting bagaimana kesadaran bisa kita bangun , sehinga kita mampu berpikir, berbuat, bila kita berada pada komunitas sosial kita semestinya berendosimbion untuk tidak saling menyakiti, tetapi menjadi energi sehingga kepenatan, kebosanan, rasa frustasi yang acap kali hadir menyengsarakan kita malah kemudian menjadi gairah baru, semangat baru. Kata teman yang telah mampu merasakannya, 'waktu terasa berlalu cepat', karena tidak membosankan dan hidup menjadi berwarna.