Kamis, 17 November 2011

BELAJAR DARI MIMPI




Suasana lingkungan gelap gulita, tidak ada cahaya, mataku tak berguna karena tidak mampu menangkap wujud, Tanganku, dan telingaku yang membimbingku, dari suara gemericik air bercucuran aku sepertinya mengenal tempatku berada, dari kursi kayu yang aku tiduri aku makin yakin kini aku sedang di beranda belakang rumahku. Tapi kenapa gelap ? Walau malam hari, tempat di mana aku senang menghabiskan waktu tidak pernah menjadi gulita. Gambar harimau dan bunga anggrek biasanya masih bisa terlihat, tangga menuju laboratorium kultur jaringan tempat istriku sering berkutat menghabiskan waktu juga tak tampak. Kenapa ? Mengapa malam ini begitu kelam ?  Aku tidak melihat wujud, aku kehilangan keindahan warna, apa aku buta ? Aku kehilangan cahaya, aku merasa gundah, ketakutan tiba-tiba menguasai jantungku, ia berdegup keras, memacu aliran darah lebih kencang,  sekeliling masih saja gulita.

Lama dalam gelap, mataku makin nanar merindukan cahaya. “ Ayo, cepatlah waktu berlalu, segeralah pagi, aku ingin segera melihat pijar matahari !!! “.   Cukup keras  suara teriakannku, entah pada siapa aku berteriak. Rasa kehilangan itu mengapa baru terasa belakangan, Hmmm.., aku mungkin juga sebagian orang lain sering mengabaikan hal-hal kecil yang sesungguhnya sesuatu yang sangat berguna dan tak ternilai harganya. Dalam kegelapan aku baru merasakan betapa berharganya mata, betapa pentingnya telinga, pikiran, mulut, tangan kaki dan lain sebagainya. Aku mengapa egois jarang mensyukuri dilahirkan dengan kesempurnaan. Bagaimana seandainya kau lahir dengan kekurangan ? Tiba-tiba aku menangis dalam gulita, air mata tak terbendung deras mengucur di pipi. Entah mengapa makin lama makin menjadi rasa kesedihan itu, dan tubuhku tiba-tiba malah gemetar tak terkendali. Aku menggapai-nggapai apa saja yang bisa aku raih, sia-sia saja, peluh bercucuran, waktu terasa menjadi panjang, penderitaan merasuk ke seluruh sendi.

Ketika gemetaran tubuh mencapai puncaknya, dan juga hasrat telah disematkan dalam jiwa yang pasrah penuh penyesalan dan pengharapan. Tiba-tiba aku mulai merasakan ada pijar yang menjadikan sedikit benderang di sekelilingku. Walau tubuh penat tak berdaya, aku tegakkan tubuhku. Dari mata nanar, sedikit demi sedikit sekelilingku mulai mewujud, ternyata keliru, aku bukan berada di beranda belakang rumahku. Aku merasa berada di sebuah lorong, di ujung lorong sekuat mata melihat terlihat berkas cahaya. Jantungku kembali berdegup, mataku tak henti mencermati segenap arah mata angin lorong tempatku berada, cuma ada cahaya satu di depan. Atas kesadaran, hasrat hati terbebas dari gulita, lalu aku putuskan bergegas mengejarnya. Langkahku pasti, itu barangkali pijar matahari, matahariku yang selalu setia memberi panorama dan kehangatan, aku ingin menatap berawalnya hidup, barokah kesempurnaan, sebagai siluet subuh yang agung esok. Kakiku seperti melangkah ringan, menjejak sesekali di dasar lorong yang makin terang. Subhanallah, akhirnya kutemukan binar cahaya matahari yang melembayung, siluet pepohonan, suara kokok ayam terdengar. Sejenak kemudian kulihat rerumputan, kulihat pepohonan, burung-burung berkicau, bunga-bunga aneka warna menyempurnakan pandanganku yang sebelumnya gulita. Aku sujud syukur, menangis bahagia.

Aku terbangun dari sujudku. Sejenak setelah sapaan istriku dan sentuhan di bahuku, aku menjadi sadar bahwa barusan aku terbuai mimpi. Pengalaman dalam gulita dan mengejar pijar matahari adalah mimpi. Tiduran di kursi malas di beranda belakang rumah sering menjadikan siapapun untuk terlelap  tidur., karena tenang dan teduh suasanya. Mimpi kata orang adalah bunga tidur, bukan apa-apa. Tapi untuk mimpi yang satu ini, aku merasa bisa merupakan pesan atau pembelajaran hidup. Aku baru saja mendapat sapaan teman karib, anggap dia adalah guruku hari ini. Dia berkata: “ …bersahabatlah dengan kesalahan agar kita mengetahui hakekat kebenaran….”.  Wuihhh…., aku terkesima, walau bukan hal baru tapi mampu menyentil kembali kesadaranku. Mimpi sekejap itu menyadarkan kesombongan kita yang sesungguhnya tidak perlu terjadi, apa kehebatan kita sih ? Merenungkan itu, aku jadi ingat kata Guru Spiritualku:

"Ketika kita lupa bersyukur, kita ingin hidup kaya ... padahal kalau direnungkan hidup ini adalah sebuah kekayaan yang tak ternilai " 

" Ketika kita selalu takut memberi ... padahal kalau kita renungkan semua yang kita miliki adalah sebuah pemberian " 

" Ketika kita ingin jadi yang terkuat .... padahal kalau kita renungkan musuh terkuat  kita adalah diri kita sendiri " 

" Ketika kita ingin jadi nomor satu ... padahal kalau kita renungkan kita dekat dengan ketiadaan " 

" Ketika kita selalu takut rugi ... padahal kalau kita renungkan bahwa  hidup kita juga merupakan sebuah keberuntungan, perolehan dari anugerahNYA" 

Karena itu kita mesti  selalu bersyukurlah dalam segala keadaan, baik suka maupun duka.   Mari terus dan tetap berkarya, dengan semangat, berusahalah untuk berbagi  Mulai jalani hidup dengan menjaga kesehatan, kejujuran, ketulusan serta keikhlasan.  Hidupilah hidup agar hidup makin hidup. Bagiku …. Tersenyum itu penting, memanjakan diri itu perlu, lalu berhenti sebentar atas suguhan keindahan yang kita jumpai di mana dan kapanpun juga merupakan ungkapan rasa syukur, karena kesempatan seperti itu belum tentu akan kita jumpai lagi di lain waktu. (HB2U).

Senin, 14 November 2011

SEBELAS-SEBELAS-SEBELAS


Aku baru sadar bahwa tiga hari yang lalu aku berada pada sebuah momentum yang sangat berbeda atau buat sebagian orang dianggap momen istimewa. Kesadaran itu muncul ketika aku hendak pergi ke Jakarta untuk suatu acara yang tidak mungkin aku tunda dan terkendala urusan tiket penerbangan yang ‘sold all’ untuk semua penerbangan, baru ada tiket tersedia untuk penerbangan besok paginya. Kalau aku pilih terbang pagi jelas waktu tidak akan cukup sampai di acara tepat waktu, karena tempat acara jauh dari bandara Sukarno Hatta. Trus waktu itu aku posisi sudah di Surabaya, nunggu hingga pagi besok jelas merupakan problem tersendiri.  Akhirnya aku putuskan nyoba naik kereta, ternyata kondisinya sama ‘semua tiket sudah terjual habis’ untuk semua kereta’, waktu itu sudah jam setengah sebelas siang menjelang jum’atan. Ketika dalam kebingungan, sang penjaga tiket bertutur, “Kalau bapak mau berspekulasi tunggu jam satu, siapa tahu ada tambahan gerbong untuk kapasitas 60 orang, kami belum bisa pastikan karena itu putusan manager’. Aku berpikir masih ada peluang, aku bisa kembali setelah sholat jum’at.

Sekembali ke stasiun dari menunaikan sholat Jum’at , antrian di loket sudah mengekor panjang, aku pesimistis, tapi tetap mencoba antri juga. Pikir-pikir toh yang antri tidak untuk satu jenis kereta, informasi tambahan gerbong ternyata juga tidak hanya yang ke Jakarta tapi untuk jurusan ke Jogja dan Bandung. Di belakangku, seorang ibu yang ikut mengantri berceloteh kesal, nasibnya hampir sama telah banyak berupaya untuk mendapatkan tiket  dan kondisinya sama dengan yang aku alami. Hal senada juga dikeluhkan oleh yang lain, bahkan ada yang telah berupaya mencari informasi ke stasiun lain dan kondisinya sama.  Seorang anak muda di antrian sampingku berkata: “ Semua ini gara-gara hari ini dianggap hari yang sangat istimewa bagi sebagian orang, sebelas-sebelas-sebelas, bahkan tadi baru saja telah kita lewati momentum ‘empat sebelas’ yaitu jam sebelas di tanggal sebelas, bulan sebelas (nopember) dan di tahun sebelas (2011).  Aku tersadarkan, benar juga pendapat anak muda ini, bisa jadi ‘high setion’ di jagat transportasi disebabkan oleh faktor itu. Sekarang banyak orang tergila-gila pada momentum istimewa, entah apa dasar alasan istimewanya  tidak begitu jelas.

Seorang Ibu muda yang mengaku mau pulang ke Jogja di antrian tidak jauh dari anak muda mengakui  bahwa ia bersama teman-teman sekelas SMAnya baru saja reuni di momentum itu, ia keburu pulang selepas  jam sebelas karena malam harus sudah ada di Jogja untuk kumpul dengan keluarganya di jam 11 malam. Wow….aku tertegun, kenapa bisa begitu ? Demikian istimewanyakah momentum serba sebelas itu ? Sehingga orang mau bersusah payah memanfaatkannya, tidak mau kehilangan karena hanya terjadi sekali dalam kehidupan ini ? Apa iya ? Kalau itu alasannya, aku berpendapat pikiran mereka harus dikoreksi, bukankah setiap waktu selalu hanya terjadi sekali dalam kehidupan, tidak ada duanya. Hanya kalau momentum itu dianggap unik aku setuju aja, karena momennya serba sebelas. Tapi kalau dipikir panjang, momen itu juga bisa terjadi di serba angka lainya misalnya di serba dua (2/2/2/22), serba tiga (3/3/3/33), serba delapan (8/8/8/88), serba sembilan (9/9/9/99), dan sebangsanya   Jadi tidak terlalu istimewa karena banyak kemungkinannya.

Guru spiritualku berpendapat bahwa seiring makin menuanya zaman maka tantangan manusia makin bertambah, manusia makin kehilangan oreintasi dalam menjalani hidupnya, mereka akan terdesak dan dijajah oleh  produk-produk manusia sendiri . Keinginan manusia yang berharap segala sesuatu sebisa mungkin bisa ‘serba mudah, instan’ berbuntut melahirkan kemanjaan, rasa malas,  tidak peduli, dan tidak mau berbagi. Kondisi ini bisa  berbuntut pada lahirnya generasi yang lemah. Bagi mereka yang berekonomi kuat mereka asyik dengan dirinya sendiri dan kelompoknya, memenuhi keinginan-keinginan yang beraroma ‘beda dan selalu ingin beda’, hal itu selalu bisa dilakukana karena kekuatan ekonomi sangat memungkinkan untuk itu.  Mereka ini kelompok yang suka pada momen khusus seperti tahun baru, valentin day, tanggal khusus yang bisa melahirkan sensassi-sensasi  dan citarasa tersendiri bagi mereka. Pada sebagian kelompok mapan ini ada yang telah mulai tercerahkan dengan mengarahkan aktifitas sensasi mereka ke bidang sosial semacam beraktifitas bakti sosial di daerah pedalaman, daerah bencana, dan lain sebagainya.   

Mereka yang mempunyai kondisi ekonominya kuat bila dilebihkan kondisi pikirannya, disadarkan bahwa ada banyak peran yang bisa ia ambil, bukan harus melakukan yang sensasional,  sesungguhnya banyak pekerjaan, cinta, dan kesempatan untuk member dan berbagi, untuk mendukung harapan-harapan semua orang. Seorang guru yang lain berkata bahwa orang yang berkemampuan atau berkelimpahan tidak punya arti tanpa rasa memiliki nilai, berkemampuan atau berkelimpahan bernilai akan memampukan orang untuk mengikuti kata hatinya dan senang berbagi kesuksesan dengan orang lain. Orang yang paling kaya dan sukses adalah orang yang paling bermurah hati. Bermurah hati bukan cuma  dengan cara memberi materi, tetapi juga meliputi berbagi waktu, informasi, ilmu, teknologi, sumberdaya, pengalaman, cinta dan kasih sayang. Nah….nah, secara tidak langsung sesungguhnya kalau kita mau berbagi….berarti kita lagi belajar berbuat untuk kaya dan sukses.  Berbagi tidak harus menunggu momentum istimewa, jangan mengekor pada tradisi yang tidak jelas. Sebenarnya mementum serba sebelas yang baru lalu merupakan pergeseran waktu yang biasa, tidak ada yang istimewanya.

Minggu, 06 November 2011

TEMPAT BASAH



Ada yang menarik ketemu dengan guruku yang cantik, bukan cuma kesenangan pribadi sebagai penggemar berat kerinduannya terobati tetapi juga lantaran kata-katanya yang tercetus sungguh menyentak kesadaran.  Ternyata pengalaman hidup, kerja, pergaulan benar-benar telah mampu merubah sikap dan pandangan seseorang termasuk guru cantikku.
“ Bayangkan…., “ ucapnya dengan antusias, bibirnya yang mungil nampak merona, indah saat bergerak-gerak menyesuikan irama bicaranya.
“ Masyarakat kita sudah salah kaprah, sering salah menilai dan menyelaraskan pandangan, sikap pada sesuatu hal. Misalnya, banyak orang tahu bahwa sebagian anggota dewan kita yang minta dihormati atau gila hormat, banyak yang memiliki perangai buruk, kinerjanya jelek, serakah, manipulatif. Tetapi pada mereka yang demikian itu kepercayaan masih kita berikan, mereka masih kita pilih ? “. Aku payah, konsentrasi menjadi terbelah untuk mendengar kata-kata yang diucapkannya dan melihat bibirnya  yang titis seksi. Salahnya aku termasuk pengikut paham kakekku yang tidak pernah menyia-nyiakan keindahan, karena keindahan belum tentu mau datang untuk yang kedua kalinya.  Keindahan adalah barokah yang perlu disyukuri.

Tidak itu saja, kita lihat bersama bahwa pimpinan negeri ini telah terang-terangan sesumbar memerangi korupsi. Untuk dan karena itu mereka kita pilih, tetapi ketika mereka jelas-jelas menghianati apa yang telah dijanjikan saat kampanye, mereka tidak berbuat banyak memerangi korupsi dan malah terkesan terlibat pada beberapa pusaran korupsi, toh demikian ternyata  masyarakat kita tidak banyak berbuat apa-apa. Tidak memberi sangsi atau hukuman, malah sebagian orang ikut ambil bagian dan membela  yang semestinya tidak perlu dibela. Kondisi masyarakat menjadi terbiasa menjumpai dan sekaligus berada pada hal yang buruk, lalu satu-satu ikut membahasakan hal yang tidak patut tersebut menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja sifatnya.

Guru cantik lebih tegas mencontohkan adanya kebiasaan masyarakat ‘mewajari’ tetangganya atau temannya memiliki penghasilan yang lebih karena ia ditempatkan di ‘tempat yang basah’, padahal mestinya kalau ‘pegawai negeri’ sudah jelas penggolongan gajinya tidak berbeda, kalaupun ada tidak mungkin bedanya seperti bumi dan langit. Lalu kenapa kita harus anggap wajar mereka ? Bukankah itu tidak wajar ? Bagaimana tidak, kalau kita sama-sama umur, kepangkatan, golongan gaji, bukankah tidak wajar atau tepatnya ‘salah’ kalau perbedaan penghasilannya sangat berbeda. Untuk yang wajar dan tidak kerja di tempat basah, tidak mampu beli apa-apa, di sisi lain yang kerja di tempat basah bisa beli segala-galanya. Tetapi karena hal tersebut sudah dianggap wajar masyarakat maka hal itu seolah-olah bukan merupakan suatu kesalahan, bukan merupakan sesuatu yang perlu melahirkan rasa malu, bukan sesuatu yang perlu kita cela,bukan sesuatu yang perlu kita anggap criminal. Padahal hal itu sdah merupakan hal yang mencurigakan dan bisa jadi mengandung tindakan criminal. Mestinya masyarakat tidak demikian, masyarakat harusnya membangun budaya menolak kecenderungan itu, kalau perlu mengembangkan ‘budaya malu’ berperilaku demikian.

Mengembangkan budaya malu di masyarakat memang bukan hal mudah, karena kondisi ‘bebal muka’ sudah sedemikian kronisnya. Terbukti kasus Gayus yang pegawai golongan tiga tapi kepemilikan kekayaannya melebihi kekayaan seorang professor yang memiliki kinerja dan prestasi sebagus-bagusnya. Seorang polisi dengan pangkat ‘rendahan’ memiliki kehidupan yang mewah di atas rata-rata aparat pemerintah segolongannya. Seorang yang kerja di bea cukai memiliki kehidupan yang lebih makmur dibanding sesama rekannya seangkatan yang bekerja di kantor pos misalnya. Padahal mereka sama-sama ‘abdi negara’ yang pengaturan kerja, kedisiplinan, pengaturan gajinya sama, kalau toh ada perbedaan tentu tidak harus menyolok sedemikian rupa. Peroleh yang tidak wajar, mestinya harus memberi ‘rasa takut, rasa salah’ pada sang pelakunya, bukan melahirkan sikap ‘tidak salah, wajar-wajar saja’. Kata Guru spiritualku semua kuncinya pada bagaimana upaya penegakan aturan dan hukum.  Sesungguhnya aturan dan hukum sudah bagus, yang belum bagus adalah ‘sikap dan perangai pelaksananya’.  Selama upaya membersihkan ‘hal yang kotor’ dilakukan dengan pelaksana (baca: sapu) yang kotor dan masyarakat kita membiarkan - mentolerirnya, maka kebersihan tidak akan tercapai. Mengaktualisasikan harapan memang butuh perjuangan, komitmen, pengorbanan dan keberanian bersama,  tidak bisa tidak.  

Rabu, 02 November 2011

ALTERNATIF



Umumnya ungkapan ‘alternatif’ sering digunakan untuk menggambarkan suatu pilihan, jalan, rencana, pendekatan dan lain-lainnya yang bersifat bukan yang utama. Kalau nggak ada pilihan A maka pilihan alternatifnya adalah B atau C, kalau jalan utama tidak dapat dilewati maka kita cari jalan lainnya, kalau rencana sat gagal kita jalankan rencana alternatif, kalau pendekatan satu tidak bisa menyelesaikan maka kita bisa coba pendekatan alternatif. Alternatif biasanya tidak akan dipilih mana kala yang utama tersedia atau bisa menyelesaikan.

Tetapi sekarang pemahaman itu telah bergeser, alternatif bukan lagi alternatif, bukan nomer dua atau tiga tapi sudah menjadi pilihan pertama, bahkan alternatif malah telah menjadi trend cara berpikir. Yaitu sebuah cara berpikir di mana orang diajak menggunakan pola pikir baru, untuk berani meninggalkan pilihan, jalan, rencana, pendekatan yang utama, yang umum. Pilihan alternatif adalah pilihan menantang, prestise, bercita rasa dan terbukti telah banyak merubah hidup orang. Terutama alternatif yang terlahir dari  inovasi cerdas, bukan sekedar alternatif-alternatifan atau keterpaksaan. Inovasi cerdas justru sering melahirkan hal baru yang sebelumnya ‘dianggap alternatif’ menjadi hal prioritas di kemudian hari.  Air kemasan misalnya, sebelumnya tidak terbayangkan bisa diterima masyarakat sebagai konsumsi hariannya terlebih terbilang mahal bisa dikatakan harganya separuh harga bensin perliternya.   

Sekarang produk-produk terbaru berbau  alternatif telah berkembang sedemikian banyak, termasuk yang paling gencar promosinya dan menarik banyak media adalah produk ‘pengobatan alternatif’. Mulai dari pengobatan alternatif yang bersifat rasional maupun pengobatan yang tidak rasional. Mulai dari pengobatnya seorang anak kecil yang masih bau kencur hingga kakek-kakek dukun yang menjelang dikubur, pengobatannya mulai dari penggunaan jamu alternatif hingga syarat maupun alat terapi alternatif berupa gelang, kalung, dan lain-lain. Yang mengherankan banyak ‘terapist’ yang mengiklankan mampu mengobati dan menyembuhkan penyakit-penyakit yang mematikan seperti: kangker, tumor, gagal ginjal, dan lain-lain. Yang lebih mengherankan lagi banyak juga yang laris manis hingga untuk berobat ke therapist tersebut harus antri bahkan mendaftar beberapa hari sebelumnya.

Gejala apa itu ? Ketidak percayaan masyarakat pada dunia kedokteran modern atau karena biaya pengobatan di rumah sakit dan dokter yang tinggi ? Atau memang pengobatan alternatif lebih memberi solusi yang lebih mujarab ? Sulit kita jawab dengan pasti.  Saya yakin anda pernah dengar ada dokter yang justru untuk pengobatan sesakitnya sendiri lebih memilih yang alternatef bukan pengobatan modern, juga mungkin pernah dengar dan menjumpai para terapis yang mengalami sakit dan berakhir pada rujukan menginap di rumah sakit. Tapi juga tidak salah sepenuhnya karena orang toh tidak bisa mengobatinya dirinya sendiri. Yang paling umum yang sering kita baca di berita televisi ataupun koran yang terberitakan bahwa problem utama masyarakat adalah menyangkut dengan biaya pengobatan di rumah sakit.

Kata guru spiritualku,  bahwa alam kita sesungguhnya adalah teladan hidup yang sangat baik ketika mau bicara tentang alternatif. Dalam kontek menjaga keseimbangan, di alam tersedia banyak keragaman yang interaktif untuk menjamin berjalannya proses kehidupan. Satu elemen memiliki peran beragam terhadap lainnya, bisa mengontrol atau dikontrol, semua saling interdependensi atau saling berketergantungan satu sama lainnya, saling melengkapi dan saling mengendalikan. Karena saling dikontrol dan mengontrol maka di alam setiap ada kekuatan dominansi yang muncul, maka secara otomatis  akan lahir kekuatan ‘anti dominansi’ sebagai jalan alternatif agar terjadi keseimbangan lagi. Manusia harusnya makin sadar, mana kala kita telah begitu dominan di alam dan terhadap alam,  ketika kita seenaknya merusak alam, maka pukulan balik ‘anti dominasi’ manusia akan muncul dari alam sebagai upaya ‘alternatif’ mengurangi dominasi, bisa berupa bencana, wabah penyakit  peperangan dan lain sebagainya. Berpikir alternatif, atau usaha pelahiran karya alternatif adalah upaya pengayaan ‘proses’ dalam hidup untuk mengurangi dominansi.