Senin, 14 November 2011

SEBELAS-SEBELAS-SEBELAS


Aku baru sadar bahwa tiga hari yang lalu aku berada pada sebuah momentum yang sangat berbeda atau buat sebagian orang dianggap momen istimewa. Kesadaran itu muncul ketika aku hendak pergi ke Jakarta untuk suatu acara yang tidak mungkin aku tunda dan terkendala urusan tiket penerbangan yang ‘sold all’ untuk semua penerbangan, baru ada tiket tersedia untuk penerbangan besok paginya. Kalau aku pilih terbang pagi jelas waktu tidak akan cukup sampai di acara tepat waktu, karena tempat acara jauh dari bandara Sukarno Hatta. Trus waktu itu aku posisi sudah di Surabaya, nunggu hingga pagi besok jelas merupakan problem tersendiri.  Akhirnya aku putuskan nyoba naik kereta, ternyata kondisinya sama ‘semua tiket sudah terjual habis’ untuk semua kereta’, waktu itu sudah jam setengah sebelas siang menjelang jum’atan. Ketika dalam kebingungan, sang penjaga tiket bertutur, “Kalau bapak mau berspekulasi tunggu jam satu, siapa tahu ada tambahan gerbong untuk kapasitas 60 orang, kami belum bisa pastikan karena itu putusan manager’. Aku berpikir masih ada peluang, aku bisa kembali setelah sholat jum’at.

Sekembali ke stasiun dari menunaikan sholat Jum’at , antrian di loket sudah mengekor panjang, aku pesimistis, tapi tetap mencoba antri juga. Pikir-pikir toh yang antri tidak untuk satu jenis kereta, informasi tambahan gerbong ternyata juga tidak hanya yang ke Jakarta tapi untuk jurusan ke Jogja dan Bandung. Di belakangku, seorang ibu yang ikut mengantri berceloteh kesal, nasibnya hampir sama telah banyak berupaya untuk mendapatkan tiket  dan kondisinya sama dengan yang aku alami. Hal senada juga dikeluhkan oleh yang lain, bahkan ada yang telah berupaya mencari informasi ke stasiun lain dan kondisinya sama.  Seorang anak muda di antrian sampingku berkata: “ Semua ini gara-gara hari ini dianggap hari yang sangat istimewa bagi sebagian orang, sebelas-sebelas-sebelas, bahkan tadi baru saja telah kita lewati momentum ‘empat sebelas’ yaitu jam sebelas di tanggal sebelas, bulan sebelas (nopember) dan di tahun sebelas (2011).  Aku tersadarkan, benar juga pendapat anak muda ini, bisa jadi ‘high setion’ di jagat transportasi disebabkan oleh faktor itu. Sekarang banyak orang tergila-gila pada momentum istimewa, entah apa dasar alasan istimewanya  tidak begitu jelas.

Seorang Ibu muda yang mengaku mau pulang ke Jogja di antrian tidak jauh dari anak muda mengakui  bahwa ia bersama teman-teman sekelas SMAnya baru saja reuni di momentum itu, ia keburu pulang selepas  jam sebelas karena malam harus sudah ada di Jogja untuk kumpul dengan keluarganya di jam 11 malam. Wow….aku tertegun, kenapa bisa begitu ? Demikian istimewanyakah momentum serba sebelas itu ? Sehingga orang mau bersusah payah memanfaatkannya, tidak mau kehilangan karena hanya terjadi sekali dalam kehidupan ini ? Apa iya ? Kalau itu alasannya, aku berpendapat pikiran mereka harus dikoreksi, bukankah setiap waktu selalu hanya terjadi sekali dalam kehidupan, tidak ada duanya. Hanya kalau momentum itu dianggap unik aku setuju aja, karena momennya serba sebelas. Tapi kalau dipikir panjang, momen itu juga bisa terjadi di serba angka lainya misalnya di serba dua (2/2/2/22), serba tiga (3/3/3/33), serba delapan (8/8/8/88), serba sembilan (9/9/9/99), dan sebangsanya   Jadi tidak terlalu istimewa karena banyak kemungkinannya.

Guru spiritualku berpendapat bahwa seiring makin menuanya zaman maka tantangan manusia makin bertambah, manusia makin kehilangan oreintasi dalam menjalani hidupnya, mereka akan terdesak dan dijajah oleh  produk-produk manusia sendiri . Keinginan manusia yang berharap segala sesuatu sebisa mungkin bisa ‘serba mudah, instan’ berbuntut melahirkan kemanjaan, rasa malas,  tidak peduli, dan tidak mau berbagi. Kondisi ini bisa  berbuntut pada lahirnya generasi yang lemah. Bagi mereka yang berekonomi kuat mereka asyik dengan dirinya sendiri dan kelompoknya, memenuhi keinginan-keinginan yang beraroma ‘beda dan selalu ingin beda’, hal itu selalu bisa dilakukana karena kekuatan ekonomi sangat memungkinkan untuk itu.  Mereka ini kelompok yang suka pada momen khusus seperti tahun baru, valentin day, tanggal khusus yang bisa melahirkan sensassi-sensasi  dan citarasa tersendiri bagi mereka. Pada sebagian kelompok mapan ini ada yang telah mulai tercerahkan dengan mengarahkan aktifitas sensasi mereka ke bidang sosial semacam beraktifitas bakti sosial di daerah pedalaman, daerah bencana, dan lain sebagainya.   

Mereka yang mempunyai kondisi ekonominya kuat bila dilebihkan kondisi pikirannya, disadarkan bahwa ada banyak peran yang bisa ia ambil, bukan harus melakukan yang sensasional,  sesungguhnya banyak pekerjaan, cinta, dan kesempatan untuk member dan berbagi, untuk mendukung harapan-harapan semua orang. Seorang guru yang lain berkata bahwa orang yang berkemampuan atau berkelimpahan tidak punya arti tanpa rasa memiliki nilai, berkemampuan atau berkelimpahan bernilai akan memampukan orang untuk mengikuti kata hatinya dan senang berbagi kesuksesan dengan orang lain. Orang yang paling kaya dan sukses adalah orang yang paling bermurah hati. Bermurah hati bukan cuma  dengan cara memberi materi, tetapi juga meliputi berbagi waktu, informasi, ilmu, teknologi, sumberdaya, pengalaman, cinta dan kasih sayang. Nah….nah, secara tidak langsung sesungguhnya kalau kita mau berbagi….berarti kita lagi belajar berbuat untuk kaya dan sukses.  Berbagi tidak harus menunggu momentum istimewa, jangan mengekor pada tradisi yang tidak jelas. Sebenarnya mementum serba sebelas yang baru lalu merupakan pergeseran waktu yang biasa, tidak ada yang istimewanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar