Ada yang menarik ketemu dengan
guruku yang cantik, bukan cuma kesenangan pribadi sebagai penggemar berat
kerinduannya terobati tetapi juga lantaran kata-katanya yang tercetus sungguh
menyentak kesadaran. Ternyata pengalaman
hidup, kerja, pergaulan benar-benar telah mampu merubah sikap dan pandangan
seseorang termasuk guru cantikku.
“ Bayangkan…., “ ucapnya dengan
antusias, bibirnya yang mungil nampak merona, indah saat bergerak-gerak
menyesuikan irama bicaranya.
“ Masyarakat kita sudah salah
kaprah, sering salah menilai dan menyelaraskan pandangan, sikap pada sesuatu
hal. Misalnya, banyak orang tahu bahwa sebagian anggota dewan kita yang minta
dihormati atau gila hormat, banyak yang memiliki perangai buruk, kinerjanya
jelek, serakah, manipulatif. Tetapi pada mereka yang demikian itu kepercayaan
masih kita berikan, mereka masih kita pilih ? “. Aku payah, konsentrasi menjadi
terbelah untuk mendengar kata-kata yang diucapkannya dan melihat bibirnya yang titis seksi. Salahnya aku termasuk pengikut
paham kakekku yang tidak pernah menyia-nyiakan keindahan, karena keindahan
belum tentu mau datang untuk yang kedua kalinya. Keindahan adalah barokah yang perlu
disyukuri.
Tidak itu saja, kita lihat
bersama bahwa pimpinan negeri ini telah terang-terangan sesumbar memerangi
korupsi. Untuk dan karena itu mereka kita pilih, tetapi ketika mereka
jelas-jelas menghianati apa yang telah dijanjikan saat kampanye, mereka tidak
berbuat banyak memerangi korupsi dan malah terkesan terlibat pada beberapa
pusaran korupsi, toh demikian ternyata
masyarakat kita tidak banyak berbuat apa-apa. Tidak memberi sangsi atau
hukuman, malah sebagian orang ikut ambil bagian dan membela yang semestinya tidak perlu dibela. Kondisi
masyarakat menjadi terbiasa menjumpai dan sekaligus berada pada hal yang buruk,
lalu satu-satu ikut membahasakan hal yang tidak patut tersebut menjadi sesuatu
yang wajar-wajar saja sifatnya.
Guru cantik lebih tegas
mencontohkan adanya kebiasaan masyarakat ‘mewajari’ tetangganya atau temannya
memiliki penghasilan yang lebih karena ia ditempatkan di ‘tempat yang basah’,
padahal mestinya kalau ‘pegawai negeri’ sudah jelas penggolongan gajinya tidak
berbeda, kalaupun ada tidak mungkin bedanya seperti bumi dan langit. Lalu kenapa
kita harus anggap wajar mereka ? Bukankah itu tidak wajar ? Bagaimana tidak,
kalau kita sama-sama umur, kepangkatan, golongan gaji, bukankah tidak wajar
atau tepatnya ‘salah’ kalau perbedaan penghasilannya sangat berbeda. Untuk yang
wajar dan tidak kerja di tempat basah, tidak mampu beli apa-apa, di sisi lain
yang kerja di tempat basah bisa beli segala-galanya. Tetapi karena hal tersebut
sudah dianggap wajar masyarakat maka hal itu seolah-olah bukan merupakan suatu
kesalahan, bukan merupakan sesuatu yang perlu melahirkan rasa malu, bukan
sesuatu yang perlu kita cela,bukan sesuatu yang perlu kita anggap criminal.
Padahal hal itu sdah merupakan hal yang mencurigakan dan bisa jadi mengandung tindakan
criminal. Mestinya masyarakat tidak demikian, masyarakat harusnya membangun
budaya menolak kecenderungan itu, kalau perlu mengembangkan ‘budaya malu’
berperilaku demikian.
Mengembangkan budaya malu di masyarakat
memang bukan hal mudah, karena kondisi ‘bebal muka’ sudah sedemikian kronisnya.
Terbukti kasus Gayus yang pegawai golongan tiga tapi kepemilikan kekayaannya
melebihi kekayaan seorang professor yang memiliki kinerja dan prestasi
sebagus-bagusnya. Seorang polisi dengan pangkat ‘rendahan’ memiliki kehidupan
yang mewah di atas rata-rata aparat pemerintah segolongannya. Seorang yang
kerja di bea cukai memiliki kehidupan yang lebih makmur dibanding sesama
rekannya seangkatan yang bekerja di kantor pos misalnya. Padahal mereka
sama-sama ‘abdi negara’ yang pengaturan kerja, kedisiplinan, pengaturan gajinya
sama, kalau toh ada perbedaan tentu tidak harus menyolok sedemikian rupa. Peroleh
yang tidak wajar, mestinya harus memberi ‘rasa takut, rasa salah’ pada sang pelakunya,
bukan melahirkan sikap ‘tidak salah, wajar-wajar saja’. Kata Guru spiritualku
semua kuncinya pada bagaimana upaya penegakan aturan dan hukum. Sesungguhnya aturan dan hukum sudah bagus,
yang belum bagus adalah ‘sikap dan perangai pelaksananya’. Selama upaya membersihkan ‘hal yang kotor’
dilakukan dengan pelaksana (baca: sapu) yang kotor dan masyarakat kita membiarkan
- mentolerirnya, maka kebersihan tidak akan tercapai. Mengaktualisasikan
harapan memang butuh perjuangan, komitmen, pengorbanan dan keberanian bersama, tidak bisa tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar