Minggu, 06 November 2011

TEMPAT BASAH



Ada yang menarik ketemu dengan guruku yang cantik, bukan cuma kesenangan pribadi sebagai penggemar berat kerinduannya terobati tetapi juga lantaran kata-katanya yang tercetus sungguh menyentak kesadaran.  Ternyata pengalaman hidup, kerja, pergaulan benar-benar telah mampu merubah sikap dan pandangan seseorang termasuk guru cantikku.
“ Bayangkan…., “ ucapnya dengan antusias, bibirnya yang mungil nampak merona, indah saat bergerak-gerak menyesuikan irama bicaranya.
“ Masyarakat kita sudah salah kaprah, sering salah menilai dan menyelaraskan pandangan, sikap pada sesuatu hal. Misalnya, banyak orang tahu bahwa sebagian anggota dewan kita yang minta dihormati atau gila hormat, banyak yang memiliki perangai buruk, kinerjanya jelek, serakah, manipulatif. Tetapi pada mereka yang demikian itu kepercayaan masih kita berikan, mereka masih kita pilih ? “. Aku payah, konsentrasi menjadi terbelah untuk mendengar kata-kata yang diucapkannya dan melihat bibirnya  yang titis seksi. Salahnya aku termasuk pengikut paham kakekku yang tidak pernah menyia-nyiakan keindahan, karena keindahan belum tentu mau datang untuk yang kedua kalinya.  Keindahan adalah barokah yang perlu disyukuri.

Tidak itu saja, kita lihat bersama bahwa pimpinan negeri ini telah terang-terangan sesumbar memerangi korupsi. Untuk dan karena itu mereka kita pilih, tetapi ketika mereka jelas-jelas menghianati apa yang telah dijanjikan saat kampanye, mereka tidak berbuat banyak memerangi korupsi dan malah terkesan terlibat pada beberapa pusaran korupsi, toh demikian ternyata  masyarakat kita tidak banyak berbuat apa-apa. Tidak memberi sangsi atau hukuman, malah sebagian orang ikut ambil bagian dan membela  yang semestinya tidak perlu dibela. Kondisi masyarakat menjadi terbiasa menjumpai dan sekaligus berada pada hal yang buruk, lalu satu-satu ikut membahasakan hal yang tidak patut tersebut menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja sifatnya.

Guru cantik lebih tegas mencontohkan adanya kebiasaan masyarakat ‘mewajari’ tetangganya atau temannya memiliki penghasilan yang lebih karena ia ditempatkan di ‘tempat yang basah’, padahal mestinya kalau ‘pegawai negeri’ sudah jelas penggolongan gajinya tidak berbeda, kalaupun ada tidak mungkin bedanya seperti bumi dan langit. Lalu kenapa kita harus anggap wajar mereka ? Bukankah itu tidak wajar ? Bagaimana tidak, kalau kita sama-sama umur, kepangkatan, golongan gaji, bukankah tidak wajar atau tepatnya ‘salah’ kalau perbedaan penghasilannya sangat berbeda. Untuk yang wajar dan tidak kerja di tempat basah, tidak mampu beli apa-apa, di sisi lain yang kerja di tempat basah bisa beli segala-galanya. Tetapi karena hal tersebut sudah dianggap wajar masyarakat maka hal itu seolah-olah bukan merupakan suatu kesalahan, bukan merupakan sesuatu yang perlu melahirkan rasa malu, bukan sesuatu yang perlu kita cela,bukan sesuatu yang perlu kita anggap criminal. Padahal hal itu sdah merupakan hal yang mencurigakan dan bisa jadi mengandung tindakan criminal. Mestinya masyarakat tidak demikian, masyarakat harusnya membangun budaya menolak kecenderungan itu, kalau perlu mengembangkan ‘budaya malu’ berperilaku demikian.

Mengembangkan budaya malu di masyarakat memang bukan hal mudah, karena kondisi ‘bebal muka’ sudah sedemikian kronisnya. Terbukti kasus Gayus yang pegawai golongan tiga tapi kepemilikan kekayaannya melebihi kekayaan seorang professor yang memiliki kinerja dan prestasi sebagus-bagusnya. Seorang polisi dengan pangkat ‘rendahan’ memiliki kehidupan yang mewah di atas rata-rata aparat pemerintah segolongannya. Seorang yang kerja di bea cukai memiliki kehidupan yang lebih makmur dibanding sesama rekannya seangkatan yang bekerja di kantor pos misalnya. Padahal mereka sama-sama ‘abdi negara’ yang pengaturan kerja, kedisiplinan, pengaturan gajinya sama, kalau toh ada perbedaan tentu tidak harus menyolok sedemikian rupa. Peroleh yang tidak wajar, mestinya harus memberi ‘rasa takut, rasa salah’ pada sang pelakunya, bukan melahirkan sikap ‘tidak salah, wajar-wajar saja’. Kata Guru spiritualku semua kuncinya pada bagaimana upaya penegakan aturan dan hukum.  Sesungguhnya aturan dan hukum sudah bagus, yang belum bagus adalah ‘sikap dan perangai pelaksananya’.  Selama upaya membersihkan ‘hal yang kotor’ dilakukan dengan pelaksana (baca: sapu) yang kotor dan masyarakat kita membiarkan - mentolerirnya, maka kebersihan tidak akan tercapai. Mengaktualisasikan harapan memang butuh perjuangan, komitmen, pengorbanan dan keberanian bersama,  tidak bisa tidak.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar