Selasa, 29 Maret 2011

NGONO yo NGONO tapi OJO NGONO



Sungguh demi Allah aku lagi bebal ide, dicekoki gelitikan yang mestinya bisa melahirkan banyak tulisan malah buntet, nggak ‘mbrujul-mbrujul’ juga itu gagasan. Terpaksa aku nglurug ke guru spiritualku kulakan tulisan untuk teman-temanku yang lagi berpolemik tentang ungkapan ‘falsafah’ Jawa, yang digulirkan oleh salah satu di antara mereka. Guru spiritualku juga geleng-geleng kepala lantaran ia merasa bukan Jawa sepenuhnya, beliau orang Osing yang konon menurut kakek neneknya ia merupakan generasi tri hybrid, ditubuhnya mengalir darah Jawa, Madura dan Bali. Jadi kalau diminta ngomong tenmtang falsafah Jawa, beliaunya mesasa tidak jangkep alias kurang PD. Tapi karena sungkan sama muridnya yang mbaleng seperti aku ini akhirnya nyoba urun rembug juga, “tapi yo ojo dianggep bener nek ora bener lho yo”, katanya.


“ Ungkapan Ojo Kagetan, Ojo Gumunan dan Ojo Dumeh sesungguhnya hanya sebagian kecil ungkapan Jawa, masih segudang ungkapan bijak yang melingkupi kehidupan orang Jawa. Tetapi memang diakui tiga ungkapan di atas adalah merupakan ungkapan Jawa yang paling banyak diketahui masyarakat umum. Orang bilang tiga ungkapan ini memang sangat relevan mewakili kondisi masyarakat kita yang rindu pada ketenangan, rindu akan kemakmuran dan rindu akan kebijaksanaan. Masyarakat kita sedang dilanda sikap yang terkesan dengan mudahnya digiring pemikiran dan perhatiannya, dipingpong dari isu satu ke isu lainnya, juga dengan mudah melupakan permasalahan satu ketika dihadirkan permasalahan lain yang baru. Kita adem ayem melupakan permasalahan KPK dan Polisi, ketika muncul Kasus Century, Century yang heboh terlupakan atas penampilan Gayus, demikian seterusnya sekarang lakonnya ‘acaman bom’.


Ojo dumeh, sangat tepat untuk mengungkapkan sinyal lampu kuning pada perilaku penguasa saat ini, karena terminologi ‘ojo dumeh’ sesungguhnya lebih bermakna ‘peringatan’ bukan larangan (kata ojo = jangan, dumeh = mentang-mentang), dan dapat diungkapkan pada berbagai permasalahan. Misalnya, jangan mentang-mentang sedang jadi penguasa seenaknya menistakan pada yang dikuasai, jangan mentang-mentang kaya lalu menghina dan menambah kesengsaraan orang miskin, jangan mentang-mentang pandai lalui mengelabui orang yang bodoh, jangan mentang-mentang cantik lalu menghina orang yang buruk muka, jangan mentang-mentang kuat lalu menginjak-injak orang yang lemah. Makna ungkapan ‘ojo dumeh’ harus disadari sebagai peringatan agar kita sadar bahwa ‘ketakterdugaan’ bisa saja terjadi pada siapapun. Hidup seperti roda berputar, dalam sekejap bisa saja yang berkuasa jadi nista, yang kaya jadi melarat, yang cantik jadi buruk muka. Peringatan ‘ojo dumeh’ sebetulnya untuk membimbing kita ‘berkesadaran’ memperbaiki kehidupan bersama yang lebih baik.” Sang Guru berhenti sejenak sambil menghirup kopi hangatnya.


“Ojo kagetan, juga bukan ungkapan larangan tapi juga sebuah peringatan atau ada yang memaknai sebagai ‘ajakan’. Akhiran ‘an’ pada kata ‘kaget’ memberikan arti kaget sebagai ‘kebiasaan’, sehingga kagetan itu bermakna ‘sering kaget’. Orang yang sering kaget dalam kontek Jawa menunjukkan orang yang ‘ora eling lan waspodo’ atau orang yang tidak sadar, tidak ngerti dan tidak waspada. Jadi ungkapan ojo kagetan sesungguhnya memiliki makna ajakan atau mengingatkan agar orang harus memiliki kesadaran, pengertian dan kewaspadaan. Semua itu kalau ditelusuri kuncinya adalah bagaimana seharusnya kita memiliki semangat belajar, dengan belajar orang bisa menguasai keadaan, menguasai medan, tahu kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi sehingga tidak perlu terkaget-kaget. Menurut orang yang meyakini puncak perolehan ajakan ini bisa mengantar orang menjadi ‘sidik paningal’ yaitu orang yang memiliki ketajaman indra dan bijaksana.


Ojo gumunan, sama dengan ungkapan sebelumnya merupakan sebuah ungkapan ‘peringatan’. Akhiran ‘an’ pada kata ‘gumun’ memberikan arti gumun sebagai ‘kebiasaan’, sehingga gumunan itu bermakna ‘sering kagum’. Orang yang demikian itu menggambarkan orang yang pengalamannya kurang, tidak pernah mengikuti perkembangan jaman, perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk perkembangan budaya manusia di seluruh belahan dunia. Ojo gumunan, maksudnya merupakan ungkapan ajakan agar orang mau menambah pengalaman, mengikuti perkembangan jaman, iptek, budaya dengan berbagai cara dan pendekatan. Lebih jauh merupakan ajakan agar diri kita memiliki pikiran yang ‘kaya inovasi’ terhadap apa saja yang ada di sekitar kita. Jangan jadi orang yang terus menerus tertinggal, orang yang selalu terbengong-bengong pada capaian dan prestasi orang lain. Puncak perolehan ajakan ini bisa mengantar orang menjadi ‘maestro’ yaitu orang yang memiliki kinerja dan prestasi besar yang diakui orang banyak.


Penting kita fahami bahwa orang boleh kaget asal jangan kagetan, boleh gumun asal jangan gumunan, tetapi kalau dumeh jelas tidak mengenal kata boleh, karena maknanya jelas beda dengan yang dua sebelumnya. Kata kaget dan kagum jelas tidak bisa disebandingkan dengan kata ‘mentang-mentang’ yang sudah memiliki muatan negatif, sedangkan yang lain baru negatif kalau dilakukan secara berlebihan atau menjadi kebiasaan. Ada ungkapan Jawa yang lebih umum yang berbunyi ‘ngono ya ngono tapi ojo ngono’, ungkapan ini bisa mewakili ungkapan jawa yang mengajak orang tahu diri dan jangan bertindak semaunya sendiri, menegasakan bagaimana sikap orang Jawa yang selalu toleransi pada apapun sikap dan kejadian yang dialaminya, tapi toleransi itu harus dimengerti ada batasnya. Maka kesewenangan penguasa, korupsi dan kolusi yang merajalela, hukum yang memihak, kemiskinan dan pengangguran yang terus bertambah, bencana yang terus melanda, tentu ada batas masyarakat mampu menahannya. Tunggu tanggal mainnya,” demikian kata penutup Guru Spiritualku.


Hmm…rasa maluku sedikit terobati, untung saja aku punya Guru Spiritual yang selalu menyejukan kegundahanku. Ya… mudah-mudahan juga bisa sebagai penghibur atau termorex diskusi teman-teman. Bagiku dalam mendewasakan hidup kita bisa belajar hal bijak dari manapun, dari siapapun, di manapun, tidak pandang suku, tidak pandang status, yang penting tangkap makna agungnya. Walau kita orang Jawa, kitapun tidak boleh dumeh sebagai orang Jawa, dan terlalu fanatis terhadap ‘kejawaan’ kita. Agar kita tidak gumunan kita juga harus mampu memahami dan menyerap sari pati ajaran dari mana saja, misalnya: ajaran Confecius dari daratan China, Gandhi dari India, Fritjof Capra yang mempopolerkan kesalehan budaya Timur, falsafah Sunda, falsafah Bali dan falsafah lainnya. Aku sendiri suka filosofi airnya orang Bugis, yang mendorong orang Bugis bisa beradaptasi di manapun mereka berada, bisa berbaur dengan suku dan bangsa apa saja. Di Banyuwangi aku lihat orang Bugis bisa hidup bersama orang Madura dan Osing, di Balikpapan aku saksikan orang Bugis damai hidup dengan orang Jawa dan Bali, di Singapura aku lihat ada kampong Bugis yang damai hidup dengan orang Melayu, India, Arab dan China. Mari kita intropeksi, perbaiki diri, lalu bangun terus toleransi, saling mengingatkan, sambil terus bersyukur kita diberi kesadaran, sambil terus berdoa agar diberi kejernihan berpikir……ngono ya ngono tapi ojo ngono. (dipublis juga di : http://www.alumni-unsoed-jatim.blogspot.com/)

Jumat, 25 Maret 2011

IDEALISME VS BRUTALISME


Saya paling suka mendengarkan radio SS setiap kali menjalani rutinitas berkendara dari Malang ke Surabaya. Banyak hal bisa saya petik nilai positifnya, mulai dari info terkini kondisi jalan yang akan saya lalui sampai dengan mendengarkan diskusi aktual tentang sesuatu yang sedang dibicarakan banyak orang baik masalah nasional maupun daerah. Saya sering tertolong dan terhindar dari kemacetan jalan di Porong atau di jalanan Surabaya karena semangat berbagi informasi situasi jalan dari banyak orang ke radio ini. Kadang juga mendapat kata-kata bijak, atau informasi pengalaman dari orang tentang penipuan, tentang kiat sukses dan lain-lain.

Dari mendengarkan radio SS sering juga kita tahu kejadian kecelakaan di mana, apa dengan apa korbannya ada tau tidak dan lain-lain, yang bisa bikin trenyuh karena korbannya mengenaskan misalkan. Atau bisa bikin mangkel karena kecelakaan yang terjadi akhirnya membuat kemacetan dan memaksa setiap pengguna jalan lainnya melaju lambat atau bahkan bisa terhenti berjam-jam. Lebih parah pernah terjadi jalanan macet seharian penuh lantaran ada truk trailer yang membawa muatan besi cor tiba-tiba remnya gancet dan membuatnya mogok di tengah jalan tol, evakuasi sangat sulit karena tidak memungkinkan penyelesaian dengan system dongkrak karena beratnya beban. Dan hari ini aku dengar hal yang menyedihkan sekaligus memprihatinkan, dilaporkan seorang lelaki 59 tahun mengendarai sepeda pancal diserudug truk yang melaju di bahu kiri jalan dengan kecepatan tinggi hingga melindas bagian dada ke atas lelaki itu dan nyawanya tidak tertolong.

Sejenak ketika saya masih menelan rasa kesedihan, di radio SS terdengar telepon bordering, dan seorang lelaki menyampaikan rasa berterima kasih mendapatkan informasi tentang kecelakaan tersebut, karena informasi yang disampaikan radio SS menyangkut lelaki yang celaka itu, mengarah pada seperti ciri teman kantornya. Walau masih ragu, ketika disampaikan ke teman-temannya, mendorong juga rasa ingin tahu dan ikut mengecek ke rumah sakit tempat sang lelaki diotopsi, dan akhirnya diketahui bahwa dugaannya adalah benar. Dari penuturan sang penelepon bahwa lelaki yang mengalami celaka adalah seorang lelaki yang idealis, orang ingin menjaga kesehatannya dengan menyikapi selalu naik sepada pancal ke kantornya. Setiap hari kerja ia memilih mengayuh sepedea dari Gedangan hingga Perak tempatnya ia kerja. Fasilitas mobil dinas yang diberikan oleh kantornya tidak pernah mau dimanfaatkannya karena semangat ingin sehat.

Idealisme yang positif ternyata tidak selalu membawa hasil positif, kalau kita melihat kejadian di atas justru idealism membawa kekonyolan. Mungkin orang akan bicara bahwa semua itu sudah takdir sebagai nasib orang itu. Tetapi menurut saya bahwa lelaki itu adalah telah jadi korban ‘kebrutalan’ orang yang tidak memiliki rasa tanggung jawab, tidak memiliki kesadaran bahwa jalan adalah fasilitas umum, tidak memiliki toleransi, mestinya orang ini sadar bahwa di jalan nasib orang lain ditentukan oleh sikap dan tindakan dirinya demikian sebaliknya. Sesungguhnya peraturan lalu lintas di jalan sengaja dibuat agar semua pengguna jalan bisa saling memahami hak dan kewajibannya di jalan. Petunjuk, peringatan, larangan harus dimengerti dan dipatuhi sehingga kecelakaan bisa dihindari.

Tetapi itulah yang namanya ‘brutalisme’, sebuah sikap yang cenderung seenaknya sendiri, maunya menang sendiri, tidak memiliki empati, suka melanggar aturan, seenaknya merusak tatanan, tidak miris menghilangkan nyawa orang yang justru mematuhi aturan, Kenapa sekarang banyak orang brutal di mana-mana, sedang sakitkah masyarakat kita ? Sepertinya memang masyarakat kita sedang sakit, yang namanya toleransi sudah tercabik dari tatanan masyarakat kita. Toleransi dibungkam oleh gerusan masalah ekonomi, politik dan persatuan.

Guru spiritual saya mengomentari bahwa memang sekarang sudah saatnya sikap toleransi diajarkan dan dikembangkan kembali pada masyarakat kita, agar ketenangan dan kebahagiaan hidup bisa lebih dijamin pencapaiannya. Sebab kalau dibiarkan dan terus terjadi di berbagai tatanan masyarakat, hal tersebut bisa menjadi perusak moralitas bangsa. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang santun , jangan biarkan orang-orang yang ada di sekitar kita selalu diliputi rasa takut, dan merasa terancam di rumahnya sendiri atau di negaranya sendiri. Tunjukan perilaku kita yang santun, buatlah siapapun bisa merasa berada di Indonesia dengan nyaman, merasa lebih baik dan lebih berkesan. Sehingga kalau itu orang asing, mereka akan rindu dan kembali datang dengan suka ria. Ingat bahwa untuk merubah kebrutalan tidak mungkin dilakukan oleh satu orang, siapapun anda bisa ikut merubah hal itu. Sampailkan dan yakinkan pada setiap orang bahwa hidup itu berharga, kalau hal itu terus ditumbuhkan yakinlah bahwa keyakinan itu akan mampu menumbuhkan sikap perhargaan hidup itu sendiri .

Senin, 07 Maret 2011

KEGAGALAN


Seorang teman SMS kepadaku di tengah malam mengungkapkan kegundahan, kejengkelan, frustasi , putus asa atas nasib yang menimpa dirinya. Dia sudah maju ujian 5 kali dan mengalami kegagalan juga sebanyak 5 kali. Nasehat teman-temannya yang sudah lulus sudah ia ikuti, misalnya saja disarankan untuk focus, serius belajar, latihan terus menerus, berdoa, rilex pada saat ujian, convident atau percaya diri. Tapi semua sia-sia, tetap tidak merubah keadaan nilai yang bisa dicapai agar bisa dikatakan ‘lulus’. Sang teman tidak lalu menyalahkan dirinya sendiri apalagi melabel dirinya ‘pecundang’, mengapa demikian ? Sebab teman-teman yang senasib dengan dirinya masih banyak, bahkan ada pula yang sudah 10 kali ujian belum juga ‘klarrr’.

Kalau sekian banyak orang berulang mengalami kegagalan pada ujian yang sama, hal seperti ini semestinya sudah bisa melahirkan penelaahan ulang ‘urgensi’ ujian itu. Mengapa sedemikian sulit, mengapa dibiarkan saja menjadi batu sandungan ‘aktivitas’ lainnya yang lebih ‘urgen’ ? Saya faham semua teman-teman sesungguhnya bukan menolak tahapan atau ujian yang harus ditempuh tersebut. Mereka hanya berharap ‘kewajiban’ itu mestinya bisa lebih dibijaki, artinya ketika ujian itu telah nyata-nyata mengganggu hal yang lebih substantif dalam proses ‘belajar’, maka bisa dibuat lebih lunak untuk tidak menjadikan ‘ujian itu’ sebagai prasarat kegiatan krusial. Kami faham bahwa penguasaan bahasa asing itu penting, tetapi kalau itu ‘dijadikan syarat’ dan malah menjadi penghambat teman-teman untuk bisa melakukan penelitian yang lebih substantive dalam proses belajar. Maka itu adalah keblinger, kata temanku.

Teman yang optimis selalu bilang, bahwa kegagalan adalah buah. Tuhan tidak pernah membiarkannya tumbuh di cabang yang terlalu lemah untuk menanggungnya. Kita semua telah terpilih, yang telah lolos di saringan satu dan dua. Jadi jangan menyerah, jangan mengiba-iba untuk mendapatkan surat dispensasi atau ‘surat keterangan miskin’ yang menandakan kita sudah menyerah karena sudah sekian kali gagal di ujian. Yakinlah, bahwa kita akan menjadi semakin kuat dengan penyadaran bahwa uluran tangan yang kita perlukan terletak di tangan kita sendiri. Jangan mengeluh saja, karena mengeluh bukan langkah maju. Kegagalan adalah peluang untuk memulai lagi, memulai dengan lebih bijaksana, penuh perhitungan dan kesadaran.

Memang menurut pengalamanku hambatan itu harus kita perhatikan dan kita hadapi secara khusus, tidak bisa sekedarnya dan tidak bisa sekedar coba-coba. Menyangkut ujian yang sama aku sendiri juga berkali merasakan kegagalan, tapi berulang pula koreksi diri, terus berupaya fokus, membangun strategi belajar, latihan dan latihan. Kenyataannya setelah berproses selama satu bulan mengakrabi problem itu, toh akhirnya bisa lolos dari masalah tersebut dan lulus melebihi target. Setelah lolos bagaimana ? Ingat, ternyata setelah lolos ujian itu bukan berarti masalah kita sudah selesai, karena masalah lain sudah ada yang menunggu, ya..... memang begitulah kenyataannya. Sadar tidak sadar kita sekarang memang berada dalam kontrak 'masalah'.
Orang bijak ketika mendengar kata ‘kegagalan’ selalu akan bilang tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Artinya kalau mau bijaksana terhadap ‘kegagalan’ yang kita alami, tindakan pertama kita adalah melakukan evaluasi dan intropeksi. Sudah seberapa keras usaha kita untuk mengatasi problem itu ? Rubahlah diri !! Jangan berkecil hati ! Seringkali anak kunci yang bisa membuka gembok adalah anak kunci terakhir yang ada di tangan kita juga.

Terakhir Guru Spiritualku menasehati, sekarang yang terpenting yakinkanlah dirimu dan mantapkan hatimu bahwa kamu memang sudah berada pada proses yang benar untuk sebuah pencapaian exelence with morality. Berharaplah terus dan ikutlah aktif berproses agar semboyan agung itu tidak hanya lahir sebagai ‘pepesan kosong’, mulailah membangun ‘keterampilan cemerlang’ dan ‘watak mulia’ dengan tindakan dan contoh sederhana-sederhana tetapi agung. Ingatlah, bahwa watak mulia dan keterampilan rendah tak akan membuat kita sukses, tetapi tetap membuat kita menjadi orang yang dihargai. Watak rendah dan keterampilan cemerlang menjadikan orang jadi penipu. Sedangkan watak mulia dan keterampilan cemerlang akan mengantarkan kita menjadi orang yang sukses dan juga mampu menebar kesejahteraan, kebahagian, ketentraman dan kedamaian bagi orang-orang di sekitar kita.
Nah, siapapun yang berproses dalam gerbong bersemboyan exelence with morality mesti harus sadar bahwa menggapai hal itu bukan hal yang gampang. Ketika masih ada kebuntuan komunikasi, ketika masih banyak yang resah, ketika masih banyak yang munafik, ketika masih banyak yang merasa teraniaya, maka hal itu merupakan pertanda kita semua masih jauh dari harapan. Oleh karena itu perlu ada aksi nyata dari kita untuk berubah menuju ke sana.