Seorang teman SMS kepadaku di tengah malam mengungkapkan kegundahan, kejengkelan, frustasi , putus asa atas nasib yang menimpa dirinya. Dia sudah maju ujian 5 kali dan mengalami kegagalan juga sebanyak 5 kali. Nasehat teman-temannya yang sudah lulus sudah ia ikuti, misalnya saja disarankan untuk focus, serius belajar, latihan terus menerus, berdoa, rilex pada saat ujian, convident atau percaya diri. Tapi semua sia-sia, tetap tidak merubah keadaan nilai yang bisa dicapai agar bisa dikatakan ‘lulus’. Sang teman tidak lalu menyalahkan dirinya sendiri apalagi melabel dirinya ‘pecundang’, mengapa demikian ? Sebab teman-teman yang senasib dengan dirinya masih banyak, bahkan ada pula yang sudah 10 kali ujian belum juga ‘klarrr’.
Kalau sekian banyak orang berulang mengalami kegagalan pada ujian yang sama, hal seperti ini semestinya sudah bisa melahirkan penelaahan ulang ‘urgensi’ ujian itu. Mengapa sedemikian sulit, mengapa dibiarkan saja menjadi batu sandungan ‘aktivitas’ lainnya yang lebih ‘urgen’ ? Saya faham semua teman-teman sesungguhnya bukan menolak tahapan atau ujian yang harus ditempuh tersebut. Mereka hanya berharap ‘kewajiban’ itu mestinya bisa lebih dibijaki, artinya ketika ujian itu telah nyata-nyata mengganggu hal yang lebih substantif dalam proses ‘belajar’, maka bisa dibuat lebih lunak untuk tidak menjadikan ‘ujian itu’ sebagai prasarat kegiatan krusial. Kami faham bahwa penguasaan bahasa asing itu penting, tetapi kalau itu ‘dijadikan syarat’ dan malah menjadi penghambat teman-teman untuk bisa melakukan penelitian yang lebih substantive dalam proses belajar. Maka itu adalah keblinger, kata temanku.
Teman yang optimis selalu bilang, bahwa kegagalan adalah buah. Tuhan tidak pernah membiarkannya tumbuh di cabang yang terlalu lemah untuk menanggungnya. Kita semua telah terpilih, yang telah lolos di saringan satu dan dua. Jadi jangan menyerah, jangan mengiba-iba untuk mendapatkan surat dispensasi atau ‘surat keterangan miskin’ yang menandakan kita sudah menyerah karena sudah sekian kali gagal di ujian. Yakinlah, bahwa kita akan menjadi semakin kuat dengan penyadaran bahwa uluran tangan yang kita perlukan terletak di tangan kita sendiri. Jangan mengeluh saja, karena mengeluh bukan langkah maju. Kegagalan adalah peluang untuk memulai lagi, memulai dengan lebih bijaksana, penuh perhitungan dan kesadaran.
Memang menurut pengalamanku hambatan itu harus kita perhatikan dan kita hadapi secara khusus, tidak bisa sekedarnya dan tidak bisa sekedar coba-coba. Menyangkut ujian yang sama aku sendiri juga berkali merasakan kegagalan, tapi berulang pula koreksi diri, terus berupaya fokus, membangun strategi belajar, latihan dan latihan. Kenyataannya setelah berproses selama satu bulan mengakrabi problem itu, toh akhirnya bisa lolos dari masalah tersebut dan lulus melebihi target. Setelah lolos bagaimana ? Ingat, ternyata setelah lolos ujian itu bukan berarti masalah kita sudah selesai, karena masalah lain sudah ada yang menunggu, ya..... memang begitulah kenyataannya. Sadar tidak sadar kita sekarang memang berada dalam kontrak 'masalah'.
Orang bijak ketika mendengar kata ‘kegagalan’ selalu akan bilang tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Artinya kalau mau bijaksana terhadap ‘kegagalan’ yang kita alami, tindakan pertama kita adalah melakukan evaluasi dan intropeksi. Sudah seberapa keras usaha kita untuk mengatasi problem itu ? Rubahlah diri !! Jangan berkecil hati ! Seringkali anak kunci yang bisa membuka gembok adalah anak kunci terakhir yang ada di tangan kita juga.
Terakhir Guru Spiritualku menasehati, sekarang yang terpenting yakinkanlah dirimu dan mantapkan hatimu bahwa kamu memang sudah berada pada proses yang benar untuk sebuah pencapaian exelence with morality. Berharaplah terus dan ikutlah aktif berproses agar semboyan agung itu tidak hanya lahir sebagai ‘pepesan kosong’, mulailah membangun ‘keterampilan cemerlang’ dan ‘watak mulia’ dengan tindakan dan contoh sederhana-sederhana tetapi agung. Ingatlah, bahwa watak mulia dan keterampilan rendah tak akan membuat kita sukses, tetapi tetap membuat kita menjadi orang yang dihargai. Watak rendah dan keterampilan cemerlang menjadikan orang jadi penipu. Sedangkan watak mulia dan keterampilan cemerlang akan mengantarkan kita menjadi orang yang sukses dan juga mampu menebar kesejahteraan, kebahagian, ketentraman dan kedamaian bagi orang-orang di sekitar kita.
Nah, siapapun yang berproses dalam gerbong bersemboyan exelence with morality mesti harus sadar bahwa menggapai hal itu bukan hal yang gampang. Ketika masih ada kebuntuan komunikasi, ketika masih banyak yang resah, ketika masih banyak yang munafik, ketika masih banyak yang merasa teraniaya, maka hal itu merupakan pertanda kita semua masih jauh dari harapan. Oleh karena itu perlu ada aksi nyata dari kita untuk berubah menuju ke sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar