Selasa, 31 Agustus 2010

BULAN INVESTASI



Sekarang bulan Ramadhan atau popular dengan bulan puasa, menurut keyakinan umat Islam bulan ini adalah bulan baik bulan penuh berkah dan barokah. Bagi kebanyakan orang bulan puasa adalah bulan di mana melakukan rukun islam ke empat, yaitu belajar menahan napsu, terutama makan dan minum serta hal yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Bagi yang lain bulan puasa tidak sekedar menjalankan kewajiban berpuasa tetapi juga memperbanyak kegiatan ibadah, seperti melaksanakan sholat-sholat sunah, tadarus, dzikir, itikaf, dan ibadah lainnya.


Guru spiritualku mengatakan bahwa bulan puasa adalah bulan yang tepat untuk investasi laku kebaikan, beliau bilang ‘Goodness is the only investment that never fails’, kebaikan adalah investasi yang tidak pernah gagal. Pada kegiatan di bulan puasa selayaknya kita tidak melulu menekankan ibadah saja, kita perlu aksi nyata setelah memahami rasa lapar, memahami betapa nikmatnya berbuka puasa. Kita harus sadar bahwa dalam keseharian tidak sedikit orang yang selalu kelaparan, rasa lapar sudah menjadi sahabat keseharian tidak saja di bulan puasa. Berbagi rizki , kebahagian, rasa senang, membantu yang kesusahan, yang teraniaya, yang tertindas adalah beberapa kebaikan. Bagi semua orang terutama bagi orang yang tidak mampu memberi senyum, berempati, perhatian, rasa peduli adalah kebaikan yang paling murah.


Puasa kata guru spritualku lagi, semestinya harus difahami tidak sekedar mengandung pesan mengajak kita menempa batin untuk meningkatkan spiritualisas masing-masing, tetapi juga memiliki pesan yang mengajak kita untuk peduli kepada orang lain yang nasibnya kurang menguntungkan disbanding kita. Tidak sedikit pada saat bulan puasa orang-orang justru mengeluarkan belanja lebih dari biasanya untuk alasan mengahargai keluarganya yang berpuasa, survey di beberapa kota besar di Indonesia menggambarkan kenaikan belanja makanan naik hingga 30 persen. Puasa tidak lagi bisa menjadi pembelajaran hidup berkesederhanaan, tetapi justru berlebihan karena lantaran pada saat buka hidangan yang disajikan beragam hingga akan ada makanan yang tidak termakan.


Puasa mestinya bisa lebih diarahkan untuk membangun empati sosial kita, menjadi kritik dan koreksi terhadap nilai-nilai kapitalisme dan materialisme yang kian mengganggu dan merusak kesadaran spiritual masyarakat kita. Bagaimana kita melakukan puasa tanpa kemanjaan yang bertolak belakang dengan makna puasa itu sendiri yang semestinya segalanya termasuk makan dan minum bisa lebih sederhana dari keseharian tetapi tetap produktif dan spiritualistis. Bukan malah sebaliknya hidangan buka dan sahur diada-adakan, tidak hemat, dan cenderung mubajir. Terus produktitas menurun atas alasan lemas, memperbanyak ibadah, bahkan ada yang berasumsi tidur untuk meraih pahala. Sesungguhnya kalau ada dana yang lebih, atau energi yang tersisa sebaiknya di bulan suci ramadhan ini bisa disalurkan untuk investasi kebaikan, sebuah investasi yang pasti, terlebih bila dilakukan di bulan baik seperti ini.


Investasi kebaikan di bulan puasa bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, misalnya dengan menolong orang yang sedang berkesusahan, sekecil bentuk pertolongan kita akan mempunyai nilai di hadapan Allah, berbagi hidangan untuk buka puasa, mengingatkan kelalaian orang, mengajak melakukan tindakan yang jujur, sabar, iklas, selalu ramah, murah senyum dan lai-lain. Bagi yang berkemampuan bisa akan lebih banyak peluang untuk berlaku kebaikan, selain melakukan hal di atas bisa dan memiliki peluang untuk memperbanyak amal, derma, sodakoh, zakat, dan yang lebih bagus lagi bisa memodali usaha sosial untuk mengatasi problem kemiskinan dan memerangi kebodohan. Karena dari problem kemiskinan dan kebodohan segala problem bangsa ini berakar, mengurangi permasalahan pada aspek ini akan mengurangi problem amoralitas, semacam : korupsi, perampokan, madat, prostitusi dan lain-lain. Mari kita mulai investasi dari yang kita bisa.

Senin, 30 Agustus 2010

BERDAMAI


Sering kita dihadapkan pada suatu kondisi yang tidak tepat, tidak benar, tidak cocok dengan harapan kita. Kita ingin perjalanan lancar ternyata jalanan macet, kita ingin laporan kerja segera terselesaikan tiba-tiba lampu mati hingga kita tidak bisa bekerja. Kita ingin mendapatkan hasil kerja yang maksimal ternyata hasilnya tidak memenuhi standard minimal. Kita ingin berlayar dengan cuaca yang cerah ternyata malah berbadai. Itu sebagian gambaran kondisi yang sering menjadi realita yang yang harus kita hadapi dan acap bisa membuat kita kecewa, marah, frustasi, kalau kita tidak segera mampu mengatasi keadaan.

Pada kondisi demikian kita harus mampu berdamai dengan diri kita sendiri, karena dengan cara demikian kita bisa menhindari atau minimal mengurangi rasa kecewa, marah, frustasi yang muncul, dan bisa berpikir jernih mencari solusinya atau setidaknya mengkondisikan perasaan agar menjadi lebih nyaman. Seorang teman yang tidak mau stress, tidak mau menjadi korban lingkungan yang makin tidak terprediksi, cenderung berkompromi dengan keadaan itu dengan malah ‘mencoba menikmatinya’. Sebab melahirkan kegelisahan, amarah atau apapun kalau memang kita tidak bisa banyak berbuat untuk mengatasi permasalahan yang ada dihadapan kita tersebut menjadi percuma saja, malah menjadi tambah beban. Contohnya ketika kita berada di jalan yang macet, apa yang bisa kita lakukan kecuali mencoba menikmatinya.

Berdamai dengan diri sendiri adalah ibarat menyelaraskan antara injakan rem dan gas dalam mengendarai mobil, merupakan upaya agar bisa mengikuti kondisi jaln. Tetapi jangan salah artikan bahwa berdamai dengan diri sendiri adalah sebuah kekalahan, sama sekali tidak. Berdamai dengan diri sendiri adalah justru merupakan keberhasilan, tidak mudah menenangkan atau menaklukan diri sendiri. Kecenderungan orang sukses menaklukan puncak-puncak gunung tinggi, menaklukan ganasnya gelombang samudra, menjinakan kuda liar, dan lain-lain tetapi malah sulit menaklukan dirinya sendiri. Bagaimana bisa menaklukan diri sendiri, karena umumnya kita juga banyak lupa memperhatikan diri, mulai tubuh, pikiran, harapan-harapan, cinta, dan segala keterbatasannya.

Untuk itu, agar kita bisa berdamai dengan diri sendiri atau berdamai dengan kondisi apapaun yang mewarnai keadaan lingkungan kita, kita perlu banyak belajar memahami. Pertama dan utama adalah memahami diri kita, siapa kita, bagaimana kondisinya fisik, ekonomi, spiritual, sosial, apa cita dan harapan-harapannya, dan hal-hal lain yang kadang sering disepelekan misalnya kebiasaan. Upaya memahami sejauh mana fenomena diri kita akan menentukan sejauh mana kita bisa berdamai dengan diri kita sendiri. Jangan berharap kita bisa berdamai dengan diri kita mana kala kita tidak perduli pada kondisi diri kita sendiri.

Kalau kita bisa berdamai dengan diri kita, maka kita bisa mengatur dan merubah pikiran kita, kita bisa menyemai doktrin-doktrin positif pada pikiran kita, walau ia sedang berada pada kondisi yang kurang menguntungkan. Jika pikiran kita bisa menerimanya dan hati kita mempercayai hal itu maka kita didorong bisa melakukan hal yang kita pikirkan tersebut. Situasi yang kurang menguntungkan minimal tidak akan menguras kembali energi akibat rasa kecewa, marah, frustasi yang bisa muncul, malah sebisa mungkin suasana kurang menguntungkan itu bisa menjadi sumber inspirasi, menghibur atau malah produktif.

Harus disadari bahwa tanpa berdamai dengan diri sendiri kita akan selalu merasa resah, kalah dan bahkan mungkin saja binasa. Modal dasar untuk bisa berdamai mengerti dan memahami diri tentu saja diperlukan sifat dan sikap kejujuran, watak, integritas, iman, cinta dan kesetiaan. Kejujuran, watak dan integritas pada diri akan menjauhkan kita dari sikap dan perilaku munafik, sementara iman akan membimbing kita menjauhi hal-hal buruk dan selalu berjalan di jalan Illahi, lalu cinta dan kesetiaan akan memberi warna hidup di dunia ini menjadi lebih bahagia, indah, dan bermakna.

Jumat, 27 Agustus 2010

BAHAGIA TANPA SYARAT



Seorang teman lama tiba-tiba saja muncul di rumahku, rupanya dunia maya memudahkan tempat tinggalku diendus olehnya. Dalam sekejap kami jadi asyik, kami bertutur panjang lebar tentang hidup masing-masing, bayangkan dua puluh lima tahun kami tidak pernah berjumpa, jadi ketika berjumpa rasanya kami asyik melepas kekangenan. Sebagai ekspresi kerinduan, rasa hormat dan empati kami saling bercerita, aku merasa asyik mendengarkan apa saja yang ia katakana, pun kayaknya demikian sebaliknya ketika aku yang cerita, tentu tak lupa sambil makan singkong goreng hasil tanam sendiri. Harap maklum di kampung yang paling mudah disajikan ya makanan seperti itu, dan istriku paling tau bahwa menyajikan ‘singkong dan derivatnya’ itu lebih menarik bagi orang kota dibanding menyajikan kue kalengan yang mungkin sudah membosankan karena biasa mereka santap.



Berbincang dengan teman lama, seperti layaknya memutar film documenter, tiap cerita menjadi kan kita ingat banyak hal yang dulu pernah dialami bersama. Kadang kami jadi tertawa kalau kami ingat hal-hal yang lucu, kadang harus bersyukur karena solidaritas pertemanan kami benar-benar teruji, tapi kadang kami juga menjadi prihatin ketika teringat nasib buruk yang menimpa beberapa teman. Beberapa teman teman kami mati muda karena kecerobohan hidup dan kurang perhatiannya orang tua, ada juga sekarat karena obat-obatan, ada juga yang terpaksa kawin muda karena pacarannya kebablasan hingga hamil duluan. Kilas balik itu akhirnya melahirkan sebuah pertanyaan yang awalnya entah dari mana yang prinsipnya membuat kami diam. Pertanyaannya sederhana ‘ Apakah kamu bahagia ?’



Kami akhirnya diskusi tentang kebahagiaan, aku katakana pada temanku bahwa aku punya blog dan pernah menulis tentang kebahagiaan atau sedikit perenungan tentang bahagia. ‘Saya tertarik pada konsep dalam Islam tentang bagaimana sebaiknya kita selalu berusaha mencari jati diri sebagai hamba (makrifatullah). Memahami ‘kehambaan’ akan banyak membantu kita selalu syukur, tidak sombong dengan perolehan harta, kedudukan, ketenaran, kemolekan dan lain sebagainya. Menyukuri apa yang kita dapatkan setelah upaya kita menghidupi hidup, dan mampu memaknai dan mengevaluasi berbagai peristiwa yang menghiasi hidup kita termasuk yang menyedihkan sekalipun adalah ‘ruh bahagia’. Kataku padanya, ia tersenyum ketika kutunjukan blog cakrawala beningku.



Temanku satu ini adalah salah satu teman yang dari kecil suka pemikiran, aku ingat ia pernah membuat gaduh pengajian ahad pagi ramadhan di masjid besar di kota kelahiranku dengan bertanya hal mendasar tentang ke-Tuhan-an yang jelas-jelas sering menjadi wilayah tabu untuk ditanyakan bagi kebanyakan orang. Pertanyaannya kalau dicermati sudah mengarah ke ranah ‘filosofis’ tentunya. Contoh pertanyaannya rasanya tidak perlu saya sampaikan, yang jelas mempertanyakan keberadaan Tuhan tetapi sesungguhnya dimaksudkan untuk menguatkan keimanan.



‘Bahagia menurutku adalah sesuatu yang hanya bisa kita rasakan bila kita tidak menetapkan syarat apapun untuk itu. Kalau dengan syarat berarti kita masih belum bahagia sepenuhnya, belum iklas, mungkin masih kebahagian pribadi, sesaat, atau semu. Kebahagian tidak bisa dicari, kalau dicari berarti ada gambaran, ada ciri, ada ukuran, ada syarat. Kalau ada ukuran dan syarat tertentu mengenyangkut hal yang membahagiakan maka yang akan terjadi adalah kebahagiaan yang kurang atau kondisi yang kurang bahagia, lantaran ukuran dan syarat akan berubah mengikuti waktu dan rasa ketidakpuasan juga selalu muncul. Bahkan jika kebahagian kita kejar maka kebahagiaan itu akan makin menjauh dari kita. Kita mesti memahami ‘hakekat’ sumber yang menyebabkan perasaan yang demikian. Kebahagiaan sejati adalah anugerah Illahi yang akan datang sendiri manakala kita benar-benar layak dan siap menerimanya, jadi syarat justru bukan di kita, tetapi dari Allah’. Nah benarkan, kata-katanya menjadi sulit kita telaah manakala ia mulai bicara hakekat.



Sang teman kemudian mengibaratkan kebahagiaan seperti kupu-kupu, ada-ada saja pikirku. Sering kita lihat ketika jumpai kupu-kupu lalu kita kejar maka sudah dipastikan kupu-kupu itu akan terbang dan terbang makin menjauh, tetapi manakala kita diam jauh dari rasa ingin merengkuh kupu-kupu, justru kupu-kupu itu akan datang menghampiri kita dan tanpa takut dia hinggap di tubuh kita, mengajak bercanda dengan kita.



‘ Itulah kehidupan, untuk mendapat kebahagiaan sejati seseorang harus banyak bersyukur, berupaya membangun kesolehan diri dan keluarga, mencari dan berbagi rejeki dan harta yang halal, hidup dan menghidupi lingkungan yang agamis dan humanis, serta memanfaatkan barokah umur untuk selalu menempuh jalan yang diridhoi Allah. Kebahagiaan akan menghampiri siapapun yang mampu memahami bahwa segala sesuatu terjadi karena Allah, dari kesadaran itu akan melapangkan dada dan hati kita untuk selalu bisa menerima rejeki, nikmat, cobaan, godaan, dan tetap selalu bersyukur serta iklas memelihara kewajiban ibadah kita kepada Allah. Tidak perlu kita buat kriteria bahagia, yang perlu kita lakukan adalah memenuhi syarat agar kita bahagia seperti yang dijanjikan Allah ‘.

Rabu, 18 Agustus 2010

CERITA 2 SUFI


Genap seminggu menalani ibadah puasa, siang ini aku kedatangan dua orang sahabat yang akhir-akhir ini jarang bisa ketemu karena kami masing-masing mempunyai kesibukan sendiri-sendiri yang sulit untuk mempertemukan. Jadi kumpulnya kami apalagi di bulan penuh berkah ini benar-benar mencairkan kerinduan. Asyiknya lagi, ketika mereka berada di antara tanaman anggrekku yang banyak berbunga, satu di antara mereka melontarkan ide yang cantik yaitu mengisi momentum pertemuan itu dengan acara tartil Al Qur’an bersama untuk meraih barokah pahala di bulan ramadhan ini.

Kami setuju dan akupun mengambil tiga Al Qur’an untuk memenuhi niat itu. Lalu setelah berwudlu dan berdoa agar dijernihkan hati dan pikiran, diberi kemudahan belajar, kemudian mengawali dengan membaca suarat Al Fatehah, maka selanjutnya kami membaca surat dan ayat-ayat lainya yang disepakati bersama. Walau terbata-bata aku berusaha mengikutinya, aku bersyukur, kekuranganku ini setidaknya sekarang terbayar pada kemampuan anak-anakku yang tiap sore ada jam untuk les mengaji.

Pasca membaca dan saling koreksi, kami mencoba mengupas pemaknaannya. Dan entah bagaimana jalan ceritanya, setelah diskusi panjang tiba-tiba diskursus yang mencoba menjawab pertanyaan: bagaimana cara kita mendekatkan diri pada Allah, di tengah nikmat hidup keduniawian ?
“ Bicara tentang itu, “ kata satu temanku. “Aku punya cerita menarik tentang dua orang sufi yang saling bersahabat sejak kecil, dan memang mulai beranjak dewasa keduanya mempunyai cita-cita sama yaitu pingin menjadi sufi. “ lanjutnya. Aku tersenyum dan tertarik untuk mendengar cerita selanjutnya, sementara satu sahabatku yang lainnya, meletakkan Al Qur’an di atas meja, sebelumnya selama diskusi berada dalam dekapannya.

“ Dua sufi bersahabat ini menjalani laku kesufiannya dengan jalan yang berbeda. Satu sufi, sebut bernama Al Ruki, memilih menjalani hidup kesufiannya dengan jalan menjauhi dunia keramaian, mengasingkan diri ke daerah terpencil, hidup bersahaja, tinggal di rumah sangat sederhana, makan dan pakaian juga seadanya. Sang Ruki lebih mengutamakan komunikasi dengan Allah, dan selama ini ia telah merasa mampu mencapainya dan mampu menjauhi nikmat dunia,” tutur temanku, aku tambah tertarik mendengarnya.

“ Sufi kedua, sebut saja bernama Al Runi, berbeda dengan sahabatnya ia memilih mencoba menjalani proses menjadi sufi tetapi tetap hidup seperti layaknya masyarakat biasa. Bahkan Sang Runi yang memang tekun akhirnya mampu menjalani kesufiannya dalam kehidupan yang bergelimang harta dan kenikmatan dunia. Tak ayal namanya menjadi buah bibir masyarakat sekitarnya, dan akhirnya berita itu terdengar oleh sufi sahabat lamanya, Al Ruki, “ lanjut cerita temanku. Mendengar berita sahabatnya Al Runi mampu menjalani kesufiannya di digelimang kenikmatan dunia, Ruki tidak percaya dan mendorong keinginan untuk melihat sendiri ke kota. Sebab dalam pemahaman dan keyakinannya kesufian tidak mungkin dicapai bila orang masih cinta dunia, atau tergantung pada hal dunia. Dan untuk memenuhi kepenasarannya itu, iapun bergegas ke kota untuk mencoba menemui sahabatnya.

Al Runi yang barangkali benar pupuler di antero kota raja maka dengan mudah bisa ditemuinya, Al Ruki sangat gembira karena ia disambut sahabat masa kecilnya dengan penuh suka cita dan pelayanan bak di istana. Ia terkagum-kagum dan tidak berhenti melihat dan menikmati gelimang harta dunia sahabatnya, namun dari balik hatinya ia selalu berkata: “jangan larut…..jangan larut pada nikmat dunia, itu nikmat semu.” Berhari-hari ia jalani hidup dikota, ia merasa kesufiannya tidak begitu terganggu. Dalam pikirnya sekarang ia ingin mengajak sahabatnya untuk sebaliknya bertandang atau ikut ke tempat kediamannya tempat kehidupan kesufiannya di pinggiran kota.

Dengan senang Sang Runi mengiyakan dengan wajah yang senang ketika diajak sahabatnya untuk bertandang balik ke rumahnya di pinggiran kota, bahkan tanpa persiapan apapun, hanya dengan pakaian yang sedang ia kenakan dan beberapa bekal sekedarnya ia mengikuti kepulangan sahabatnya saat itu juga.

Perjalanan dua sufi bersahabat itu mengasyikan bagi mereka, jalan yang mendaki dan berliku tidak terasa penuh dengan canda dan tawa. Sesampai di rumah sufi Ruki yang teramat sederhana, lalu juga makan seadanya ternyata bagi sufi Runi sahabatnya yang biasa hidup bergelimang harta dunia ternyata tidak menjadi masalah. Runi tetap nampak kesufiannya. Suasana agak berubah ketika hari mulai malam, Al Ruki Nampak gelisah, hal tersebut membuat temannya dari kota bertanya.
“ Kenapa gelisah sahabatku ? ”
“ Rasanya tasbihku ketinggalan di kota,” jawab Ruki.
“ Kenapa harus gelisah ? “
“ Aku sangat menyukai tasbihku, “ jawab Ruki makin gelisah. Dia mengatakan bahwa tasbih itu telah menemaninya selama lebih dari 40 tahun selama proses kesufiannya. Kegelisahan itu bertahan hingga matahari terbit, wajahnya makin kusut, ia merasa komunikasinya dengan Allah terganggu tanpa tasbih kesayangannya. Temannya Sang Runi prihatin mendengar itu, bahkan sangat prihatin pada sahabatnya, ia membatin bahwa ternyata temannya yang merasa dan mengaku menjalani kesufiannya dengan jalan menjauhi nikmat dunia, agar ia lebih leluasa bercumbu dengan sang Kholiq, tetapi justru ia malah terjebak oleh sebuah ‘tasbih’ yang nilainya tidak seberapa. Alhamdulillah, walau aku bergelimang harta dunia aku tidak dijajah oleh hartaku, kata Runi bersyukur.

Apa hikmah yang bisa diambil dari cerita dua sufi itu ? Menurutku cerita itu minimal memberi pemahaman dan sekaligus mengingatkan kita, bahwa tidak ada jalan tunggal untuk dekat dengan Allah, ada banyak jalan. Kehidupan dunia adalah sebuah realita yang harus kita jalani, nikmat dunia yang sedikit, sedang-sedang atau berlimpah bukan ukuran seseorang bisa dekat dengan Allah. Ukurannya adalah bagaimana kita menyikapi terhadap nikmat dunia itu, bagaimana kita bisa tidak mendesain keduniawian kita untuk meraih barokah hidup agar makin kuat iman dan islam kita.