Sering kita dihadapkan pada suatu kondisi yang tidak tepat, tidak benar, tidak cocok dengan harapan kita. Kita ingin perjalanan lancar ternyata jalanan macet, kita ingin laporan kerja segera terselesaikan tiba-tiba lampu mati hingga kita tidak bisa bekerja. Kita ingin mendapatkan hasil kerja yang maksimal ternyata hasilnya tidak memenuhi standard minimal. Kita ingin berlayar dengan cuaca yang cerah ternyata malah berbadai. Itu sebagian gambaran kondisi yang sering menjadi realita yang yang harus kita hadapi dan acap bisa membuat kita kecewa, marah, frustasi, kalau kita tidak segera mampu mengatasi keadaan.
Pada kondisi demikian kita harus mampu berdamai dengan diri kita sendiri, karena dengan cara demikian kita bisa menhindari atau minimal mengurangi rasa kecewa, marah, frustasi yang muncul, dan bisa berpikir jernih mencari solusinya atau setidaknya mengkondisikan perasaan agar menjadi lebih nyaman. Seorang teman yang tidak mau stress, tidak mau menjadi korban lingkungan yang makin tidak terprediksi, cenderung berkompromi dengan keadaan itu dengan malah ‘mencoba menikmatinya’. Sebab melahirkan kegelisahan, amarah atau apapun kalau memang kita tidak bisa banyak berbuat untuk mengatasi permasalahan yang ada dihadapan kita tersebut menjadi percuma saja, malah menjadi tambah beban. Contohnya ketika kita berada di jalan yang macet, apa yang bisa kita lakukan kecuali mencoba menikmatinya.
Berdamai dengan diri sendiri adalah ibarat menyelaraskan antara injakan rem dan gas dalam mengendarai mobil, merupakan upaya agar bisa mengikuti kondisi jaln. Tetapi jangan salah artikan bahwa berdamai dengan diri sendiri adalah sebuah kekalahan, sama sekali tidak. Berdamai dengan diri sendiri adalah justru merupakan keberhasilan, tidak mudah menenangkan atau menaklukan diri sendiri. Kecenderungan orang sukses menaklukan puncak-puncak gunung tinggi, menaklukan ganasnya gelombang samudra, menjinakan kuda liar, dan lain-lain tetapi malah sulit menaklukan dirinya sendiri. Bagaimana bisa menaklukan diri sendiri, karena umumnya kita juga banyak lupa memperhatikan diri, mulai tubuh, pikiran, harapan-harapan, cinta, dan segala keterbatasannya.
Untuk itu, agar kita bisa berdamai dengan diri sendiri atau berdamai dengan kondisi apapaun yang mewarnai keadaan lingkungan kita, kita perlu banyak belajar memahami. Pertama dan utama adalah memahami diri kita, siapa kita, bagaimana kondisinya fisik, ekonomi, spiritual, sosial, apa cita dan harapan-harapannya, dan hal-hal lain yang kadang sering disepelekan misalnya kebiasaan. Upaya memahami sejauh mana fenomena diri kita akan menentukan sejauh mana kita bisa berdamai dengan diri kita sendiri. Jangan berharap kita bisa berdamai dengan diri kita mana kala kita tidak perduli pada kondisi diri kita sendiri.
Kalau kita bisa berdamai dengan diri kita, maka kita bisa mengatur dan merubah pikiran kita, kita bisa menyemai doktrin-doktrin positif pada pikiran kita, walau ia sedang berada pada kondisi yang kurang menguntungkan. Jika pikiran kita bisa menerimanya dan hati kita mempercayai hal itu maka kita didorong bisa melakukan hal yang kita pikirkan tersebut. Situasi yang kurang menguntungkan minimal tidak akan menguras kembali energi akibat rasa kecewa, marah, frustasi yang bisa muncul, malah sebisa mungkin suasana kurang menguntungkan itu bisa menjadi sumber inspirasi, menghibur atau malah produktif.
Harus disadari bahwa tanpa berdamai dengan diri sendiri kita akan selalu merasa resah, kalah dan bahkan mungkin saja binasa. Modal dasar untuk bisa berdamai mengerti dan memahami diri tentu saja diperlukan sifat dan sikap kejujuran, watak, integritas, iman, cinta dan kesetiaan. Kejujuran, watak dan integritas pada diri akan menjauhkan kita dari sikap dan perilaku munafik, sementara iman akan membimbing kita menjauhi hal-hal buruk dan selalu berjalan di jalan Illahi, lalu cinta dan kesetiaan akan memberi warna hidup di dunia ini menjadi lebih bahagia, indah, dan bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar