Kamis, 28 Januari 2010

INEKUALITAS


Ada sebuah ‘analogi’ yang menarik ketika kita membaca buku ‘The Black Swan’ karya Nassim Nicholas Taleb pada bab 14 yaitu tentang ‘Lingua Franca’. Nasim sendiri di buku itu tidak membahas arti dari ‘Lingua Franca’. Ketika aku cari di kamus dan ensiklopedi ternyata kata itu bermakna ‘bahasa pengantar’ atau ‘bahasa pergaulan’. Lingua Franca adalah bahasa yang telah berkembang dan menjadi alat komunikasi antar komunitas. Lalu apa hubungan analogi ‘lingua franca’ yang disampaikan Nasim dengan inekualitas ?


Analogi ‘lingua franca’ yang disampaikan Nasim disitir dari pakar ilmu bahasa Harvard yang bernama George Zipf. Nasib kita, baik keberuntungan atau kegagalan dapat dapat difahami melalui analogi yang pada intinya menggambarkan proses inekualitas, proses yang berbuntut pada ketidaksamaan keberuntungan (misal: perolehan uang, karir, popularitas) yang terjadi pada kehidupan kita.


Sebuah bahasa yang terpilih atau berada di atas angin dipakai sebagai bahasa pengantar atau bahasa pergaulan, secara otomatis akan menarik perhatian banyak orang beramai-ramai memakainya, pemakaiannya akan menyebar seperti sebuah epidemi, dan hal itu akan mengakibatkan penggunaan bahasa-bahasa lain menurun. Dalam kontek 'lingua franca' berarti bahasa tersebut diuntungkan (baca: inekualitas) dibanding dengan bahasa lainnya.


Gengsi, prestise, modernitas, status, peluang kerja, dan lain-lain adalah hal-hal yang akan makin mendorong kuatnya inekualitas dalam kehidupan kita. Banyak aktifitas manusia yang makin mendorong fenomena inekualitas, sadar tidak sadar pendidikan juga telah menyuburkan inekualitas, karena melalui pendidikan kita jadi makin berbeda, pekerjaan dan penghasilan berbeda, kepuasan juga berbeda. Hal ini yang menyebabkan percepatan dikotomis nasib, sering membuat orang yang kaya makin kaya, yang tenar makin tenar, yang sedih makin sedih.


Tapi ingat, bahwa proses inekualitas tidak berarti akan terus berjalan dikotomis lurus, mulus, selalu berada pada factor keberuntungan atau kesialan, bisa saja seorang yang biasa menang dikenal sebagai sang juara legendaries tiba-tiba dikalahkan oleh seseorang yang tidak diketahui asal usulnya serta kehebatannya sebelumnya. Umumnya kekalahan seorang juara karena kelalaian sederhana yang menganggap dirinya tak terkalahkan, dirinya memiliki power yang dasyat tiada duanya. Sementara lawan dianggap calon pecundang yang tidak mempunyai arti dan lemah. Padahal banyak hal tak terduga bisa terjadi dalam sebuah pertarungan.


Kesadaran memang harus dibangun bahwa seorang juara tidak akan selamanya jadi juara, demikian pula buat orang yang gagal tidak selamanya akan gagal. Orang yang kaya raya dalam waktu sekejap bisa saja bangkrut, orang yang susah bisa saja tiba-tiba mendapat keberuntungan yang tidak masuk akal. Jadi dalam fenomena hidup yang sangat kompetitif ini tidak ada seorangpun yang aman menempati posisi yang dibanggakannya.


Harus menjadi pemahaman kita bahwa kita memang berbeda, walau sama-sama manusia, namun dari aspek bangsa, suku, generasi, lingkungan, keluarga, umur, budaya, pendidikan, status, problem, serta cara berpikir tidak ada yang bisa sama. Salah satu aspek saja berbeda akan menyebabkan potensi dalam fenomena kompetitif berbeda. Jadi jelas, kalau kemudian nasib dan keberuntungan kita berbeda, harus disadari salah satu penyebabnya adalah karena kita memang berbeda. Itulah inekualitas. Kita harus mampu belajar menerima apa saja yang menyertai hidup kita, upayakan nikmati perbedaan jangan protes terlebih menyesali, karena hidup memang harus diwarnai tidak harus dibiarkan hitam dan putih. Lalu ingat, kemampuan mewarnai , melukis dan selera kita tidaklah sama.


(Catatan : Buat Istriku, dan Sahabatku Yang Sama-Sama Berulang Tahun)

Rabu, 20 Januari 2010

SEANDAINYA.........


Seorang teman berbicara kepadaku ….seandainya aku bisa …, ia mengungkap sebuah keinginan yang bisa saja dia lakukan tapi ia tidak mau lakukan. Teman yang lain juga bicara seandainya.........., anakku juga pernah bilang seandainya aku jadi............, rasanya aku juga yakin pernah mengungkapkan kata itu. Ucapan seandainya …… yaaaaaa seandainya …….begini begitu, sebuah uangkapan yang begitu akrab dan sering terdengar di telinga kita. Kalimat yang berkait dengan ungkapan sebuah harapan yang belum atau tidak bisa terlaksana atau terwujudkan. Ungkapan dengan kata ‘seaindainya’ terasa begitu melarutkan pikiran kita, menggoda, mengajak kita terbuai dalam fenomena berandai-andai.


Fenomena ‘berandai-andai’ akan sangat mungkin membawa kita pada alam imajinasi yang luas tak terbatas. Mulai beimajinasi seandainya ‘aku punya uang’ sampai berandai ‘jadi presiden negeri seribu pulau ini’. Berandai juga bisa memasuki ranah rasional dan irasional, tidak mengenal dimensi waktu, tidak tersentuh keharusan kriteria dan metodologis, Pernahkah anda membaca buku ‘Andai Tuhan Komersial’ ? Itu adalah suatu penggambaran kontradiktif ‘tentang Tuhan’ sebagai upaya penyadaran pada manusia yang cenderung sangat ‘materialistik’, bayangkan andai Tuhan mengharuskan kita membayar yang Ia sediakan di alam. Wow !!


Kita juga sering menggunakan kata itu untuk menutupi kekecewaan akan sesuatu hal, atau sebagai upaya berkelit atau ‘merasionalisasi’ dari hal yang sudah terjadi, tetapi tidak dikehendaki, sebagai protes kecil atau penghibur diri dari sesuatu yang tidak mungkin kita rubah. Misalnya orang tercinta kita karena kecelakaan dan meninggal, sering muncul ungkapan ….seandainya ia tidak pergi….. seandainya ia nurut nasehat …… seandainya tidak demikian ….seandainya…..seandainya…. seandainya lagi. Kalau kita tidak mampu memupus andai-andai itu maka itu bisa menjadi preseden menurunnya keimanan kita pada Yang Maha Mengatur, kita berarti tidak bisa menerima kenyataan atau mungkin takdir.


Tapi juga kata ini sering digunakan sebagai tabir pelindung diri atau sebagai gaya komunikasi atau basa-basi untuk menghindari sesuatu yang sebetulnya malah bisa saja dilakukan, tapi karena ego ia tidak mau melakukan. Misalnya seseorang yang sedang dililit hutang lintah darat dan datang pada seorang saudagar yang berkelebihan untuk meminta bantuan pinjaman, saudagar kaya tidak ingin membantu tapi ia perlu sopan dan basa-basi, maka ia akan katakana maaf seandainya saya bisa membantu …….pasti saya bantu.… seandainya kemarin datangnya saya bisa bantu…. Seandainya menjadi modal komunikasi semu.


Seorang temanku yang suka kontemplasi berpendapat bahwa ketika kita sering masuk dalam fenomena “seandainya”, maka sesungguhnya kita telah terjerebab dalam lingkungan semu tanpa batas yang tidak produktif. Lingkungan yg selalu menciptakan bayangan dan khayalan-khayalan yang merasuki pikiran, rasa, bahkan perilaku manusia membimbing menjauh dari realita. Ketika kita berada pada kondisi kesemuan yang demikian maka kita harus secepatnya sadar, lalu berbenahlah dengan menerima kenyataan yang ada, hadapi persoalan hidup dengan ketegaran walau sepahit apapun. Jangan pula bersembunyi dari realita yang seharusnya bisa menstimulasi energi positif, semangat berbagi dan ‘rasa syukur’.


Setiap kita mengungkapkan kata ‘seandainya’ coba resapi, sadari. Sesungguhnya di balik itu ada rasa pengingkaran terhadap realita, berbuntut penyesalan, sebuah rasa tidak bisa menerima kenyataan hidup karena keinginan tidak terlaksana atau tertunda. Sekecil apapun yang dirasa. Lalu basa-basi dengan kata ‘seandainya’ kadang bisa menjesatkan, kadang bisa melahirkan interpretasi keliru, kadang malah memancing respon kita melahirkan fantasi yang belum tentu kita sanggup melayaninya.

Minggu, 10 Januari 2010

RASA TAKUT

Seorang teman menulis sms kepadaku, yang intinya menantang aku untuk melakukan hal yang selama ini tidak berani aku lakukan. Temanku memahami betul diriku, karena dialah sahabatku tempat di mana aku biasa berbagi cerita, atau dia bercerita padaku, kami telah sepakat untuk saling percaya dan menjaga rahasia. Katanya ' harapan harus diperjuangkan, keinginan harus diaktualisasikan, pergulatan adalah hal biasa dalam hidup, kau harus berani menang tapi juga harus bisa menerima kalah'.
Permasalahannya aku tidak merasa punya energi berpetualangan yang memacu andrenalin, aku orang yang biasa-biasa saja. Kebiasaan berpikir positif, selalu melahirkan kontradisi pilihan agar jangan memilih aktifitas yang beresiko, sementara di sisi yang lain aku sering ingin merasakannya. Petualang besar mengatakan bahwa hidup itu selalu memberi kesempatan untuk diisi dengan berbagai pengalaman, kanvas kehidupan terbuka oleh goresan berbagai warna yang kita inginkan. Siapkah kau untuk berbeda atau berubah dengan cara melawan ketakutanmu ?

Berbeda tentu saja, karena ego dan keberanian akan merasa dimenangkan, diberi angin padahal biasanya terbelenggu atau dibelenggu. Beranikah kau menghadapi kenyataan akan adanya perubahan pada dirimu ? Berubah menjadi berani kadang bisa melahirkan 'keakuan yang berlebihan', lalu 'ketidakpedulian' yang semua cenderung mengesampingkan rasionalitas, menafikan rambu-rambu kewajaran. Kita sering dengar bahwa bagi seorang petualang pemberani hutan adalah jalan raya, tebing curam adalah tangga biasa, bermain di laut seperti di lapangan sepakbola saja, sepertinya tidak ada rasa takut di dada mereka.

Pada saat aku masih remaja, mungkin aku pernah dibilang pemberani sebab di antara teman temanku akulah yang sering berani menerima tantangan. Pernah suatu saat terjebak di puncak gunung dengan hutan yang terbakar, aku nengambil resiko membantu teman-teman yang terjebak di kobaran api dan kepulan asap sementara teman yang lain cenderung menyelamatkan diri sendiri, naik turun puncak dengan cara seenaknya, berani menuruni kawah yang penuh asap belerang untuk mengambil bantuan makanan yang dijatuhkan dari pesawat . Sekarang keberanian itu tidak pernah lagi ada, sekali-kali ada terutama hadir ketika dalam keadaan terpaksa atau terdesak.

Seseorang dikatakan berani ketika ia mampu menguasai rasa takutnya. Bagaimana caranya menguasai rasa takut ? Yaitu dengan cara mengenal ketakutan itu, dan upayakan rasa itu untuk tidak bertahan lama dalam diri kita, pikirkan hal lain sejenak, lalu kuasailah, yakini bahwa rasa takut itu merupakan awal dari masa depan yang lebih cerah, jadikan ia sebagai energi motivator untuk memenuhi keinginan hidup kita.

Berdasar hukum alam kita tahu bahwa semua makhluk yang diciptakan di alam raya ini pastilah ada gunanya. Demikian pula berlaku pada rasa takut. Tidak seluruh rasa takut yang kita miliki berfungsi menggagalkan rencana sukses kita sebab pada dasarnya rasa takut adalah kekuatan (power) potensial yang kalau diaktualkan dapat mendukung rencana kesuksesan kita. Aktualisasi rasa takut menuntut persyaratan mutlak kita sebagai pemilik perasaan, untuk mengerti rasa takut itu. Kita perlu mengasah kecerdasan emosi yang salah satu pilarnya adalah menguasai ego atas muatan pikiran dan perasaan ketika sedang merasakan sesuatu. Begitu ego yang menguasai kita rebut maka kita bisa mengubah atau memberdayakan rasa takut yang oleh pendapat para pakar memiliki daya dorong tinggi. Ahli psikologi mengatakan : "Ada dua motivator dalam diri kita yaitu: motivator menginginkan sesuatu dan menghindari sesuatu. Motivator kedua lebih perkasa mendorong seseorang ketimbang motivator pertama.
Jadi untuk sahabat-sahabatku, kita harus manfaatkan rasa takut itu, dan jangan membiarkan diri kita dimanfaatkan olehnya! Jadikan rasa takut itu sebagai banteng kita, jangan malah melumpuhkan diri kita! Maka apa yang kita butuhkan adalah menguasai rasa takut agar dapat digunakan sesuai kepentingan kita untuk menginginkan atau menghindar secara positif. Untuk itu baiknya kita memiliki keberanian berinisiatif, punya pendirian yang kuat, berintegritas, terus meningkatkan kemampuan dan keahlian, memiliki daya dukung lingkungan yang kuat. Nah, kapan aku dan kau menjadi berani ?

Minggu, 03 Januari 2010

SPIRIT PANTANG MENYERAH


Tiba di Bogor aku beruntung disambut udara cerah, jalanan tidak begitu macet, dan langsung bisa jumpa dengan kakak kandungku dan keponakan. Padahal biasanya selalu ketemu hujan, kemacetan angkot hijau di mana-mana, trus tidak bisa ketemu langsung kakak yang kesibukannya padat. Sebagai kota dengan tingkat curah hujan tertinggi di Indonesia, kota Bogor selalu menarik untuk dirindukan. Rupanya kota ini terus menggeliat berkembang ke berbagai arah mata angin, ke barat daerah Yasmim makin cantik, ke utara daerah Warung Jambu makin berkembang daerah perumahan, ke timur daerah Tugu Kujang supermarket dan outlet makin menjamur, ke selatan daerah makin eklusif dengan hadirnya Bogor Niwana Resort.

Keponakanku dah pada tumbuh besar dan dewasa, seperti lama nggak jumpa saja, padahal paling setahun nggak ketemu. Aku senang dan bersyukur, seperti halnya orang tua mereka yang melihat anak-anak tumbuh dengan wajar bahkan menurutku pikiran mereka makin berkembang positif. Semua memiliki prestasi masing-masing yang cukup membanggakan. Kesadaran kita tetap pada hal terpenting dalam pengembangan anak yaitu bagaimana menumbuhkan sikap jujur, kemampuan bakat khusus dan bagaimana bisa kerjasama.

Ketika aku memasuki kamar keponakanku yang sulung, aku tersentak lantaran kamar itu dicorat-coret dengan berbagai tulisan, dipilox warna hitam besar-besar. Aku spontan bilang: “ wo….. seperti ‘the Bronk aja !” pada Reza yang punya hobby musik dan bola. Dia Cuma tersenyum. Ketersentakanku berubah menjadi rasa retarik ketika menyimak tulisan-tulisan yang ada, tidak aku temukan coretan bernada negatif, semua positif, ada makna solidaritas pertemanan, ada kesejarahan masa lalu, ada harapan dan cita-cita, dan yang terpenting ada ‘spirit’. Di dinding itu tidak sedikit kalimat ‘not for lose’, ‘noting for lose’ dituliskan dengan tegas. Baju bekas seragam sekolah yang penuh corat-coret penanda syukur pasca pengumuman ujian, ada piala-piala dan tropy.



Malamnya aku diajak keponakanku yang cantik yang suka ngomel ketika ada yang salah dengan kita untuk nonton film 'Sang Pemimpi' di Botani Squar IPB Baranangsiang bersama kedua orangtuanya dan satu sepupunya yang kukuh bercita-cita sebagai polisi. Sepulang habis nonton film aku merenung, rasanya mengerucut sudah hikmah perjalananku ke Jakarta - Bogor, memang orang harus memiliki spirit pantang menyerah. Spirit ini penting untuk menjaga agar kita tetap berjalan di jalur harapan, cita-cita atau mimpi yang kita patok.



Jadi ketika ada teman-teman S3 pada sms atau telpon mengeluh konsep proposalnya terus-menerus dibokar dan disalahkan para profesornya, aku cuma bilang dengan jawaban klasik, 'sabar, itu semua proses yang harus kita jalani, studi s3 harus disadari bukan cuma sekedar belajar tentang 'sain dan teknologi' tapi juga belajar kesabaran, ketekunan, kejernihan berpikir, komunikasi, tenggang rasa dan sofies atau kebijaksanaan'. Ya, itu kenyataan. Banyak mereka yang telah menjalaninya studi S3 mengatakan demikian. Masing-masing orang memiliki ragam, porsi dan kadar masalah sebagai sumber pembelajaran yang berbeda-beda. Bahkan dilihat sumbernya masalah sebagai sumber pembelajaran tidak selalu datang dari para profesor yang berperan dalam pembelajaran kita, tapi bisa jadi dari diri kita, sahabat kita, dari keluarga kita, atau orang tercinta kita.


Seorang teman merasa hal yang menjadi masalah adalah aspek ekonomi, bagaimana ia mengatur uang miliknya untuk keperluan hidup rumah tangganya, studi anak-anaknya dan studi dirinya sendiri. Sampai kadang muncul keluhan, " sebenarnya yang lebih urgen ia yang harus sekolah atau anak-anaknya ?". Teman yang lain bercerita ia punya problem rumah tangga yang 'sangat rumit', yang lain punya hambatan komunikasi dengan dosennya yang susah terperbaiki, banyak yang punya problematika disertasi yang ngambang, dan lain-lain. Semua problematika dipengaruhi oleh cara hidup, cara belajar, cara kerja, pola komunikasi, konsistensi, fasilitas, kesempatan, dan lain-lain yang tiap orang tentu berbeda.


Perbedaan itu harus kita sadari sebagai fitrah yang diberikan Sang Pencipta, harus dihikmahi dan bisa menjadi pembelajaran yang baik bagi kita. Kita tidak perlu iri ketika seseorang teman bergerak di depan kita, kita tidak perlu membanding-bandingkan perolehan kita dengan orang atau teman yang lain. Karena memang problematika kita berbeda-beda. Yang perlu di bangun adalah bagaimana kita sama-sama memiliki 'Spirit Pantang Menyerah' , semangat ini harus dilahirkan dan ditumbuhkan bersama mimpi-mimpi kita. Ingat bahwa 'pada setiap kesulitas pasti ada jalan keluar'. Kalau kita berusaha pasti kita bisa.