Rabu, 20 Januari 2010

SEANDAINYA.........


Seorang teman berbicara kepadaku ….seandainya aku bisa …, ia mengungkap sebuah keinginan yang bisa saja dia lakukan tapi ia tidak mau lakukan. Teman yang lain juga bicara seandainya.........., anakku juga pernah bilang seandainya aku jadi............, rasanya aku juga yakin pernah mengungkapkan kata itu. Ucapan seandainya …… yaaaaaa seandainya …….begini begitu, sebuah uangkapan yang begitu akrab dan sering terdengar di telinga kita. Kalimat yang berkait dengan ungkapan sebuah harapan yang belum atau tidak bisa terlaksana atau terwujudkan. Ungkapan dengan kata ‘seaindainya’ terasa begitu melarutkan pikiran kita, menggoda, mengajak kita terbuai dalam fenomena berandai-andai.


Fenomena ‘berandai-andai’ akan sangat mungkin membawa kita pada alam imajinasi yang luas tak terbatas. Mulai beimajinasi seandainya ‘aku punya uang’ sampai berandai ‘jadi presiden negeri seribu pulau ini’. Berandai juga bisa memasuki ranah rasional dan irasional, tidak mengenal dimensi waktu, tidak tersentuh keharusan kriteria dan metodologis, Pernahkah anda membaca buku ‘Andai Tuhan Komersial’ ? Itu adalah suatu penggambaran kontradiktif ‘tentang Tuhan’ sebagai upaya penyadaran pada manusia yang cenderung sangat ‘materialistik’, bayangkan andai Tuhan mengharuskan kita membayar yang Ia sediakan di alam. Wow !!


Kita juga sering menggunakan kata itu untuk menutupi kekecewaan akan sesuatu hal, atau sebagai upaya berkelit atau ‘merasionalisasi’ dari hal yang sudah terjadi, tetapi tidak dikehendaki, sebagai protes kecil atau penghibur diri dari sesuatu yang tidak mungkin kita rubah. Misalnya orang tercinta kita karena kecelakaan dan meninggal, sering muncul ungkapan ….seandainya ia tidak pergi….. seandainya ia nurut nasehat …… seandainya tidak demikian ….seandainya…..seandainya…. seandainya lagi. Kalau kita tidak mampu memupus andai-andai itu maka itu bisa menjadi preseden menurunnya keimanan kita pada Yang Maha Mengatur, kita berarti tidak bisa menerima kenyataan atau mungkin takdir.


Tapi juga kata ini sering digunakan sebagai tabir pelindung diri atau sebagai gaya komunikasi atau basa-basi untuk menghindari sesuatu yang sebetulnya malah bisa saja dilakukan, tapi karena ego ia tidak mau melakukan. Misalnya seseorang yang sedang dililit hutang lintah darat dan datang pada seorang saudagar yang berkelebihan untuk meminta bantuan pinjaman, saudagar kaya tidak ingin membantu tapi ia perlu sopan dan basa-basi, maka ia akan katakana maaf seandainya saya bisa membantu …….pasti saya bantu.… seandainya kemarin datangnya saya bisa bantu…. Seandainya menjadi modal komunikasi semu.


Seorang temanku yang suka kontemplasi berpendapat bahwa ketika kita sering masuk dalam fenomena “seandainya”, maka sesungguhnya kita telah terjerebab dalam lingkungan semu tanpa batas yang tidak produktif. Lingkungan yg selalu menciptakan bayangan dan khayalan-khayalan yang merasuki pikiran, rasa, bahkan perilaku manusia membimbing menjauh dari realita. Ketika kita berada pada kondisi kesemuan yang demikian maka kita harus secepatnya sadar, lalu berbenahlah dengan menerima kenyataan yang ada, hadapi persoalan hidup dengan ketegaran walau sepahit apapun. Jangan pula bersembunyi dari realita yang seharusnya bisa menstimulasi energi positif, semangat berbagi dan ‘rasa syukur’.


Setiap kita mengungkapkan kata ‘seandainya’ coba resapi, sadari. Sesungguhnya di balik itu ada rasa pengingkaran terhadap realita, berbuntut penyesalan, sebuah rasa tidak bisa menerima kenyataan hidup karena keinginan tidak terlaksana atau tertunda. Sekecil apapun yang dirasa. Lalu basa-basi dengan kata ‘seandainya’ kadang bisa menjesatkan, kadang bisa melahirkan interpretasi keliru, kadang malah memancing respon kita melahirkan fantasi yang belum tentu kita sanggup melayaninya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar