Selasa, 31 Mei 2011

TAK TAHU DIRI




Kembali bangsa ini didera permasalahan yang memalukan, menggemaskan, membuat jengkel banyak orang yang masih memiliki hati nurani. Lagi-lagi kasus korupsi mendera, tapi naga-naganya jalan ceritanya akan kembali sama. Hingar binger pada awalnya sunyi senyap dan dingin-dingin saja pada akhirnya, tidak ada juntrung penyelesaiannya. Setelah kasus Century, rekening gendut POLRI, cek perjalanan BI, Gayus Tambunan, dan sekarang kasus wisma atlit yang menyeret nama petinggi partai Demokrat Mohammad Nazaruddin gejala penangannya sama. Lambat laun masyarakat bisa saja akan frustasi bila pemerintah terus demikian, tidak merubah keseriusannya menangani kasus korupsi, masyarakat sewaktu-waktu bisa muncul mandiri berontak tidak mau diwakili lalu meradang bersama bersuara dan bertindak untuk mencari keadilan yang semestinya.


Kita semua sedang menyaksikan pementasan akbar sebuah sandiwara berjudul ‘elit bangsa yang tidak tahu diri’, memang harus diakui masih ada elit yang tahu diri, punya nyali dan hati nurani, tapi segelintir elit ini tidak mampu meredam kekuatan elit yang tidak tahu diri. Ketika pers demikian terbuka dan sering mempertontonkan tindak penyimpangan-penyimpangan, perilaku yang melanggar aturan, saling serang dan buka-bukaan. Para elit saling salah menyalahkan, saling serang dan membela diri, mereka juga saling menunjukan bukti dan saksi, kita semua menyaksikan dengan berbagai pertanyaan siapa dan mana yang benar. Satu hal yang memprihatinkan adalah, tidak lahirnya kesadaran mawas dan tahu diri, semestinya yang merasa salah harus seleh, harus malu dan minta maaf, bukan membela diri dengan menyalahkan orang lain atau mengorbankan orang lain.


Sayang, semestinya ini bisa menjadi titik intropeksi dan menjadi momentum kebangkitan bangsa ini untuk menunjukkan bahwa bangsa ini bukan bangsa yang bebal, bukan bangsa yang tidak tahu rasa dan tidak tahu diri. Selama bangsa ini terus menerus berkelit dari kesalahan dan membiarkan kesalahan dan kebusukan bersarang pada ‘jantung’ yang mendenyutkan hidup bangsa ini, maka jangan harap kita bisa membangun dan menjadi bangsa yang besar. Kenapa bangsa ini menjadi seperti tidak berdaya dan diam saja melihat pembusukan di atas kemerdekaan dan demokrasi yang kita bangun bersama. Sudah loyokah bangsa ini, sudah pasrahkan bangsa ini ? Kemana semangat merah putihnya ? Semangat berani karena benar. Kita rasakan bersama, apa yang terjadi sekarang justru sering kita dipertontonkan tindak laku mereka yang salah justru yang berani, mereka yang korupsi besar justru berteriak ‘berantas korupsi’, yang kasihan pencuri kecil ‘coklat, jagung, ayam’ yang mencuri karena anak-anaknya yang kelaparan di rumahnya.


‘Tidak tahu diri’ sebagai penyakit kronis yang mendera bangsa ini, entah dari mana dan dengan apa kita harus mengobatinya. Sebagai penyakit ia sudah menyerang organ-organ penting bangsa dan negara ini, ia seperti kangker stadium tiga yang sudah menyebar ke mana-mana. DPR yang menjadi lembaga representatif mewakili suara rakyat, dirasa terasa bebal dan tidak mendengar tangisan dan keluhan masyarakat. Kritikan pada lembaga ini yang mengorek kinerja, etika, keterwakilan terasa tidak diakomodir, terbukti produktivitas lembaga masih rendah, teriakan masyarakat terhadap pembangunan gedung baru DPR sepertinya dianggap angin lalu saja, etika anggota dewan juga sering kita tonton sering di luar norma.


Guru spritualku pernah bicara bahwa memang merubah orang yang memiliki sikap yang tidak tahu diri adalah tidak mudah. Tidak tahu diri adalah sikap, umumnya dimiliki oleh orang yang memiliki pemikiran lebih atau orang pandai dan bukan orang bodoh. Mereka tahu akan kesalahan atau kekeliruannya tetapi cuek saja dan menempatkan diri seolah-olah mereka tidak salah atau tidak keliru, bahkan yang kronis mereka malah berani memutar balikkan fakta, dan cenderung membela diri dengan berbagai cara. Mengatasi orang yang tidak tahu diri harus dilakukan secara ‘militan kultural’, artinya harus ada ketegasan berdasar budaya. Harus ada upaya ‘menjerakan’ mereka agar menjadi pembelajaran pada masyarakat lainnya, hukum harus menjadi panglima yang berkeadilan dan tegas menyalahkan yang salah dan merehabilitasi yang benar termasuk pada oknum aparat hukum juga. Sehingga orang mesti berpikir ulang dan hati-hati untuk bersikap melanggar hukum, bersikap tidak tahu diri menginjak-nginjak hak kehidupan orang lain.

Kamis, 26 Mei 2011

INVESTASI DUSTA



Dalam pelajaran biologi modern kita mengenal sebuah reaksi yang banyak terjadi dalam jaringan tubuh mahluk hidup yang disebut ‘reaksi caskad atau cascade reaction’. Reaksi ini adalah reaksi berantai yang terjadi pada level biokimia tubuh, reaksi ini digambarkan dimulai dari satu hal yang menyebabkan rentetan kejadian yang saling sambung secara amat cepat. Reaksi ini juga disebut reaksi domino karena kejadiannya terus menerus bersambung dari satu titik reaksi ke titik reaksi yang lain. Reaksi satu memaksa terjadinya reaksi yang lain, produk reaksi satu menjadi substrak atau stimulasi terjadinya reaksi selanjutnya. Secara sederhana dapat digambarkan seperti sederetan sepeda yang diparkir berjajar lalu satu diujung roboh dan mengenai sepeda di sampingnya yang juga kemudian roboh, kejadian itu sambung menyambung hingga semua sepeda roboh. Inti yang peristiwa satu kejadian berdampak memaksa kejadian yang lain harus terjadi juga.


Demikian pula kalau kita dusta, bagaikan reaksi caskad dusta itu akan memaksa kita untuk berdusta dan terus berdusta lagi. Sekali kita berinvestasi dusta akan secara otomatis memberi bunga berbunga dusta kepada kita. Ambil contoh sederhana percakapan sederhana di bawah ini:


“ Kamu baru dari mana kawan ? ” tanga Si Jujur kepada sahabat karibnya Si Dusta yang tiba-tiba muncul bertandang ke rumahnya. Si Dusta yang sebenarnya hanya dari rumah, mendapat pertanyaan demikian merasa perlu berdusta untuk menjaga gengsi dan sedikit gaya di depan sahabatnya.


“ Baru dari Grand City(1), lihat pameran otomotif(2), “ jawab si Dusta mengarang seenaknya. Padahal ia hanya tahu dari berita di koran memang di mall yang relatif baru itu ada pameran otomotif, setidaknya jadi masih nyambung.


“ Ya opo pamerannya ? Banyak pengunjungnya ? “ tanya si Jujur polos.


“ Pameran Bagus(3), pengunjung juga ramai(4), “ Jawab di Dusta, jelas-jelas ngarang aja, mungkin untuk jawaban bagus ia masih mengandalkan komentar koran, sedangkan persoalan pengunjung ia terpaksa memilih ‘dusta’ beneran.


“ Kamu parkir mobil di area mana ? Aku benci parkir di atas karena tanjakannya bikin miris, terlalu panjang dan nanjak. “ Tanya si Jujur lagi mencoba nyambung percakapan dengan tamunya. Untuk menjawab si Dusta dipaksa berdusta lagi agar kebohongannya tidaklah terbongkar.


“ Iya, aku nggak mau parkir di atas(5), bener miris(6), pas aku masuk di parkir depan kebetulan ada mobil mau ke luar(7), jadi mendingan bisa parkir dibawah(8), ada di bawah pohon lagi(9), jadi lumayan tidak panas (10) “ jawab si Dusta.


Nah ! Sekarang dari sepenggal percakapan di atas bisa kita kalkulasi berapa banyak dusta yang harus terjadi lantaran tuntutan gengsi atau atas alasan apapun untuk harus berdusta, dari percakapan tadi ada 10 dusta terjadi, dan itu kalau percakapan hanya berhenti sampai di situ. Kalau terus bersambung, kebetulan ada pihak ke tiga dan ke empat yang nimbrung bagaimana ? Sudah bisa dipastikan dusta itu akan terus sambung menyambung, beranak pinak, menjadi bertambah dan bertambah disadari atau tidak disadari. Itulah yang menjadikan ‘pendusta’ dibenci Allah karena dusta akan menuntun seseorang pada kekejian.


Orang bijak bicara bahwa dusta adalah kemaksiatan lisan dan tindakan yang sangat merugikan. Ketika orang berdusta, lambat tapi pasti hal tersebut akan menyebabkan: 1), melahirkan keraguan, keresahan bagi orang lain maupun dirinya sendiri, 2), memantapkan kemunafikan, artinya orang yang dusta akan berkecenderungan tidak mampu menyelaraskan antara omongan dan tindakan, 3), menghilangkan kepercayaan, karena omongan dan tidakan tidak bisa diikuti, 4), memutarbalikkan kebenaran dan fakta, hal ini bisa membuat keadilan susah ditegakkan, 5), merusak anggota badan lainnya, karena pada dasarnya hidup adalah kesatuan organik, 6), menjadi pintu keburukan lainnya.


Guru spiritualku pernah menasehati, ‘janganlah kamu memulai dusta’, sebab dusta adalah penyakit paling merusak kehidupan bermasyarakat. Dusta akan menyulut kebencian dan permusuhan, menyulut rasa tidak suka orang lain kepada kita. Jika kita membiarkan sikap ini tumbuh subur pada diri kita dan orang-orang di sekitar kita maka hal tersebut akan sangat berbahaya, akan membuat komunikasi dan nilai kehidupan sosial di sekitar kita menjadi buruk. Menanam satu dusta saja, secara otomatis dalam hitungan waktu yang singkat dapat berbuah dusta-dusta baru dan selanjutnya tiap dusta baru akan beranak pinak sehingga membelenggu kejujuran kita, merusak kebeningan hati kita. Orang yang terbiasa berdusta akan cenderung bebal, mati rasa, tidak malu dan takut, sulit mendengar kata hati yang sesungguhnya cenderung ingin menyelamatkan kita dari keburukan.


Janganlah berinvestasi dusta, karena itu sama saja investasi kemaksiatan, investasi yang merusak moralitas dan kebaikan kita. Berusahalah menghargai hidup dengan cara memelihara sikap jujur dan selalu berusaha untuk tidak dusta. Orang bijak bernasehat agar kita bisa berlaku demikian maka kita harus belajar untuk tidak munafik, menjaga diri agar dapat dipercaya, tidak mengada-ada, tidak gila hormat, dan menjauhkan diri dari rasa sombong. Tidak kalah penting kita mesti rajin intropeksi dan selalu berupaya menselaraskan antara omongan kita dan laku kita, juga selalu bersyukur atas segala rahmat yang telah dilimpahkan Allah SWT kepada kita dan istighfar atas keteledoran yang kita lakukan.

Senin, 16 Mei 2011

CINTAI EMOSI KITA




Ada hal yang sering muncul sebagai respon balik ketika kita mendapat suatu informasi khusus atau berada pada situasi yang tidak wajar yaitu emosi. Emosi dari kacamata biologi semua muncul karena kita meniliki sebuah system di otak yang disebut ‘sistem limbik’, terletak di batang otak berupa benjolan sebesar biji kacang. Ketika sistim limbik ini relative tidak aktif maka kita berada pada situasi yang cenderung tenang, damai dan bahagia, tetapi ketika kita mendapatkan rasa tidak tenang, ancaman, informasi negatif yang menyebabkan depresi maka system limbik menjadi lebih aktif. Responsibilitas sistim limbik antara satu orang dengan orang lainnya tidaklah sama, hal itu tergantung pembelajaran pengalaman hidup, cara pandang dan kepribadian masing-masing.


Secara umum orang yang berada pada kondisi emosional bisa dicirikan dengan beberapa perilaku, misalnya: intonasi bicara yang keras dan kasar, marah dengan hasrat merusak atau melempar barang-barang di sekitarnya, ringan tangan, bertindak kriminal, merusak diri dengan narkoba, minuman, menjalani pergaulan bebas, dendam dan melakukan tindak kejahatan, atau menangis dan menyalahkan diri sendiri yang tiada henti. Emosi yang dibiarkan terus menerus menguasai kita akan merusak kehidupan kita dan bahkan bisa merusak kehidupan orang lain yang tidak salah apa-apa, karena emosi yang membabi buta akan membuat orang tidak malu, tidak sungkan, tidak takut kepada apa dan siapapun.


Emosi tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah kehidupan manusia, karena hal itu bersifat genetis, bahwa setiap otak manusia selalu dilengkapi sistim limbik. Emosi berkembang bersamaan umur, makin dewasa orang emosinya relative makin stabil. emosi sesungguhnya merupakan sistem yang membantu manusia untuk memecahkan masalah. Dengan emosi orang dipacu pikiran dan tindakannya untuk segera lepas dari rasa ketidak tenangan, ancaman, depresi sehingga ada jaminan bertahan hidup. Emosi biasanya berkait dengan gangguan yang pada hal-hal prinsip menyangkut pemenuhan hidup misalnya makanan, tempat berlindung, pasangan, keturunan, pekerjaan dan lain-lainnya. Kemunculannya sering sebagai produk dari proses interaksi dan komunikasi seseorang terhadap komunitasnya,


Emosi sebagai produk yang menyertai kehidupan sosial kita, interaksi kita, kerelasian kita, bila dicermati dari aspek fungsinya maka dapat kita pilah menjadi 2, yaitu: emosi destruktif dan emosi konstruktif. Emosi destruktif adalah emosi yang bertumpu pada alasan yang lemah, atau pijakan emosinya salah sehingga efek dari emosi ini akan berakibat pada putusan yang salah. Selain orang lain yang dirugikan maka orang yang emosi juga dirugikan, cenderung merusak hal yang sebenarnya sudah baik, memperburuk komunikasi, melahirkan sakit hati, dendam, rasa ketertindasan, dan ketakutan. Sedangkan emosi konstruktif adalah emosi yang bertumpu dan dilandasi alasan dan informasi yang kuat dan valid. Emosi ini bisa menolong keadaan tidak menjadi makin buruk dan hancur menyeluruh. Emosi seperti ini akan berdampak pada sikap menyadarkan, penyesalan berbuat salah, serta bisa melahirkan semangat baru bekerja lebih baik.


Orang bijaksana bicara bahwa emosi adalah cerminan ketidakmatangan sikap dan jiwa seseorang. Orang yang matang sikap dan jiwanya akan mampu mengelola emosi dengan baik, sistem limbic di otaknya bisa ‘jinak dan terkendali’ hingga dapat dikelola on off nya dengan baik. Sebelum emosinya menguasai dirinya, pikirannya telah terbiasa mampu memberi input berupa informasi positif yang sebaiknya digunakan untuk landasan memutuskan yang lebih konstruktif. Sehingga emosi bisa kemudian diekspresikan dengan lebih menggunakan pilihan bahasa yang lebih santun, manusiawi, dan bahkan bisa lebih memotivasi tanpa mengurangi koreksi terhadap masalah yang menyebabkan munculnya emosi. Kemarahan, hukuman dan sangsi bisa lebih dilokalisir dan ditelaah dengan seksama sehingga akan tepat kepada yang layak mendapatkannya, tidak lagi gebyah uyah yang umum terjadi, hanya satu yang salah karena emosi menguasai kita semua bisa jadi kena getahnya.


Guru spiritualku pernah bertutur tentang bagaimana mengelola emosi, ada empat langkah penting agar kita tidak diperbudak emosi. Pertama, sebelum emosi menguasai kita cobalah belajar mengenalinya, terutama menyangkut emosi specifik yang seringkali datang mengganggu ketenangan kita. Kenali penyebabnya, tanda-tandanya yang mengawalinya sehingga kita dapat mengantisipasi letupan-letupannya dengan seperangkat alasan untuk bisa tidak meladeninya. Kedua, coba lebih jauh memperhatikan dan memahami harapan orang lain, kelemahan orang lain, kesalahan orang lain dengan lebih seksama, dengan demikian kita mesti akan dapat belajar sabar untuk menjadi pendengar dan penganalisis yang baik. Ketiga, coba perbaiki pola komunikasi kita dengan mengoreksi penggunaan kata yang cenderung destruktif, menjadikan orang lain bosan, tidak simpati dan bahkan sakit hati. Kata-kata seperti bodoh, salah, kurang ajar, selayaknya tidak perlu digunakan karena akan merusak komunikasi. Berpikirlah melahirkan capaian alternatif, bersikaplah santun dan cobalah berupaya selalu tersenyum karena itu sering bisa menjadi jalan penyelesaian yang baik. Keempat, tetaplah berupaqya berani mengambil putusan yang tegas dengan penuh kehati-hatian dan rasional. Tidak ada salahnya untuk mencari saran dan masukan dari orang lain untuk menelurkan solusi terbaik atas masalah yang membuat emosi kita muncul. Cintai emosi kita karena ia bagian dari kita dan agar ia mau memberi hal terbaik darinya untuk hidup kita,

Senin, 02 Mei 2011

KEBAHAGIAAN





Ada seorang teman bertutur kepadaku dengan penuh kesungguhan bahwa walau ia berada dalam kondisi serba ada, memiliki rumah tinggal yang terbilang mewah, rumah peristirahatan ada dua di Tretes dan Batu, aset-aset lainnya menjadi berkepanjangan untuk diurai satu-satu karena sangat banyak, yang jelas bahwa perusahaan miliknya juga telah memberinya ‘kemerdekaan finansial’ yang mantap, namun mengapa ia masih sering merasa gundah-gulana, masih merasa belum cukup, belum bisa tenang dan belum juga bahagia hidupnya. Seorang teman lainnya bicara bahwa ia sudah merasa cukup hidup tenang, damai dan bahagia tinggal di sebuah desa terpencil sebagai seorang guru yang dianggap pendapatannya pas-pasan, di luar ngajar ia memanfaatkan waktu luangnya untuk bertani. Jangan tanya kekayaannya, jangan tanya asset-asetnya, rumahnya yang sederhana adalah istana satu-satunya bagi teman yang satu ini.


Walau bisa saja mestinya kita perlu mempertanyakan keseriusan pengakuan mereka, rasanya aku lebih memilih mempercayai mereka. Lagi pula kebahagiaan dan ketidak bahagiaan akan sangat sulit untuk kita ukur tanpa pengakuan yang bersangkutan. Karena kebahagiaan dan ketidak bahagiaan ada pada diri mereka, aku sangat setuju atas pemahaman bahwa ‘kebahagiaan adalah kondisi pikiran, sikap seseorang terhadap situasi hidupnya dan bukan sebuah pencapaian, lebih tidak pas lagi bila dikaitkan dengan pencapaian atau ketidak pencapaian dari satu aspek yang mempengaruhinya misalnya ekonomi. Artinya pengakuan sang teman yang kaya tapi ia merasa tidak bahagia adalah sebuah ilustrasi bahwa pencapaian kekayaan material tidak menjamin orang bisa bahagia, terlebih orang yang miskin dan serba kekurangan untuk bisa bahagia akan lebih sulit. Bahagia itu milik orang yang bisa beranjak dari kemiskinan, mampu memfokuskan menjadi dirinya sendiri (bersikap) , bukan terus berusaha membuktikan diri sendiri (mengejar pencapaian).


Banyak orang beranggapan bahwa kebahagian ada di luar diri, untuk itu dalam upaya mendapat kebahagiaan orang terus menerus mencarinya di luar. Segala bentuk capaian seperti harga diri dan identitasnya menjadi terkait dengan apa yang dicari dan dicapai. Kemudian kecenderungannya menjadi terus-menerus lupa diri dan menginginkan lebih banyak lagi, lalu ukuran kebahagiaan seseorang berdasarkan keadaan keuangan dan posisi, kita menilai diri kita berdasarkan bagaimana kita menilai orang lain, kondisi itu akan melahirkan rasa iri dan akan terjadi kondisi kompetitif, akan ada situasi desak mendesak, kalah menang, yang buntut-buntutnya akan menciptakan rasa ketidak puasan, ketidak nikmatan, dan ketidak damaian. Dalam paradigma lama ini, kebahagiaan dikaitkan dengan upaya ‘melakukan’ dan ‘memiliki’. Kita diliputi pemikiran bahwa jika kita banyak melakukan dan banyak memiliki maka kita akan bahagia.


Paradigma baru tentang kebahadiaan, menempatkan kebahagian sebagai ‘kondisi di dalam’, bukan di luar, jadi paradigma baru menyadarkan kita untuk tidak lagi mencari-cari di luar diri kita sendiri. Kebagaiaan adalah kondisi pikiran, artinya harga diri dan identitas kita terkait dengan sikap kita, bukan dengan pencapaian kita. Kebahagiaan adalah menjadi jujur terhadap diri kita sendiri, bukan sebatas hanya mengumpulkan harta benda, kompetitif, dan kemenangan; adalah hal yang mencukupi, mengandung sikap legowo, iklas dan menerima dengan besyukur. Kebahagian akan selalu menciptakan suasana ketenangan, kenyamanan, terpenuhi, damai dan kemerdekaan.


Agar kita mampu bersikap ‘bahagia’ secara tulus iklas, maka upaya meningkatkan ‘spiritualitas’ diri harus terus kita lakukan. Spiritualitas harus mampu menjadi nada-nada dalam rentang harian kehidupan kita, ukurannya adalah setiap hari sebisa mungkin kita bisa evaluasi ‘nilai’ hidup kita. Upayakan untuk belajar meyakini bahwa setiap hari yang kita miliki adalah barokah dan kesempatan baru, untuk itu setiap hari kita mesti bersyukur dan makin menyayangi diri sendiri serta menghargai orang lain, menghargai alam dan giat bekerja dengan kreativitas, kasih sayang dan cinta. Memang hal itu tidak mudah untuk dilakukan, tetapi siapa yang tidak mau bahagia ? Jadi semestinya cepat-cepat kita untuk merubah diri, memulai belajar bersikap agar bisa merasakan kebahagian harian yang akan membentuk kebahagiaan hidup.


Guru spiritualku berkata bahwa menurutnya memang benar bahwa kebahagiaan adalah sikap dan ada dalam diri kita. Janganlah mencoba mencari kebahagiaan di luar diri kita, akan sia-sia saja dan pasti tidak akan menemukannya. Untuk mampu melahirkan sikap, kita perlu belajar mengenal diri, diri sebagai bagian kecil dari alam semesta, alam yang penuh keajaiban, rumit, akan rusak; lakukan tafakur – meditasi-intropeksi-coba selalu bersyukur. Lalu fahami potensi kita masing-masing dan kembangkan sikap kreatif sehingga kita bisa bekerja dan berkarya dengan kasih sayang dan cinta, bisa bekerja dan berkarya tanpa keterpaksaan. Terakhir cobalah belajar peduli, belajar memberi atau berbagi kepada orang lain, karena kebersamaan akan meringankan hidup. Nikmatilah terus hidup, hidup hidupilah hidup agar hidup makin hidup, agar hidup memberi kecukupan kebutuhan, kebahagiaan dan kedamaian. Hmmm aku ingin berubah….aku ingin belajar bahagia.