Ada hal yang sering muncul sebagai respon balik ketika kita mendapat suatu informasi khusus atau berada pada situasi yang tidak wajar yaitu emosi. Emosi dari kacamata biologi semua muncul karena kita meniliki sebuah system di otak yang disebut ‘sistem limbik’, terletak di batang otak berupa benjolan sebesar biji kacang. Ketika sistim limbik ini relative tidak aktif maka kita berada pada situasi yang cenderung tenang, damai dan bahagia, tetapi ketika kita mendapatkan rasa tidak tenang, ancaman, informasi negatif yang menyebabkan depresi maka system limbik menjadi lebih aktif. Responsibilitas sistim limbik antara satu orang dengan orang lainnya tidaklah sama, hal itu tergantung pembelajaran pengalaman hidup, cara pandang dan kepribadian masing-masing.
Secara umum orang yang berada pada kondisi emosional bisa dicirikan dengan beberapa perilaku, misalnya: intonasi bicara yang keras dan kasar, marah dengan hasrat merusak atau melempar barang-barang di sekitarnya, ringan tangan, bertindak kriminal, merusak diri dengan narkoba, minuman, menjalani pergaulan bebas, dendam dan melakukan tindak kejahatan, atau menangis dan menyalahkan diri sendiri yang tiada henti. Emosi yang dibiarkan terus menerus menguasai kita akan merusak kehidupan kita dan bahkan bisa merusak kehidupan orang lain yang tidak salah apa-apa, karena emosi yang membabi buta akan membuat orang tidak malu, tidak sungkan, tidak takut kepada apa dan siapapun.
Emosi tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah kehidupan manusia, karena hal itu bersifat genetis, bahwa setiap otak manusia selalu dilengkapi sistim limbik. Emosi berkembang bersamaan umur, makin dewasa orang emosinya relative makin stabil. emosi sesungguhnya merupakan sistem yang membantu manusia untuk memecahkan masalah. Dengan emosi orang dipacu pikiran dan tindakannya untuk segera lepas dari rasa ketidak tenangan, ancaman, depresi sehingga ada jaminan bertahan hidup. Emosi biasanya berkait dengan gangguan yang pada hal-hal prinsip menyangkut pemenuhan hidup misalnya makanan, tempat berlindung, pasangan, keturunan, pekerjaan dan lain-lainnya. Kemunculannya sering sebagai produk dari proses interaksi dan komunikasi seseorang terhadap komunitasnya,
Emosi sebagai produk yang menyertai kehidupan sosial kita, interaksi kita, kerelasian kita, bila dicermati dari aspek fungsinya maka dapat kita pilah menjadi 2, yaitu: emosi destruktif dan emosi konstruktif. Emosi destruktif adalah emosi yang bertumpu pada alasan yang lemah, atau pijakan emosinya salah sehingga efek dari emosi ini akan berakibat pada putusan yang salah. Selain orang lain yang dirugikan maka orang yang emosi juga dirugikan, cenderung merusak hal yang sebenarnya sudah baik, memperburuk komunikasi, melahirkan sakit hati, dendam, rasa ketertindasan, dan ketakutan. Sedangkan emosi konstruktif adalah emosi yang bertumpu dan dilandasi alasan dan informasi yang kuat dan valid. Emosi ini bisa menolong keadaan tidak menjadi makin buruk dan hancur menyeluruh. Emosi seperti ini akan berdampak pada sikap menyadarkan, penyesalan berbuat salah, serta bisa melahirkan semangat baru bekerja lebih baik.
Orang bijaksana bicara bahwa emosi adalah cerminan ketidakmatangan sikap dan jiwa seseorang. Orang yang matang sikap dan jiwanya akan mampu mengelola emosi dengan baik, sistem limbic di otaknya bisa ‘jinak dan terkendali’ hingga dapat dikelola on off nya dengan baik. Sebelum emosinya menguasai dirinya, pikirannya telah terbiasa mampu memberi input berupa informasi positif yang sebaiknya digunakan untuk landasan memutuskan yang lebih konstruktif. Sehingga emosi bisa kemudian diekspresikan dengan lebih menggunakan pilihan bahasa yang lebih santun, manusiawi, dan bahkan bisa lebih memotivasi tanpa mengurangi koreksi terhadap masalah yang menyebabkan munculnya emosi. Kemarahan, hukuman dan sangsi bisa lebih dilokalisir dan ditelaah dengan seksama sehingga akan tepat kepada yang layak mendapatkannya, tidak lagi gebyah uyah yang umum terjadi, hanya satu yang salah karena emosi menguasai kita semua bisa jadi kena getahnya.
Guru spiritualku pernah bertutur tentang bagaimana mengelola emosi, ada empat langkah penting agar kita tidak diperbudak emosi. Pertama, sebelum emosi menguasai kita cobalah belajar mengenalinya, terutama menyangkut emosi specifik yang seringkali datang mengganggu ketenangan kita. Kenali penyebabnya, tanda-tandanya yang mengawalinya sehingga kita dapat mengantisipasi letupan-letupannya dengan seperangkat alasan untuk bisa tidak meladeninya. Kedua, coba lebih jauh memperhatikan dan memahami harapan orang lain, kelemahan orang lain, kesalahan orang lain dengan lebih seksama, dengan demikian kita mesti akan dapat belajar sabar untuk menjadi pendengar dan penganalisis yang baik. Ketiga, coba perbaiki pola komunikasi kita dengan mengoreksi penggunaan kata yang cenderung destruktif, menjadikan orang lain bosan, tidak simpati dan bahkan sakit hati. Kata-kata seperti bodoh, salah, kurang ajar, selayaknya tidak perlu digunakan karena akan merusak komunikasi. Berpikirlah melahirkan capaian alternatif, bersikaplah santun dan cobalah berupaya selalu tersenyum karena itu sering bisa menjadi jalan penyelesaian yang baik. Keempat, tetaplah berupaqya berani mengambil putusan yang tegas dengan penuh kehati-hatian dan rasional. Tidak ada salahnya untuk mencari saran dan masukan dari orang lain untuk menelurkan solusi terbaik atas masalah yang membuat emosi kita muncul. Cintai emosi kita karena ia bagian dari kita dan agar ia mau memberi hal terbaik darinya untuk hidup kita,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar