Sabtu, 25 Desember 2010

RINDU TAK TERBAYARKAN


Anakku perempuan tak mampu melambaikan tangan ketika peluit pengatur jalannya kereta berbunyi dan kereta mulai bergerak, lambaian tanganku tak dibalas, ia hanya menunduk dengan air mata bercucuran di pipi kecilnya. Istriku di sampaingnya tersenyum melambaikan tangan untukku, sambil menepuk pundak bahu gadis kecil itu yang mulai tumbuh dewasa. Aku tetap berdiri di depan peron stasiun memandang kereka yang mereka tumpangi makin menjauh dan menjauh kemudian benar-benar lenyap dari pandangan . Aku meninggalkan stasiun dengan perasaan yang tidak nyaman, berbagai pertanyaan bermunculan. Sejumput kemudian hpku berbunyi, pesan singkat dari anak gadisku: “ Papa, aku masih kangen……”, membaca pesan itu, aku kembali trenyuh.

Aku bisa mengerti perasaan anak perempuanku satu-satunya itu, dari kecil ia paling dekat denganku, tapi …..ya, semua anakku dekat denganku. Bagaimana tidak, ketika ditinggal mamanya tugas belajar hampir enam tahun aku tidak saja menjadi ayah mereka tetapi juga ibu mereka. Saat belakangan ini aku banyak tugas ke luar kota, walau sesungguhnya hal itu sudah biasa. Namun kali ini karena untuk suatu hal aku harus juga tinggal di Surabaya untuk beberapa waktu secara berturut-turut, maka praktis hampir satu bulan aku tidak ketemu mereka. Wajar kemudian lahir kerinduan. Sehingga habis ujian catur wulan, ia minta pada mamanya untuk mengantar dirinya ke Surabaya menemuiku. Tetapi karena volume kerja, tidak mungkin aku bisa berlama-lama memenuhi keinginan dia, waktuku hanya terbatas pagi hingga sore, dan itu baginya belumlah cukup mengobati kerinduannya. Maafkan anakku, tetapi kamu juga harus belajar , bahwa dalam hidup harapan tidak selalu bisa kita dapatkan sepenuhnya.

Kangen atau kerinduan adalah kejadian atau kondisi alamiah yang lumrah, bisa terjadi pada siapapun yang memiliki jalinan emosi, entah karena alasan cinta, kasih, suka, saling membutuhkan, saling menghargai, saling menghormati. Kerinduan adalah sebuah harapan atas penghargaan pada sesuatu hal, misalnya makna kehadiran seseorang, kedekatan seseorang, kebersamaan seseorang dengannya, tempat atau makanan istimewa yang pernah terasakan dan berkesan mendalam. Kerinduan merupakan kebutuhan hidup, kebutuhan yang perlu kita hargai dan perlu menjadi pertimbangan untuk kita memenuhinya. Jiwa yang diluluri perasaan kasih, cinta, suka, rasa menghargai, menghormati tidak mungkin mengingkari dan menyepelekan kerinduan.

Menyangkut problem ini Guru spiritualku berpendapat bahwa kerinduan adalah seperti gelas mengosong yang berharap untuk diisi, kalau tidak diisi akan terisi oleh butir keresahan. Kerinduan anak perempuanmu adalah kerinduan kehadiranmu yang selama ini dianggap bermakna, dekat dan memenuhi harapan dirinya. Ketika ia menangis, berarti gelas kosong itu belum cukup terisi dan butir keresahan mulai mengisinya lalu menjadi gejolak kesedihan, lalu tangis menjadi tak tertahankan karena kerinduan menjadi tak terbayarkan. Aku mengerti, kerinduan memang menggelisahkan, apalagi buat anak sekecil anakku, buat orang dewasa saja kerinduan yang memuncak bisa berujung pada pilihan hidup yang justru merusak. Kita mesti belajar bagaimana mengelola kerinduan, hingga ketika muncul ia justru bisa menjadi energi positif kehidupan kita.

Seorang teman melengkapi kegundahanku menyangkut kerinduan ini, dengan cerita tentang bagaimana penyikapannya terhadap problem kerinduan yang tak terbayarkan juga. Ia pernah berada pada kondisi puncak kerinduan pada seseorang yang sangat mempengaruhi kehidupannya dulu. Ia hanya merasa ingin menghargai, menurutnya kesuksesannya kini karena pengalaman masa lalu, karena orang-orang yang dekat dengannya dulu. Ia merindukan kabar atau pertemuan kalau mungkin bisa terjadi setelah puluhan tahun waktu memisahkan mereka. Ia mesara bertahun-tahun ruang kosong di hatinya yang selalu berharap bisa diisi. Doanya terkabul, ia mendapat kabar , lalu terjadilah sedikit komunikasi, dan ruang kosong di hatinya mulai terisi. Tetapi hal itu tidak berlanjut, tiba-tiba komunikasi putus sama sekali. Kegelisahan kembali menjalar, kerinduan membentuk ruang kosong lagi. Tempaan hidup, kedewasaan, kesabaran membimbingnya mengerti. Ia harus sadar, tidak boleh ia berharap banyak, ia sadar bahwa kerinduan tidak bisa diukur dari satu sisi. Mungkin saja bagi saya ia sangat istimewa, tapi siapa tahu buat dia saya biasa-biasa saja di hatinya. Rindu tak terbayar juga bisa terjadi karena situasi kerja, status ekonomi, status social, rasa malu, kecewa, tidak percaya diri, kesombongan, ego yang lebih yang memungkinkan tagihan kerinduan tidak terlunaskan. Kuncinya melawan kerinduan adalah: sabar, tetap kerja, terus nikmati saja hidup dengan rasa syukur.

(Maaf untuk anakku, kau,
teman Fabio 83 yang jadi ngumpul di PWT,
karena aku tidak bisa melunasi rindu)

Selasa, 21 Desember 2010

MENDEKATKAN YANG JAUH, MENJAUHKAN YANG DEKAT


Seorang teman smaku berbicara lewat telepon rumah bahwa hpnya sedang rusak, jadi minta maaf tidak bisa komunikasi lebih baik. Sementara hpnya lagi diservis, ia dipaksa puasa ‘fb, bbm, chatting’ untuk sementara waktu, entah berapa lama, kata tukang servis paling seminggu. Teman-teman se group yang denger problermnya, langsung mendorong sang teman dengan berbagai cara untuk tetap bisa bercengkrama ria di dunia maya secepatnya, yang seru ada langsung usul ‘buang aja bb itu lalu beli yang baru’. Katanya ia hampir tergelitik juga untuk membeli hp baru, tetapi kemudian urung ketika sang suami bicara: “ Jangan paksakan diri, mungkin ini kenyataan yang harus kau terima, kau harus istirahat, jeda dari jalinan modernitas yang menurutku banyak menghabiskan waktumu. Kau harus bisa gunakan waktumu tanpa ‘keasyikan jejaring maya’ untuk sedikit ‘intropeksi diri’ ”.

Intropeksi diri ? Sang teman kemudian bercerita. Ya, aku memang sering berdebat dengan suamiku semenjak aku aktif di jejaring maya. Tetapi aku selalu bisa berargumentasi hal-hal positif yang nyata-nyata aku peroleh, tanpa mengganggu karir kerjaku, karirku tetap bagus bahkan naik. Hal positif yang aku peroleh: banyak teman, banyak belajar kehidupan, bisnis kecil-kecilan lewat dunia maya jalan, tidak gaptek, bisa berbagi, silahturahmi bertambah. Kalau sudah aku jelaskan demikian, suamiku tidak bisa mendebat, tapi aku faham pilihan suamiku berbeda. Ia sangat bersahaja, ke mana-mana ia cukup bawa hp butut yang sangat jauh dari ‘up to date’, fungsinya hanya untuk telpon dan sms saja. Komunikasipun cenderung terbatas untuk aku dan anak-anakku, keluarganya dan kolega kantor. Sungguh aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya yang paling dalam……tentang jejaring maya.

Teknologi besar memang selalu demikian, hadir selalu memudahkan kehidupan sekaligus memanjakan manusia. Tenologi listrik dan lampu memudahkan manusia mendapatkan penerangan dan energi gerak tanpa harus bersusah payah. Tenologi aeronotik mampu menghadirkan produk dan system penerbangan yang memudahkan manusia bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain di dunia yang jaraknya ribuan kilometer dengan jarak tempuh yang cepat. Teknologi plastik mampu menghadirkan produk plastik beraneka ragam dan fungsi, mulai dari fungsi sederhana sebagai pembungkus hingga fungsi spektakuler sebagai pengganti alat tubuh atau perbaikan bagian tubuh manusia. Bioteknologi menghadirkan rekayasa genetik yang memudahkan manusia mengutak atik gen mahluk hidup untuk mengatasi problem penyakit, produktivitas, keamanan, pencemaran lingkungan dan lain-lain.

Teknologi sering diibaratkan sebagai pedang bermata dua, selalu hadir membawa dua kemungkinan pemanfaatan, yaitu kabaikan atau keburukan. Semua itu tergantung bagaimana manusia yang mengembangkan dan menggunakannya. Pengembangan teknologi dan pemanfaatan oleh orang-orang jahat dan tidak bertanggung jawab akan memberi dampak buruk kehidupan. Listrik pernah menjadi alat pembunuhan, pesawat ada yang digunakan sebagai alat perang dan membombardir manusia dari udara, bioteknologi digunakan sebagai senjata genosida yang merusak ketangguhan genetik manusia secara perlahan, teknologi kimia digunakan untuk mendapatkan senjata racun syaraf yang mematikan, teknologi atom digunakan untuk bom atom yang dasyat. Seringkali batas antara dampak positi dan negative begitu tipis, sehingga kita sulit membedakannya.

Ketipisan batas antara kemanfaatan positif dan kenegatifan teknologi dunia maya juga bisa kita rasakan, itupun tergantung bagaimana manusia mengembangkan dan memanfaatkannya serta dari mana kita memandangnya. Ketika teman yang bertutur di atas, harus berdebat dengan suaminya yang keluar sebagai jawaban mbela diri adalah hal-hal positifnya. Tetapi kalau kita lihat dari segi lain terjadinya penyalahgunaan teknologi dunia maya, misalnya: pornografi, hampir sudah menjadi rahasia umum banyak anak-anak di bawah umur yang semestinya belum waktunya mengenal ‘kegiatan orang dewasa’ diketahui banyak yang sudah melihat lewat internet, implikasi lain berupa penculikan gadis di bawah umur, prostitusi maya, pencemaran nama baik dan lain sebagainya. Belum lagi kalau kita cermati dari ‘waktu’ dan ‘produktivitas’. Anak-anak sekolah banyak yang tercuri waktu belajarnya gara-gara internet dan keasyikan canda di dunia maya. Canda yang sederhana, seperti: sapaan…., gumam, omong yang tiada juntrungnya, menggoda, merayu, bohong, berkelakar, membuat sensasi, dan lain-lain. Tanpa sadar itu dilakukan dengan mengorbankan waktu yang dapat digunakan untuk kegiatan produktif sebenarnya.

Ketika guru spiritualku saya ajak bicara tentang hal ini, ia berkata: ‘ Teknologi adalah hal yang selalu mengikuti perjalanan kehidupan manusia, teknologi selalu lahir, berkembang, berubah bersamaan dengan perubahan pikiran manusia. Karena itu manusia harus siap dan antisipatif terhadap buah pikirannya sendiri. Dunia maya yang tumbuh demikian pesat, sebagai buah pikir manusia, seringkali kalau dipikir panjang sesungguhnya telah menjadi candu buat ‘harkat’ kemanusiaan itu sendiri. Naif, bohong rasanya, ketika orang bersembunyi di balik alasan berkutat di depan kumputer atau bb adalah menambah silahturami melalui jejaring pertemanan. Kalau ia mau merenungkan, sesungguhnya ia sedang melakukan aktivitas ‘mendekatkan tali silahturahmi yang jauh, tapi dengan mengorbankan, menjauhkan atau merenggangkan tali silahturahmi yang sudah dekat’. Kini betapa banyak suami, istri, anak mencuri-curi waktu bercanda di dunia maya, saling tersenyum sendiri di sudut masing-masing, yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun, menghidupi, memperindah ‘harmoni keluarga’ mereka secara bersama. Kita memang harus sadar dan mulai berubah.


(Trims buat Ani & keluarga di Jkt)

Senin, 13 Desember 2010

BELAJAR IKHLAS


“ Kau ikhlas menerimaku apa adanya, sayang ? “ ucap seorang lelaki bersahaja, wajah pas-pasan, dan tidak begitu proporsional untuk ukuran badan dan wajah yang ideal, dibisikan di depan pelaminan pada telinga perempuan cantik yang baru dinikahinya. Sang perempuan tersenyum, mengangguk penuh arti sambil menggenggam jemari tangan suaminya. Tanpa kata-kata, dean tidak perlu ada kata-kata. Getaran yang bicara. Hati sang lelaki berbunga, dadanya mengembang, setiap udara yang dihirup ke dalamnya seperti energi yang mampu menggetarkan tiap sel tubuhnya. Rasa bangga tak terlukiskan, kegundahan menjadi luruh dan kini menjadi tenang dan bahagia.

Ikhlas ? Kata ini begitu menggelitik pikiranku. Apa sih gerangan yang dinamakan ikhlas, teman ? Kata orang yang aku kagumi, iklas itu tindakan tanpa harapan. Sementara kata Ustadz di kampungku, ikhlas itu berserah diri pada Allah, semua kita serahkan pada Allah. Intinya kalau kita gabungkan dua pendapat itu dan mungkin telah menjadi pendapat umum bahwa ikhlas itu berbuat tanpa harap timbale baliknya dan hanya karena Allah. Benarkah ikhlas itu tanpa harapan pribadi yang melakukannya ? Pertanyaan ini penting agar kita bisa memahami dimensi ikhlas yang lebih dalam, memang sih banyak orang tidak perduli apa pentingnya difinisi ? Kalau toh kita sulit merumuskan difinisi, ndak apa-apa, setidaknya proses bertanya menuntun kita pada pemahaman ‘simbul dan tanda-tanda’ yang menyertainya dari ungkapan tersebut.

Guru spiritualku, pernah bertanya padaku tentang cinta, apa itu cinta ? Waktu itu aku bingung, orang bilang cinta itu senang atau suka, sesederhana itu cinta ? orang lain bilang cinta itu cerita indah namun tiada arti, apa itu guyonan ? Pertanyaan sederhana tapi ternyata susah njawabnya. Jadi ketika kita bingung mengungkapkan pemahaman kata cinta, maka jangan pernah saling menyalahkan ketika terjadi ‘putus cinta’ karena di antara kita yang saling menyatakan ‘cinta’ tidak memahami makna sebenarnya cinta. Minimal cinta itu akan melahirkan rasa ingin tahu, kerinduan untuk dekat, ada rasa ingin memiliki, dan yang penting ada rasa ingin melindungi. Demikian guru spiritualku membuka kebuntuan pikiranku. Benar atau salah itu relative, minimal kita ada tawaran berpikir, dan aku setuju.

Kembali ke permasalahan ikhlas, Guru Spiritualku pernah mengatakan bahwa ikhlas itu berkaitan dengan ‘sikap menerima’, dan tantingan seberapa ‘kepasrah kita kepada Allah’ baik terhadap pilihan tindakan kita, rejeki kita, kepemilikan kita, musibah yang mengenai kita, nasib kita dan lain-lain. Keikhlasan akan melahirkan laku kita yang akan memiliki kecenderungan kontra negatif, misalnya: menghindari rasa penyesalan pasca kejadian, minus ketidakpercayaan pada sesama, minus kecurigaan, minus tuntutan balasan, minus ‘keakuan’, dan minus kegelisahan. Aku kembali bertanya apakah ikhlas itu tanpa harapan ? Tidak juga, kita berbuat ikhlas kan juga karena kita faham bahwa ikhlas adalah ‘tindakan mulia’ menurut agama kita, berarti setidaknya jauh di lubuk pikiran kita ada harapan, yaitu menyangkut laku kita agar ‘dibarokahi Allah’. Aku setuju mendengar jawabnya.

Ketika orang bisa berbuat, melakukan, menyikapi hidup secara iklas, maka pada orang itu akan tercermin ketenangan pikir dan jiwa. Ketenangan pikir dan jiwa akan menentukan pencapaian kebahagiaan yang diharapkan semua orang. Rasa syukur akan nasib dan rejeki, akan menjadi momentum terjadinya efek domino kebaikan yang akan menjadikan orang tertempa kesabaran dan tetap ulet meraih harapan, tidak sombong, selalu mau berbagi. Keikhlasan seorang dapat dilihat pula dari raut muka, tutur kata, serta gerak-gerik perilakunya yang selalu menyenangkan, tenang dan damai. Sebagai efek domino seorang yang berlaku ikhlas, lambat laun akan memiliki kekuatan yang besar, seakan-akan memiliki pancaran energi yang melimpah, sehingga akan mampu menjadi penyebar ‘virus’ keiklhlasan pada orang lain di sekitarnya.

Sebaliknya seseorang yang tidak ikhlas akan selalu tidak menyukuri apa yang telah diperoleh, meratapi apa yang terjadi, menyesali kesalahan atau kekeliruan yang dibuat dan terpaku pada waktu mereka yang telah berlalu, hal itu pasti akan menimbulkan rasa kesusahan, kesengsaraan, kegelapan dan keputusasaan. Jika orang yang berada dalam seperti itu dan ingin merubah hidupnya maka ia harus bangun. Mulailah memilih hal baik, jalani hidup dengan banyak bersyukur, dan bersabar, semua yang kita alami ada makna dan hikmah, di balik sebuah permasalahan pasti akan muncul kemudahan. Guru Ngajiku menekankan, bahwa: “Hidup memberi kita banyak pelajaran, tergantung pada kita apakah kita mau mempelajarinya atau tidak, serta memetik buahnya”. Termasuk tentang belajar ikhlas dan efek dominonya, kataku.

Senin, 06 Desember 2010

MARI BERHIJRAH


Semalam pergeseran tahun baru Hijriah aku rayakan dengan sebuah perenungan panjang tentang dunia 'kecintaanku' yaitu dunia anggrek. Sangat kebetulan suasana tengah malam di Puncak Bogor yang gerimis, udara tidak begitu dingin, kamar di atas perbukitan dengan pemandangan kerlip lampu, suasana diskusi dengan Dirjen Hortikultura sore hingga malam ini sangat membantu aliran kontemplasi dan intropeksi. Entah mengapa kebetulan juga dalam beberapa hari terakhir ini, di penghujung tahun 1432 H, tiba-tiba aku dibayangi perasaan sedih, aku menjadi miris, aku disodori kenyataan yang membuat aku gundah gulana. Aku rasakan, aku lihat orang-orang yang selama ini aku panuti, aku banggakan, dan bisa menjadi cermin keberhasilan menjalankan bisnis peranggrekan, kini mereka 'jatuh' dirundung kesulitan usaha dan kepailitan.

Ironinya, kejatuhan atau keterpurukan itu ternyata juga berdampak pada perubahan mendasar pada cara pandang mereka, sikap, dan pola komunikasi terhadap orang-orang di sekitarnya termasuk padaku. Cara pandangnya menjadi sempit, segala sesuatu dilihat sebagai sesuatu yang menggelisahkan, penuh curiga, tidak sabar, cepat marah, merasa terasing, terpinggirkan dan komunikasi menjadi buruk karena sering mudah tersinggung. Sementara kenyataan yang terjadi jelas terasakan bahwa daya dan power mereka makin mengecil, makin melemah. Usaha yang tadinya memberi kebanggaan, kehormatan, kini berbalik seperti menjadi godam yang tidak bisa dihindari dan menjadi hantaman rasa kegagalan yang mematikan.

Telisik punya telisik hal tersebut disebabkan karena terjadinya pilihan-pilihan langkah yang salah dan berimplikasi alternatif pilihan berikutnya yang juga salah. Problem diawali oleh lesunya pasar yang kemudian berdampak pada serapan produk yang berkurang, income minus, pengurangan tenaga kerja, pelanggalan SOP, yang ujungnya menjadikan penurunan kualitas dan kuantitas produk dan akhirnya berakibat balik pada pengingkaran terhadap tuntutan pasar yang menghendaki kualitas produk yang baik sehingga makin membuat kemandegan usaha. Hal itu menjadi lingkaran permasalahan yang tidak putus-putus. Menyedihkan.

Salah langkah, salah pilih, salah tindakan bisa membuat fatal apapun rencana atau usaha kita. Dalam hidup keseharian, kita selalu mendapat kesempatan memilih, peluang pilihan selalu ada yang bisa benar dan ada pula bisa salah. Ketika kita sekali mengalami kesalahan memilih dan kemudian sadar akan kesalahan itu, sering kali kita masih bisa berbalik pada pilihan yang memang benar, setelah itu di depan menghadang dua pilihan lagi yang bisa benar dan bisa pula salah. Tetapi ketika kita melakukan pilihan yang salah dan kita tidak sadar atau menggampangkan kesalahan itu maka di depan kita akan menghadang dua pilihan yang sama-sama salah. Pada kondisi demikian berarti kita sudah terjerumus pada tindakan yang akan membawa kita selalu melakukan tindakan yang salah.

Guru spiritualku selalu mencontohkan fenomena hal tersebut di atas dengan perumpamaan sebuah cerita tentang kejujuran seseorang. Ada seseorang yang pada suatu kesempatan ditanya oleh orang yang baru dijumpainya di jamuan makan. "Kerja di mana bapak ?" Respon mendengar pertanyaan tersebut dimungkinkan keluar jawaban jujur menyebut pekerjaan sebenarnya dan dapat pula menjawab salah seenaknya alias bohong. Pilihan jawaban itu akan menentukan tindakan kita selanjutnya. Coba renungkan ketika kita kemudian menjawab bohong misalnya dengan menjawab:" Saya bekerja sebagai Guru". Padahal sebenarnya kita bukan guru. Maka ketika ada pertanyaan lanjutan " Guru apa ? Di mana ? Sudah berapa lama ? dan seterusnya. Hal tersebut memaksa kita harus melakukan atau membuat kebohongan-kebohongan baru sebagai resiko ego pilihan, mestinya kalau jujur jawabannya maka anak pinak kesalahan tidak perlu terjadi.

Keberanian diri untuk mengevaluasi kesalahan, mengakuinya secara gentlemen sebagai tindakan yang keliru, dan menjadikan hal itu pengalaman sekaligus pembelajaran yang penting untuk segera merubah diri. Semua kuncinya ada pada kesadaran betapa pentingnya semangat berhijriah, yaitu semangat memperjuangkan kebenaran dan selalu berbenah agar kualitas hidup kita semakin baik. Bagi insan anggrek Indonesia harus mau belajar, harus berani mengurai permasalahan mengapa perkembangan peranggrekan nasional stagnan atau mungkin turun. Tentu nantinya akan ditemukan sederet kelemahan dan kesalahan-kesalahan kebijakan yang semestinya tidak perlu terjadi. Lalu yang penting mau memperbaikinya. Konsorsium Pengembangan Anggrek Indonesia mudah-mudahan bisa menjadi wadah yang memungkinkan terjadinya jalinan kerja, peran, dan sinergisme hingga berkembang produktivitas anggrek Indonesia yang berdaya saing. Singkirkan ego individu, mari berhijrah ke peranggrekan yang lebih baik.

Senin, 22 November 2010

MAHALNYA KERINDUAN


Ketika sedang asyik memanjakan diri di belakang rumah, duduk dikursi ayun sambil mendengarkan gemericik air dan melihat gemulai gerak ikan –ikan koi peliharaanku. Seorang teman lama datang bergabung denganku, lalu ikut menikmati teh poci hangat bersama-sama sambil berbagi cerita satu sama lain, untuk melepas kerinduan. Maklum saja, sudah bertahun-tahun kami tidak saling jumpa, karena kami punya nasib dan kesibukan sendiri-sendiri. Sekali lagi, harus diakui face book sangat sangat berarti karena bisa berperan mempertemukan satu orang dengan orang lain yang terpisahkan oleh waktu panjang dan tempat yang terpisah jauh. Kalau ada efek negatif fb, teknologi memang selalu demikian, ia pedang bermata dua, tergantung tanggung jawab manusia yang menggunakannya.

Di usiaku yang hampir setengah abad upaya memanjakan diri adalah kebutuhan, karena tubuh dan pikiran sudah melewati umur produktif dan sudah mulai aus. Ibarat sebuah mobil adalah mobil tua yang sesekali harus dibawa ke bengkel untuk di-’tune up’ agar akselerasi mesinnya kembali prima. Tubuh kita harus diberi kesempatan diam sesaat secara sadar untuk mengendapkan beban kejenuhan, diberi kemerdekaan dan kesenangan dalam suasana yang segar, rileks, dan penuh kegembiraan. Suasana rileks, segar dan kegembiraan adalah nutrisi dan vitamin penting untuk kita di zaman yang penuh himpitan permasalahan.

“ Dipikir-pikir memang manusia ini unik, “ kata teman lamaku.
“ Bayangkan , ……kalau kita tanya orang-orang desa ‘apa yang kamu rindukan ?’ sudah pasti banyak yang jawabnya adalah suasana keramaian kota. Sebaliknya kalau kita tanyakan orang-orang kota, maka kebanyakan akan menjawab rindu suasana desa, suasana ketenangan, keluguan.Hal itulah yang menjadikan gerakan urbanisasi dan penguasaan asset orang desa oleh orang kota tidak terhindarkan, ” lanjut dia. Memang benar pendapat temanku, fenomena umum di masyarakat kita adalah: ketika sedang sendiri orang-orang butuh dan rindu kebersamaan, ketika di rantau kita rindu rumah dan kampung halaman, ketika kita mendapat barokah kemarau panjang orang-orang butuh dan merindukan hujan, tetapi ketika suasana dibalik maka kebutuhan dan kerinduan juga berbalik.

“ Kerinduan juga bisa muncul karena absennya sesuatu hal yang biasanya muncul pada saat tetentu yang mampu memberi cita rasa yang beda, kebahagian khusus, tetapi sesuatu itu tanpa atau disadari karena alasan tertentu kemudian tidak muncul seperti yang diharapkannya. “ kataku.
“ Ya, seperti aku punya teman, baru saja ia bercerita sedang kecewa, dia selama beberapa kurun waktu selalu mendapat tulisan atau puisi dari orang yang konon disayanginya, jujur dia mengaku karena itu dia mendapat sesuatu yang ia tidak dapatkan dari orang-orang tercinta di sekelilingnya, dia tersanjung karena menjadi sumber ide, dan ada yang mengakui pesonanya. Kemarin di saat dia bahagia, setelah sadar sekian lama komunikasinya buruk, ia baru merasa kehilangan surprise tulisan atau puisi untuknya, Jujur ia malu meminta…..” kata sang teman. Dan mendengar ceritanya aku mencoba berargtumentasi, bahwa mungkin faktornya hanya lupa saja, atau komunikasi mereka sedang tidak dalam satu frekuensi, komunikasi sedang tidak dalam porsi berimbang sehingga tidak memberi makna yang ‘khusus’ pada aspek personal mereka berdua untuk memicu lahirnya tulisan atau puisi.

Mestinya mereka harus melakukan evaluasi diri masing-masing, tentu yang utama yang merasa ‘rindu’ untuk bisa menghadirkan apa yang mereka pikirkan, rasakan dan inginkan. Semakin kita bisa memahami, menghayati kejelasan posisi ’masing-masing’ dalam hubungan mereka maka makin transparan seberapa jauh masing-masing bisa berharap untuk memberi dan menerima sesuatu satu sama lainnya. Tentu ketika kita pasif, ya….jangan berharap banyak orang lain untuk aktif. Kalau kita menjauh, jangan berharap orang lain untuk mendekat. Berkait dengan hal tersebut prinsip keseimbangan ‘take and give’ harus selalu diupayakan. Ego ‘ke-aku-an’ harus diseimbangkan untuk kebersamaan.

Kalau kita lupa memenuhi prinsip ‘take and give’ untuk membangun komunikasi yang berkeseimbangan, lupa orang lain juga butuh sapaan, lupa bahwa pesona dunia tanpa batas yang tetap akan mampu memikat ide untuk tetap bergairah tanpa diri kita, maka lambat tapi pasti suasana disharmoni hubungan akan lahir dan makin ada. Lalu ketika kita sadar dan merasa kehilangan sesuatu yang biasanya bisa membahagiakan, menyenangkan, kita baru merasakan bahwa kerinduan itu menggelisahkan, kadang bahkan menyakitkan, memalukan dan sering harus kita bayar mahal.

Guru spritualku dulu pernah bertutur bijak padaku dan selalu aku ingat karena juga aku catat di buku harianku. “ Apa yang kita lakukan untuk diri kita sendiri akan lenyap bersama kematian kita. Apa yang kita lakukan untuk orang lain dan dunia, akan menetap dan abadi. Jangan kecewakan orang yang mempunyai perhatian besar padamu, walau kadang menyakitkan caranya, terus berbagilah, jaga semangat komunikasi. Kebahagiaan, kedamaian, , kasih sayang, cinta acap kali nampak kecil dan sering dianggap tidak berarti saat berada dal;am genggaman. Tapi coba lepaskan atau ketika tanpa sadar kemudian lepas, maka kita akan langsung tahu dan merasakan, betapa besar dan berharganya yang namanya kebahagiaan, kedamaian, kasih sayAng dan cinta ketika kita merindukannya. Nah....harus diakui kerinduan itu mahal.

Kamis, 18 November 2010

KOBARKAN SOLIDARITAS




Idhul Adha baru saja berlalu, umat Islam baru saja menjalani kepatuhan spiritual yang paling purba sebagai simbul ketakwaan, keiklasan, kepasrahan kita kepada Allah SWT sebagaimana yang telah dilakukan dan dicontohkan oleh nabi Ibrahim AS. Sang nabi yang mendapat perintah untuk menyembelih anak semata wayangnya Ismail, di sini terujinya kepatuhan nabi Ibrahim telah mampu melahirkan pesan agama tertranformasi menjadi aksi berkurban yang bermakna keteguhan sikap ketakwaan kepada Allah juga berdimensi sosial dan solidaristas.

Perintah menyembelih Ismail yang kemudian ternyata oleh Allah diganti dengan seekor domba adalah gambaran kemenangan ketaatan. Itu mencerminkan juga bahwa pengorbanan nyawa dan harkat kemanusiaan tidak dibenarkan Allah. Hal yang boleh dikorbankan adalah binatang, lebih tepat lagi bahwa ‘kurban’ bisa jadi merupakan ‘simbol’ bahwa yang seharusnya dikorbankan adalah sikap-sikap jelek yang melekat pada diri manusia, seperti: ketamakan, kesombongan, sikap suka menindas, kikir, suka menyerang dan sikap-sikap yang tidak menghargai hukum dan norma .

Hikmah berkurban yang utama adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah, kemudian menurut beberapa pemikir Islam bahwa berkurban juga mengandung hikmah perlunya solidaritas sesame. Dengan berkurban, berarti seseorang tidak saja berharap dicintai Allah tetapi juga membangun jalan untuk bisa dicintai sesamanya. Melalui kurban ada tersirat makna distribusi rejeki, peran, gizi, kebahagiaan, keguyuban. Ritual itu mampu membaurkan antara mereka yang beruntung dengan yang tidak beruntung, antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang kuat dengan yang lemah, mereka bersatu padu menjalani kepatuhan.

Solidaritas menjadi terasa penting, sangat berarti bagi bangsa ini yang sedang dirundung musibah dan cobaan. Bencana demi bencana terjadi seperti tidak henti melanda satu daerah ke daerah lain. Derita rakyat sepertinya belum sepenuhnya terobati, muncul kembali derita lain. Lihat saja, bangsa ini kena musibah anggap mulai tsunami di Aceh, gempa Jogja, gempa Jawa Barat, gempa Padang, tanah longsor di Waisor, gempa dan tsunami di Mentawai, dan tragedi meletusnya gunung Merapi di Jogja. Apa yang keliru dengan bangsa ini ???

Nah, kalau kita intropeksi. Ehmm….jangan-jangan salah satunya itu terjadi karena kuatnya solidaritas yang keliru. Terasakan, ada solidaritas segelintir orang dari bangsa ini yang mengeksploitasi bumi pertiwi ini tanpa kompromi dan kesantunan, lalu meninggalkan kerusakan alam dan disharmoni sosial, seperti: hutan gundul, pencemaran, tanah gersang, masyarakat tradisi tercerabut dari tempat hidupnya, korupsi dan nepotisme, perselisihan masyarakat, dan lain-lain. Penegakan hukum tidak akan berkeadilan mana kala ada solidaritas kebusukan di antara pelaku, aparat penegak hukum dan yang berkuasa.

Solidaritas negatif macam itu harus dikikis habis dengan apapun caranya, kalau perlu dengan cara solidaritas rakyat untuk reformasi jilid dua atau revolusi sekalipun. Solidaritas positif harus terus ditumbuh kembangkan agar cita-cita bangsa ini yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat bisa terrealisasi. Semangat solidaritas untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat harus terus dikobarkan agar mampu menjadi kekuatan perubahan dan pemandu langkah pemerintah untuk berpihak pada rakyat banyak. Pemerintah harus bersih, berwibawa, dan bekerja untuk kepentingan masyarakat banyak, bukan untuk golongan dan kelompok tertentu atau kelompok sendiri.

Solidaritas positif yang kuat muncul dari kesadaran dan tumbuh dari satu dua orang, kelompok kecil lalu menjadi gerakan seluruh masyarakat. Bukan lahir begitu saja, terlebih lagi dari melalui rekayasa. Solidaritas mesti dibangun dan ditumbuhkan dari tingkatan orang perorang, kelompok ke kelompok, bergulir seperti guguran bola salju makin lama makin besar. Lepasnya rasa solidaritas dari satu teman ke teman lain, keluarga satu ke keluarga lain, kelompok satu ke kelompok lain adalah jalan kehancuran membangun keadilan dan kesejahteraan bersama.

Tadi malam saya baru berbincang-bincang dengan beberapa teman yang merasa senasib dan sepenanggungan, semua mengeluhkan problem yang sama bahwa solidaritas teman yang dulu begitu kuat kini mulai rapuh oleh kepentingan masing-masing, oleh masalah dan harapan sendiri-sendiri. Sulit untuk melahirkan empati, sulit untuk berbagi. Hal semacam itu menunjukkan gambaran nyata dan terjadi di mana-mana, bahwa masyarakat kita tengah banyak mendapat tekanan hidup, deraan masalah yang memaksa kita harus bisa bertahan dan sukses sendiri-sendiri. Tanpa disadari kita mulai kehilangan kepedulian, tenggang rasa, semangat berbagi dan toleransi. Untuk membenahi itu, kami sepakat untuk mencoba memperbaikinya, ya…..kesadaran kami adalah bahwa perubahan kecil dari yang paling dekat dengan kita adalah awal yang paling baik. Nah, siapa mau ikut ?

Jumat, 12 November 2010

BADAI PASTI BERLALU


Dalam perjalanan tugas peranggrekan dari Balikpapan ke Samarinda, aku mendapatkan teman ngobrol yang mengasyikan. Lelaki separuh baya, yang sebelumnya sepanjang setengan perjalanan sering tersenyum-senyum sendiri, terutama pasca hpnya berbunyi ‘thing….’ dan matanya berulang mengeja kata-kata pesan singkat yang diterimanya. Tanpa rasa canggung ketika kami sudah saling kenal dan mulai banyak saling membuka diri. Teman tadi menjelaskan alasan kenapa dia tadi senyum-senyum sendiri, ia tengah asyik berkomunikasi dengan mantan kekasihnya dulu. Komunikasi yang positif, yang menurutnya mereka sama-sama menyadari bahwa mereka telah mempunyai kepemilikan sendiri-sendiri yang harus dihormati. Tetapi mereka juga sadar, bahwa sejarah hidup masa lalu adalah pondasi yang menguatkan kehidupan masa kini dan menjadi kekayaan yang tidak bisa dibeli.

“ Mas, semua masa lalu kita tentunya banyak menjadi hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik untuk menjadikan kita lebih dewasa. Yang pasti tentunya suka duka dan kecerian masa lalu kita, tak bisa aku hapuskan. Saya sangat bersyukur atas semuanya “. Bunyi sms dari mantan kekasihnya dulu yang ditunjukkan kepadaku, ungkapan sebagai bentuk penggambaran bahwa mantan kekasihnya yang menurut pengakuannya ‘cantik’ bersama dengan dirinya memandang positif masa lalu dan menjadikan hal itu sebagai tempaan masing-masing yang harus dialaminya, Sang teman lalu juga menunjukan foto kekasihnya dulu yang ia simpan di hape, aku merasa ia tidak berbohong, memang perempuan yang tergambar di hapenya cantik. Samar terlihat perempuan dengan rambut agak keriting tergerai sebahu, kaos warna gelap, kacamata di atas kepala, tubuh berisi, senyum yang menawan, di belakangnya ada pantai seperti Pantai Kuta.

Sang teman kembali bercerita, bahwa kekasihnya dulu dirasa sedikit ada yang disembunyikan seperti sebuah kegelisahan, tetapi itupun belakangan baru diketahuinya setelah mereka berpisah. Memang antara dia dan kekasihnya cukup banyak perbedaan, tetapi ia tulus menyayangi perempuan yang pertama dicintainya. Kesadaran akan kegundahan kekasihnya tercermin dari lagu yang sering didendangkan, yaitu ‘badai pasti berlalu’. Satu sisi kalau kita tidak cermati, lagu itu seperti lagu biasa seperti lagu umum pada jamannya, yang suapapun boleh dan bisa mendendangkannya. Tetapi kalau kita lebih cermati aku rasa itu menggambarkan sebuah kegelisahan hati, tetapi di sisi lain sekaligus juga ungkapan harapan. Dan ketika lagu itu selalu saja ternyanyikan melalui stimulasi rasa, maka sesungguhnya lagu itu terus melahirkan dan membangun kepercayaan, yaitu kepercayaan bahwa badai akan berlalu. Keyakinan dan kepercayaan itu yang kini dia lihat mengantar pada pendewasaan dan ketentraman mantan kekasihnya. Dulu banyak deritanya, sekarang Nampak banyak ceria karena sudah mendapat tetes embun dan matahari pagi. Tetapi itu sekilas, karena saya juga tidak tahu apa di balik yang terlihat , simpul sang teman lalu menyanyi.

awan hitam di hati yg sedang gelisah
daun-daun bergugurans atu-satu jatuh ke pangkuan
tenggelam sudah ke dalam dekapan
semusim yg lalu sebelum ku mencapailangkahku yg jauh
kini semua bukan milikku
musim itu tlah berlalumatahari segera berganti

badai pasti berlalu
badai pasti berlalu
badai pasti berlalu
badai pasti berlalu

gelisah ku menanti tetes embun pagi
tak kuasa ku memandang datangmu matahari

Aku tertegun pada teman seperjalananku, mendengar tutur ceritanya jelas tergambar ia begitu hormat dan menyayangi pendendang ‘badai pasti berlalu’ dalam cerita masa lalunya. Kalau begitu ada benarnya orang bilang cinta tidak harus memiliki, cinta bisa jadi cuma jalan belajar kasih sayang, jalan belajar mengerti kata hati, jalan belajar mengerti hati orang lain yang kita cintai, juga jalan memahami ‘ketidaktahuan’ kita tentang ketentuan Tuhan yang harus kita alami. Berarti sesungguhnya ketika kita menyadari dan mau mengerti tentang hal itu maka kita sesungguhnya sedang ditempa untuk bisa belajar bersabar, lebih intropektif, tidak perlu berduka berlama-lama, tidak perlu tergopoh-gopoh menyalahkan orang ke tiga dalam fenomena cinta mencintai. Percuma saja melahirkan kedengkian, karena kededengkian justru akan merusak hidup kita, cinta kita yang memang harus melalui jalan mendaki, berjurang, berlumpur sebelum sampai pada taman firdous impian kita.

Merasa salah wajar, merasa gundah itu manusiawi, tetapi kesalahan dan kegundahan bagi orang yang intropektif dan meyakini keagungan spiritualitas Yang Maha justru bisa menjadi energi doa yang ‘ngijabeni’. Tuhan Maha Pengasih, seburuk apapaun kita menentang perintahNYA, menyia-nyiakan waktu yang diberikan pada kita, Ia tidak pernah mengurangi udara segar yang diberikan pada kita tiap detik, tetap memberi 24 jam waktu sehari untuk berbagai aktivitas. Maka dari itu kita harus selalu bersyukur, kita harus selalu berdoa, kita harus mau kerja keras. Sadar tidak sadar bahwa ‘dendang badai pasti berlalu’ yang sudah menyatu hati, mempunyai daya spiritualitas yang dasyat, yang bisa merubah banyak hal menyangkut kita. Kita perlu mendayakan perubahan hidup dengan apa saja, termasuk masa lalu. Ada nasehat bijak yang bisa kita renungkan, ‘ konon semakin kita bersedia bertanggung jawab dan menghargai atas perbuatan kita di masa lalu, semakin banyak kredibilitas dan nilai positif yang akan kita miliki”.

Aku lihat ketika Inova yang kami tumpangi menyeberangi sungai Mahakam yang penuh tongkang batubara dan kayu gelondongan, sang teman mulai menuang kata-kata yang jelas aku bisa membacanya:


KAU dan AKU

Kau adalah seperti angin yang bisa membuat aku
si baling-baling yang biasanya diam di atas wuwungan rumah jadi tergetar .......lalu berputar seperti lantunan gegamelan yang menghidupkan aku
si penari gambyong yang sebelumnya melenggok tanpa sukma
seperti boneka berbie yang bisa mendiamkan aku
si anak kecil yang merengek dalam kesendirian seperti ............

Apakah aku seperti sang perupa yang bisa memperindah kau
si kanvas putih di sudut rumah menjadi lukisan panorama yang lebih bermakna
seperti bulan purnama yang penuhi rindu kau si penyair pemuja cahaya di gelap malam
yang menggerakan sendi-sendi tubuh dan pikirannya tuk berpujangga
seperti semburat cahaya putih yang melengkapi kau si siluet sore hari
dengan matahari warna tembaga, pohon-pohon nyiur,
tonggak kapal-kapal nelayan warna gelap yang dipuja banyak manusia

Siapakah kau dan siapakah aku
kata angin bukan substasi yang perlu dipertanyakan
sejatinya kita sudah terpilih di dunianya sendiri dan punya kepemilikan sendiri-sendiri
tapi waktu mempertemukannya sebagai sumber kesadaran, bahwa :
ketika ada yang kurang dalam diri kita tentu
akan ada kecenderungan yang melengkapinya
ketika ada yang lebih dalam diri kita
tentu akan ada kecenderungan yang menerimanya

Aku termenung, ada saja pembelajaran hidup aku cacat antara Balikpapan – Samarinda. Seorang teman baru mempertontonkan olah pikirnya dan sekaligus menstimulasi diriku. Aku berpikir, ternyata tidak cukup punya pikiran yang baik saja, yang penting bagaimana kita menggunakannya dengan baik. Mudah-mudahan aku bisa, kita bisa.


Samarinda, November 2010
Untuk : kau pemberi bunga pertama

Minggu, 07 November 2010

UNTUK 47 TAHUN


Hampir setengah abad aku diberi waktu
Menghirup udara yang segar
Melihat lihat cakrawala yang luas
Samudra yang biru
Hijau pepohonan hutan negeri ini
Semerbak bunga-bunga dari berbagai sudut dunia
Kupu-kupu aneka warna beterbangan di Bantimurung
Menikmati geliat adat dan budaya beberapa anak negeri

Hampir setengah abad aku diberi waktu
Pernah jadi anak yang susah belajar
Hingga menjadi orang tua anak-anak yang susah belajar

Atas nama waktu yang tak pernah berhenti
Aku telah lihat dan rasakan orang-orang tercinta
Satu persatu dikebumikan
Kesedihan tidak bisa ditolak
Sebagai kodrat yang harus dialami
Atas nama waktu yang terus berjalan dan berlalu
Aku makin sadar bahwa benar kita lemah sebagai mahluk
: sakit jantung, kangker, struk, ginjal, gula, stress
Adalah cerita yang tidak pernah redam sebagai jalan kematian

Hampir setengah abad aku diberi waktu
Telah aku lihat senja di ujung nusantara
Bercanda dengan anak-anak Papua
Merasakan hangatnya udara Kalimantan
Menyelinap di bebatuan makam tanah Toraja, Ngaben di Bali
Upacara Kasodo di Bromo
Mendaki di beberapa gunung sampai hampir terpanggang di gunung Slamet
Pernah juga diinterogasi di Singapura, nyasar di Genting Island
Termangu menggenggam dinginnya butir salju di ujung Free Port
Melihat keunikan Kersik Luwey dengan pesona anggrek hitamnya
lalu kerinduanku melihat Maluku dan Ambon yang tak pernah pudar

Menyusuri masa lalu
Suka duka terpapar sebagai romantika
Masa kecil di Kauman
Bermain bola dan pedang-pedangan di alun-alun kota
Aku ingat sahabat melukisku, teman-teman teater, patner softball, maupun camping
Aku ingat siapa yang selalu bergulat bersama di laboratorium
……aku ingat semua
Termasuk ‘kau’ yang pertama memberi bunga
Aku merasa masa lalu adalah kekayaanku

Kini menjelang hitungan umur 47,
Di luar rumah gerimis seperti air mata
Seperti menangisi derita masyarakat Merapi Jogja
Tsunami di Mentawai, banjir di berbagai daerah
Sepertinya negeri ini tak henti dirundung bencana
orang bilang ini pertanda yang harus kita hikmahi
kita semua berduka

Dalam kesunyian dan duka aku ingin berdoa:
“ Ya Allah, sungguh kami tak berdaya tanpa kekuatanMU
Sungguh kami menderita tanpa pertolonganMU
Sungguh kami tersesat tanpa petunjukMU
Sungguh kami miskin tanpa rejekiMU
Sungguh kami bodoh tanpa ilmuMU
Maka dari itu ya Allah, berilah kami kekuatan,
Tolonglah kami dari derita,
tunjukanlah jalan yang benar yang Engkau ridhoi
Berilah kami rejeki yang baik, lalu mudahkanlah kami untuk mengetahui ilmuMU.
Karena rahmatMU menjadi pencerah hidupku.
Amin-amin-amin.

Batu, 7 Nopember 2010

Jumat, 05 November 2010

JENDELA DUNIA


Jelang ul;ang tahunku, tempat biasanya aku suka kontemplatif, merenung diri, evaluasi diri terhadap apa yang sudah dijalani. Seorang temen lama muncul di FB ku, trus berlanjut dengan komunikasi telpon. Ia bertutur kepada saya tentang kesadarannya yang dirasa terlambat, betapa selama ini ia tidak cukup bersyukur kepada Allah yang telah memberi kesempurnaan tubuhnya. Kesadaran itu sayang muncul setelah semua terjadi, baru terasa saat satu persatu bagian tubuhnya kehilangan fungsinya karena sakit yang dideritanya. Mulai mati rasa di bagian ujung jarinya, di lidahnya, kerontokan rambut, dan sekarang matanya terasa sudah mulai kabur. Begitulah kenyataan yang harus dihadapinya walau berbagai upaya sudah ia lakukan, mualai upaya medis kedokteran, jamu tradisional hingga pengobatan alternatif supranatural derita itu tidak mau surut.


Sang teman bercerita ia merasa sedih, tapi tidak berdaya, aku juga hanyut ikut sedih tapi juga sama tidak berdaya. Kesedihannya sekarang memuncak, ia cerita tadi pagi gundahnya makin memuncak ketika ia lihat anak-anaknya dan sadar bahwa lambat atau cepat kata dokter ia akan kehilangan kemampuan matanya, ia akan buta dan tidak lagi bisa melihat keindahan dunia. Mata yang baginya adalah jembatan untuk menimbang berbagai tindakan yang akan ia lakukan atau ia rasakan akan mal fungsi, akan ditutup tabir tanpa warna dan gelap. Ia sekali lagi amat sedih, ia harus mulai bersikap menerima kenmyataan dan belajar menggunakan kemampuan lainnya. Sebagai teman lama, saya merasa perduli. Mencoba membesarkan hatinya dengan mendorongnya untuk terus berdoa kepada Si Pengatur Hidup, klaim dokter tidak ada artinya kalau Allah tidak menggariskan begitu.

Saya bisa membayangkan kesedihan dan kegundahan sang teman terutama saat mendapat informasi dokter akan kehilangan penglihatannya. Karena menurut saya kehilangan penglihatan berarti kehilangan ‘ Jendela Dunia’. Jendela yang member kesempatan kepada kita untuk melihat, kemudian merasakan, menikmati, menilai, serta mensyukuri apa saja yang ada di dunia ini. Dengan mata kita bisa menangkap bias cahaya yang akan mempertontonkan bentuk, warna, gerak, keunikan yang terpapar di alam semesta ini. Tanpa mata maka ibarat rumah tanpa jendela dan kita ada di dalamnya dengan kekelamannya.

Maka dari itu kata guru spiritualku, mensyukuri nikmat atas karunia kesempurnaan tubuh kita adalah kewajiban. Kita manusia adalah contoh sebuah penciptaan yang sempurna. Di mulai dari jalinan sel, jaringan, organ, lalu jadi individu yang bisa tumbuh, mampu memanfaatkan energi, merubah materi, beradaptasi dan bereproduksi. Semua berproses dengan harmoni, yang memungkinkan satu sel, jaringan atau organ yang ada bersinergi untuk menjalani hidup, semua saling topang, saling mengisi, bahkan saling menjaga. Masa Allah. Dengan kesempurnaan yang harmoni itu rasanya kita tidak boleh sombong, congkak, lalu semena-mena pada diri sendiri dan alam semesta. Karena pada hakekatnya keduanya tetap mahluk yang berkelemahan dan akan rusak.

Menurut saya selain kita punya mata, kita juga punya ‘mata hati’ dan ‘mata akal’. Dengan mata sekali lagi saya katakan kita bisa melihat, membedakan bentuk, warna, gerak, keunikan dan lain-lain. Dengan mata hati kita bisa mengetahui dan rasakan apa yang bisa dilihat mata, serta yang tidak terlihat oleh mata sekalipun. Sedangkan dengan mata akal kita jadi bisa pikirkan apa yang kita lihat serta kita rasakan , kita bisa menimbang benar salah, baik buruk, sesuai pengetahuan di akal kita. Jadi untuk kawanku , aku ingin nasehati jangan terus sedih, kalau toh prediksi itu benar, tidak berarti segalanya berahkir, sadarilah masih ada mata hati dan mata akal yang bisa menjadi jembatan merasakan dunia dan syukur kepada sang Pencipta.

Untuk kita yang masih diberi kesempatan hidup, berulang tahun, tambah umur, bisa bangun pagi dengan tubuh yang sehat, bisa bekerja dengan baik, bisa menjalani hidup sewajarnya. Kita punya kewajiban bersyukut, dengan cara menjalani ibadah secara iklas serta ikut menjaga rahmat yang Allah berikan kepada seluruh alam semesta ini bukan malah merusaknya. Kerusakan alam, ketidak seimbangan alam tidak bisa dipisahkan resikonya dengan manusia sebagai salah satu penghuninya, jelas kalau rusak dampak buruknya akan juga dirasakan kita. Sudah banyak contoh, mungkin juga peringatan bahwa kerusakan alam memberi derita pada kita, seperti terjadinya musibah banjir, tanah longsor, pencemaran, wabah penyakit dan lain-lain

Pagi ini, saya kembali mengambil air wudlu lalu bersujud padaMu untuk mencoba bersyukur, karena lagi-lagi masih diberi waktu untuk melihat cahaya. Masih bisa melihat senyum dan keceriaan anak-anakku, melihat belahan dunia tanda kebesaranMu. Aku bersyukur dan masih terus berupaya melihat, menikamati keindahan jagat ciptaanMu. Saya paling suka siluet matahari dan pepohonan di pantai atau di gunung-gunung, aku suka cakrawala, dan bunga-bunga aneka warna. Sebab dari situ mata-mataku bisa berpadu hidup, melahirkan gairah berkarya termasuk juga bertasbih padaMu. Jelang setengah abad usiaku, aku ingin berdoa: Ya, Allah sungguh kami tak berdaya tanpa kekuatanMu, kami bodoh tanpa ilmuMu, kami miskin tanpa RizkiMu, kami celaka tanpa kasih dan pertolonganMu. Ya, Allah berilah kami semangat dan kesabaran, berilah kami kemudahan, berilah kami rizki, berilah kami kasih dan pertolonganMu agar umur dan hidupku, serta keluargaku mempunya arti dijalanMu. Amin.

Sabtu, 30 Oktober 2010

SARJANA NGANGGUR ?


Melihat di Koran foto fenomena orang pencari kerja yang berjubel, ngantri dan banyak yang Nampak loyo saya menjadi trenyuh. Terlebih membaca data statistik yang dikeluarkan BPPS total pengangguran negeri ini sudah di angka 8.59 juta, terasa memprihatinkan karena sudah menjadi pemahaman umum bahwa kenyataannya justru lebih besar bahkan bisa berlipat. Trus yang lebih konyol 14.24 % atau 1.22 juta dari penganggur itu justru penganggur terdidik atau ‘sarjana’. Memprihatinkan !!


Kenyataan makin bertambah tahun makin banyak orang pinter (baca: sarjana) yang justru mungkin masih luntang lantung di negeri ini belum memiliki pekerjaan yang tetap. Bayangkan tahun 2009 masih 700.000, dalam setahun pengangguran naik setengah juta orang. Salah siapa ini ? Apakah ini berarti bahwa lembaga pendidikan tinggi (PT) sudah gagal dalam proses edukasinya. Atau salah pemerintah yang tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan karena gagal menarik investasi lantaran ribet dengan urusan politik,


Kata seorang motivator usaha kewirausahaan muda dari Jogja MW , kalau dilihat dari kewajiban pemerintah menurut undang-undang harus memenuhi hajat masyarakat banyak maka pemerintah yang keblinger dililit problem politik. Tapi kalau kita tidak ingin menyalahkan pemerintah, trus bila muatan edukasi dan motivasi kewirausahaan di PT bisa ditingkatkan untuk menciptakan sarjana wirausaha dan bukan sarjana pencari kerja.


PT harus mempunyai orang-orang yang memiliki komitmen, spirit, kalau perlu jadi contoh penggerak dan pelaku kewirausahaan. Orang-orang ini yang bertugas memprovokasi civitas akademika kampus terutama mahasiswa dan alumni untuk tertarik dan terjun di dunia kewirausahaan. Orang-orang itu diharapkan mampu membangun ‘bisnis center’ atau ‘inkubator bisnis’ di kampus yang bisa jadi sumber income PT juga.


Melalui incubator ini diharapkan akan tercipta wirausaha baru yang terdidik yang secara otomatis sangat memungkinkan mereka juga bisa malah membuka lapangan kerja baru yang dapat ikut mengurangi angka pengangguran kita. Bahkan kalau ‘inkubator’ bisnit PT itu benar-benar mampu memaksimalkan perannya maka produk dari proses incubator itu bahkan bisa menjadi kepanjangan tangan peran mereka di masyarakat. Jadi akan tercipta efek ‘karambol’ atau ‘snow ball’ pada bidang kewirausahaan.


Gulu laku di bidang ini yang mampu membangun usaha dari kecil hingga sukses membangun usaha berbasis produk dari laut dari Jawa Timur member satu rumus untuk menjadi wirauswaha sukses yaitu beranilah untuk ‘out of the box’. Untuk dapat menjadi pengusaha sukses orang berlu berpikir di luar kelaziman cara berpikir orang pada umumnya. Harus mau keluar dari tradisi yang ada, harus berani keluar dan meninggalkan romantisme kondisi yang lama dan mungkin menina bobokan kita.


Saya kira ‘out of the box’ merupakan bahasa sederhana yang di agama Islam sesungguhnya tidak lain adalah ‘hijrah’. Sang Rosul kita jelas mengajarkan kepada umatnya untuk hijrah agar tercapai suatu perubahan yang lebih baik, hijrahlah untuk memperoleh hasil kerja yang lebih baik, hijrahlah untuk mendinamisasikan kemandegan, hijralah untuk membuka kebuntuan pikiran kita, hijrahlah untuk mendapatkan kualitas hidup yang berkemajuan.

Jumat, 22 Oktober 2010

'BIADAB', BUKAN MANUSIA


Jam sepuluh lebih sepuluh menit di bulan sepuluh tahun dua ribu sepuluh menjadi momentum istimewa bagi segelintir orang yang memang sengaja ‘mengistimewakan’ kejadian waktu serba sepuluh itu. Ada yang untuk momentum pernikahan, ada yang untuk melahirkan anak, ada yang untuk lamaran, buka usaha, lounching produk dan lain-lain. Keinginan menjadi istimewa, beda, mendorong geseran waktu yang sesungguhnya biasa diimagekan sebagai yang istimewa. ‘All of Ten’ menjadi kebanggaan, tonggak sejarah, sesuatu yang beda dengan lainnya. Untuk meraih sensasi dan kebanggaan itu ada saja orang mau bersusah payah, mengeluarkan biaya besar dan menempuh tantangan.

Menurut berita, di sebuah kota besar ada pasangan muda kaya yang menjadikan all of ten menjadi tonggak kelahiran anak pertama mereka yang sebetulnya belum genap 9 bulan dalam perut ibunya. Dengan teknologi kebidanan masa kini hal seperti itu bukan hal sulit, kelahiran berarti bisa dipercepat sesuai order waktu, bayi yang lahir belum waktunya bukan masalah karena ditopang teknologi incubator yang menjamin pertumbuhan yang baik. Tentu kejadian itu, melalui diskursus dan prosedur klinis yang dapat dipertanggung jawabkan dan difahami ke dua belah pihak termasuk biaya dan resiko sebagai sesuatu yang dibenarkan. Pada batas ini, walau sesungguhnya waktu kelahiran mahluk semestinya adalah otorita yang di atas, rasanya kita masih bisa mentorerir atas dasar telaah ilmu dan teknologi yang dikuasai manusia.

Pada guliran waktu serba sepuluh, tanpa disengaja aku baca berita yang diendus Komnas Perlindungan Anak bahwa pada tahun 2009 lalu tercatat 186 bayi dibuang dan 68 sudah dalam keadaan meninggal di Indonesia. Tahun 2010 belum ada data, mungkin meningkat karena kabarnya kesusahan masyarakat makin meningkat. Berita di bulan sepuluh ini saja saya catat ada 5 bayi di buang, dimulai penemuan di daerah Tambora (6/10), Depok (7/10), Tangerang (15/10), Batu Ceper (15/10) dan Kalideres (17/10). Kemudian di China di temukan 21 mayat bayi di sungai se sebuah desa. Gila !!! Manusia makin tidak beradab saja rasanya. Makin banyak manusia menjadi bukan manusia. Kenapa bayi tidak berdosa diterlantarkan begitu saja, padahal ‘sang bayi’ adalah buah dari perbuatan senang orang yang melahirkannya, yang semestinya harus mempertanggungjawabkannya.

Orang bilang bayi dibuang bisa jadi atas alasan: ekonomi, rasa malu, aib, dan kelainan jiwa. Faktor ekonomi konon merupakan faktor utama yang menyebabkan hal itu, mungkin saja benar, dalam situasi sekarang di mana program KB yang dulu digalakkan pemerintah sekarang terkesan melempem kelahiran bayi seperti tidak dibatasi lagi walau dengan slogan sekalipun. Banyak di kantung-kantung kemiskinan kita jumpai pasangan keluarga yang tidak ber-KB, anak mereka banyak sementara ekonomi mereka buruk. Daerah seperti ini rawan sebagai daerah yang menyumbangkan meningkatnya jumlah anak jalanan, anak tak terdidik, anak putus sekolah. Hemat saya, anak-anak yang tumbuh dan berkembang tanpa tanggung jawab orang tua akan pemenuhan makanan bergizi, pendidikan, kesehatan, masa depan sama saja dengan tindakan orang tua yang ‘membuang’ anaknya juga.

Atas alasan apapun membuang darah daging sendiri adalah tidakan tidak berperasaan, sudah gelap mata, gelap pikiran. Manusia yang kehilangan rasa, kehilangan pikiran maka sesungguhnya ia telah kehilangan kemanusiaannya atau ia bukan lagi manusia. Karena beda antara manusia dengan mahluk Allah lainnya terutama pada adanya rasa dan pikiran. Binatang saja banyak yang berperangai penuh kasih dan selalu melindungi anaknnya dari mara bahaya dan gangguan lingkungan sekitarnya. Mestinya perilalu manusia harus di atas semua itu, karena manusia mesti sadar bahwa anak adalah titipan Sang Pencipta, tanggung jawab dan sekaligus masa depan kita.

Sadar dan bersyukurlah ketika kita diberi kenyataan memiliki kesempurnaan sebagai mahluk, bisa makan dan minum dengan sempurna, bisa bergerak, bisa tumbuh dan berkembang sempurna, bisa adaptasi berbagai cuaca, dan bisa pula berketurunan. Tidak sumua manusia diberi kesempurnaan, ada yang sakit, cacad, hilang pikiran, ada pula yang tidak berkemampuan untuk mendapatkan anak. Jadi mendapat anak adalah barokah, adalah rejeki, dan merupakan hal yang harus disyukuri, berarti kita diberi kemampuan meneruskan generasi, kita terpilih dalam proses evolusi jagad raya ini. Kelahiran adalah pertanda keberlangsungan hidup, pertanda kehidupan baru, masa depan baru yang mungkin kita belum tentu mengalami. Jadi jangan hakimi kehidupan masa depan yang bi bawa anak-anak kita dengan menghentikan paksa.

Kata Khalil Gibran bahwa anak adalah ‘anak panah’ dan kita adalah ‘gendewa’nya. Anak punya hidup dan dunianya sendiri-sendiri, tugas kita adalah mengarahkan anak panah pada sasaran yang menurut kita tepat, baik, lalu melesatkannya dan selesai. Soal anak panah itu benar mengenai sasaran, sedikit meleset, melenceng jauh adalah hak anak panah dan pilihan mereka masing-masing sesuai dengan tantangan mereka dan harapan mereka yang sangat mungkin berbeda. Yang penting jangan mematahkan anak panah itu, meluluh lantakannya, menghancur leburkan tanpa berkesempatan merasakan bentangan gendewa kita dan melesat sebagai anak zaman. Kalau hal itu terjadi berarti kita telah gagal sebagai manusia, dan kita bukan manusia.

Senin, 11 Oktober 2010

JANGAN KENTUT DARI MULUT (JATUTRILUT)


Aku tertarik mengikuti cerita bersambung harian Kompas berjudul ‘Matahari’ karya Remi Silado, sebuah cerbung yang menggambarkan kekayaan pengetahuan budaya si penulisnya. Setiap pagi cuma tulisan itu yang aku baca habis loper koran melemparkan di teras rumahku, yang lain seperti berita, opini cuma aku baca sekilas, jatah bacanya siang atau kadang kalau memang lagi ada waktu longgar ya sama-sama dibaca tapi tetap belakangan setelah menyimak cerita yang selalu terpampang di halaman 15 bawah. Matahari bercerita tentang seorang perempuan Indo Belanda, penari eksotik, terkesan berparas cantik dan bergaya nakal. Satu hal yang membuat aku tertarik pada cerita ini adalah seringnya tercetus kata-kata menggelitik yang bisa direnungkan kebenarannya.

Seperti yang terlontar sebagai gumaman sang tokoh ketika ia berdebat tentang makna erotik dengan eksotik menyangkut tarian yang diperagakannya, ia mampu memperbobot nilai tari jawa ‘dengan keindahan tubuh’ tapi tidak erotic. Lalu mengomentari petinggi militer Jerman yang omongannya tidak bisa dipercaya dengan ungkapan ‘kentut dari mulut’. Sekedar berbagi cerita saja sang Mata Hari ini dengan eksotika tarinya mampu menjadi maestro tari di Eropa dan sekitarnya bahkan akhirnya dilamar untuk menjadi ‘agen rahasia’ Prancis dan Jerman. Kembali ke ungkapan kentut dari mulut, ini menarik untuk direnungkan, sesungguhnya sederhana tapi kena. Maka tulisan renungan ini saya coba angkat dengan judul 'JATUTRILUT' maksudnya Jangan Kentut Dari Mulut.

Sang Pencipta membuat organ tubuh kita berbeda-beda, berbeda pula fungsinya. Jadi kalau kentut yang semestinya dari dubur kemudian dialihkan ke mulut jelas hal yang keliru. Tetapi menurut saya maknanya tidak sekedar itu, tidak sekedar menguatkan tesis orang tua jawa yang melarang anaknya sendawa atau ‘antob’ karena itu tidak sopan, tidak patut, sebab buang angin mestinya lewat bawah bukan lewat mulut. Lebih dari itu karena ungkapan itu bisa dimaknai kita mesti pandai menjaga mulut, orang jalanan bilang ‘jangan asal njeplak’ atau ‘jangan asbun atau asal bunyi’. Gunakan mulut kita untuk bicara hal yang baik, yang benar, yang berguna, yang bertanggung jawab, yang bisa memberi ketenangan lahir dan batin siapapun yang mendengarkannya.

Kalau kita tidak bisa menjaga mulut, lalu misalnya dengan mudah kita berbohong, berkata-kata kasar, jorok, sering menebar fitnah, bergunjing keburukan orang, bahkan yang sederhana omong yang tidak perlu dan tidak pada tempatnya adalah penggambaran kita sudah kentut lewat mulut. Karena itu akan menebarkan kebusukan yang lebih busuk dari kentut, kentut tidak sampai lima menit akan hilang tertiup angin. Tetapi kebusukan dari mulut akan bertahan untuk waktu yang lama, bahkan akan menjadi pemicu hal-hal yang dibenci Allah dan bisa merusakan ketenangan lahir dan batin orang yang terkena sasaran kebusukan mulut itu.

Kata guru spiritualku, lebih baik kita diam dari pada kita bicara hal-hal yang buruk, dari pada kita melontarkan ungkapan jorok, berbohong, menghasut orang, bergunjing atau bergelisah. Berpikirlah sebelum bicara, timbang baik buruk apa yang akan kita ucapkan, pilih kata yang tepat yang menggembirakan atau yang menyejukkan kita sendiri dan orang lain yang mendengarkannya. Bayangkan juga perasaan kita bagaimana kalau kita yang mendapatkan omongan yang tidak mengenakan, kita yang jadi korban, kita yang teraniaya. Jangan mengikuti ego, walau kita sedang berkuasa, sedang berwenang, sedang di atas angin. Lebih baik sadar bahwa hal itu sewaktu-waktu bisa berubah, bisa terbalik seratus delapan puluh derajat dalam sekejap jika yang di atas menghendaki.

Orang bijak lain bilang ‘bicaralah dengan hati’ karena hati selalu diselimuti kejujuran, selalu setia mengingatkan kita untuk menghindari keburukan yang selalu menjadi pintu setan untuk bercokol di hati kita. Kenali dan akrabi suara hati kita, integrasikan dengan lisan yang terjaga kalau bisa menjadi lisan yang mulia, yang selalu bisa berbagi ayat Allah, berbagi nikmat Allah, lalu bisa menjelmakan semua itu ke dalam tindakan nyata. Sabda Rosullullah ‘ Orang yang paling bijaksana adalah mereka yang mampu menjaga lisan dan perbuatannya’. Tidak menebar kebusukan lewat mulutnya, atau kentut lewat mulut kata Mata Hari di cerbung Kompas.

Minggu, 19 September 2010

TELADAN LEBAH


Ketika lebaran hari ke 7, saya dan istri bersilahturahmi ke rumah Pak Haji Simpang Sukun, kadang orang-orang menyebut ‘Osamah Bin Laden’, tentu sebutan itu hanya gurouan ketika tidak ada beliaunya karena pak Haji memiliki jenggot yang khas walau tidak seperti Osamah Bin Ladden betulan. Tetapi bagi saya orang rantau di bumi Arema ini, pak Haji adalah orang tua sambung yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah sekaligus bercengkrama. Pak Haji adalah pensiunan pegawai perkebunan Negara, tepatnya beliau adalah mantan ahli cita rasa tembakau, sosok yang sangat menentukan kelayakan dan harga jual tembakau yang akan diekspor ke luar negeri. Saya bisa berjam-jam bercengkrama dengan beliau, mulai bicara yang ringan hingga ajaran tasawuf dan sering dalam cengkrama itu muncul ‘tausiah’ yang penting saya garis bawahi, bisa menjadi guru laku.


Seperti pada siang itu, ketika cerita tentang aktivitas lebaran telah kami sama-sama ceritakan. Pak Haji mulai membawa kami ke ranah cerita tentang ‘iman, ketakwaan, perilaku hidup’, dengan memberi kami 3 buku catatan beliau (masih foto copian) untuk memudahkan mempelajari Al qur’an. Saya kagum dengan semangat pak Haji mengisi hari tuanya, penuh dinamika pencarian ‘bagaimana mendekatkan diri ke Allah’. Banyak hal dilakukan selalu bersama istri tercintanya, pernah belajar meditasi ke Bali, menelaah fenomena Yin dan Yang lewat pembelajaran Taichi, belajar Tashawuf, olah nafas, senam tera, ikut Perhimpunan Anggrek Indonesia, itu semua dicoba dibumikan untuk peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.


Hari itu pak Haji seperti menjadi guru spiritualku, lantaran beliau mampu memunculkan ‘garis emas’ atau membuat sesuatu lebih bermakna pada hal yang selama ini biasa bagi saya yaitu tentang ‘lebah’ mengingat saya seorang biolog. Bagi saya lebah yang dalam bahasa latin disebut ‘Apis indica’ adalah serangga penghasil madu, dan sebagai serangga ‘koloni’ seperti juga semut dan rayap mereka sudah memiliki struktur masyarakat yang baik, yaitu ada lebah pekerja, penjaga, pejantan, ratu yang memiliki tugas masing-masing untuk melestarikan koloninya. Dalam kontek agama, saya tahu bahwa ada juga surat yang bertajuk tentang lebah dalam Al Qur’an surat ke 16 yaitu surat Al Nahl. Surat ini berisi 128 ayat, dan hanya 2 ayat yaitu ayat 68-69 yang memfirmankan tentang lebah, sosok lebah berarti penting dan seharusnya menjadi bahan perenungan tanda kebesaran Allah.


Dalam kontek mengajak merenung pak Haji bertutur bahwa lebah adalah mahluk Allah yang banyak memberi manfaat dan kenikmatan pada mahluk lainnya terutama manusia. Rasanya lebah jangan-jangan diciptakan agar bisa menjadi teladan hidup bagi kita. Hiduplah seperti lebah. Masyarakat lebah hidup baik, rukun dan damai, masing-masing bekerja sesuai tugasnya masing-masing tetapi semua bekerja untuk keutuhan hidup bersama. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang baik berupa serbuk sari dari aneka bunga, tidak pernah mengkonsumsi makanan yang jelek. Hinggapnya di tempat yang indah, tidak pernah hinggap di tempat yang jorok, bahkan sering, membantu proses penyerbukan tanaman agar bisa bereproduksi.


Hikmahnya, andai masyarakat kita bisa seperti masyarakat lebah, hidup rukun dan damai, saling hormat menghormati, tidak mementingkan diri sendiri, tidak mencari menang sendiri, bekerja sesuai pekerjaan dan tugas masing-masing, berupaya mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Kuncinya tentu ada pada individu-individu anggota masyarakat yaitu kita-kita sendiri. Masing-masing harus bisa mengendalikan diri untuk menjalankan perannya masing-masing, tidak mengambil hak orang lain, tidak mengkomsumsi yang tidak halal, mengedepankan sikap saling tolong menolong, dan saling berbagi.


Apakah harapan meneladani lebah bisa kita lakukan ? Tentu saja bisa, tetapi hal itu tidak mudah. Manusia jelas beda dengan lebah, manusia diberi akal dan pikiran sedang lebah tidak. Manusia diberi pilihan, sementara lebah tidak, karena manusia punya kelebihan, manusia tentu memiliki potensi bisa lebih baik dari sekedar lebah (binatang) tetapi juga bisa lebih jelek dari binatang yang paling jelek sekalipun. Untuk mencapai keteladanan yang baik, maka kita harus melakukan hal yang baik dan itu membutuhkan kesadaran dan keyakinan yang baik. Harus menjadi kesadaran dan keyakinan kita bersama bahwa di alam ini, di setiap sudut kita memandang, di setiap jengkal kaki menjejak sesungguhnya selalu ada tanda-tanda kebesaran Allah yang memestinya makin meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita dan merubah perilaku kita.

Jumat, 17 September 2010

LAUTAN MAAF


Mulai hari Rabu tanggal 8 September 2010 M atau 28 Ramadhan 1431 H, telepon selulerku mulai dibanjiri sms ucapan hari Raya Idhul Fitri yang dibarengi ucapan permintaan ‘maaf lahir batin’. Mereka para sahabat, teman sejawat, mahasiswa, mungkin tidak mau ketinggalan menyampaikan sebelum hari H idhul Fitri yang jatuh hari Jum’at tanggal 10 September 2010, dan itu menurut saya tidak ada salahnya karena dalam ucapan mereka juga ada kata-kata ‘menjelang kumandang suara takbir’ atau ‘menjelang ari fitri’ baru diikuti ucapan lainnya. Bisa jadi mereka memiliki banyak yang harus dikirimi ucapan sehingga perlu memulainya lebih awal. Ucapan itu makin bertambah jumlahnya malam hari ketika kumandang gema takbir terdengar di mana-mana, keesokan harinya ketika hari lebaran, lalu berkurang setelah itu. Saya yakin di telepon seluler anda juga demikian, pun demikian terjadi di berbagai fitur internet seperti face book, twitter, ym, semua bicara ucapan selamat hari lebaran dan permintaan maaf.

Semua orang bicara ‘maaf lahir batin’, tidak mengenal umur mulai anak-anak, orang dewasa maupun orang tua, tidak kenal waktu terucapkan sepanjang 24 jam, terjadi di mana-mana baik di rumah, di masjid, di lapangan, di pasar, di desa, di kota dan tempat-tempat lainnya. Kalau kita bayangkan, kata ‘maaf’ ada di mana-mana, seperti ‘lautan maaf’. Kata- kata itu menjadi kata yang ringan untuk diucapkan, semua orang dengan tulus dan penuh senyum menyampaikan itu, baik pada saudara dekat maupun pada orang-orang yang terbilang tetangga jauh. Tidak seringan hari biasanya untuk mengakui kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan dan kelalaian itu.

Kata ‘maaf’ menjadi seperti penyempurna kegiatan ibadah puasa yang telah dilakukan selama satu bulan penuh. Dengan ucapan itu seolah-olah beban berat yang mengganjal di hati kita menjadi berkurang banyak, rasa salah dan berdosa kepada orang tua, keluarga, tetangga, teman, serta handai taulan lainnya sepertinya menjadi ‘kosong-kosong’ atau impas atau diumpamakan kertas kotor menjadi lembaran kertas yang putih bersih kembali. Lautan ‘maaf’ memiliki implikasi melahirkan hubungan baru yang lebih baik, cair, meredam gelombang amarah, kebencian, di mana-mana orang-orang mencoba membangun kembali persaudaraan, mempererat tali silahturahmi.

Ungkapan maafpun menjadi beragam, kreatif, sering mampu menyentuh rasa hingga kita ‘bungah’, tersenyum, kagum, salut, bahkan sampai ketawa karena lucunya. Tidak jarang ucapan itu kemudian dipakai oleh kita untuk mengucapkan ‘selamat idhul fitri’ kepada orang lain, demikian seterusnya terjadi efek bergulir atau evek ‘bola salju’ kalau ucapan itu menyentuh hati. Sehingga tak jarang dengan cepat seperti penyebaran virus ucapan itu mengganda terkirim ke mana-mana. Bagi yang kreatif, tidak pernah ada yang menuntut ucapannya ‘diplagiasi’, mereka mungkin malah senang-senang saja bahkan terpicu untuk membuat ucapan yang lebih bagus di tahun berikutnya. Bagi yang malas dan tidak bisa membuat ucapan yang ‘beraroma seni’ bisa brossing di internet, tinggal ketik ucapan lebaran, maka akan tersedia berbagai ucapan pilihan yang mungkin bisa cocok.

Kata maaf yang kita ucapkan dengan tulus dan iklas adalah obat nurani, obat batin yang mujarab untuk mengobati rasa amarah, dengki, iri, cemburu, salah, yang mengotori hati kita. Dengan demikian pasca terjadinya lautan maaf, terjadinya kebanyakan orang saling mengucapkan maaf, saling berjabat tangan tanpa paksaan. Terbayang harapan ‘kehidupan’ pasca puasa yang lebih baik karena amarah, dengki, iri, cemburu, salah menjadi sirna atau setidaknya berkurang banyak. Lautan maaf harus mampu melahirkan kesejukan seperti sejuk yang diakibatkan oleh angin laut, harus mampu memberi kebahagiaan dan kegembiraan seperti cerianya para nelayan yang membawa ikan setelah melaut, harus mampu memberi kegigihan hidup seperti kegigihan ombak memecah karang yang kukuh.

Setelah kita menjalankan puasa, lalu bertakbir, tasmid dan tahlil mengagungkan nama Allah lalu keesokan di hari fitri saling memaafkan sesama, hingga di mana-mana terdengar kata maaf diucapkan maka tantangan kita ke depan adalah bagaimana bisa ‘berubah’, bisa hijrah ke hal yang lebih baik, misalnya menjadi lebih kuat, bukan menjadi kasar; menjadi baik, bukan pura-pura baik; menjadi berani, bukan menjadi penggertak; menjadi rajin berpikir, bukan pemalas; menjadi rendah hati, tapi bukan penakut; menjadi bangga, tapi bukan menjadi sombong; mempunyai rasa humor, tapi tanpa kebodohan dan kekonyolan. Kita yang bisa saling memaafkan adalah pemenang dan telah terbukti kuat. Kata Gandhi ‘orang lemah tidak pernah memaafkan, memaafkan adalah sifat orang kuat’. Guru laku yang lain mengatakan ‘ memaafkan adalah pembalasan dendam paling manis’.

Selasa, 07 September 2010

MOMENTUM PERUBAHAN


Aku sempat katakan pada temenku muda Cak Bod, bahwa perumpamaannya tentang puasa yang disepadankan dengan perubahan ulat jadi kepongpong lalu jadi kupu-kupu adalah tepat, adalah mengena. Puasa dan upaya dzikirnya ulat adalah sebuah gambaran tafakurnya mahluk menjalankan ‘munajat’ kepada Sang Kholiq dalam rangka keinginan merubah nasib, merubah perilaku hidup. Ulat siapa yang suka, rakus menyebalkan, bulunya gatal menjijikan, merusak, cenderung mendorong kita untuk membunuhnya dengan berbagai cara. Melalui puasa ia mampu berubah dirinya menjadi kupu-kupu yang menyenangkan, menggembirakan, membantu penyerbukan, wataknya berubah seratus delapan puluh derajat dengan wujud awalnya sehingga siapapun menyayanginya.


Subhanallah. Jadi kalau kita melihat fenomena kejadian metamorphosis alam di atas, tentu akan terbersit pemikiran bahwa puasa sesungguhnya adalah ‘proses untuk menjadi’ dan bukan ‘substansi akhir’ yang bisa menggambarkan perolehan peribadahan kita kepada Allah. Kalau dengan puasa ulat bisa merubah dirinya menjadi kupu-kupu, atau mampu berproses melakukan perubahan ‘berperangai buruk’ menjadi ‘berperangai santun’. Maka kita harus pula punya ukuran perubahan yang setidaknya memiliki nilai yang sama, yaitu memiliki nilai ‘metamorfosis’ yang bermakna merubah perangai buruk kita yang ada selama ini dengan perangai yang lebih baik. Untuk yang rakus dan serakah harus mampu menjadi ‘bisa berbagi’, yang tamak dan sombong harus mampu menjadi santun dan rendah hati, yang tadinya jorok dan masa bodoh harus menjadi bersih dan suka peduli.


Jelas artinya, bahwa ketika orang berpuasa (baca: menjalani proses perubahan) semestinya pada akhir kegiatan puasa akan dapat kita lihat ‘hasilnya’ berupa suatu perubahan. Bagi yang benar-benar berpuasa maka perubahan fisik tentu akan terlihat dengan jelas, badanya akan nampak lebih ramping, lebih menarik, lebih sehat, seperti ulat berubah menjadi kepompong dan harus disadari hal itu belum final. Puasa harus melahirkan perubahan substantif, berupa perubahan perilaku dari perilaku yang dibenci Allah ke perilaku yang dicintai Allah. Tanpa adanya produk perubahan berarti puasa kita belum menjadi ‘proses’ bermakna, bisa jadi puasanya masih puasa formalitas, puasa yang hanya bermakna menahan lapar dan haus dan tidak sebagai mediasi peningkatan ‘iman dan islam’ kita.


Dalam kontek berpikir, fenomena alam menyangkut perubahan ulat menjadi kupu-kupu bisa menjadi pembelajaran positif hidup kita. Kata orang bijak bahwa ‘mustahil akan ada kemajuan atau perbaikan hidup tanpa perubahan, perubahan butuh keberanian diri dan usaha keras. Kita harus berani mengambil keputusan mengubah pikiran kita, memantapkan keyakinan kita, meluruskan dan membenarkan tindakan kita, jangan ragu walau sering menjadi berbeda dengan orang lain. Ingat, bahwa orang yang tak dapat merubah pikirannya tidak akan bisa mengubah apa-apa. Perubahan yang paling bermakna dalam hidup adalah perubahan sikap. Sikap yang benar akan menghasilkan tidandakan dan output yang benar’.


Ritual puasa ramadhan bagi umat Islam bangsa ini yang mayoritas akan sangat tepat bila dijadikan sebagai media untuk perubahan ‘moralitas’ yang dirasakan makin merosot tajam. Suburnya tindakan korupsi, nepotisme, kolusi yang menggiring kepada pengayaan segelintir orang dan meningkatnya jumlah masyarakat miskin, pengangguran, kriminalitas dan kebodohan. Puasa harusnya mampu membuka mata bangsa ini untuk berani mengatakan merah itu merah, putih itu putih, harus berani memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar. Harus bisa menjadi momentum perubahan setidaknya minimal bagi tiap-tiap yang menjalankan ibadah puasa menjadi ‘kembali bersih’ di akhir bulan ramadhan, menjadi fitri di hari ‘lebaran’ dan menjadi lebih baik di kehidupan berikutnya. Amin.

Selasa, 31 Agustus 2010

BULAN INVESTASI



Sekarang bulan Ramadhan atau popular dengan bulan puasa, menurut keyakinan umat Islam bulan ini adalah bulan baik bulan penuh berkah dan barokah. Bagi kebanyakan orang bulan puasa adalah bulan di mana melakukan rukun islam ke empat, yaitu belajar menahan napsu, terutama makan dan minum serta hal yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Bagi yang lain bulan puasa tidak sekedar menjalankan kewajiban berpuasa tetapi juga memperbanyak kegiatan ibadah, seperti melaksanakan sholat-sholat sunah, tadarus, dzikir, itikaf, dan ibadah lainnya.


Guru spiritualku mengatakan bahwa bulan puasa adalah bulan yang tepat untuk investasi laku kebaikan, beliau bilang ‘Goodness is the only investment that never fails’, kebaikan adalah investasi yang tidak pernah gagal. Pada kegiatan di bulan puasa selayaknya kita tidak melulu menekankan ibadah saja, kita perlu aksi nyata setelah memahami rasa lapar, memahami betapa nikmatnya berbuka puasa. Kita harus sadar bahwa dalam keseharian tidak sedikit orang yang selalu kelaparan, rasa lapar sudah menjadi sahabat keseharian tidak saja di bulan puasa. Berbagi rizki , kebahagian, rasa senang, membantu yang kesusahan, yang teraniaya, yang tertindas adalah beberapa kebaikan. Bagi semua orang terutama bagi orang yang tidak mampu memberi senyum, berempati, perhatian, rasa peduli adalah kebaikan yang paling murah.


Puasa kata guru spritualku lagi, semestinya harus difahami tidak sekedar mengandung pesan mengajak kita menempa batin untuk meningkatkan spiritualisas masing-masing, tetapi juga memiliki pesan yang mengajak kita untuk peduli kepada orang lain yang nasibnya kurang menguntungkan disbanding kita. Tidak sedikit pada saat bulan puasa orang-orang justru mengeluarkan belanja lebih dari biasanya untuk alasan mengahargai keluarganya yang berpuasa, survey di beberapa kota besar di Indonesia menggambarkan kenaikan belanja makanan naik hingga 30 persen. Puasa tidak lagi bisa menjadi pembelajaran hidup berkesederhanaan, tetapi justru berlebihan karena lantaran pada saat buka hidangan yang disajikan beragam hingga akan ada makanan yang tidak termakan.


Puasa mestinya bisa lebih diarahkan untuk membangun empati sosial kita, menjadi kritik dan koreksi terhadap nilai-nilai kapitalisme dan materialisme yang kian mengganggu dan merusak kesadaran spiritual masyarakat kita. Bagaimana kita melakukan puasa tanpa kemanjaan yang bertolak belakang dengan makna puasa itu sendiri yang semestinya segalanya termasuk makan dan minum bisa lebih sederhana dari keseharian tetapi tetap produktif dan spiritualistis. Bukan malah sebaliknya hidangan buka dan sahur diada-adakan, tidak hemat, dan cenderung mubajir. Terus produktitas menurun atas alasan lemas, memperbanyak ibadah, bahkan ada yang berasumsi tidur untuk meraih pahala. Sesungguhnya kalau ada dana yang lebih, atau energi yang tersisa sebaiknya di bulan suci ramadhan ini bisa disalurkan untuk investasi kebaikan, sebuah investasi yang pasti, terlebih bila dilakukan di bulan baik seperti ini.


Investasi kebaikan di bulan puasa bisa dilakukan dengan cara yang sederhana, misalnya dengan menolong orang yang sedang berkesusahan, sekecil bentuk pertolongan kita akan mempunyai nilai di hadapan Allah, berbagi hidangan untuk buka puasa, mengingatkan kelalaian orang, mengajak melakukan tindakan yang jujur, sabar, iklas, selalu ramah, murah senyum dan lai-lain. Bagi yang berkemampuan bisa akan lebih banyak peluang untuk berlaku kebaikan, selain melakukan hal di atas bisa dan memiliki peluang untuk memperbanyak amal, derma, sodakoh, zakat, dan yang lebih bagus lagi bisa memodali usaha sosial untuk mengatasi problem kemiskinan dan memerangi kebodohan. Karena dari problem kemiskinan dan kebodohan segala problem bangsa ini berakar, mengurangi permasalahan pada aspek ini akan mengurangi problem amoralitas, semacam : korupsi, perampokan, madat, prostitusi dan lain-lain. Mari kita mulai investasi dari yang kita bisa.

Senin, 30 Agustus 2010

BERDAMAI


Sering kita dihadapkan pada suatu kondisi yang tidak tepat, tidak benar, tidak cocok dengan harapan kita. Kita ingin perjalanan lancar ternyata jalanan macet, kita ingin laporan kerja segera terselesaikan tiba-tiba lampu mati hingga kita tidak bisa bekerja. Kita ingin mendapatkan hasil kerja yang maksimal ternyata hasilnya tidak memenuhi standard minimal. Kita ingin berlayar dengan cuaca yang cerah ternyata malah berbadai. Itu sebagian gambaran kondisi yang sering menjadi realita yang yang harus kita hadapi dan acap bisa membuat kita kecewa, marah, frustasi, kalau kita tidak segera mampu mengatasi keadaan.

Pada kondisi demikian kita harus mampu berdamai dengan diri kita sendiri, karena dengan cara demikian kita bisa menhindari atau minimal mengurangi rasa kecewa, marah, frustasi yang muncul, dan bisa berpikir jernih mencari solusinya atau setidaknya mengkondisikan perasaan agar menjadi lebih nyaman. Seorang teman yang tidak mau stress, tidak mau menjadi korban lingkungan yang makin tidak terprediksi, cenderung berkompromi dengan keadaan itu dengan malah ‘mencoba menikmatinya’. Sebab melahirkan kegelisahan, amarah atau apapun kalau memang kita tidak bisa banyak berbuat untuk mengatasi permasalahan yang ada dihadapan kita tersebut menjadi percuma saja, malah menjadi tambah beban. Contohnya ketika kita berada di jalan yang macet, apa yang bisa kita lakukan kecuali mencoba menikmatinya.

Berdamai dengan diri sendiri adalah ibarat menyelaraskan antara injakan rem dan gas dalam mengendarai mobil, merupakan upaya agar bisa mengikuti kondisi jaln. Tetapi jangan salah artikan bahwa berdamai dengan diri sendiri adalah sebuah kekalahan, sama sekali tidak. Berdamai dengan diri sendiri adalah justru merupakan keberhasilan, tidak mudah menenangkan atau menaklukan diri sendiri. Kecenderungan orang sukses menaklukan puncak-puncak gunung tinggi, menaklukan ganasnya gelombang samudra, menjinakan kuda liar, dan lain-lain tetapi malah sulit menaklukan dirinya sendiri. Bagaimana bisa menaklukan diri sendiri, karena umumnya kita juga banyak lupa memperhatikan diri, mulai tubuh, pikiran, harapan-harapan, cinta, dan segala keterbatasannya.

Untuk itu, agar kita bisa berdamai dengan diri sendiri atau berdamai dengan kondisi apapaun yang mewarnai keadaan lingkungan kita, kita perlu banyak belajar memahami. Pertama dan utama adalah memahami diri kita, siapa kita, bagaimana kondisinya fisik, ekonomi, spiritual, sosial, apa cita dan harapan-harapannya, dan hal-hal lain yang kadang sering disepelekan misalnya kebiasaan. Upaya memahami sejauh mana fenomena diri kita akan menentukan sejauh mana kita bisa berdamai dengan diri kita sendiri. Jangan berharap kita bisa berdamai dengan diri kita mana kala kita tidak perduli pada kondisi diri kita sendiri.

Kalau kita bisa berdamai dengan diri kita, maka kita bisa mengatur dan merubah pikiran kita, kita bisa menyemai doktrin-doktrin positif pada pikiran kita, walau ia sedang berada pada kondisi yang kurang menguntungkan. Jika pikiran kita bisa menerimanya dan hati kita mempercayai hal itu maka kita didorong bisa melakukan hal yang kita pikirkan tersebut. Situasi yang kurang menguntungkan minimal tidak akan menguras kembali energi akibat rasa kecewa, marah, frustasi yang bisa muncul, malah sebisa mungkin suasana kurang menguntungkan itu bisa menjadi sumber inspirasi, menghibur atau malah produktif.

Harus disadari bahwa tanpa berdamai dengan diri sendiri kita akan selalu merasa resah, kalah dan bahkan mungkin saja binasa. Modal dasar untuk bisa berdamai mengerti dan memahami diri tentu saja diperlukan sifat dan sikap kejujuran, watak, integritas, iman, cinta dan kesetiaan. Kejujuran, watak dan integritas pada diri akan menjauhkan kita dari sikap dan perilaku munafik, sementara iman akan membimbing kita menjauhi hal-hal buruk dan selalu berjalan di jalan Illahi, lalu cinta dan kesetiaan akan memberi warna hidup di dunia ini menjadi lebih bahagia, indah, dan bermakna.

Jumat, 27 Agustus 2010

BAHAGIA TANPA SYARAT



Seorang teman lama tiba-tiba saja muncul di rumahku, rupanya dunia maya memudahkan tempat tinggalku diendus olehnya. Dalam sekejap kami jadi asyik, kami bertutur panjang lebar tentang hidup masing-masing, bayangkan dua puluh lima tahun kami tidak pernah berjumpa, jadi ketika berjumpa rasanya kami asyik melepas kekangenan. Sebagai ekspresi kerinduan, rasa hormat dan empati kami saling bercerita, aku merasa asyik mendengarkan apa saja yang ia katakana, pun kayaknya demikian sebaliknya ketika aku yang cerita, tentu tak lupa sambil makan singkong goreng hasil tanam sendiri. Harap maklum di kampung yang paling mudah disajikan ya makanan seperti itu, dan istriku paling tau bahwa menyajikan ‘singkong dan derivatnya’ itu lebih menarik bagi orang kota dibanding menyajikan kue kalengan yang mungkin sudah membosankan karena biasa mereka santap.



Berbincang dengan teman lama, seperti layaknya memutar film documenter, tiap cerita menjadi kan kita ingat banyak hal yang dulu pernah dialami bersama. Kadang kami jadi tertawa kalau kami ingat hal-hal yang lucu, kadang harus bersyukur karena solidaritas pertemanan kami benar-benar teruji, tapi kadang kami juga menjadi prihatin ketika teringat nasib buruk yang menimpa beberapa teman. Beberapa teman teman kami mati muda karena kecerobohan hidup dan kurang perhatiannya orang tua, ada juga sekarat karena obat-obatan, ada juga yang terpaksa kawin muda karena pacarannya kebablasan hingga hamil duluan. Kilas balik itu akhirnya melahirkan sebuah pertanyaan yang awalnya entah dari mana yang prinsipnya membuat kami diam. Pertanyaannya sederhana ‘ Apakah kamu bahagia ?’



Kami akhirnya diskusi tentang kebahagiaan, aku katakana pada temanku bahwa aku punya blog dan pernah menulis tentang kebahagiaan atau sedikit perenungan tentang bahagia. ‘Saya tertarik pada konsep dalam Islam tentang bagaimana sebaiknya kita selalu berusaha mencari jati diri sebagai hamba (makrifatullah). Memahami ‘kehambaan’ akan banyak membantu kita selalu syukur, tidak sombong dengan perolehan harta, kedudukan, ketenaran, kemolekan dan lain sebagainya. Menyukuri apa yang kita dapatkan setelah upaya kita menghidupi hidup, dan mampu memaknai dan mengevaluasi berbagai peristiwa yang menghiasi hidup kita termasuk yang menyedihkan sekalipun adalah ‘ruh bahagia’. Kataku padanya, ia tersenyum ketika kutunjukan blog cakrawala beningku.



Temanku satu ini adalah salah satu teman yang dari kecil suka pemikiran, aku ingat ia pernah membuat gaduh pengajian ahad pagi ramadhan di masjid besar di kota kelahiranku dengan bertanya hal mendasar tentang ke-Tuhan-an yang jelas-jelas sering menjadi wilayah tabu untuk ditanyakan bagi kebanyakan orang. Pertanyaannya kalau dicermati sudah mengarah ke ranah ‘filosofis’ tentunya. Contoh pertanyaannya rasanya tidak perlu saya sampaikan, yang jelas mempertanyakan keberadaan Tuhan tetapi sesungguhnya dimaksudkan untuk menguatkan keimanan.



‘Bahagia menurutku adalah sesuatu yang hanya bisa kita rasakan bila kita tidak menetapkan syarat apapun untuk itu. Kalau dengan syarat berarti kita masih belum bahagia sepenuhnya, belum iklas, mungkin masih kebahagian pribadi, sesaat, atau semu. Kebahagian tidak bisa dicari, kalau dicari berarti ada gambaran, ada ciri, ada ukuran, ada syarat. Kalau ada ukuran dan syarat tertentu mengenyangkut hal yang membahagiakan maka yang akan terjadi adalah kebahagiaan yang kurang atau kondisi yang kurang bahagia, lantaran ukuran dan syarat akan berubah mengikuti waktu dan rasa ketidakpuasan juga selalu muncul. Bahkan jika kebahagian kita kejar maka kebahagiaan itu akan makin menjauh dari kita. Kita mesti memahami ‘hakekat’ sumber yang menyebabkan perasaan yang demikian. Kebahagiaan sejati adalah anugerah Illahi yang akan datang sendiri manakala kita benar-benar layak dan siap menerimanya, jadi syarat justru bukan di kita, tetapi dari Allah’. Nah benarkan, kata-katanya menjadi sulit kita telaah manakala ia mulai bicara hakekat.



Sang teman kemudian mengibaratkan kebahagiaan seperti kupu-kupu, ada-ada saja pikirku. Sering kita lihat ketika jumpai kupu-kupu lalu kita kejar maka sudah dipastikan kupu-kupu itu akan terbang dan terbang makin menjauh, tetapi manakala kita diam jauh dari rasa ingin merengkuh kupu-kupu, justru kupu-kupu itu akan datang menghampiri kita dan tanpa takut dia hinggap di tubuh kita, mengajak bercanda dengan kita.



‘ Itulah kehidupan, untuk mendapat kebahagiaan sejati seseorang harus banyak bersyukur, berupaya membangun kesolehan diri dan keluarga, mencari dan berbagi rejeki dan harta yang halal, hidup dan menghidupi lingkungan yang agamis dan humanis, serta memanfaatkan barokah umur untuk selalu menempuh jalan yang diridhoi Allah. Kebahagiaan akan menghampiri siapapun yang mampu memahami bahwa segala sesuatu terjadi karena Allah, dari kesadaran itu akan melapangkan dada dan hati kita untuk selalu bisa menerima rejeki, nikmat, cobaan, godaan, dan tetap selalu bersyukur serta iklas memelihara kewajiban ibadah kita kepada Allah. Tidak perlu kita buat kriteria bahagia, yang perlu kita lakukan adalah memenuhi syarat agar kita bahagia seperti yang dijanjikan Allah ‘.