Jumat, 12 November 2010

BADAI PASTI BERLALU


Dalam perjalanan tugas peranggrekan dari Balikpapan ke Samarinda, aku mendapatkan teman ngobrol yang mengasyikan. Lelaki separuh baya, yang sebelumnya sepanjang setengan perjalanan sering tersenyum-senyum sendiri, terutama pasca hpnya berbunyi ‘thing….’ dan matanya berulang mengeja kata-kata pesan singkat yang diterimanya. Tanpa rasa canggung ketika kami sudah saling kenal dan mulai banyak saling membuka diri. Teman tadi menjelaskan alasan kenapa dia tadi senyum-senyum sendiri, ia tengah asyik berkomunikasi dengan mantan kekasihnya dulu. Komunikasi yang positif, yang menurutnya mereka sama-sama menyadari bahwa mereka telah mempunyai kepemilikan sendiri-sendiri yang harus dihormati. Tetapi mereka juga sadar, bahwa sejarah hidup masa lalu adalah pondasi yang menguatkan kehidupan masa kini dan menjadi kekayaan yang tidak bisa dibeli.

“ Mas, semua masa lalu kita tentunya banyak menjadi hikmah dan pelajaran yang bisa kita petik untuk menjadikan kita lebih dewasa. Yang pasti tentunya suka duka dan kecerian masa lalu kita, tak bisa aku hapuskan. Saya sangat bersyukur atas semuanya “. Bunyi sms dari mantan kekasihnya dulu yang ditunjukkan kepadaku, ungkapan sebagai bentuk penggambaran bahwa mantan kekasihnya yang menurut pengakuannya ‘cantik’ bersama dengan dirinya memandang positif masa lalu dan menjadikan hal itu sebagai tempaan masing-masing yang harus dialaminya, Sang teman lalu juga menunjukan foto kekasihnya dulu yang ia simpan di hape, aku merasa ia tidak berbohong, memang perempuan yang tergambar di hapenya cantik. Samar terlihat perempuan dengan rambut agak keriting tergerai sebahu, kaos warna gelap, kacamata di atas kepala, tubuh berisi, senyum yang menawan, di belakangnya ada pantai seperti Pantai Kuta.

Sang teman kembali bercerita, bahwa kekasihnya dulu dirasa sedikit ada yang disembunyikan seperti sebuah kegelisahan, tetapi itupun belakangan baru diketahuinya setelah mereka berpisah. Memang antara dia dan kekasihnya cukup banyak perbedaan, tetapi ia tulus menyayangi perempuan yang pertama dicintainya. Kesadaran akan kegundahan kekasihnya tercermin dari lagu yang sering didendangkan, yaitu ‘badai pasti berlalu’. Satu sisi kalau kita tidak cermati, lagu itu seperti lagu biasa seperti lagu umum pada jamannya, yang suapapun boleh dan bisa mendendangkannya. Tetapi kalau kita lebih cermati aku rasa itu menggambarkan sebuah kegelisahan hati, tetapi di sisi lain sekaligus juga ungkapan harapan. Dan ketika lagu itu selalu saja ternyanyikan melalui stimulasi rasa, maka sesungguhnya lagu itu terus melahirkan dan membangun kepercayaan, yaitu kepercayaan bahwa badai akan berlalu. Keyakinan dan kepercayaan itu yang kini dia lihat mengantar pada pendewasaan dan ketentraman mantan kekasihnya. Dulu banyak deritanya, sekarang Nampak banyak ceria karena sudah mendapat tetes embun dan matahari pagi. Tetapi itu sekilas, karena saya juga tidak tahu apa di balik yang terlihat , simpul sang teman lalu menyanyi.

awan hitam di hati yg sedang gelisah
daun-daun bergugurans atu-satu jatuh ke pangkuan
tenggelam sudah ke dalam dekapan
semusim yg lalu sebelum ku mencapailangkahku yg jauh
kini semua bukan milikku
musim itu tlah berlalumatahari segera berganti

badai pasti berlalu
badai pasti berlalu
badai pasti berlalu
badai pasti berlalu

gelisah ku menanti tetes embun pagi
tak kuasa ku memandang datangmu matahari

Aku tertegun pada teman seperjalananku, mendengar tutur ceritanya jelas tergambar ia begitu hormat dan menyayangi pendendang ‘badai pasti berlalu’ dalam cerita masa lalunya. Kalau begitu ada benarnya orang bilang cinta tidak harus memiliki, cinta bisa jadi cuma jalan belajar kasih sayang, jalan belajar mengerti kata hati, jalan belajar mengerti hati orang lain yang kita cintai, juga jalan memahami ‘ketidaktahuan’ kita tentang ketentuan Tuhan yang harus kita alami. Berarti sesungguhnya ketika kita menyadari dan mau mengerti tentang hal itu maka kita sesungguhnya sedang ditempa untuk bisa belajar bersabar, lebih intropektif, tidak perlu berduka berlama-lama, tidak perlu tergopoh-gopoh menyalahkan orang ke tiga dalam fenomena cinta mencintai. Percuma saja melahirkan kedengkian, karena kededengkian justru akan merusak hidup kita, cinta kita yang memang harus melalui jalan mendaki, berjurang, berlumpur sebelum sampai pada taman firdous impian kita.

Merasa salah wajar, merasa gundah itu manusiawi, tetapi kesalahan dan kegundahan bagi orang yang intropektif dan meyakini keagungan spiritualitas Yang Maha justru bisa menjadi energi doa yang ‘ngijabeni’. Tuhan Maha Pengasih, seburuk apapaun kita menentang perintahNYA, menyia-nyiakan waktu yang diberikan pada kita, Ia tidak pernah mengurangi udara segar yang diberikan pada kita tiap detik, tetap memberi 24 jam waktu sehari untuk berbagai aktivitas. Maka dari itu kita harus selalu bersyukur, kita harus selalu berdoa, kita harus mau kerja keras. Sadar tidak sadar bahwa ‘dendang badai pasti berlalu’ yang sudah menyatu hati, mempunyai daya spiritualitas yang dasyat, yang bisa merubah banyak hal menyangkut kita. Kita perlu mendayakan perubahan hidup dengan apa saja, termasuk masa lalu. Ada nasehat bijak yang bisa kita renungkan, ‘ konon semakin kita bersedia bertanggung jawab dan menghargai atas perbuatan kita di masa lalu, semakin banyak kredibilitas dan nilai positif yang akan kita miliki”.

Aku lihat ketika Inova yang kami tumpangi menyeberangi sungai Mahakam yang penuh tongkang batubara dan kayu gelondongan, sang teman mulai menuang kata-kata yang jelas aku bisa membacanya:


KAU dan AKU

Kau adalah seperti angin yang bisa membuat aku
si baling-baling yang biasanya diam di atas wuwungan rumah jadi tergetar .......lalu berputar seperti lantunan gegamelan yang menghidupkan aku
si penari gambyong yang sebelumnya melenggok tanpa sukma
seperti boneka berbie yang bisa mendiamkan aku
si anak kecil yang merengek dalam kesendirian seperti ............

Apakah aku seperti sang perupa yang bisa memperindah kau
si kanvas putih di sudut rumah menjadi lukisan panorama yang lebih bermakna
seperti bulan purnama yang penuhi rindu kau si penyair pemuja cahaya di gelap malam
yang menggerakan sendi-sendi tubuh dan pikirannya tuk berpujangga
seperti semburat cahaya putih yang melengkapi kau si siluet sore hari
dengan matahari warna tembaga, pohon-pohon nyiur,
tonggak kapal-kapal nelayan warna gelap yang dipuja banyak manusia

Siapakah kau dan siapakah aku
kata angin bukan substasi yang perlu dipertanyakan
sejatinya kita sudah terpilih di dunianya sendiri dan punya kepemilikan sendiri-sendiri
tapi waktu mempertemukannya sebagai sumber kesadaran, bahwa :
ketika ada yang kurang dalam diri kita tentu
akan ada kecenderungan yang melengkapinya
ketika ada yang lebih dalam diri kita
tentu akan ada kecenderungan yang menerimanya

Aku termenung, ada saja pembelajaran hidup aku cacat antara Balikpapan – Samarinda. Seorang teman baru mempertontonkan olah pikirnya dan sekaligus menstimulasi diriku. Aku berpikir, ternyata tidak cukup punya pikiran yang baik saja, yang penting bagaimana kita menggunakannya dengan baik. Mudah-mudahan aku bisa, kita bisa.


Samarinda, November 2010
Untuk : kau pemberi bunga pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar