Sabtu, 31 Juli 2010

KIAT MELAYANI


Aku baca tulisan perdana pada blog temanku yang baru dipublis, aku tertarik, ternyata temanku satu ini tidak saja cantik ternyata juga punya bakat menulis. Sesuai kerjanya, tema tulisan teman berkaitan dengan kegundahan dia pada cara kolega dia dalam ‘melayani’ tamu-tamu dari luar negeri (baca: turis) yang sering kurang menyenangkan. Teman saya ini memiliki usaha sebuah jasa ‘rencar, tour & trevel’ di Jogjakarta dan dalam kerjanya tidak mungkin sendiri tetapi selalu bekerja sama dengan pihak lain terutama hotel, pengelola obyek wisata, atau sesama pengusaha lingkup jasa wisata.

Seperti yang ia ceritakan, keluhan terbanyak adalah menyangkut pelayanan yang tidak enak yang dilaporkan oleh pengguna jasa baik secara langsung maupun saat mereka sudah balik dan berada di negara asalnya, dan biasanya mereka berkomunikasi melalui email. Teman saya berharap kejadian tersebut bisa menjadi pembelajaran dan menjadi cambuk untuk niat berubah. Pariwisata Indonesia akan maju dan berkembang bila cara kita ‘melayani’ tamu-tamu wisata mampu memberi kesan yang menyenangkan hati mereka.

Memikirkan problem temanku, aku teringat pada cerita saudaraku yang jadi dokter yang selalu membanggakan pelayanan di tempat kerjannya ’sebuah rumah sakit’ di Jawa Timur yang sangat bagus pelayanannya dan masyarakatpun mengakuinya. Saya kira masyarakat atau insan pariwisata bisa mengadopsi prinsip-prinsip pelayanan yang diterapkannya. Rumah sakit itu menerapkan enam prinsip melayani, yaitu: charity, competence, care, commitment, continuous, dan consistent. Bagaimana sih jabarannya.

Dalam melayani kita harus ‘charity’ atau murah hati. Caranya dimulai dengan memahamkan diri, menanamkan pengertian dalam hati untuk mencintai pekerjaannya. Hanya dengan cara ini kita bisa bekerja dengan rasa tulus dan iklas, ketika melayanipun kita bisa dengan mudah tersenyum dan gembira. Energi murah hati akan menyenangkan yang dilayani, dan itu akan secara otomatis menjadi ‘bola salju’ promosi untuk kita secara gratis, karena mereka akan bercerita bagaimana indahnya negeri kita dan ramah serta murah hatinya kita.

Untuk pelayanan yang bagus dibutuhkan juga prinsip ‘competence’ atau penguasaan pada pekerjaan kita. Artinya penguasaan pekerjaan bidang kepariwisataan tentu tidak mungkin dipercayakan kepada sembarang orang yang tidak mengetahui hal itu, dan harus diberikan pada mereka yang kompeten di bidangnya. Bidang wisata tentu memiliki standart pengetahuan, standard skill, aturan main, atau prasarat. Pendek kata profesionalisme bidang pariwisata harus tercermin dan menjadi motivasi yang kuat untuk mematuhi dan menjalankan sebagaimana mestinya hal-hal itu.

Untuk melayani dengan baik harus juga dibangun sikap ‘care’ atau peduli dan penuh perhatian. Kepedulian dan penuh perhatian akan tercermin pada sifat kita yang mudah ‘empati’ pada persoalan yang ada, kita selalu siaga dan selalu siap untuk memenuhi harapan dan kebutuhan tamu-tamu kita. Untuk itu memahami siapa mereka, kebiasaan mereka, kebutuhan mereka, pantangan mereka serta hal lain yang mukin tidak begitu penting untuk kita pribadi tetapi menjadi kunci seberapa jauh kita berlaku ‘care’ pada mereka.

Tidak kalah penting dalam melayani dibutuhkan sikap ‘comitmment’ atau tekad, kemauan yang kuat untuk merealisasikan janji. Harus diakui kebanyakan turis yang ‘gondok’ dan berkelu kesah karena problem menyangkut hal ini. Tidak sedikit cerita, bahkan penulis baru saja merasakannya beberapa hari yang lalu ketika tour ke Singapure, biro jasa tour & trevel tidak menepati janji sesuai kesepakatan awal, jadwal tidak ditepati, hak turis tidak dipenuhi, informasi sangat5 terbatas. Komitmen yang kuat tercermin pada kita yang jujur, terpercaya karena tepat janji dan selalu berupaya bekerja dengan tuntas dan memuaskan.

Mencitrakan baiknya ‘pelayanan’ kita harus pula dibarengi dengan prinsip ‘continous’, yaitu menjadikan proses koreksi, perbaikan dan menjaga kualitas layanan menjadi hal yang tidak pernah berhenti. Hal itu harus tetap terus terevaluasi, terus melahirkan semangat kerja, melahirkan harapan. Untuk itu semua yang terlibat harus sadar, harus mau menyediakan waktu untuk kerjasama, memiliki semangat berbagi yang besar dan selalu mengembangkan hubungan yang positif.

Terakhir untuk ‘melayani’ perlu juga dijaga dengan semangat ‘consistent’ atau menjaga tekad sepanjang waktu . Tercermin dari sifat penuh motivasi yang kuat untuk menggapai dan merengkuh cita-cita. Melayani bukan pekerjaan hina, tetapi justru merupakan pekerjaan mulia dan bermartabat, mereka yang bekerja pada bidang ini harus sabar dan tidak mudah putus asa. Ada pepatah Zen Jepang, bunyinya: ‘ Dunia ini seperti cermin. Lihat saja. Tersenyumlah dan teman anda akan tersenyum balik ! ‘. Nah, jadi ketika kita dengan tulus melayani orangt-or4ang yang harus kita layani, maka sebaliknya nanti akan banyak orang yang juga akan melayani kita.

Rabu, 28 Juli 2010

SAYANGILAH TUBUH


Tubuh kata teman baik saya di Batam harus disayangi . Rasa sayang harus terus dibangun dan ditumbuhkan, rasa sayang bukan berarti berujung pada memanjakan tubuh berlebihan hingga malah tidak fungsional, atau memberi ‘budget’ yang besar untuk perawatannya, bukan begitu maksudnya. Prinsipnya coba jangan paksa tubuh untuk melakukan apa yang kita inginkan di luar kemampuan tubuh, karena tanpa disadari kita sering melakukan hal yang berlebihan kepada tubuh, misalnya dalam laku : makan, minum, kerja, tidur, melebihi kewajaran lantaran faktor gengsi sosial, tuntutan, atau ketidakfahaman tentang hidup.

Dalam kontek biologi tubuh kita sesungguhnya adalah paduan organisasi dari materi kehidupan berupa protein, karbohidrat, lemak, asam amino dan lain-lain yang kemudian membentuk sel-sel tubuh, jaringan, organ, hingga menjadi individu (in devide : tak terbagi). Paduan organisasi itu bersifat kompleks, interdependensi, berkeseimbangan, dan berketerbatasan. Tidak itu saja sifatnya, masih banyak sifat yang lain yang menggambarkan ciri sebuah kehidupan. Dalam kontek tulisan ini saya ingin memfokuskan empat sifat di atas.

Memahami bahwa tubuh kita kompleks, baik dari struktur yang membangun, proses metabolisme yang menopangnya, mekanisme tumbuh dan berkembangnya, perilaku, dan lain-lain diharapkan menyadarkan kita bahwa tubuh kita rawan. Sesuatu yang komplek lebih rumit untuk kita benahi ketika rusak dibandingkan sesuatu yang sederhana. Kesadaran ini mudahan membuat kita hati-hati memperlakukan tubuh, jangan sampai ‘kekomplekan’ yang terjaga oleh ‘kesempurnaan penciptaan’ Sang Kholiq menjadi rusak dan menjelma menjadi ‘kompleksiatas’ tak terkendali.

Tubuh itu bersifat interdependensi, saling berkait dan bergantung antara bagian satu dengan bagian lainnya. Hal inilah yang memberi kekuatan tubuh yang komplek menjadi terorganisasi dengan baik, kesalingterkaitan itu meredusif satu sama lain sel-sel, jaringan-jaringan, dan organ-organ . Semua jadi bisa jadi saling koordinatif kapan, apa, di mana hal yang prioritas oleh tubuh didahulukan prosesnya, sementara proses yang lain menunggu. Pada kondisi normal semua patuh, tidak ada yang berontak berproses semaunya sendiri, tetapi juga ada yang memang terdoktrin untuk kerja dan kerja walau pada kondisi apapun, ada juga yang terpola hanya kerja kalau tubuh berada pada kondisi tertentu.

Tubuh itu berkeseimbangan, artinya tubuh memiliki kemampuan mengatur dirinya untuk selalu berada pada tingkat tertentu yang nyaman untuk tubuh. Ketika tubuh dipaksa kerja dan kerja, maka tubuh akan memberi sinyal kecapaian, rasa ngantuk, lemas yang semua mendorong tubuh untuk diistirahatkan. Ketika tubuh kurang asupan energi, dia akan memberi tanda rasa lapar, ketika tubuh diberi makan berlebihan tubuh akan menolaknya bahkan bisa sampai memuntahkannya. Karunia tubuh yang selalu menghendaki berada pada status berkeseimbangan menolong tubuh sendiri agar tidak mengalami kerusakan dan disorganisasi.

Sifat kompleksitas yang terkendali, saling terkait satu sama lain, serta berkeseimbangan pada tubuh tersebut tetap bukan hal mengekalkan. Seperti halnya mahluk Allah yang lain tubuh juga memiliki ‘keterbatasan’ yang harus dimaklumi dan difahami. Organisasi tubuh yang rapi, terkendali, mantap tetap tidak akan mampu bertahan jika berada atau ditempatkan pada keadaan ‘tingkatan’ di luar kapasitasnya. Daya adaptasinya akan hilang dan tubuh akan merusak, organisasinya akan kacau balau bisa mulai pada tataran sel, kemudian ke jaringan organ maupun akhirnya tubuh.

Untuk itu menyayangi tubuh menjadi penting, agar organisasi tubuh kita tetap baik, mantap dan terkendali. Beri waktu tubuh untuk terjaga kompleksitasnya, interdependesinya, keseimbangannya dengan jalan ‘memberi porsi’ fungsi dan hak istirahatnya secara proporsional. Secara sadar harus kita beri layanan pada tubuh untuk ‘refress’ secara sadar kepada tubuh. Konon dengan cara demikian tubuh akan memberi imbalan balik berupa kenikmatan hidup yang lebih indah dari kenikmatan seksual.

Sabtu, 17 Juli 2010

RASA MALU

Bila kita simak kondisi masyarakat kita saat ini tergambar situasi perbincangan atau pemikiran yang kurang menguntungkan berupa sederetan hal-hal yang kejadian buruk pada beberapa sisi aspek kehidupan bangsa ini, coba ingat kembali peristiwa-peristiwa, misalnya: skandal suap Artalita dan jaksa Urip, kasus bank Century, skandal Ketua KPK Antasari Ashar, perseteruan Polisi dan KPK yang popular dengan ‘cecak vs buaya’, korupsi Gayus Tambunan, video syur Ariel-Lunamaya, rekening petinggi Polri dan beberapa hal yang senada yang tidak terblouw up media. Semua itu menggambarkan hal negatif yang mendera bangsa dan negara ini.

Semua itu menggambarkan betapa memprihatinkan moralitas bangsa ini, orang-orang yang jelas-jelas salah masih mampu mengumbar senyum, terang-terang di hadapan media bermain kata-kata dan emosi membela diri. Ada yang dengan dalih terfitnah, menggunakan hak warga negara, pengembangan demokrasi, pengembangan wacana, sebagai korban politik, atau alasan lainnya, mereka membela diri dengan menyewa pengacara mahal dengan biaya hasil laku buruknya. Mereka tanpa ragu secara terbuka dan bangga berani menunjukkan sikap yang jauh dari rasa malu.

Hilangnya rasa malu mereka yang berlaku keliru, salah, jahat, kriminal di negeri ini sangat memprihatinkan karena bisa menggambarkan betapa toleransinya masyarakat pada kekeliruan, kesalahan, kejahatan, kriminalitas dan itu bisa juga merefleksikan kebenaran kecurigaan bahwa masyarakat tak berdaya atau masa bodoh pada penyelenggara negara dan sistem hukum yang lemah dan kotor. Masyarakat sudah apatis terhadap perubahan, apa yang sering muncul sebagai polemik di media lama-lama terasa sebagai ‘komoditas baru’ yang menjual pepesan retorika yang maaf ‘hangat-hangat tahi ayam’. Skandal suap Artalita berakhir dengan sel penjara yang mewah untuk sang pelaku, kasus Century yang dramatis di DPR ternyata tidak jelas penyelesaiannya, dan Mr. Blower Susno yang mengungkap korupsi ternyata juga kena imbas masuk penjara.

Semua itu, kata guru spriritualku bertumpu pada hilangnya ‘rasa malu’ kita atau tidak terhidupinya tradisi pembelajaran rasa malu kita. Rasa malu sebenarnya seperti tabir, kelambu, atau pagar yang melindungi diri kita untuk tidak atau minimal mengerem tindakan tercela. Orang yang kehilangan rasa malu akan berada pada kondisi tanpa beban, ringan untuk melakukan keburukan dan akan terus berada dalam keadaan gembira dengan keadaan seperti itu. Jika orang sudah tidak punya perasaan malu, maka segala perbuatan yang memalukan sudah tidak menjadi sesuatu yang memalukan dan mengaibkan.

Mending orang gila atau kurang waras, kita semua bisa memaklumi karena pemikirannya sudah terganggu. Tetapi untuk orang yang waras tapi melakukan tindakan tak waras yaitu dengan melakukakan perbuatan yang melanggar norma-norma tata hidup, sesungguhnya orang itu telah menjadi lebih gila dari orang gila. Keduanya, baik orang gila dan orang waras yang kehilangan rasa malu sama-sama telah kehilangan nurani kemanusiaannya yang selalu bicara dan membimbingnya melakukan hal-hal baik dan menghindari perbuatan yang buruk. Sedangkan bedanya orang gila akan diam dan tidak peduli dipersalahkan, orang waras yang sengaja salah akan menolak dipersalahkan.

Rasa malu harus dan perlu dikontruksi, dibangun dan ditata melalui pembelajaran dari masa kecil hingga dewasa. Orang harus diarahkan untuk bagaimana memiliki rasa malu untuk berbuat yang negatif, tetapi jangan malu untuk melakukan hal baik. Proses pembelajarannya tidak dengan oral saja tapi dengan pendekatan teladan. Beri contoh pada generasi muda perilaku yang baik, pengakuan dan penghargaan atas perilaku baik dan benar. Kepada yang salah dan melakukan tindakan tercela, kriminal harus diberi hukuman yang setimpal tanpa kompromi, yang akan menjadi pembelajaran untuk orang lain tentang 'rasa malu' .

Rabu, 14 Juli 2010

JAKET KERENDAH-HATIAN

‘Kalau kamu ingin menggunakan pelindung diri yang paling aman maka gunakanlah ‘Jaket Kerendah-hatian’, demikian kata orang tua yang kebetulan duduk di sampingku ketika sedang gelisah menunggu jam pemberangkatan pesawat ke Batam di bandara Juanda Surabaya. Aku tersenyum mendengarnya, aku faham maksudnya karena memang sebelum orang tua itu mengatakan hal itu kami telah berbincang-bincang tentang pentingnya orang rendah hati.

Waktu itu, diskusi tentang kerendah-hatian dimulai ketika kami (yang sebelumnya tidak saling kenal) sama-sama disuguhi sebuah drama pendek di hadapan kami. Ada seorang pria muda berdandan eksklusif dan klimis tiba-tiba marah-marah kepada seseorang dengan pakaian yang sangat sederhana dan jelas lebih tua karena rambutnya saja sudah memutih. Masalahnya sederhana orang tua tersebut tanpa sengaja menyenggol perempuan menor pasangan pria perlente itu hingga menjatuhkan tas yang dibawanya dan sebagian isinya berhamburan keluar. Walau orang tua itu sudah minta maaf dan membantu memunguti barang yang jatuh, pria itu masih marah. Sesungguhnya mungkin mereka sama-sama tergesa-gesa.

‘Masa Allah, anak muda !!!’ kata orang tua yang ada di sampingku melihat drama pendek itu. Aku juga ikut menyayangkan sikap tidak toleransi terhadap ketidaksengajaan yang menyebabkan insiden itu. Karena kejadian itu, aku diuntungkan bisa tahu pikiran orang tua bernama ‘Musthofa’ yang duduk disampingku tentang bernilainya sikap ‘rendah hati’. Dalam kontek hidup, bagiku, orang seperti Musthofa yang tanpa kita sengaja kita kenal lalu bertutur tentang ‘hal baik’ maka itulah ‘golden learning’, guru laku untuk menata hidup kita yang lebih baik.

Sikap mudah marah, sombong, suka merendahkan orang lain pada intinya juga menggambarkan tingkat ketidakmatangan hidup orang itu, yang bahkan bila dirunut akan menggambarkan tingkat kematangan ekonomi, sosial, dan bahkan spiritual. Hm…… bener juga pikirku. Saya tadi sempat lihat orang tua yang bersahaja yang dicaci maki, baru keluar dari ‘exsekutive loge’, dan rasanya dia ceck in di maskapai berklas. Artinya walau nampak sederhana rasanya orang tua yang dicaci maki bukanlah orang sembarangan tapi orang berklas. Sementara itu, aku juga tahu bahwa pria muda perlente terbang dengan pesawat klas ekonomi, yang ceck in-nya antri. Tidak itu saja dengan ‘dengan juru angkut bagasi’ sempat bersitegang, mungkin uang tipnya kurang.

‘Menurut pengalaman saya anak muda, ‘ kata Bapak Musthofa sambil menepuk bahu saya. ‘Ketika orang sudah mampu mengendalikan amarah, rasa sombong, rasa tinggi hati, maka orang tersebut sudah mulai mendekati kesuksesan hidup yang sebenarnya. Orang yang tidak mudah marah, tidak sobong, cenderung akan memiliki banyak teman. Teman yang banyak akan membuka pintu rejeki yang lebih lebar, akan member jalan kemudahan usaha, mengurangi resiko kegagalan karena ada kepedulian teman, semua itu akan membuat hidup menjadi lebih enjoi dan tidak mudah stress.’ Aku cuma manggut-manggut mengiyakan.

‘Sementara orang yang mudah marah, hatinya akan diliputi rasa ketidaknyamanan, sering was-was, sering ragu, dan sering terasingkan dari teman-temannya. Orang yang demikian akan lebih tertutup kesempatannya mendapat ‘mitra usaha’, mendapat ‘peringatan dan pertolongan’ saat ia mestinya membutuhkannya. Maka dari itu untuk hidup lebih baik pakailah ‘jaket kerendah-hatian’. Karena jaket ini akan melindungi kita dari kuatnya hujan, angin, atau gelombang penyakit hati. Ingatlah ! Everyone does not like one who walks tall. ' ucap Musthofa menutup pembicaraan. Bagiku lengkap sudah pembelajaran hari ini, menunggu yang mestinya membosankan menjadi hal yang menyenangkan, terlebih setelah mendarat di Batam sahabat lamaku mas Tunggul, senyum flamboyannya mengobati rindu teman lama tak bersua plus gambaran kerendah-hatian seorang perantau yang sukses.