Bila kita simak kondisi masyarakat kita saat ini tergambar situasi perbincangan atau pemikiran yang kurang menguntungkan berupa sederetan hal-hal yang kejadian buruk pada beberapa sisi aspek kehidupan bangsa ini, coba ingat kembali peristiwa-peristiwa, misalnya: skandal suap Artalita dan jaksa Urip, kasus bank Century, skandal Ketua KPK Antasari Ashar, perseteruan Polisi dan KPK yang popular dengan ‘cecak vs buaya’, korupsi Gayus Tambunan, video syur Ariel-Lunamaya, rekening petinggi Polri dan beberapa hal yang senada yang tidak terblouw up media. Semua itu menggambarkan hal negatif yang mendera bangsa dan negara ini.
Semua itu menggambarkan betapa memprihatinkan moralitas bangsa ini, orang-orang yang jelas-jelas salah masih mampu mengumbar senyum, terang-terang di hadapan media bermain kata-kata dan emosi membela diri. Ada yang dengan dalih terfitnah, menggunakan hak warga negara, pengembangan demokrasi, pengembangan wacana, sebagai korban politik, atau alasan lainnya, mereka membela diri dengan menyewa pengacara mahal dengan biaya hasil laku buruknya. Mereka tanpa ragu secara terbuka dan bangga berani menunjukkan sikap yang jauh dari rasa malu.
Hilangnya rasa malu mereka yang berlaku keliru, salah, jahat, kriminal di negeri ini sangat memprihatinkan karena bisa menggambarkan betapa toleransinya masyarakat pada kekeliruan, kesalahan, kejahatan, kriminalitas dan itu bisa juga merefleksikan kebenaran kecurigaan bahwa masyarakat tak berdaya atau masa bodoh pada penyelenggara negara dan sistem hukum yang lemah dan kotor. Masyarakat sudah apatis terhadap perubahan, apa yang sering muncul sebagai polemik di media lama-lama terasa sebagai ‘komoditas baru’ yang menjual pepesan retorika yang maaf ‘hangat-hangat tahi ayam’. Skandal suap Artalita berakhir dengan sel penjara yang mewah untuk sang pelaku, kasus Century yang dramatis di DPR ternyata tidak jelas penyelesaiannya, dan Mr. Blower Susno yang mengungkap korupsi ternyata juga kena imbas masuk penjara.
Semua itu, kata guru spriritualku bertumpu pada hilangnya ‘rasa malu’ kita atau tidak terhidupinya tradisi pembelajaran rasa malu kita. Rasa malu sebenarnya seperti tabir, kelambu, atau pagar yang melindungi diri kita untuk tidak atau minimal mengerem tindakan tercela. Orang yang kehilangan rasa malu akan berada pada kondisi tanpa beban, ringan untuk melakukan keburukan dan akan terus berada dalam keadaan gembira dengan keadaan seperti itu. Jika orang sudah tidak punya perasaan malu, maka segala perbuatan yang memalukan sudah tidak menjadi sesuatu yang memalukan dan mengaibkan.
Mending orang gila atau kurang waras, kita semua bisa memaklumi karena pemikirannya sudah terganggu. Tetapi untuk orang yang waras tapi melakukan tindakan tak waras yaitu dengan melakukakan perbuatan yang melanggar norma-norma tata hidup, sesungguhnya orang itu telah menjadi lebih gila dari orang gila. Keduanya, baik orang gila dan orang waras yang kehilangan rasa malu sama-sama telah kehilangan nurani kemanusiaannya yang selalu bicara dan membimbingnya melakukan hal-hal baik dan menghindari perbuatan yang buruk. Sedangkan bedanya orang gila akan diam dan tidak peduli dipersalahkan, orang waras yang sengaja salah akan menolak dipersalahkan.
Rasa malu harus dan perlu dikontruksi, dibangun dan ditata melalui pembelajaran dari masa kecil hingga dewasa. Orang harus diarahkan untuk bagaimana memiliki rasa malu untuk berbuat yang negatif, tetapi jangan malu untuk melakukan hal baik. Proses pembelajarannya tidak dengan oral saja tapi dengan pendekatan teladan. Beri contoh pada generasi muda perilaku yang baik, pengakuan dan penghargaan atas perilaku baik dan benar. Kepada yang salah dan melakukan tindakan tercela, kriminal harus diberi hukuman yang setimpal tanpa kompromi, yang akan menjadi pembelajaran untuk orang lain tentang 'rasa malu' .
Semua itu menggambarkan betapa memprihatinkan moralitas bangsa ini, orang-orang yang jelas-jelas salah masih mampu mengumbar senyum, terang-terang di hadapan media bermain kata-kata dan emosi membela diri. Ada yang dengan dalih terfitnah, menggunakan hak warga negara, pengembangan demokrasi, pengembangan wacana, sebagai korban politik, atau alasan lainnya, mereka membela diri dengan menyewa pengacara mahal dengan biaya hasil laku buruknya. Mereka tanpa ragu secara terbuka dan bangga berani menunjukkan sikap yang jauh dari rasa malu.
Hilangnya rasa malu mereka yang berlaku keliru, salah, jahat, kriminal di negeri ini sangat memprihatinkan karena bisa menggambarkan betapa toleransinya masyarakat pada kekeliruan, kesalahan, kejahatan, kriminalitas dan itu bisa juga merefleksikan kebenaran kecurigaan bahwa masyarakat tak berdaya atau masa bodoh pada penyelenggara negara dan sistem hukum yang lemah dan kotor. Masyarakat sudah apatis terhadap perubahan, apa yang sering muncul sebagai polemik di media lama-lama terasa sebagai ‘komoditas baru’ yang menjual pepesan retorika yang maaf ‘hangat-hangat tahi ayam’. Skandal suap Artalita berakhir dengan sel penjara yang mewah untuk sang pelaku, kasus Century yang dramatis di DPR ternyata tidak jelas penyelesaiannya, dan Mr. Blower Susno yang mengungkap korupsi ternyata juga kena imbas masuk penjara.
Semua itu, kata guru spriritualku bertumpu pada hilangnya ‘rasa malu’ kita atau tidak terhidupinya tradisi pembelajaran rasa malu kita. Rasa malu sebenarnya seperti tabir, kelambu, atau pagar yang melindungi diri kita untuk tidak atau minimal mengerem tindakan tercela. Orang yang kehilangan rasa malu akan berada pada kondisi tanpa beban, ringan untuk melakukan keburukan dan akan terus berada dalam keadaan gembira dengan keadaan seperti itu. Jika orang sudah tidak punya perasaan malu, maka segala perbuatan yang memalukan sudah tidak menjadi sesuatu yang memalukan dan mengaibkan.
Mending orang gila atau kurang waras, kita semua bisa memaklumi karena pemikirannya sudah terganggu. Tetapi untuk orang yang waras tapi melakukan tindakan tak waras yaitu dengan melakukakan perbuatan yang melanggar norma-norma tata hidup, sesungguhnya orang itu telah menjadi lebih gila dari orang gila. Keduanya, baik orang gila dan orang waras yang kehilangan rasa malu sama-sama telah kehilangan nurani kemanusiaannya yang selalu bicara dan membimbingnya melakukan hal-hal baik dan menghindari perbuatan yang buruk. Sedangkan bedanya orang gila akan diam dan tidak peduli dipersalahkan, orang waras yang sengaja salah akan menolak dipersalahkan.
Rasa malu harus dan perlu dikontruksi, dibangun dan ditata melalui pembelajaran dari masa kecil hingga dewasa. Orang harus diarahkan untuk bagaimana memiliki rasa malu untuk berbuat yang negatif, tetapi jangan malu untuk melakukan hal baik. Proses pembelajarannya tidak dengan oral saja tapi dengan pendekatan teladan. Beri contoh pada generasi muda perilaku yang baik, pengakuan dan penghargaan atas perilaku baik dan benar. Kepada yang salah dan melakukan tindakan tercela, kriminal harus diberi hukuman yang setimpal tanpa kompromi, yang akan menjadi pembelajaran untuk orang lain tentang 'rasa malu' .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar