Kamis, 31 Desember 2009

BALADA MALANG-SURABAYA

(Catatan Akhir Tahun 2009)


Menjalani hidup selama satu setengah tahun bolak balik Malang Surabaya karena tugas belajar terasa biasa-biasa saja, heran saya, karena beberapa orang teman atau kerabat kebanyakan berkeluh kesah bahkan frustasi. Bagiku mungkin keyakinan ‘nikmati hidup’ cukup membantu mengurangi kejenuhan yang cenderung akan dialami siapapun yang secara rutin mengalami perjalanan Malang Surabaya atau sebaliknya yaitu menghadapi problem kemacetan. Memang semenjak kasus lumpur Lapindo memutus jalan tol Surabaya Gempol, problem kemacetan menjadi gangguan utama berbagai aktivitas dan produktifitas masyarakat Jawa Timur.

Cerita atau keluhan terkena kemacetan berjam-jam di jalan Porong sering aku dengar, tapi alhamdulillah aku sendiri belum pernah mengalami kemacetan yang berarti, yang aku alami paling sekedar macet biasa yang dalam hitungan menit itu sudah berlalu. Mungkin juga aku sering terbantu naluriku dalam menyikapi pilihan jalan keluar menghadapi kemungkinan kemacetan, dengan mencermati tanda-tanda dan pilihan jalan alternatif yang ada. Kalau membawa kendaraan sendiri bila di pintu tol Waru atau di Japanan sudah terlihat tersendat jalan alternatif harus menjadi pilihan.

Jadi, satu setengah tahun aku lalui dengan suka cita, mengalir begitu saja, bahkan sering menemui hal-hal menarik dalam perjalanan yang bisa menjadi sarana pembelajaran hidup untukku. Misalnya saja aku harus simpati dan salut dengan para pekerja yang memiliki semangat prima yang selalu berangkat jauh sebelum matahari terbit, hormat pada sopir bus ramah yang sering mengantar kami hingga terminal Joyoboyo, prihatin menjupai orang kehilangan barang di terminal, waspada di jalan yang penuh dengan kendaraan roda dua yang seenaknya memotong jalan, merasa aneh dengan jukir wajah khas di unair yang sering guyon dalam mengatur kendaraan, dan lain-lain.

Hikmah yang paling bisa digaris bawahi menjalani hidup selama satu setengah tahun di dua kota terbesar di Jawa Timur ini adalah ‘menguatnya kesadaran untuk bersyukur’ atas nikmat yang dikaruniakan Allah SWT kepadaku. Betapa tidak, seandainya aku tidak pernah merasakan hidup di Surabaya yang panas, sulit air, kehidupan sosial yang komplek. Salah satu misalnya lantaran di Surabaya sering mandi dengan air yang keruh dan kadang berbau menyebabkan aku lebih mensyukuri sebagai orang yang bisa tinggal di lingkungan seperti tempat tinggalku sekarang, di mana air yang aku nikamati sejuk segar berasal dari gunung Panderman dan dikelola secara baik oleh masyarakat sendiri.

Kebetulan juga di Surabaya aku tinggal di daerah Bratang Gede, daerah yang kalau hujan pasti banjir dan jalanan jadi seperti sungai, mobil dan motor banyak mogok. Tak jauh dari tempat tinggalku, di pinggiran sungai Jagir Wonokromo, hanya jalan kaki lima menit dari tempatku tinggal aku temui pembelajaran betapa kerasnya hidup di Surabaya. Bayangkan, di pinggiran sungai Jagir beriri rumah-rumah ‘liar’ permanen atau tidak permanen letaknya berdempetan dengan ukuran rata-rata 6 – 10 meter persegi sebagian nampak menggantung ke bantaran sungai. Tiap petak rumah dihuni oleh urban dari berbagai daerah di sekitar Surabaya, ada yang dihuni oleh dua pasangan hidup, yang statusnya kadang meragukan, kebanyakan penghuninya lebih dari dua. Konon menurut cerita orang yang ditokohkan di Bratang, ada petak kecil seperti itu terpaksa dihuni oleh delapan orang yang terdiri dari kakek, anak dan cucu. Tidak masuk akal.

Pada situasi lingkungan hidup seperti itu jelas akan melahirkan perilaku individu dan situasi sosial yang kurang menguntungkan. Wajah-wajah yang menghuni tempat itu, tidak sedikit yang menggambarkan fenomena depresi yang kuat. Anak-anak dan orang tua banyak yang terpaksa tidur di lantai seadanya, yang kondisinya lembab dan kotor sehingga sesakit yang berkaitan dengan ‘paru-paru’ menjadi keluhan utama. Tidak sedikit mereka menjadi suka minum minuman keras, terlibat pada kegiatan prostitusi terselubung, judi, kriminalitas semua menjadi dampak ikutan yang disebabkan oleh lingkungan yang kurang menguntungkan itu. Itukah resiko pilihan urbanisasi tanpa bekal kemampuan kompetitif di kerasnya kehidupan kota ? Aku bersyukur memiliki keluarga yang lebih beruntung di banding mereka.

Catatan akhir tahun ini akan tidak lengkap tanpa cerita tentang andil teman-temanku kuliah dalam membuat ‘berwarnanya hidupku’ selama satu setengah tahun ini. Aku sering meyakini bahwa kuliah S3 di manapun, kita tidak sekedar belajar sain dan teknologi yang mutlak kita pelajari, tetapi ternyata kita digembleng juga dari aspek mental, kesabaran, keteguhan, empati, solidaritas, konsistensi dan lain-lain di luar perhitungan awal. Tiap-tiap orang mendapat pembelajarannya sendiri-sendiri, ada yang hikmahnya didapat dari promoter, ada yang dari dosen, ada yang karena ujuan, ada yang karena komunikasi, ada pula yang tantangannya justru dari keluarganya.

Aku kebetulan termasuk yang masih dipercaya beberapa teman untuk tempat berkeluh kesah, aku sendiri tidak tahu mengapa ? Yang jelas aku menghormati mereka dengan problemnya masing-masing, selalu berusaha merahasiakannya dan dalam tiap kesempatan pilihanku selalu mencoba ikut memahami persoalannya, mengajak untuk optimis bahwa semua masalah pasti ada penyelesaiannya. Segala sesuatu problem kalau kita dudukan dalam pemikiran positif, aku yakin produk solusinya adalah positif. Kalau toh ada gesekan kecil menyangkut kesalah fahaman, ketidak mengertian, ketidak cocokan, ketersinggungan semua menjadi bunga-bunga hidup dalam kebersamaan.

Terus maju sahabat-sahabatku, jalan kita masih panjang, perjuangan masih belum selesai, belum apa-apa. Mari kita tetap bersama untuk terus belajar berbagi, sabar dan mencoba selalu optimis. Untuk keluargaku, istri dan keempat anakku, aku terima kasih atas pemahaman berkurangnya perhatian dan waktuku untuk mereka. Selamat Tahun Baru 2010. Sehat dan Sukses Selalu.

Selasa, 22 Desember 2009

INNER POWER & BEAUTY




Jeihan sang maestro lukis yang tinggal di Bandung meyakini bahwa insting atau naluri adalah energi purba yang ada pada setiap mahluk, ia mencoba menggali dan memeliharanya sebagai power dalam berkarya yang kemudian menjadi ‘kekuatan’ yang selalu tersirat dalam kebanyakan lukisannya yang berkarakter perempuan bermata bolong. Menurut pelukis yang pernah mati ini, energi purba adalah energi dasyat yang selalu muncul pada kondisi terdesak. Jeihan pernah hidup dalam keterdesakan karena gagal ginjal dan harus cuci darah, konon dalam keterdesakan hidup seperti itu energi berkaryanya sangat kuat.



Naluri manusia kini cenderung tidak terasah, tumpul tak berenergi, dimanjakan oleh ilmu dan teknologi yang akhirnya menghadirkan hegenomi ‘super ego’. Super ego menjaji penguasa dominan manusia yang hidupnya sudah sangat dipengaruhi ilmu pepengetahuan dan teknologi. Tetapi disadari atau tidak naluri masih setia mendekam dalam tubuh kita, dan suatu saat bisa muncul dalam kepribadian kita ketika terdesak atau terancam kepentingannya. Aku sangat percaya pada kenyataan itu.



Dulu ketika aku masih kecil, aku sering bermain laying-layang bersama teman-teman di sawah atau di tanah lapang. Aku masih ingat bagaimana temanku ‘Bejo’ ketika berebut layang-layang ia begitu beraninya melompat pada ketinggian 3 meter, padahal pada kondisi normal kami ia tidak berani melakukan. Bagaimana ‘ Budi’ dengan tangkas memanjat pohon kelapa untuk tujuan sama mengambil laying-layang, tetapi menangis kebingungan ketika sudah di puncak pohon dan harus turun. Energi rusa betina begitu besar hingga ia berani melawan kodratnya sebagai herbivore ketika habis melahirkan, dengan kekuatan insting melindungi anaknya ia makan ari-ari anaknya yang baru lahir serta darah sisa pelahiran berarti hewan ini berubah menjadi karnivor. Sebab kalau tidak dilakukan, bau anyir ari-ari dan darah bisa memancing datangnya predator yang mengancam diri dan keluarganya.



Bicara naluri yang terdesak, aku ingat seorang sahabat yang pernah merasa ter’singgung’ berat dan merasa tiba-tiba ada ganjalan di dada yang menyesakan nafas, ketika ia disudutkan beberapa pertanyaan mendasar yang sulit dijawabnya padahal semestinya itu bidangnya. Sang sahabat malu, merasa dirinya ‘bodoh’, konyol, mestinya hal itu tidak terjadi. Keadaan itu larut dan menguasai pikiran, membuat tubuhnya lemah dan akhirnya sakit. Keadaan itu terpaksa harus diurai dengan derai tangis dan keluh kesah pada orang kepercayaannya.



Setelah mengendap beberapa malam, sahabat bercerita bahwa ketersudutan itu melahirkan kesadaran bahwa pertanyaan-pertanyaan itu adalah cambuk yang kritis. Mungkin Tuhan berpihak padanya hingga mengirim ‘sinyal’ yang dilewatkan rekan diskusinya untuk menyadarkan kekurangan dirinya. Dalam kontek ini, ‘naluri’ pribadinya tersentuh, gen ‘power purba’ nya terekspesi melahirkan semangat bertanya dan menjawab yang sangat konstruktif dan evaluatif. Pertanyaan mendasar yang sempat tidak terjawab sebelumnya akhirnya lunas, bahkan menstimulir puluhan pertanyaan yang akhirnya juga terjawab.



Tanpa sadar sang sahabat ketika harus duduk di meja pesakitan ‘ujian kualifikasi’, ia sendiri mengakui inilah performa ‘dirinya sendiri yang sebenarnya’. Ia akhirnya harus merasa berterima kasih pada rekan diskusinya yang sempat menyesakan dadanya. Dan ia bangga tanpa diduga teman-temannya memujinya beauty, percaya diri, tenang. Sang sahabat melewati ujian kualifikasi dengan ceria, mengalir seperti air, pertanyaan-pertanyaan melahirkan solusi bukan kebuntuan.



Itulah efek dari bekerjanya energi purba dari naluri pribadi sahabat yang terusik. Kesadaran itu tanpa sadar telah menggerakan rona positif yang justru menjauhkan dari rasa kegundahan, sesak nafas, tangis yang tidak perlu, dan waktu yang terbuang. Di sisi yang lain pengalaman di atas telah pula mengkristalkan kesadaran dan memunculkan pertanyaan baru , apa tidak mungkin keterdesakan justru membuat seseorang mati kutu dan kehilangan inner power dan beauty ?

HIDUP BAIK


Seseorang sahabat bertutur tentang hakekat tujuan hidup, ia yakini ssetelah melalui perenungan panjang bahkan sampai harus umroh segala, menurut dia bahwa tujuan hidup adalah bagaimana mati baik. Lalu, untuk mati baik berarti kita mesti hidup baik, demikian penyimpulannya. Mendengar penuturan itu, pikiranku yang biasanya tergelitik, ini tidak, sepertinya pikiranku mengatakan itu bukan merupakan hal baru dalam dunia pemikiran tentang hidup. Apa lagi menyangkut mati baik dan hidup baik, masih memiliki pengertian yang jamak, mati baik apakah mati dengan ketenangan, bukan kecelakaan, terbunuh, sakit atau mati dengan segudang amal dan kekaryaannya yang dirasakan manfaatnya bagi sesama dalam kehidupan di dunia ? Lalu hidup baik itu ukurannya apa ?


Semua aku rasa setuju bahwa pemahaman terakhirlah yang benar. Orang mati baik dapat diukur dari seberapa besar amal dan kekaryaannya yang bermanfaat bagi sesamannya. Amal dan kekaryaan seseorang sangat bergantung pada seberapa besar ‘kemampuan’ untuk melakukan itu. Sahabat yang bicara tentang ‘mati baik’ itu, selanjutnya bertanya padaku:


“ Kalau menurut mas, untuk bisa mati baik apakah orang harus kaya ? Apakah orang miskin tidak mungkin mati baik ? “ Ditanya demikian pikiranku mulai tergelitik, apa ya jawabnya ?


“ Aku rasa mati baik bisa dicapai siapapun, tidak pandang miskin atau kaya, “ sahabatku tersenyum, lalu ia ngomong lagi.


“ Pada kondisi miskin untuk mati baik sulit, kaya juga kurang ”.


Aku tertegun mendapat jawaban tak terduga sahabatku. Logika apa yang digunakannya hingga berpendapat demikian. Kenapa miskin dan kaya sebagai sesuatu yang berbeda didudukan pada posisi yang sama yaitu kurang mendukung pencapaian untuk mati baik ? Kalau ukuran mati baik adalah amal dan kekaryaan bukankah peluang keduanya masih mungkin untuk bisa mencapainya. Mungkin kaya akan lebih memiliki peluang lebih besar, tetapi miskin juga tidak tertutup kemungkinan untuk mati baik, sebab amal dan kekaryaan bisa saja tidak tergantung materi. Begitukan ?


“ Maksudku kurang tepat, mas ! Menurutku untuk menjamin bisa mati baik kita mesti kaya raya, “ lanjut sahabatku dengan tetap tersenyum, tetapi lebih lebar. Memancing kinerja kontemplatifku, seolah tahu apa yang berkecamuk dalam pikiranku. “ Coba mas renungkan, deh ! “ Lanjut sahabatku sambil ngeloyor pergi. Kepergian sahabatku membuat lenyap pula energi bertanya tentang ‘mati baik’, lagian pekerjaanku lagi butuh kosentrasiku.


Ketika malam hampir mencapai puncaknya, saat aku duduk termenung sendiri di ‘kursi bengong’ tempat di mana aku selalu melepas segala penat seharian kerja, sambil sesekali merenung. Sementara di rumah induk anak-anak dan istriku sudah mulai bermimpi. Pertanyaan sahabatku tentang ‘mati baik’ itu tiba-tiba menyeruak di benak pikirku. Kenapa harus kaya raya untuk bisa ‘mati baik’ ?


Orang kaya raya akan mampu beramal dan berkarya lebih baik ? Hm………, bisa jadi benar. Tapi nanti dulu, itu juga bisa salah. Kaya raya itu ukuranya apa ? Apakah ukurannya materi atau juga bisa non materi ? Aku kira ‘kaya raya’ materi saja tidak cukup untuk menjamin seseorang bisa ‘mati baik’, seseorang harus sudah teruji dulu aspek semangat keiklasan ber‘amal’ dan ber’karya’nya yang bisa memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Kaya raya dalam hal semangat berbagi, bisa jadi tanpa harus dengan ‘materi’ tetapi bisa dalam bentuk non materi seperti ‘kaya raya’ ilmu pengetahuan. Orang yang sangat kaya ilmu pengetahuannya, dan memiliki semangat berbagi ilmunya yang kuat, kemudian karya keilmuannya banyak dimanfaatkan orang bisa jadi ini ekuel dengan orang miskin materi tapi potential mati baik.



Jadi aku sangat apresiet pada siapapun yang memiliki segudang energi untuk memotifasi orang-orang di sekitarnya dengan tulus iklas, contohnya seperti sahabatku. ia banyak menyediakan waktu terbatasnya untuk berbagi dengan kawan-kawan seperjuangannya, wanita ini bisa bertahan membangun kepercayaan diri seseorang yang 'perlu amunisi' untuk berjuang sepanjang pagi hingga tengah malam tanpa mempedulikan tuntutan tubuh untuk mandi. Tidak sekedar bicara, tetapi tangannya berkeringat. Ini adalah gambaran 'amal dan kekaryaan' yang lebih bernilai, ketimbang doa-doa panjang mekanis yang mengiringi peribadatan seseorang yang
tidak sepenuh hati.

Senin, 07 Desember 2009

TIDUR NYENYAK


Aku pernah dengar ada orang yang berprinsip mengukur kualitas hidup dengan pengukuran yang sangat sederhana yaitu ‘tidur nyenyak’. Katanya kualitas hidup seseorang dianggap baik, ketika orang tersebut sudah bisa tidur nyenyak. Suatu prinsip yang unik, aku jadi tertarik untuk mencoba kontemplatif agar lebih memahami pemikiran itu. Dalam benak pikiranku, mulai muncul stimulus yang mengeja pertanyaan-pertanyaan. Pengukuran sederhana bukan berarti lahir dari buah pikiran sederhana pula, pradugaku justru ia lahir dengan landasan pemikiran yang mendalam dan realitas yang kuat tapi ‘penggaliannya’ terabaikan oleh orang lain.


Konon bagi mereka yang memahami dan meyakini pandangan holistik, hidup kita harus menyeluruh, berkeseimbangan dan selaras dengan alam. Alam memberi pembelajaran pada kita akan adanya realita dikotomis yang selalu menghias di dalamnya, misalnya: ada siang dan malam, gelap dan terang, baik dan buruk, suka dan duka, laki dan perempuan, cinta dan benci, kaya dan miskin, atas dan bawah, muda dan tua, hidup dan mati, dunia dan akhirat dan masih banyak lagi fenomena dikotomis seperti itu. Tidak itu saja bahkan bagi orang yang tidak mau dianggap berkacamata kuda fenomena itu tidak sekedar dikotomis mungkin ‘polikotomis’, mereka meyakini bahwa realita itu alternatifnya banyak, dari fenomena di atas kita mengenal: sore, medium, remang-remang, kecukupan, banci, dewasa, matisuri dan lain-lain yang semestinya juga satu kesatuan tak terpisahkan.


Hidup kita apakah harus dipaksa berada pada satu sisi fenomena ? Kadang kita sering dengar orang berbicara: “ Orang kok mementingkan duniawi saja, akhirat nggak dipikir”. Atau ada juga yang sebaliknya nggak begitu peduli pada kehidupan duniawi yang diutamakan kepentingan spiritual yang tujuannya akhirat. Sesungguhnya mementingkan salah satu saja hematku tidak benar, hidup kita sesungguhnya butuh keseimbangan. Orang yang hanya sekedar mengejar spiritual saja apa tidak berarti menyia-nyiakan hidup yang sesungguhnya membuka begitu banyak kemungkinan. Sebaliknya orang yang hanya mengejar duniawi saja berarti menafikkan esensi dirinya sendiri sebagai ‘manusia’, mahluk yang paling sempurna di muka bumi ini.


Ukuran kualitas hidup manusia berarti semestinya harus dilihat dari nilai pencapaian bersama dua hal yang sangat berbeda yaitu pencapaian spirituan dan keduniawian. Spiritual semestinya jangan ditafsir hanya terbatas pada peribadahan kita kepadaNya melalui sholat, dzikir, puasa, semedi, dan sebangsanya. Tetapi juga harus dilihat secara menyeluruh, artinya spiritualitas harus juga masuk dalam laku dunia demikian sebaliknya duniawi juga menguatkan spiritualitas. Spiritualitas dapat diukur dengan bahasa hati, semua harus sepenuh hati. Bekerja sepenuh hati, makan ya sepenuh hati, belajar sepenuh hati, sholat ya sepenuh hati, mandi ya sepenuh hati. Intinya, semua yang kita lakukan dalam menjalani hidup harus dengan kesadaran penuh, iklas, tawa’dhu. Dengan begitu kita berarti menghargai hidup yang telah diberikan kepada kita.


Semua yang dilakukan dengan sepenuh hati, akan memberi kenyamanan batin pada yang melakukan maupun lingkungannya. Tindakan sepehuh hati berarti tindakan tanpa ada ganjalan atau kegelisahan, orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati akan ditandai dengan laku menjalani dengan rasa ringan, ceria, suka cita atau ‘enjoi’ kalau meminjam bahasa iklan. Di mana saja, bagaimanapun situasinya kalau kita sudah memilih, maka kita harus bisa belajar menerimanya dan menikmatinya. Itu adalah awal belajar berada pada kondisi ‘sepenuh hati’.


Maka dari itu ketika orang berpendapat bahwa kualitas hidup dapat diukur dari perilaku tidur, ya logis juga. Kalau memang bahwa orang yang dianggap berkualitas hidupnya adalah orang yang telah mampu menyeimbangkan pencapaian kehidupan spiritualitas dan duniawinya. Pada dirinya akan dijumpai ketenangan lahir, batin serta pikirannya. Jelas pada orang-orang yang telah mencapai tataran ini, kegelisahan akan menjauh sehingga dalam memenuhi hajat tidurpun mereka bisa menjalaninya sepenuh hati sehingga mereka bisa ‘tidur nyenyak’. Tentu ini harus dibedakan dengan tidurnya orang yang masa bodo, cuek, gila yang juga 'nyenyak'.


Kita sering tidak enjoi, karena kita sering tidak sepenuh hati menjalankan sesuatu hal. Sebagai mahasiswa mengerjakan tugas dilakukan dengan kurang serius, asal-asalan, atau sekedarnya dengan disambi melakukan aktivitas lainnya, hasilnya adalah kegelisahan karena akan muncul pertanyaan ‘lulus atau tidak ya ?’. Kalau di sisi yang lain sebagai misalnya jadi anak, jadi ibu atau bapak perannya juga tidak dilakukan sepenuh hati maka kegelisahan akan bertambah, keresahan akan meningkat, sehingga bagaimana mereka bisa ‘tidur nyenyak’ ?


Kata kakekku, memang belajar untuk bisa menjalani sepenuh hati dalam semua laku memang tidak mudah. Butuh tempaan belajar, butuh pengorbanan, butuh ketekunan, butuh kesabaran, butuh keiklasan, butuh semangat berbagi. Jangan ikuti semua ‘ego’ yang ada dalam diri yang cenderung mendorong kearah pemuasan keinginan duniawi yang tidak pernah terpuaskan. Ingat bahwa hidup kita pendek, orang jawa bilang ‘urip kur mampir ngombe’, jadi manfaatkan sepenuhnya dengan bijak, jalani hidup dan nikmati.

Jumat, 04 Desember 2009

KERANGKA KONSEPTUAL


Kemarin ketika ujian kualifikasi, semua penguji cenderung memulai pertanyaan dengan mempertanyakan apa-apa yang tertuang dalam bagan ‘kerangka konseptual’. Kebetulan kerangka konseptualku sengaja tak buat dengan gambaran yang menarik plus sentuhan warna yang diharapkan menghilangkan kesan ilmu itu kaku. Kesan warna-warni itulah yang kemudian juga menarik untuk teman-teman minta bantuan ke aku untuk mendandani kerangka konsep punya mereka.

Memang menurutku membuat kerangka konseptual ya susah-susah gampang, maksudnya buat orang yang memahami maksud, tujuan, manfaat dan cakupan penelitian tentu menjadi gampang, tetapi buat orang yang awam dan tidak mendalami pada maksud, tujuan, manfaat dan cakupan penelitian tersebut tentu akan susah membuatnya. Jadi para professor memulai pertanyaan dari kerangka konseptual adalah pilihan tepat dan amat cerdas karena dari sinilah kapasitas pemikiran ‘mahasiswa’ yang diuji bisa dilihat.

Kerangka konseptual menurutku disimak dari akar katanya yaitu ‘kerangka’ dan ‘konsep’, maka kerangka konseptual adalah gambaran mendasar atau pemikiran yang mendasari penelitian kita yang berisi konsep-konsep dan jabarannya. Kerangka konseptual merupakan kerangka pikir dasar mengenai hubungan antar konsep-konsep, variabel-variabel yang terlibat dalam penelitian atau hubungan antar konsep, variabel dengan konsep, atau variabel dengan variabel lainnya dari masalah yang diteliti sesuai dengan apa yang peroleh dari studi pustaka.

Sementara pengertian konsep dalam hal ini adalah suatu abstraksi atau gambaran, buah pikiran yang dibangun dengan menggeneralisasikan suatu pengertian. Karena sifatnya yang general itu, konsep tidak dapat diamati dan diukur secara langsung. Agar supaya konsep tersebut dapat diamati dan diukur, maka konsep tersebut harus dijabarkan terlebih dahulu menjadi variabel-variabel. Variabel adalah sesuatu yang nilainya dapat diukur, nilainya berubah-ubah menurut waktu, elemen atau tempat.

Kerangka konseptual akan menjadi ‘frame’ atau ‘boundary’ yang menegaskan masalah yang dikaji, fokus dengan batas cakupan yang jelas. Setidaknya ketika ada ketegasan mana ranah yang diteliti, memudahkan identifikasi fungsi variabel (mana yang independent, dependent, kendali, dll), hal tersebut akan memudahkan kita memformulasi hipotesis, serta menyusun pendekatan metode penelitian yang layak dilakukan. Akan sangat sulit orang lain yang tidak memahami permasalahan dan substasi penelitian untuk diminta membuatkan kerangka konsep. Tetapi begitu jadi kerangka konsep, orang lain yang tidak faham akan mudah terfahamkan.

Mungkin menggambarkan dengan contoh akan lebih mudah kita mengingat, dalam penelitianku ‘Aklimatisasi’ adalah konsep. Aklimatisasi adalah hal umum tentang proses menumbuhkan bibit tanaman hasil kultur in vitro agar adaptif bisa hidup di lingkungan yang baru (ex vitro) dan berbeda dari lingkungan sebelumnya. Agar bisa diukur maka harus dijadikan variabel misalnya; teknik aklimatisasi, media aklimatisasi, penggunaan pupuk dan obat. Ada teman penelitian vernalisasi pada tanaman bawang merah, vernalisasi adalah konsep, ini harus dijabarkan dalam bentuk variabel misalnya saja: tingkat derajat suhu, lama atau periode vernalisasi.

Dalam sudut pandang epitemik dedutif maka teknik aklimatisasi, media aklimatisasi, penggunaan pupuk dan obat; tingkat / derajat suhu, lama /periode vernalisasi dapat didudukan sebagai variabel bebas atau independen, terus variabel dependen atau tergantungnya apa ? Bisa misalnya: laju pertumbuhan, kecepatan berakar, kecepatan berbunga, jumlah bunga dan lain-lain. Jadi konsep dan variabel yang telah kita tentukan tadi kira-kira kalau kemudian kita buat interkorelasinya dalam kerangka konsep adalah seperti di bawah ini:

Teknik Aklimatisasi ----------------
Jenis Media ------------------------- Laju Pertumbuhan
Jenis Pupuk / Obat ----------------


Tingkat Suhu ----------------------
Lama Waktu ------------------------ Laju Pembungaan
Umur Tanaman -------------------

Catatan: mestinya titik-titik di atas berupa garis yang mengarah ke Laju Pertumbuhan atau Pembungaan.
Interkorelasi antara konsep dengan konsep atau konsep dengan variabel yang telah kita buat, selanjutnya harus di 'breakdown' dengan mengajukan pertanyaan hal apa yang dapat diinterkolerasikan selanjutnya ? apa yang menjadi faktor dari suatu konsep atau variabel yang sudah kita tentukan ? Misal ketika aku bicara tentang konsep 'aklimasisasi', maka faktor yang mempengaruhi adalah: jenis anggrek, jenis media in vitro, teknik aklimatisasi, operator, nutrisi, dan faktor lingkungan (cahaya, media, suhu, kelembaban, angin). Proses 'breakdown' terus dilakukan sampai pada lingkup yang kita inginkan, dengan mempertimbangkan sarana, dana dan waktu yang tersedia untuk penelitian. Ini banyak dipertanyakan dalam ujian, aku sadar karena 'ruh' penelitian memang kan ada di sana.

Untuk mengembangkan kerangka konseptual tentu saja kita harus memperkaya asumsi-asumsi dasar yang relevan yang berasal dari bahan-bahan referensi yang terpercaya dan baru. Tetapi juga alangkah baiknya kalau dapat diperkuat dengan informasi, pengetahuan yang diamati, diperoleh langsung pada lingkup area masalah yang akan dijadikan penelitian, seperti aku berarti permasalahan di masyarakat peranggrekan. Dengan demikian kerangka konseptual yang dibuat merupakan paduan yang kaya dan lengkap karena merupakan gabungan antara hasil pemikiran dari konsep-konsep (produk deduksi) dan fenomena empiris (produk induksi). Karena pengetahuan baru umumnya terbangun melalui pendekatan ini (lihat tulisan: epistemik deduksi).

Singkatnya kalau tidak sempat lihat, berpikir deduksi adalah proses berlogika yang berdasar dari kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan memverifikasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data tertentu yang berciri sama dengan fenomena tersebut yang lebih khusus. Berpikir induksi adalah proses berlogika yang berangkat dari data empirik (khusus) lewat observasi menuju kepada suatu teori (umum). Dengan kata lain induksi adalah proses mengorganisasikan fakta-fakta atau hasil-hasil pengamatan yang terpisah (khusus) menjadi suatu rangkuman hubungan atau suatu generalisasi (umum).

Kamis, 03 Desember 2009

STORY OF THE 'PLONG'



Mat Yudha pada suatu hari di pagi yang tidak begitu cerah, wajahnya jemberut, padahal wajahnya semestinya lumayan smart, dengan kaca matanya yang kebilang tebal maka kali ini jadi tidak proporsional, tapi itulah penampilan sekarang. Tangannya memegangi perutnya, sesekali wajahnya meringis, gelisah nggak karuan. Dalam bahasa kegundahan dia berada pada kondisi yang ia tidak inginkan.

“ Siapa yang di kamar mandi ? “ teriaknya.
“ Aku Mas, “ ucap istrinya lirih dari dalam, “ Sebentar, nanggung dah sabunan Mas “.
“ Aduh…… cepat dikit dong ! “ desak Mat Yudha mendekat pintu kamar mandi. Istrinya diam, yang terdengar suara air ditimba. Gejebar....gejebur............. Wajah Mat Yudha memerah, tangannya tak pernah lepas memegangi perutnya. Badannya menekuk setengah bongkok, seperti udang yang baru digoreng. Dunia bagi Mat Yudha terpenting adalah kamar mandi. Tidak perduli lagi berita televisi yang lagi getol memberitakan tontonan baru layar kaca pasca kasus pertarungan buaya lawan cecak (baca: porli vs KPK) yaitu kasus yang tak kalah seru bertajuk ‘ Dana Siluman Bank Century 6.7 triliun’.

“ Udah…. Ayo cepat, “ teriak Mat Yudha lagi. Pintu kamar mandi terbuka, Mpok Tanti si istri Mat Yudha keluar nggak jangkep pakaiannya, bagian tubuhnya yang semestinya tertutup menjadi tontonan cecak yang ada di dinding.
“Cek….cek….cek”, suara cecak. Sepertinya cecak mengagumi lekuk tubuh yang sejenak tampil di depannya, tapi keburu tubuh itu hilang di balik pintu kamar utama. Heran Mat Yudha tidak marah cecak menikmati kemolekan istrinya, padahal biasanya semut merah menjamah kulitnya langsung dibunuhnya. Tetangga melirik saja sudah ditantang duel satu lawan satu. Makin jelas Mat Yudha lagi tidak perduli pada dunia di sekitarnya.

Begitu masuk kamar mandi, Mat Yudha langsung melepas celananya yang komprang dengan mudahnya dan tidak sempat menggantungkan di dinding, tapi melipat sekenanya dan buru-buru jongkok. Dan dengan tanpa jeda, ……. terdengar tembakan bayonet dari muara perut Mat Yudha. Breeeeeeeeeeettttttt…. Breeeeeetttttttt….breeeeett. Lalu terlihatlah wajah Mat Yudha yang berbeda, seperti lega sekali lepas dari beban berat sebelumnya, jadi nampak kesmartannya.

“ Rasanya Plong !” batin dia.

Nah, rasa seperti itulah yang aku rasakan sekarang ini. Rasa Plong, sebuah rasa tanpa beban, tanpa kegundahan, setelah beberapa hari yang lalu penasaran dengan gerangan yang namanya ‘ujian kualifikasi doktor’. Sampai akhirnya Kamis lalu aku jalani, jam 8 pagi sampai jam 10 pagi, dimulai aku presentasi rencana disertasi, kemudian 100 menit dicecar pertanyaan oleh 7 pakar Science yang bergelar professor dan doktor. Sungguh….. aku merasa bersyukur ujian lancar, cair, penuh keakraban, dengan joke awal ‘tentang anggrek' dari sang Ketua Penguji. Koreksi, masukan, debat mempertahankan pendapat menurut saya itu nilai plus dari forum akademis, aku mencintai dan menghormatinya. Lalu soal kebuntuan menjawab rasanya harus disadari sulit dihindari walau kita sudah merasa maksimal mempersiapkan. Itu juga saya ambil hikmah positif bahwa kita memang tidak boleh berhenti belajar, dan jangan merasa pintar.
Hikmah positif harus aku rasakan, ujian kualifikasi tidak menakutkan seperti yang dibayangkan dan diceritakan orang-orang. Tapi dibilang enteng atau sepele jelas menurut saya itu konyol. Memang ada sementara orang beranggapan bahwa kegiatan itu formalitas, pasti lulus, atau terpaksa diluluskan. Itu jelas anggapan yang salah, lagian siapa yang mau diperlakukan 'terpaksa diluluska'. Yang jelas, pengalaman aku yang sekarang sudah 'plong' bahwa untuk ujian kualifikasi kita mesti cukup bekal dan memahami betul penelitian yang akan kita lakukan, karena sumber pertanyaan semua berakar dari sana. Sekecil dan sesepele apapun konsep, terminologi, masalah, metode sebaiknya kita fahami.
Kecerobohan, menyepelekan hal sederha menurut kita (tidak menurut mereka), misalnya kurang atau buntunya komunikasi, atau komunikasi yang mengambang, tidak tegas dari pengambil kebijakan, mengesampingkan saran pakar, entah atas nama alasan tidak ada waktu, kurang pustaka, dan lain sebagainya sebaiknya diantisipasi agar tidak jadi ganjalan saat ujian, karena yang rugi bukan siapa-siapa, tetapi kita sang mahasiswa. Kalau sudah 'plong' seperti ini sungguh sesakit, capai, gundah, emosi, stresss, semua menjauh sendiri. Nah, siapa mau ikut 'plong' ? Aku ingin menyemangatinya.

Selasa, 01 Desember 2009

SKALA PENGUKURAN


Ketika diskusi dengan bu Diana di Perpustakaan Pasca, aku ingat mimik beliaunya yang lancar menerangkan tentang skala pengukuran yang lazim difahami seorang peneliti. Sebetulnya tidak hanya skala pengukuran yang penting dipahami, seorang peneliti perlu faham tentang unit analisys, karakteristik, variabel, populasi, sampel, sampling, dan lain-lain. Kembali ke apa yang dipaparkan oleh bu Diana tentang skala pengukuran. Beliau menjelaskan bahwa menyangkut skala pengukuran dikenal ada 4 skala utama, yaitu: Nominal, Ordinal, Interval dan Rasio. Tapi di akhir diskusi, karena beliau harus balik ke Malang, beliau berpesan: “ Tolong dicek lagi siapa tahu salah.”


Setelah saya cek ulang di buku-buku statistic yang aku punya, ternyata apa yang disampaikan bu Diana benar. Trim, bu Diana. Skala pengukuran sering juga disebut skala data. Data adalah catatan atas kumpulan fakta, yang diterima secara apa adanya. Data merupakan bentuk jamak dari datum. Datum berasal dari bahasa latin yang berarti ‘sesuatu yang diberikan’. Kumpulan fakta tersebut merupakan hasil dari proses pengukuran atau pengamatan suatu variabel yang bentuknya dapat berupa angka, kata-kata atau citra. Sehingga nilai data sangat bergantung pada validitas alat ukurnya, pengukur serta bagamana cara mengukurnya.


Menurut begawan statistik bahwa tipe data memegang peranan penting di dalam penentuan jenis uji statistik yang akan digunakan. Secara umum data statistik digolongkan menjadi 2 macam, yaitu: data diskrit, yaitu data yang tidak dikonsepsikan adanya nilai-nilai di antara data lain yang terdekat. Misalnya data jumlah ternak, jumlah anak, jumlah pohon yang ada di suatu rumah, tidak mungkin ada 12,4 anak, 4.6 pohon dan lain-lain. Data kedua disebut data continue, yaitu data yang didapat dari hasil pengukuran yang sudah terstandar.


Data didapatkan dari perhitungan dan pengukuran. Pengukuran adalah penggunaan aturan untuk menetapkan bilangan pada obyek atau peristiwa. Dengan kata lain, pengukuran memberikan nilai-nilai variabel dengan notasi bilangan. Aturan penggunaan notasi bilangan dalam pengukuran disebut skala atau tingkat pengukuran (scales of measurement). Secara lebih rinci, dalam statistik terdapat 4 skala pengukuran yaitu nominal, ordinal, interval dan rasio.


Skala Nominal, ialah angka yang berfungsi hanya untuk membedakan, merupakan identitas, urutan tidak berlaku, operasi matematik juga tidak berlaku, artinya 2 tidak harus lebih besar dari satu atau tidak lebih kecil dari 4 (hasil kali, bagi, penjumlahan, pengurangan tidak mempunyai arti). Hanya sebagai lambang, symbol atau identitas. Contohnya: Jenis kelamin: perempuan (o) dan laki-laki (1); Agama: Islam (1), Kristen (2), Hindu (3); Suku: Jawa(1), Minang(2), Batak(3), Dayak(4) dan seterusnya. Bisa juga angka dari alamat rumah, nomor kamar hotel, nomor KTP, SIM, Nomor Punggung Pemain Bola dan sebangsanya.


Skala Ordinal, ialah angka yang selain berfungsi sebagai nominal juga menunjukan urutan, bahwa sesuatu lebih baik, lebih bagus, lebih disenangi, dari pada yang lain. Misalnya ada 5 anak SD dengan perolehan nilai matematika sebagai berikut: A=50; B=45; C=75; D=100; dan E=80, maka peringkat anak SD tersebut dalam nilai matematika adalah D=1; E=2; C=3; A=4; dan B=5. Pada data tersebut jarak nilai tidak sama, akan tetapi terlihat urutannya makin besar (menuju 5) atau makin kecil (menuju 1).


Skala Interval, ialah angka yang selain berfungsi sebagai nominal dan ordinal juga menunjukan jarak yang sama, akan tetapi tidak sampai berapa kali, sebab titik nol letaknya sembarang, dipergunakan untuk ‘rating’. Contoh adalah suhu atau temperature naik dari 20o – 30o atau 40o – 60o jaraknya 10o – 20o . Akan tetapi tingkat panas yang ditunjukan oleh angka 30o tidak berarti 1.5 kali panas yang ditunjukan oleh angka 20o. Demikian juga kalau kita bicara tentang tingkat kepuasan, misalnya ditunjukan dengan angka 1,2,3,4,5. Walaupun jaraknya sama, tetapi tidak berarti tingkat kepuasan 4 adalah dua kali dari kepuasan 2 atau kepuasan 5 adalah lima kali kepuasan 1.


Skala Rasio, ialah angka yang selain berfungsi sebagai nominal, ordinal, dan interval juga menunjukan berapa kali, sebab angka nol letaknya tidak sembarang. Misalnya berat badan A=60 kg, B=30 kg, berate berat A adalah dua kali berat B, atau berat B setengah dari berat A.


Terima kasih buat bu Diana, sungguh bayangan wajah anda akan memudahkan mengingatkanku pada hal-hal di atas. Tipe orang macam apa aku ini, tak tahulah, aku hanya punya keyakinan untuk berupaya: membayangkan yang aku lihat, mengingat yang aku baca, rasakan yang aku alami, kerjakan yang aku sukai. Welah……welah…… stress kok guyon.