(Catatan Akhir Tahun 2009)
Menjalani hidup selama satu setengah tahun bolak balik Malang Surabaya karena tugas belajar terasa biasa-biasa saja, heran saya, karena beberapa orang teman atau kerabat kebanyakan berkeluh kesah bahkan frustasi. Bagiku mungkin keyakinan ‘nikmati hidup’ cukup membantu mengurangi kejenuhan yang cenderung akan dialami siapapun yang secara rutin mengalami perjalanan Malang Surabaya atau sebaliknya yaitu menghadapi problem kemacetan. Memang semenjak kasus lumpur Lapindo memutus jalan tol Surabaya Gempol, problem kemacetan menjadi gangguan utama berbagai aktivitas dan produktifitas masyarakat Jawa Timur.
Cerita atau keluhan terkena kemacetan berjam-jam di jalan Porong sering aku dengar, tapi alhamdulillah aku sendiri belum pernah mengalami kemacetan yang berarti, yang aku alami paling sekedar macet biasa yang dalam hitungan menit itu sudah berlalu. Mungkin juga aku sering terbantu naluriku dalam menyikapi pilihan jalan keluar menghadapi kemungkinan kemacetan, dengan mencermati tanda-tanda dan pilihan jalan alternatif yang ada. Kalau membawa kendaraan sendiri bila di pintu tol Waru atau di Japanan sudah terlihat tersendat jalan alternatif harus menjadi pilihan.
Jadi, satu setengah tahun aku lalui dengan suka cita, mengalir begitu saja, bahkan sering menemui hal-hal menarik dalam perjalanan yang bisa menjadi sarana pembelajaran hidup untukku. Misalnya saja aku harus simpati dan salut dengan para pekerja yang memiliki semangat prima yang selalu berangkat jauh sebelum matahari terbit, hormat pada sopir bus ramah yang sering mengantar kami hingga terminal Joyoboyo, prihatin menjupai orang kehilangan barang di terminal, waspada di jalan yang penuh dengan kendaraan roda dua yang seenaknya memotong jalan, merasa aneh dengan jukir wajah khas di unair yang sering guyon dalam mengatur kendaraan, dan lain-lain.
Hikmah yang paling bisa digaris bawahi menjalani hidup selama satu setengah tahun di dua kota terbesar di Jawa Timur ini adalah ‘menguatnya kesadaran untuk bersyukur’ atas nikmat yang dikaruniakan Allah SWT kepadaku. Betapa tidak, seandainya aku tidak pernah merasakan hidup di Surabaya yang panas, sulit air, kehidupan sosial yang komplek. Salah satu misalnya lantaran di Surabaya sering mandi dengan air yang keruh dan kadang berbau menyebabkan aku lebih mensyukuri sebagai orang yang bisa tinggal di lingkungan seperti tempat tinggalku sekarang, di mana air yang aku nikamati sejuk segar berasal dari gunung Panderman dan dikelola secara baik oleh masyarakat sendiri.
Kebetulan juga di Surabaya aku tinggal di daerah Bratang Gede, daerah yang kalau hujan pasti banjir dan jalanan jadi seperti sungai, mobil dan motor banyak mogok. Tak jauh dari tempat tinggalku, di pinggiran sungai Jagir Wonokromo, hanya jalan kaki lima menit dari tempatku tinggal aku temui pembelajaran betapa kerasnya hidup di Surabaya. Bayangkan, di pinggiran sungai Jagir beriri rumah-rumah ‘liar’ permanen atau tidak permanen letaknya berdempetan dengan ukuran rata-rata 6 – 10 meter persegi sebagian nampak menggantung ke bantaran sungai. Tiap petak rumah dihuni oleh urban dari berbagai daerah di sekitar Surabaya, ada yang dihuni oleh dua pasangan hidup, yang statusnya kadang meragukan, kebanyakan penghuninya lebih dari dua. Konon menurut cerita orang yang ditokohkan di Bratang, ada petak kecil seperti itu terpaksa dihuni oleh delapan orang yang terdiri dari kakek, anak dan cucu. Tidak masuk akal.
Pada situasi lingkungan hidup seperti itu jelas akan melahirkan perilaku individu dan situasi sosial yang kurang menguntungkan. Wajah-wajah yang menghuni tempat itu, tidak sedikit yang menggambarkan fenomena depresi yang kuat. Anak-anak dan orang tua banyak yang terpaksa tidur di lantai seadanya, yang kondisinya lembab dan kotor sehingga sesakit yang berkaitan dengan ‘paru-paru’ menjadi keluhan utama. Tidak sedikit mereka menjadi suka minum minuman keras, terlibat pada kegiatan prostitusi terselubung, judi, kriminalitas semua menjadi dampak ikutan yang disebabkan oleh lingkungan yang kurang menguntungkan itu. Itukah resiko pilihan urbanisasi tanpa bekal kemampuan kompetitif di kerasnya kehidupan kota ? Aku bersyukur memiliki keluarga yang lebih beruntung di banding mereka.
Catatan akhir tahun ini akan tidak lengkap tanpa cerita tentang andil teman-temanku kuliah dalam membuat ‘berwarnanya hidupku’ selama satu setengah tahun ini. Aku sering meyakini bahwa kuliah S3 di manapun, kita tidak sekedar belajar sain dan teknologi yang mutlak kita pelajari, tetapi ternyata kita digembleng juga dari aspek mental, kesabaran, keteguhan, empati, solidaritas, konsistensi dan lain-lain di luar perhitungan awal. Tiap-tiap orang mendapat pembelajarannya sendiri-sendiri, ada yang hikmahnya didapat dari promoter, ada yang dari dosen, ada yang karena ujuan, ada yang karena komunikasi, ada pula yang tantangannya justru dari keluarganya.
Aku kebetulan termasuk yang masih dipercaya beberapa teman untuk tempat berkeluh kesah, aku sendiri tidak tahu mengapa ? Yang jelas aku menghormati mereka dengan problemnya masing-masing, selalu berusaha merahasiakannya dan dalam tiap kesempatan pilihanku selalu mencoba ikut memahami persoalannya, mengajak untuk optimis bahwa semua masalah pasti ada penyelesaiannya. Segala sesuatu problem kalau kita dudukan dalam pemikiran positif, aku yakin produk solusinya adalah positif. Kalau toh ada gesekan kecil menyangkut kesalah fahaman, ketidak mengertian, ketidak cocokan, ketersinggungan semua menjadi bunga-bunga hidup dalam kebersamaan.
Terus maju sahabat-sahabatku, jalan kita masih panjang, perjuangan masih belum selesai, belum apa-apa. Mari kita tetap bersama untuk terus belajar berbagi, sabar dan mencoba selalu optimis. Untuk keluargaku, istri dan keempat anakku, aku terima kasih atas pemahaman berkurangnya perhatian dan waktuku untuk mereka. Selamat Tahun Baru 2010. Sehat dan Sukses Selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar