Aku pernah dengar ada orang yang berprinsip mengukur kualitas hidup dengan pengukuran yang sangat sederhana yaitu ‘tidur nyenyak’. Katanya kualitas hidup seseorang dianggap baik, ketika orang tersebut sudah bisa tidur nyenyak. Suatu prinsip yang unik, aku jadi tertarik untuk mencoba kontemplatif agar lebih memahami pemikiran itu. Dalam benak pikiranku, mulai muncul stimulus yang mengeja pertanyaan-pertanyaan. Pengukuran sederhana bukan berarti lahir dari buah pikiran sederhana pula, pradugaku justru ia lahir dengan landasan pemikiran yang mendalam dan realitas yang kuat tapi ‘penggaliannya’ terabaikan oleh orang lain.
Konon bagi mereka yang memahami dan meyakini pandangan holistik, hidup kita harus menyeluruh, berkeseimbangan dan selaras dengan alam. Alam memberi pembelajaran pada kita akan adanya realita dikotomis yang selalu menghias di dalamnya, misalnya: ada siang dan malam, gelap dan terang, baik dan buruk, suka dan duka, laki dan perempuan, cinta dan benci, kaya dan miskin, atas dan bawah, muda dan tua, hidup dan mati, dunia dan akhirat dan masih banyak lagi fenomena dikotomis seperti itu. Tidak itu saja bahkan bagi orang yang tidak mau dianggap berkacamata kuda fenomena itu tidak sekedar dikotomis mungkin ‘polikotomis’, mereka meyakini bahwa realita itu alternatifnya banyak, dari fenomena di atas kita mengenal: sore, medium, remang-remang, kecukupan, banci, dewasa, matisuri dan lain-lain yang semestinya juga satu kesatuan tak terpisahkan.
Hidup kita apakah harus dipaksa berada pada satu sisi fenomena ? Kadang kita sering dengar orang berbicara: “ Orang kok mementingkan duniawi saja, akhirat nggak dipikir”. Atau ada juga yang sebaliknya nggak begitu peduli pada kehidupan duniawi yang diutamakan kepentingan spiritual yang tujuannya akhirat. Sesungguhnya mementingkan salah satu saja hematku tidak benar, hidup kita sesungguhnya butuh keseimbangan. Orang yang hanya sekedar mengejar spiritual saja apa tidak berarti menyia-nyiakan hidup yang sesungguhnya membuka begitu banyak kemungkinan. Sebaliknya orang yang hanya mengejar duniawi saja berarti menafikkan esensi dirinya sendiri sebagai ‘manusia’, mahluk yang paling sempurna di muka bumi ini.
Ukuran kualitas hidup manusia berarti semestinya harus dilihat dari nilai pencapaian bersama dua hal yang sangat berbeda yaitu pencapaian spirituan dan keduniawian. Spiritual semestinya jangan ditafsir hanya terbatas pada peribadahan kita kepadaNya melalui sholat, dzikir, puasa, semedi, dan sebangsanya. Tetapi juga harus dilihat secara menyeluruh, artinya spiritualitas harus juga masuk dalam laku dunia demikian sebaliknya duniawi juga menguatkan spiritualitas. Spiritualitas dapat diukur dengan bahasa hati, semua harus sepenuh hati. Bekerja sepenuh hati, makan ya sepenuh hati, belajar sepenuh hati, sholat ya sepenuh hati, mandi ya sepenuh hati. Intinya, semua yang kita lakukan dalam menjalani hidup harus dengan kesadaran penuh, iklas, tawa’dhu. Dengan begitu kita berarti menghargai hidup yang telah diberikan kepada kita.
Semua yang dilakukan dengan sepenuh hati, akan memberi kenyamanan batin pada yang melakukan maupun lingkungannya. Tindakan sepehuh hati berarti tindakan tanpa ada ganjalan atau kegelisahan, orang yang melakukan sesuatu dengan sepenuh hati akan ditandai dengan laku menjalani dengan rasa ringan, ceria, suka cita atau ‘enjoi’ kalau meminjam bahasa iklan. Di mana saja, bagaimanapun situasinya kalau kita sudah memilih, maka kita harus bisa belajar menerimanya dan menikmatinya. Itu adalah awal belajar berada pada kondisi ‘sepenuh hati’.
Maka dari itu ketika orang berpendapat bahwa kualitas hidup dapat diukur dari perilaku tidur, ya logis juga. Kalau memang bahwa orang yang dianggap berkualitas hidupnya adalah orang yang telah mampu menyeimbangkan pencapaian kehidupan spiritualitas dan duniawinya. Pada dirinya akan dijumpai ketenangan lahir, batin serta pikirannya. Jelas pada orang-orang yang telah mencapai tataran ini, kegelisahan akan menjauh sehingga dalam memenuhi hajat tidurpun mereka bisa menjalaninya sepenuh hati sehingga mereka bisa ‘tidur nyenyak’. Tentu ini harus dibedakan dengan tidurnya orang yang masa bodo, cuek, gila yang juga 'nyenyak'.
Kita sering tidak enjoi, karena kita sering tidak sepenuh hati menjalankan sesuatu hal. Sebagai mahasiswa mengerjakan tugas dilakukan dengan kurang serius, asal-asalan, atau sekedarnya dengan disambi melakukan aktivitas lainnya, hasilnya adalah kegelisahan karena akan muncul pertanyaan ‘lulus atau tidak ya ?’. Kalau di sisi yang lain sebagai misalnya jadi anak, jadi ibu atau bapak perannya juga tidak dilakukan sepenuh hati maka kegelisahan akan bertambah, keresahan akan meningkat, sehingga bagaimana mereka bisa ‘tidur nyenyak’ ?
Kata kakekku, memang belajar untuk bisa menjalani sepenuh hati dalam semua laku memang tidak mudah. Butuh tempaan belajar, butuh pengorbanan, butuh ketekunan, butuh kesabaran, butuh keiklasan, butuh semangat berbagi. Jangan ikuti semua ‘ego’ yang ada dalam diri yang cenderung mendorong kearah pemuasan keinginan duniawi yang tidak pernah terpuaskan. Ingat bahwa hidup kita pendek, orang jawa bilang ‘urip kur mampir ngombe’, jadi manfaatkan sepenuhnya dengan bijak, jalani hidup dan nikmati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar