Jeihan sang maestro lukis yang tinggal di Bandung meyakini bahwa insting atau naluri adalah energi purba yang ada pada setiap mahluk, ia mencoba menggali dan memeliharanya sebagai power dalam berkarya yang kemudian menjadi ‘kekuatan’ yang selalu tersirat dalam kebanyakan lukisannya yang berkarakter perempuan bermata bolong. Menurut pelukis yang pernah mati ini, energi purba adalah energi dasyat yang selalu muncul pada kondisi terdesak. Jeihan pernah hidup dalam keterdesakan karena gagal ginjal dan harus cuci darah, konon dalam keterdesakan hidup seperti itu energi berkaryanya sangat kuat.
Naluri manusia kini cenderung tidak terasah, tumpul tak berenergi, dimanjakan oleh ilmu dan teknologi yang akhirnya menghadirkan hegenomi ‘super ego’. Super ego menjaji penguasa dominan manusia yang hidupnya sudah sangat dipengaruhi ilmu pepengetahuan dan teknologi. Tetapi disadari atau tidak naluri masih setia mendekam dalam tubuh kita, dan suatu saat bisa muncul dalam kepribadian kita ketika terdesak atau terancam kepentingannya. Aku sangat percaya pada kenyataan itu.
Dulu ketika aku masih kecil, aku sering bermain laying-layang bersama teman-teman di sawah atau di tanah lapang. Aku masih ingat bagaimana temanku ‘Bejo’ ketika berebut layang-layang ia begitu beraninya melompat pada ketinggian 3 meter, padahal pada kondisi normal kami ia tidak berani melakukan. Bagaimana ‘ Budi’ dengan tangkas memanjat pohon kelapa untuk tujuan sama mengambil laying-layang, tetapi menangis kebingungan ketika sudah di puncak pohon dan harus turun. Energi rusa betina begitu besar hingga ia berani melawan kodratnya sebagai herbivore ketika habis melahirkan, dengan kekuatan insting melindungi anaknya ia makan ari-ari anaknya yang baru lahir serta darah sisa pelahiran berarti hewan ini berubah menjadi karnivor. Sebab kalau tidak dilakukan, bau anyir ari-ari dan darah bisa memancing datangnya predator yang mengancam diri dan keluarganya.
Bicara naluri yang terdesak, aku ingat seorang sahabat yang pernah merasa ter’singgung’ berat dan merasa tiba-tiba ada ganjalan di dada yang menyesakan nafas, ketika ia disudutkan beberapa pertanyaan mendasar yang sulit dijawabnya padahal semestinya itu bidangnya. Sang sahabat malu, merasa dirinya ‘bodoh’, konyol, mestinya hal itu tidak terjadi. Keadaan itu larut dan menguasai pikiran, membuat tubuhnya lemah dan akhirnya sakit. Keadaan itu terpaksa harus diurai dengan derai tangis dan keluh kesah pada orang kepercayaannya.
Setelah mengendap beberapa malam, sahabat bercerita bahwa ketersudutan itu melahirkan kesadaran bahwa pertanyaan-pertanyaan itu adalah cambuk yang kritis. Mungkin Tuhan berpihak padanya hingga mengirim ‘sinyal’ yang dilewatkan rekan diskusinya untuk menyadarkan kekurangan dirinya. Dalam kontek ini, ‘naluri’ pribadinya tersentuh, gen ‘power purba’ nya terekspesi melahirkan semangat bertanya dan menjawab yang sangat konstruktif dan evaluatif. Pertanyaan mendasar yang sempat tidak terjawab sebelumnya akhirnya lunas, bahkan menstimulir puluhan pertanyaan yang akhirnya juga terjawab.
Tanpa sadar sang sahabat ketika harus duduk di meja pesakitan ‘ujian kualifikasi’, ia sendiri mengakui inilah performa ‘dirinya sendiri yang sebenarnya’. Ia akhirnya harus merasa berterima kasih pada rekan diskusinya yang sempat menyesakan dadanya. Dan ia bangga tanpa diduga teman-temannya memujinya beauty, percaya diri, tenang. Sang sahabat melewati ujian kualifikasi dengan ceria, mengalir seperti air, pertanyaan-pertanyaan melahirkan solusi bukan kebuntuan.
Itulah efek dari bekerjanya energi purba dari naluri pribadi sahabat yang terusik. Kesadaran itu tanpa sadar telah menggerakan rona positif yang justru menjauhkan dari rasa kegundahan, sesak nafas, tangis yang tidak perlu, dan waktu yang terbuang. Di sisi yang lain pengalaman di atas telah pula mengkristalkan kesadaran dan memunculkan pertanyaan baru , apa tidak mungkin keterdesakan justru membuat seseorang mati kutu dan kehilangan inner power dan beauty ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar