Selasa, 22 Desember 2009

HIDUP BAIK


Seseorang sahabat bertutur tentang hakekat tujuan hidup, ia yakini ssetelah melalui perenungan panjang bahkan sampai harus umroh segala, menurut dia bahwa tujuan hidup adalah bagaimana mati baik. Lalu, untuk mati baik berarti kita mesti hidup baik, demikian penyimpulannya. Mendengar penuturan itu, pikiranku yang biasanya tergelitik, ini tidak, sepertinya pikiranku mengatakan itu bukan merupakan hal baru dalam dunia pemikiran tentang hidup. Apa lagi menyangkut mati baik dan hidup baik, masih memiliki pengertian yang jamak, mati baik apakah mati dengan ketenangan, bukan kecelakaan, terbunuh, sakit atau mati dengan segudang amal dan kekaryaannya yang dirasakan manfaatnya bagi sesama dalam kehidupan di dunia ? Lalu hidup baik itu ukurannya apa ?


Semua aku rasa setuju bahwa pemahaman terakhirlah yang benar. Orang mati baik dapat diukur dari seberapa besar amal dan kekaryaannya yang bermanfaat bagi sesamannya. Amal dan kekaryaan seseorang sangat bergantung pada seberapa besar ‘kemampuan’ untuk melakukan itu. Sahabat yang bicara tentang ‘mati baik’ itu, selanjutnya bertanya padaku:


“ Kalau menurut mas, untuk bisa mati baik apakah orang harus kaya ? Apakah orang miskin tidak mungkin mati baik ? “ Ditanya demikian pikiranku mulai tergelitik, apa ya jawabnya ?


“ Aku rasa mati baik bisa dicapai siapapun, tidak pandang miskin atau kaya, “ sahabatku tersenyum, lalu ia ngomong lagi.


“ Pada kondisi miskin untuk mati baik sulit, kaya juga kurang ”.


Aku tertegun mendapat jawaban tak terduga sahabatku. Logika apa yang digunakannya hingga berpendapat demikian. Kenapa miskin dan kaya sebagai sesuatu yang berbeda didudukan pada posisi yang sama yaitu kurang mendukung pencapaian untuk mati baik ? Kalau ukuran mati baik adalah amal dan kekaryaan bukankah peluang keduanya masih mungkin untuk bisa mencapainya. Mungkin kaya akan lebih memiliki peluang lebih besar, tetapi miskin juga tidak tertutup kemungkinan untuk mati baik, sebab amal dan kekaryaan bisa saja tidak tergantung materi. Begitukan ?


“ Maksudku kurang tepat, mas ! Menurutku untuk menjamin bisa mati baik kita mesti kaya raya, “ lanjut sahabatku dengan tetap tersenyum, tetapi lebih lebar. Memancing kinerja kontemplatifku, seolah tahu apa yang berkecamuk dalam pikiranku. “ Coba mas renungkan, deh ! “ Lanjut sahabatku sambil ngeloyor pergi. Kepergian sahabatku membuat lenyap pula energi bertanya tentang ‘mati baik’, lagian pekerjaanku lagi butuh kosentrasiku.


Ketika malam hampir mencapai puncaknya, saat aku duduk termenung sendiri di ‘kursi bengong’ tempat di mana aku selalu melepas segala penat seharian kerja, sambil sesekali merenung. Sementara di rumah induk anak-anak dan istriku sudah mulai bermimpi. Pertanyaan sahabatku tentang ‘mati baik’ itu tiba-tiba menyeruak di benak pikirku. Kenapa harus kaya raya untuk bisa ‘mati baik’ ?


Orang kaya raya akan mampu beramal dan berkarya lebih baik ? Hm………, bisa jadi benar. Tapi nanti dulu, itu juga bisa salah. Kaya raya itu ukuranya apa ? Apakah ukurannya materi atau juga bisa non materi ? Aku kira ‘kaya raya’ materi saja tidak cukup untuk menjamin seseorang bisa ‘mati baik’, seseorang harus sudah teruji dulu aspek semangat keiklasan ber‘amal’ dan ber’karya’nya yang bisa memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Kaya raya dalam hal semangat berbagi, bisa jadi tanpa harus dengan ‘materi’ tetapi bisa dalam bentuk non materi seperti ‘kaya raya’ ilmu pengetahuan. Orang yang sangat kaya ilmu pengetahuannya, dan memiliki semangat berbagi ilmunya yang kuat, kemudian karya keilmuannya banyak dimanfaatkan orang bisa jadi ini ekuel dengan orang miskin materi tapi potential mati baik.



Jadi aku sangat apresiet pada siapapun yang memiliki segudang energi untuk memotifasi orang-orang di sekitarnya dengan tulus iklas, contohnya seperti sahabatku. ia banyak menyediakan waktu terbatasnya untuk berbagi dengan kawan-kawan seperjuangannya, wanita ini bisa bertahan membangun kepercayaan diri seseorang yang 'perlu amunisi' untuk berjuang sepanjang pagi hingga tengah malam tanpa mempedulikan tuntutan tubuh untuk mandi. Tidak sekedar bicara, tetapi tangannya berkeringat. Ini adalah gambaran 'amal dan kekaryaan' yang lebih bernilai, ketimbang doa-doa panjang mekanis yang mengiringi peribadatan seseorang yang
tidak sepenuh hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar