Mat Yudha pada suatu hari di pagi yang tidak begitu cerah, wajahnya jemberut, padahal wajahnya semestinya lumayan smart, dengan kaca matanya yang kebilang tebal maka kali ini jadi tidak proporsional, tapi itulah penampilan sekarang. Tangannya memegangi perutnya, sesekali wajahnya meringis, gelisah nggak karuan. Dalam bahasa kegundahan dia berada pada kondisi yang ia tidak inginkan.
“ Siapa yang di kamar mandi ? “ teriaknya.
“ Aku Mas, “ ucap istrinya lirih dari dalam, “ Sebentar, nanggung dah sabunan Mas “.
“ Aduh…… cepat dikit dong ! “ desak Mat Yudha mendekat pintu kamar mandi. Istrinya diam, yang terdengar suara air ditimba. Gejebar....gejebur............. Wajah Mat Yudha memerah, tangannya tak pernah lepas memegangi perutnya. Badannya menekuk setengah bongkok, seperti udang yang baru digoreng. Dunia bagi Mat Yudha terpenting adalah kamar mandi. Tidak perduli lagi berita televisi yang lagi getol memberitakan tontonan baru layar kaca pasca kasus pertarungan buaya lawan cecak (baca: porli vs KPK) yaitu kasus yang tak kalah seru bertajuk ‘ Dana Siluman Bank Century 6.7 triliun’.
“ Udah…. Ayo cepat, “ teriak Mat Yudha lagi. Pintu kamar mandi terbuka, Mpok Tanti si istri Mat Yudha keluar nggak jangkep pakaiannya, bagian tubuhnya yang semestinya tertutup menjadi tontonan cecak yang ada di dinding.
“Cek….cek….cek”, suara cecak. Sepertinya cecak mengagumi lekuk tubuh yang sejenak tampil di depannya, tapi keburu tubuh itu hilang di balik pintu kamar utama. Heran Mat Yudha tidak marah cecak menikmati kemolekan istrinya, padahal biasanya semut merah menjamah kulitnya langsung dibunuhnya. Tetangga melirik saja sudah ditantang duel satu lawan satu. Makin jelas Mat Yudha lagi tidak perduli pada dunia di sekitarnya.
Begitu masuk kamar mandi, Mat Yudha langsung melepas celananya yang komprang dengan mudahnya dan tidak sempat menggantungkan di dinding, tapi melipat sekenanya dan buru-buru jongkok. Dan dengan tanpa jeda, ……. terdengar tembakan bayonet dari muara perut Mat Yudha. Breeeeeeeeeeettttttt…. Breeeeeetttttttt….breeeeett. Lalu terlihatlah wajah Mat Yudha yang berbeda, seperti lega sekali lepas dari beban berat sebelumnya, jadi nampak kesmartannya.
“ Rasanya Plong !” batin dia.
Nah, rasa seperti itulah yang aku rasakan sekarang ini. Rasa Plong, sebuah rasa tanpa beban, tanpa kegundahan, setelah beberapa hari yang lalu penasaran dengan gerangan yang namanya ‘ujian kualifikasi doktor’. Sampai akhirnya Kamis lalu aku jalani, jam 8 pagi sampai jam 10 pagi, dimulai aku presentasi rencana disertasi, kemudian 100 menit dicecar pertanyaan oleh 7 pakar Science yang bergelar professor dan doktor. Sungguh….. aku merasa bersyukur ujian lancar, cair, penuh keakraban, dengan joke awal ‘tentang anggrek' dari sang Ketua Penguji. Koreksi, masukan, debat mempertahankan pendapat menurut saya itu nilai plus dari forum akademis, aku mencintai dan menghormatinya. Lalu soal kebuntuan menjawab rasanya harus disadari sulit dihindari walau kita sudah merasa maksimal mempersiapkan. Itu juga saya ambil hikmah positif bahwa kita memang tidak boleh berhenti belajar, dan jangan merasa pintar.
Hikmah positif harus aku rasakan, ujian kualifikasi tidak menakutkan seperti yang dibayangkan dan diceritakan orang-orang. Tapi dibilang enteng atau sepele jelas menurut saya itu konyol. Memang ada sementara orang beranggapan bahwa kegiatan itu formalitas, pasti lulus, atau terpaksa diluluskan. Itu jelas anggapan yang salah, lagian siapa yang mau diperlakukan 'terpaksa diluluska'. Yang jelas, pengalaman aku yang sekarang sudah 'plong' bahwa untuk ujian kualifikasi kita mesti cukup bekal dan memahami betul penelitian yang akan kita lakukan, karena sumber pertanyaan semua berakar dari sana. Sekecil dan sesepele apapun konsep, terminologi, masalah, metode sebaiknya kita fahami.
Kecerobohan, menyepelekan hal sederha menurut kita (tidak menurut mereka), misalnya kurang atau buntunya komunikasi, atau komunikasi yang mengambang, tidak tegas dari pengambil kebijakan, mengesampingkan saran pakar, entah atas nama alasan tidak ada waktu, kurang pustaka, dan lain sebagainya sebaiknya diantisipasi agar tidak jadi ganjalan saat ujian, karena yang rugi bukan siapa-siapa, tetapi kita sang mahasiswa. Kalau sudah 'plong' seperti ini sungguh sesakit, capai, gundah, emosi, stresss, semua menjauh sendiri. Nah, siapa mau ikut 'plong' ? Aku ingin menyemangatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar