Minggu, 19 September 2010

TELADAN LEBAH


Ketika lebaran hari ke 7, saya dan istri bersilahturahmi ke rumah Pak Haji Simpang Sukun, kadang orang-orang menyebut ‘Osamah Bin Laden’, tentu sebutan itu hanya gurouan ketika tidak ada beliaunya karena pak Haji memiliki jenggot yang khas walau tidak seperti Osamah Bin Ladden betulan. Tetapi bagi saya orang rantau di bumi Arema ini, pak Haji adalah orang tua sambung yang bisa menjadi tempat berkeluh kesah sekaligus bercengkrama. Pak Haji adalah pensiunan pegawai perkebunan Negara, tepatnya beliau adalah mantan ahli cita rasa tembakau, sosok yang sangat menentukan kelayakan dan harga jual tembakau yang akan diekspor ke luar negeri. Saya bisa berjam-jam bercengkrama dengan beliau, mulai bicara yang ringan hingga ajaran tasawuf dan sering dalam cengkrama itu muncul ‘tausiah’ yang penting saya garis bawahi, bisa menjadi guru laku.


Seperti pada siang itu, ketika cerita tentang aktivitas lebaran telah kami sama-sama ceritakan. Pak Haji mulai membawa kami ke ranah cerita tentang ‘iman, ketakwaan, perilaku hidup’, dengan memberi kami 3 buku catatan beliau (masih foto copian) untuk memudahkan mempelajari Al qur’an. Saya kagum dengan semangat pak Haji mengisi hari tuanya, penuh dinamika pencarian ‘bagaimana mendekatkan diri ke Allah’. Banyak hal dilakukan selalu bersama istri tercintanya, pernah belajar meditasi ke Bali, menelaah fenomena Yin dan Yang lewat pembelajaran Taichi, belajar Tashawuf, olah nafas, senam tera, ikut Perhimpunan Anggrek Indonesia, itu semua dicoba dibumikan untuk peningkatan keimanan dan ketakwaan kepada Allah.


Hari itu pak Haji seperti menjadi guru spiritualku, lantaran beliau mampu memunculkan ‘garis emas’ atau membuat sesuatu lebih bermakna pada hal yang selama ini biasa bagi saya yaitu tentang ‘lebah’ mengingat saya seorang biolog. Bagi saya lebah yang dalam bahasa latin disebut ‘Apis indica’ adalah serangga penghasil madu, dan sebagai serangga ‘koloni’ seperti juga semut dan rayap mereka sudah memiliki struktur masyarakat yang baik, yaitu ada lebah pekerja, penjaga, pejantan, ratu yang memiliki tugas masing-masing untuk melestarikan koloninya. Dalam kontek agama, saya tahu bahwa ada juga surat yang bertajuk tentang lebah dalam Al Qur’an surat ke 16 yaitu surat Al Nahl. Surat ini berisi 128 ayat, dan hanya 2 ayat yaitu ayat 68-69 yang memfirmankan tentang lebah, sosok lebah berarti penting dan seharusnya menjadi bahan perenungan tanda kebesaran Allah.


Dalam kontek mengajak merenung pak Haji bertutur bahwa lebah adalah mahluk Allah yang banyak memberi manfaat dan kenikmatan pada mahluk lainnya terutama manusia. Rasanya lebah jangan-jangan diciptakan agar bisa menjadi teladan hidup bagi kita. Hiduplah seperti lebah. Masyarakat lebah hidup baik, rukun dan damai, masing-masing bekerja sesuai tugasnya masing-masing tetapi semua bekerja untuk keutuhan hidup bersama. Lebah selalu mengkonsumsi makanan yang baik berupa serbuk sari dari aneka bunga, tidak pernah mengkonsumsi makanan yang jelek. Hinggapnya di tempat yang indah, tidak pernah hinggap di tempat yang jorok, bahkan sering, membantu proses penyerbukan tanaman agar bisa bereproduksi.


Hikmahnya, andai masyarakat kita bisa seperti masyarakat lebah, hidup rukun dan damai, saling hormat menghormati, tidak mementingkan diri sendiri, tidak mencari menang sendiri, bekerja sesuai pekerjaan dan tugas masing-masing, berupaya mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan bersama. Kuncinya tentu ada pada individu-individu anggota masyarakat yaitu kita-kita sendiri. Masing-masing harus bisa mengendalikan diri untuk menjalankan perannya masing-masing, tidak mengambil hak orang lain, tidak mengkomsumsi yang tidak halal, mengedepankan sikap saling tolong menolong, dan saling berbagi.


Apakah harapan meneladani lebah bisa kita lakukan ? Tentu saja bisa, tetapi hal itu tidak mudah. Manusia jelas beda dengan lebah, manusia diberi akal dan pikiran sedang lebah tidak. Manusia diberi pilihan, sementara lebah tidak, karena manusia punya kelebihan, manusia tentu memiliki potensi bisa lebih baik dari sekedar lebah (binatang) tetapi juga bisa lebih jelek dari binatang yang paling jelek sekalipun. Untuk mencapai keteladanan yang baik, maka kita harus melakukan hal yang baik dan itu membutuhkan kesadaran dan keyakinan yang baik. Harus menjadi kesadaran dan keyakinan kita bersama bahwa di alam ini, di setiap sudut kita memandang, di setiap jengkal kaki menjejak sesungguhnya selalu ada tanda-tanda kebesaran Allah yang memestinya makin meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita dan merubah perilaku kita.

Jumat, 17 September 2010

LAUTAN MAAF


Mulai hari Rabu tanggal 8 September 2010 M atau 28 Ramadhan 1431 H, telepon selulerku mulai dibanjiri sms ucapan hari Raya Idhul Fitri yang dibarengi ucapan permintaan ‘maaf lahir batin’. Mereka para sahabat, teman sejawat, mahasiswa, mungkin tidak mau ketinggalan menyampaikan sebelum hari H idhul Fitri yang jatuh hari Jum’at tanggal 10 September 2010, dan itu menurut saya tidak ada salahnya karena dalam ucapan mereka juga ada kata-kata ‘menjelang kumandang suara takbir’ atau ‘menjelang ari fitri’ baru diikuti ucapan lainnya. Bisa jadi mereka memiliki banyak yang harus dikirimi ucapan sehingga perlu memulainya lebih awal. Ucapan itu makin bertambah jumlahnya malam hari ketika kumandang gema takbir terdengar di mana-mana, keesokan harinya ketika hari lebaran, lalu berkurang setelah itu. Saya yakin di telepon seluler anda juga demikian, pun demikian terjadi di berbagai fitur internet seperti face book, twitter, ym, semua bicara ucapan selamat hari lebaran dan permintaan maaf.

Semua orang bicara ‘maaf lahir batin’, tidak mengenal umur mulai anak-anak, orang dewasa maupun orang tua, tidak kenal waktu terucapkan sepanjang 24 jam, terjadi di mana-mana baik di rumah, di masjid, di lapangan, di pasar, di desa, di kota dan tempat-tempat lainnya. Kalau kita bayangkan, kata ‘maaf’ ada di mana-mana, seperti ‘lautan maaf’. Kata- kata itu menjadi kata yang ringan untuk diucapkan, semua orang dengan tulus dan penuh senyum menyampaikan itu, baik pada saudara dekat maupun pada orang-orang yang terbilang tetangga jauh. Tidak seringan hari biasanya untuk mengakui kesalahan dan menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan dan kelalaian itu.

Kata ‘maaf’ menjadi seperti penyempurna kegiatan ibadah puasa yang telah dilakukan selama satu bulan penuh. Dengan ucapan itu seolah-olah beban berat yang mengganjal di hati kita menjadi berkurang banyak, rasa salah dan berdosa kepada orang tua, keluarga, tetangga, teman, serta handai taulan lainnya sepertinya menjadi ‘kosong-kosong’ atau impas atau diumpamakan kertas kotor menjadi lembaran kertas yang putih bersih kembali. Lautan ‘maaf’ memiliki implikasi melahirkan hubungan baru yang lebih baik, cair, meredam gelombang amarah, kebencian, di mana-mana orang-orang mencoba membangun kembali persaudaraan, mempererat tali silahturahmi.

Ungkapan maafpun menjadi beragam, kreatif, sering mampu menyentuh rasa hingga kita ‘bungah’, tersenyum, kagum, salut, bahkan sampai ketawa karena lucunya. Tidak jarang ucapan itu kemudian dipakai oleh kita untuk mengucapkan ‘selamat idhul fitri’ kepada orang lain, demikian seterusnya terjadi efek bergulir atau evek ‘bola salju’ kalau ucapan itu menyentuh hati. Sehingga tak jarang dengan cepat seperti penyebaran virus ucapan itu mengganda terkirim ke mana-mana. Bagi yang kreatif, tidak pernah ada yang menuntut ucapannya ‘diplagiasi’, mereka mungkin malah senang-senang saja bahkan terpicu untuk membuat ucapan yang lebih bagus di tahun berikutnya. Bagi yang malas dan tidak bisa membuat ucapan yang ‘beraroma seni’ bisa brossing di internet, tinggal ketik ucapan lebaran, maka akan tersedia berbagai ucapan pilihan yang mungkin bisa cocok.

Kata maaf yang kita ucapkan dengan tulus dan iklas adalah obat nurani, obat batin yang mujarab untuk mengobati rasa amarah, dengki, iri, cemburu, salah, yang mengotori hati kita. Dengan demikian pasca terjadinya lautan maaf, terjadinya kebanyakan orang saling mengucapkan maaf, saling berjabat tangan tanpa paksaan. Terbayang harapan ‘kehidupan’ pasca puasa yang lebih baik karena amarah, dengki, iri, cemburu, salah menjadi sirna atau setidaknya berkurang banyak. Lautan maaf harus mampu melahirkan kesejukan seperti sejuk yang diakibatkan oleh angin laut, harus mampu memberi kebahagiaan dan kegembiraan seperti cerianya para nelayan yang membawa ikan setelah melaut, harus mampu memberi kegigihan hidup seperti kegigihan ombak memecah karang yang kukuh.

Setelah kita menjalankan puasa, lalu bertakbir, tasmid dan tahlil mengagungkan nama Allah lalu keesokan di hari fitri saling memaafkan sesama, hingga di mana-mana terdengar kata maaf diucapkan maka tantangan kita ke depan adalah bagaimana bisa ‘berubah’, bisa hijrah ke hal yang lebih baik, misalnya menjadi lebih kuat, bukan menjadi kasar; menjadi baik, bukan pura-pura baik; menjadi berani, bukan menjadi penggertak; menjadi rajin berpikir, bukan pemalas; menjadi rendah hati, tapi bukan penakut; menjadi bangga, tapi bukan menjadi sombong; mempunyai rasa humor, tapi tanpa kebodohan dan kekonyolan. Kita yang bisa saling memaafkan adalah pemenang dan telah terbukti kuat. Kata Gandhi ‘orang lemah tidak pernah memaafkan, memaafkan adalah sifat orang kuat’. Guru laku yang lain mengatakan ‘ memaafkan adalah pembalasan dendam paling manis’.

Selasa, 07 September 2010

MOMENTUM PERUBAHAN


Aku sempat katakan pada temenku muda Cak Bod, bahwa perumpamaannya tentang puasa yang disepadankan dengan perubahan ulat jadi kepongpong lalu jadi kupu-kupu adalah tepat, adalah mengena. Puasa dan upaya dzikirnya ulat adalah sebuah gambaran tafakurnya mahluk menjalankan ‘munajat’ kepada Sang Kholiq dalam rangka keinginan merubah nasib, merubah perilaku hidup. Ulat siapa yang suka, rakus menyebalkan, bulunya gatal menjijikan, merusak, cenderung mendorong kita untuk membunuhnya dengan berbagai cara. Melalui puasa ia mampu berubah dirinya menjadi kupu-kupu yang menyenangkan, menggembirakan, membantu penyerbukan, wataknya berubah seratus delapan puluh derajat dengan wujud awalnya sehingga siapapun menyayanginya.


Subhanallah. Jadi kalau kita melihat fenomena kejadian metamorphosis alam di atas, tentu akan terbersit pemikiran bahwa puasa sesungguhnya adalah ‘proses untuk menjadi’ dan bukan ‘substansi akhir’ yang bisa menggambarkan perolehan peribadahan kita kepada Allah. Kalau dengan puasa ulat bisa merubah dirinya menjadi kupu-kupu, atau mampu berproses melakukan perubahan ‘berperangai buruk’ menjadi ‘berperangai santun’. Maka kita harus pula punya ukuran perubahan yang setidaknya memiliki nilai yang sama, yaitu memiliki nilai ‘metamorfosis’ yang bermakna merubah perangai buruk kita yang ada selama ini dengan perangai yang lebih baik. Untuk yang rakus dan serakah harus mampu menjadi ‘bisa berbagi’, yang tamak dan sombong harus mampu menjadi santun dan rendah hati, yang tadinya jorok dan masa bodoh harus menjadi bersih dan suka peduli.


Jelas artinya, bahwa ketika orang berpuasa (baca: menjalani proses perubahan) semestinya pada akhir kegiatan puasa akan dapat kita lihat ‘hasilnya’ berupa suatu perubahan. Bagi yang benar-benar berpuasa maka perubahan fisik tentu akan terlihat dengan jelas, badanya akan nampak lebih ramping, lebih menarik, lebih sehat, seperti ulat berubah menjadi kepompong dan harus disadari hal itu belum final. Puasa harus melahirkan perubahan substantif, berupa perubahan perilaku dari perilaku yang dibenci Allah ke perilaku yang dicintai Allah. Tanpa adanya produk perubahan berarti puasa kita belum menjadi ‘proses’ bermakna, bisa jadi puasanya masih puasa formalitas, puasa yang hanya bermakna menahan lapar dan haus dan tidak sebagai mediasi peningkatan ‘iman dan islam’ kita.


Dalam kontek berpikir, fenomena alam menyangkut perubahan ulat menjadi kupu-kupu bisa menjadi pembelajaran positif hidup kita. Kata orang bijak bahwa ‘mustahil akan ada kemajuan atau perbaikan hidup tanpa perubahan, perubahan butuh keberanian diri dan usaha keras. Kita harus berani mengambil keputusan mengubah pikiran kita, memantapkan keyakinan kita, meluruskan dan membenarkan tindakan kita, jangan ragu walau sering menjadi berbeda dengan orang lain. Ingat, bahwa orang yang tak dapat merubah pikirannya tidak akan bisa mengubah apa-apa. Perubahan yang paling bermakna dalam hidup adalah perubahan sikap. Sikap yang benar akan menghasilkan tidandakan dan output yang benar’.


Ritual puasa ramadhan bagi umat Islam bangsa ini yang mayoritas akan sangat tepat bila dijadikan sebagai media untuk perubahan ‘moralitas’ yang dirasakan makin merosot tajam. Suburnya tindakan korupsi, nepotisme, kolusi yang menggiring kepada pengayaan segelintir orang dan meningkatnya jumlah masyarakat miskin, pengangguran, kriminalitas dan kebodohan. Puasa harusnya mampu membuka mata bangsa ini untuk berani mengatakan merah itu merah, putih itu putih, harus berani memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar. Harus bisa menjadi momentum perubahan setidaknya minimal bagi tiap-tiap yang menjalankan ibadah puasa menjadi ‘kembali bersih’ di akhir bulan ramadhan, menjadi fitri di hari ‘lebaran’ dan menjadi lebih baik di kehidupan berikutnya. Amin.