Kamis, 29 September 2011

MAU MENDENGARKAN

Aku ingat pernah diajar seorang professor yang sangat unik, keunikannya menurut beberapa teman karena tidak tergambar kuatnya kearifannya dan kematangan yang umum melekat pada seorang guru besar yang tidak mudah mencapainya. Profesor ini suka dan banyak bicara, kalau sudah bicara sangat susah untuk disela. Pada setiap pembicaraan dia akan terlihat mendominasi, sangat nampak bahwa sang professor ini merasa dialah yang paling tahu dan orang lain seakan-akan dianggap di bawah kapasitasnya. Ketika sedang mengajar di kelas, semua mahasiswa harus mendengarkan dan perhatian tidak boleh ada aktivitas lain kalau tidak mau kena marahnya, termasuk menyela bicaranya dengan pertanyaan walau dengan sopan. Sehingga mahasiswa menjadi jarang bertanya walau kadang sesekali diberi kesempatan. Sehingga praktis selama proses kuliah yang terjadi cenderung komunikasi satu arah. Padahal mahasiswa S3 kebanyakan sudah berumur dan bahkan ada yang cuma selisih beberapa tahun disbanding umur sang professor, seolah-olah semua disamakan dengan mahasiswa s satu.


Keunikan sang professor itu oleh teman-teman dianggap sebagai bawaan genetis sehingga susah berubah, sangat dominan, walau sesungguhnya ‘sikap’ itu sudah tidak jamanni di era demokrasi seperti sekarang ini. Kritik dan saran telah banyak dilontarkan termasuk koreksi dari teman se senat universitasnya, tetapi tetap0 saja keunikan itu tetap terus menyertainya. Padahal professor ini sering ‘kecelik’ dengan keunikannya sendiri, sebagai contoh yang sering terjadi ketika ia member kesempatan bertanya mahasiswanya, ketika mahasiswa bertanya sering sang professor memotong pertanyaan mahasiswa dengan ungkapan: ‘ ya….ya…, saya sudah tahu maksud pertanyaan saudara,’. Tetapi tidak sedikit setelah beliau menjawab panjang lebar, beberapa mahasiswa yang berani dan jujur akan mengatakan bahwa maksud yang dipertanyakan tidaklah demikian. Kejadian tersebut konon sering berulang tetapi tidak pernah jadi pembelajaran. Memang gelar keprofesoran kadang bisa menjadi boomerang bagi yang menyandangnya, bukan menjadi seperti ilmu padi tapi malah menumbuhkan ego dan kesombongan yang tinggi.

Padahal kata guru spiritualku, sesungguhnya seorang guru apalagi maha guru atau siapapun mereka yang bekerja dengan banyak bicara, pengendali dan pemimpin maka sesungguhnya dituntut pula memiliki kemampuan untuk tekun dan mau mendengarkan. Kalau tidak mampu mendengarkan maka pasti ia akan miskin informasi dan buta situasi, pada kondisi ini mana mungkin bisa bicara tentang hal kekinian, hal yang banyak dibutuhkan orang, bagaimana mungkin bicaranya layak untuk didengarkan, bisa bicara tepat sasaran, omongannya memberi manfaat pada orang lain, up to date, dan terkoreksi oleh masyarakat sekitarnya. Mendengarkan adalah hal penting yang harus dimiliki semua orang dalam membangun komunikasi sosial, agar ia juga layak didengarkan ketika sedang bicara.

Ketika seseorang mau dan tekun mendengarkan sesungguhnya ia tengah belajar banyak hal, belajar sabar, toleransi, partisipasi, saling harga menghargai, dan berbagi peran. Tidak itu saja mendengarkan orang berbicara, sesungguhnya kita juga sedang belajar memahami cara perpikir orang, belajar pengalaman orang lain, juga belajar apa yang diketahui orang tersebut. Tentu apa yang dibicarakan orang lain tersebut ada yang enak dan mudah diterima tetapi ada pula yang sulit dimengerti dan bisa pula salah besar menurut kita. Selama kita mendengarkan dalam diri kita terjadi picuan berpikir, ada perdebatan internal, ada kesepahaman dan ketidaksepahaman, ada desakan emosi dan perasaan, ada kompromi persepsi dan jalan keluar.

Jangan salah, mendengarkan adalah sebuah aktivitas besar, walau terlihat diam tetapi sesungguhnya di dalamnya terjadi rentetan proses yang tidak sederhana. Kata guru lakuku, bahwa ketika kita mau belajar mendengarkan, sesungguhnya kita tengah belajar melakukan hal besar dalam hidup. Ketika kita sedang konsentrasi mendengar, tidak saja telinga yang bekerja tetapi indra lain kita juga bekerja, otak dan pikiran kita juga bekerja bahkan hati kita juga tergerakkan. Melalui laku mendengarkan akan terjadi proses-proses: pengarahan perhatian dan konsentrasi , penyerapan informasi dan situasi, menghidupkan logika dan persepsi, menstimulasi analisis dan perancangan, mengendalikan emosi, perasaan dan naluri, melahirkan sikap kritis dan kreatif, memupuk kecerdasan dan kemampuan berpikir, menjadikan kita pandai dan arif.

Hal terpenting ketika kita terbiasa mau mendengarkan, secara bertahap pikiran kita dan perasaan kita memiliki tambahan perbendaharaan, ‘peta’ yang lebih baik tentang hal yang baru didengarkan. Setidaknya selama mendengarkan pikiran kita telah ‘menjelajahi masalah yang dibicarakan’ dan sekaligus mengeksplorasi dan komparasi dengan apa yang ada dalam memori kita sebelumnya. Yang bagus ketika kemudian muncul pandangan-pandangan alternative, langkah alternative, pendekatan alternative, nilai-nilai alternative, dan seterusnya. Dalam hidup, terutama dalam bisnis seingkali ‘hal alternatif’ yang muncul dari kita yang setia mendengarkan omongan orang lain menjadi sesuatu yang lebih bernilai, bisa menjadi lebih besar, lebih prospektif dari yang diomongkan orang tersebut dan memberi keuntungan yang lebih besar buat kita. Pada sisi lain mau mendengarkan juga bisa menjadi dewa penolong musibah yang semestinya bisa menimpa kita. Nah, mari kita belajar sabar untuk mau mendengarkan, untuk kebersamaan dan hidup lebih baik.

Selasa, 13 September 2011

PROSES & PERSEPSI



Kang Begjo berguman lirih ketika menemui seorang sahabatnya yang berkunjung ke rumahnya, saking lirihnya gumaman itu tentu hanya dirinya saja yang mendengarnya. “ Enak ya kalau jadi ‘pengusaha sukses’ kaya kamu “. Sang teman memang terlihat beda dari segi dandanan, penampilan, kendaraan yang ditumpanginya, alat komunikasi yang dibawa, termasuk penampilan dan gaya istri yang menggelayut di lengannya layak dibanggakan, cantik, anggun dan percaya diri. “Kebahagian yang lengkap…….,” gumam Kang Begjo lagi, tapi tidak ada yang dengan karena saking lirihnya.

Tapi apakah gumaman Kang Begjo yang sempat terdengar lirih itu benar, bahwa temannya lebih bahagia dari dirinya ? Nanti dulu, karena kebahagiaan iturelatif sifatnya. Orang Jawa bilang ‘ urip iku sawang sinawang’ . Banyak pengusaha yang malah berpikiran bahwa pegawai negeri seperti Kang Begjo adalah justru orang yang paling enak, kehidupan terjamin karena gaji bulanan tetap serta jaminan hari tua berupa dana pensiun.


Guru lakuku pernah bertutur bahwa biasa seorang buruh tani akan berandai rasanya ia akan lebih bahagia bila bisa menjadi tuan tanah, sementara tuan tanah juga berandai mungkin ia akan merasa lebih bahagia bila bisa menjadi pedagang, lalu pedagang juga berandai barangkali ia akan lebih bahagia kalau jadi banker. Andai berandai tersebut akan terus berlanjut tidak akan berhenti. Bahagia itu relatif dan sangat bersifat kondisional, tidak pasti dan dari waktu ke waktu terus berubah. Oleh karena itu orang yang mengejar bahagia sama saja dengan mengejar capaian yang relatif, cenderung ketercapaiannya selalu menjadi starting baru untuk ukuran bahagia yang berbeda. Orang yang semula berpikiran akan bahagia jika sudah punya rumah, kenyataannya ketika kemudian dia sudah punya rumah, ternyata muncul juga gagasan baru bahwa mereka akan lebih bahagia jika sudah punya mobil, rumah peristirahatan dan lain-lain. Praktis dengan demikian orang jadi terjebak pada ‘dambaan hasil’ yang tidak berujung, dan sesungguhnya berarti tidak bisa menikmati kebahagian sejati.

Guru spiritualku pernah menasehatiku, janganlah menjalani hidup terfokus mengejar hasil, karena hasil bukan otoritas kita tetapi otoritas Yang Maha. Nikmati saja kebahagiaan ‘berprosesnya’ atau mulai belajar menikmati bagaimana cara menjalani dan memperoleh harapan itu. Karena hakekatnya di situlah letak kemerdekaan, kenikmatan dan kebahagian hakiki kita. Persepsi kebahagiaan harus kita rubah , kebahagiaan sejati itu ada dalam proses atau pada cara kita menjalani langkah menggapai tiap keinginan dan harapan kita tentukan. Jadi kalau kita bisa menikmati dan menyukuri tiap tindakan kita yang terjaga dari kesalahan dan keburukan, maka sesungguhnya kita sudah mendapat satu perolehan hal baik.

Kalau kita bisa demikian, maka kita tidak akan perlu merasa iri pada orang lain, tidak perlu merasa ingin seperti orang lain. Pilihan bisa berproses yang selalu disyukuri akan membimbing setiap orang untuk seterusnya berproses yang benar, terukur dan terevaluasi. Ada kesadaran bahwa jalinan proses merealisasikan harapan sudah merupakan hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Orang bijak berkata bahwa nilai tertinggi dari hidup terletak pada mutu bagaimana kita menjalaninya bukan pada apa yang kita peroleh, terlebih bila ukurannya adalah ‘materi’.

Mudah-mudahan Kang Begjo tidak terbius oleh performa ‘material’ temannya tanpa melihat proses yang dijalaninya. Sebab kita tidak tahu prosesnya benar atau salah, legal atau tidak legal, haram atau halal dan lain sebagainya. Harus disadari bahwa kita merupakan orang luar yang bisahanya menyawang dan disawang.

Jumat, 09 September 2011

LEBARAN YANG BEDA



Biasanya tradisi lebaranku adalah pulang kampung, menikmati suasana bersilahturahmi dengan sanak keluarga di kampung kelahiranku Banyumas atau di tempat kelahiran istriku di Banyuwangi. Tapi tidak kali ini, kami bersepakat untuk memanfaatkan situasi lebaran untuk ngelencer, rekreasi ke luar pulau, dan pilihan kami adalah pulau Lombok, pulangnya transit di pulau Bali. Pilihan tersebut hasil telusuran anak sulung aku yang kemudian digunakan untuk mempengaruhi adik-adiknya, aku sendiri sudah beberapa kali ke pulau itu, jadi mesti netral dan ngikut aja kesepakatan mereka. Pilihan tersebut juga diyakini berseberangan dengan arus mudik, sehingga harapannya lancar. Tetapi kewajiban bersalam-salaman dengan lingkungan tempat tinggal dan orang tua sebelumnya dipenuhi terlebih dahulu.


Benar juga, sepanjang perjalanan dari Malang hingga Banyuwangi lancer tanpa hambatan. Pilihan kami jalur selatan, mulai dari Malang melaju ke Turen terus ke Dampit, Lumajang, Kencong, Jember, Mrawan, dan berakhir di Banyuwangi. Hari berikutnya kami berangkat ke Lombok via Singaraja, sebentar menikmati pantai Lovina terus menyusuri keindahan pantai utara Bali. Jalanan sepi karena memang kebanyakan pengunjung pulau Dewata ini via jalur selatan, walau ada sebagian jalan bergelombang tidak ada kendala kendaraan kami bisa melalui. Dari Singaraja kami menuju punggung pulau ini yang dikenal dengan nama Kubutambahan, terus menyusuri tepian pantai melewati Tejakula, Tianyar, Amlapura, Karangasem hingga pelabuhan Padangbai. Waktu tempuh Banyuwangi – Padangbai berkiras 6 jam. Dari pelabuhan ini kami pilih langsung menyeberang karena pertimbangan waktu penyeberangan yang lama memakan waktu kurang lebih 5 jam, harapan kami agar sampai di Lombok tidak terlalu malam.
Lima jam perjalanan jelas waktu yang lama, untuk itu kami putuskan untuk menyewa kamar awak kapal yang persewakan, lumayan untuk meluruskan kaki dan melepas kengantukan. Tapi itupun baru aku pakai ketika hari sudah gelap, karena aku mesti menjaga ke 4 anak-anakku yang asyik melihat cakrawala dan laut lepas, belum lagi karena penasaran cerita ibunya yang kadang di samping kapal muncul rombongan lumba-lumba. Mereka merasa tidak beruntung, karena hingga matahari mulai tenggelam di cakrawala ikan-ikan itu tidak juga muncul. Panorama siluet saat matahari tenggelam di peraduan berulang diabadikan oleh anakku. Cantik sekali, matahari cahayanya mulai redup, sisa cahayanya berwarna jingga dan berbias di air laut yang seolah terbelah. Aku merasa ada energi purba yang merasuk dalam tubuhku ketika matahari itu menjingga, gairah menjadi bertambah. Aku tidak bosan Bali dan Lombok karena banyak tempat yang menawarkan kegairahan ini. Tetapi tidak juga, sebenarnya di negeri kita ini banyak tempat eksotik yang masih terpendam, beberapa aku sudah menikmatinya, dan aku tetap ingin menikmati sebisa dan semaksimal waktu yang aku punya, sebagai bentuk menyembahMU secara beda.

Seperti di Lombok kali ini, alhammdulillah aku bisa mengajak anak-anakku bersyukur ketika berada di tengah lautan yang tidak terlihat daratan mereka bisa merasakan betapa maha luasnya alam ini. Aku merasa anak-anakku ceria menikmati, sepanjang jalan penuh canda dan tawa, mereka menikmati percikan air sepanjang perjalanan ke Gili Trawangan, sebuah pulau yang sangat tersohor keindahannya. Banyak turis dari berbagai negara tumpah ruah di pulau ini, kalau dicermati sepertinya jumlahnya lebih banyak dari pada turis domestiknya. Layanan memanjakan ada di sepanjang tepian pantai pulau ini, mulai dari sewa dan layanan alat transportasi (cidomo, sepeda, kapal, perahu) tidak ada kendaraan bermotor, sewa alat renang, selancar, selam, aneka makanan minuman, pijat, tato, kasur jemur, kursi pantai, kamar hotel aneka model dan bentuk, pemandu, biro trevel, bank, restoran klas dunia, pln lokal, jaminan keamanan dan lain-lain. Berada di Gili Trawangan, termasuk juga di Gili Air, Gili Meno serasa berada di luar Indonesia, karena kita hanya pelengkap saja, semua seolah diperuntukan mereka. Bahkan sebagian pulau ini konon sudah menjadi milik orang asing, mereka menggunakan nama orang Indonesia yang ‘sangat’ kooperatif dalam menunjang kepemilikannya.

Sebagai implementasi semangat berbagi blog ‘cakrawala bening’ aku ingin berbagi kepada teman-teman yang hendak ke Lombok, ke mana kita bisa mengunjungi obyek wisatanya. Pertama, kita perlu menyempatkan ke tiga Gili yaitu Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno, pulau yang sering dianggap pulau ‘kayangan’ karena dikelilingi taman laut yang indah; kemudian ke Batu Bolong, tempat menikmati sunset yang cantik, Pantai Kuta dan Senggigi, dua pantai yang selalu disebut-sebut kalau orang ke Lombok, Narmada yaitu kebun rayanya Lombok, Sukarame tempat kerajinan tenun, Rambitan desa dengan rumah tradisi Lombok, Suranadi, tempat rekreasi lengkap dengan hotel dan kolam renang, Lingsar suatu pura yang memiliki ikan keramat, dan air terjun di Senaru. Malam hari anda bisa menikmati sayur plecing dan ayam taliwang di pusat keramaian kota Mataram bisa di rumah makan atau di warung-warung tenda.

Berlebaran melenceng dari tradisi ada plus minusnya, yang jelas bagi aku minusnya masih terasa seperti ada sesuatu yang hilang, tapi juga ada sesuatu yang tambah. Awalnya terasa ada yang mengganjal ketika meninggalkan kebiasaan ‘njung unjung’, ‘bertandang’ atau ‘anjangsana’ ke seluruh keluarga, ada yang kurang karena tahun ini hanya tetangga sekitar dan keluarga dekat yang dikunjung pasca sholat id, selebihnya setelah mudik dan rekreasi. Plusnya aku merasakan hal yang beda, minimal tidak terlibat kegaduhan proses mudik tidak merasakan kemacetan, lebih enjoi karena banyak menikmati perjalanan, menikmati tempat-tempat yang elok. Terus yang lebih penting lagi, menjadi terbuka pikiran kita bahwa wajah Indonesia tidak sesempit yang terberitakan, yang dominan memenuhi berita layar kaca, penuh dengan carut-marut problem yang 'memalukan'. Wajah Indonesia tidak sesempit ibu kota dan kota besar lainnya yang sakit, potensinya membentang luas, beragam, masih kaya dengan kesantunan masyarakatnya, masih digandrungi masyarakat luar, sayang dikotori oleh segelintir elit yang memurukkan derajat bangsa. Sangat disayangkan sekali !!!

Mudik lebaran dengan imbuhan wisata, aku kira bisa dilakukan siapapun. Bagi yang berkendaraan roda dua juga memungkinkan untuk mudik lebih santai, lebih bisa dinikmati, bisa melahirkan 'cita rasa' yang beda. Untukku, minimal sekarang terbersit inspirasi untuk mudik-mudik selanjutnya mesti didesain dengan silahturahmi plus wisata, supaya tidak melahirkan sikap memaksakan diri, rasa jenuh dan lelah, ketergesaan, yang paling banyak menjadi penyebab kecelakaan fatal. Kita sebagai bangsa juga perlu merasakan Indonesia yang lain, yang tidak sedikit diangkat di media-media informasi karena kalah komersial dengan berita politik dan kriminal. Nah, mulai sekarang mesti harus diplanning sekaligus mulai menyisihkan budget dana untuk itu.