Kang Begjo berguman lirih ketika menemui seorang sahabatnya yang berkunjung ke rumahnya, saking lirihnya gumaman itu tentu hanya dirinya saja yang mendengarnya. “ Enak ya kalau jadi ‘pengusaha sukses’ kaya kamu “. Sang teman memang terlihat beda dari segi dandanan, penampilan, kendaraan yang ditumpanginya, alat komunikasi yang dibawa, termasuk penampilan dan gaya istri yang menggelayut di lengannya layak dibanggakan, cantik, anggun dan percaya diri. “Kebahagian yang lengkap…….,” gumam Kang Begjo lagi, tapi tidak ada yang dengan karena saking lirihnya.
Tapi apakah gumaman Kang Begjo yang sempat terdengar lirih itu benar, bahwa temannya lebih bahagia dari dirinya ? Nanti dulu, karena kebahagiaan iturelatif sifatnya. Orang Jawa bilang ‘ urip iku sawang sinawang’ . Banyak pengusaha yang malah berpikiran bahwa pegawai negeri seperti Kang Begjo adalah justru orang yang paling enak, kehidupan terjamin karena gaji bulanan tetap serta jaminan hari tua berupa dana pensiun.
Guru lakuku pernah bertutur bahwa biasa seorang buruh tani akan berandai rasanya ia akan lebih bahagia bila bisa menjadi tuan tanah, sementara tuan tanah juga berandai mungkin ia akan merasa lebih bahagia bila bisa menjadi pedagang, lalu pedagang juga berandai barangkali ia akan lebih bahagia kalau jadi banker. Andai berandai tersebut akan terus berlanjut tidak akan berhenti. Bahagia itu relatif dan sangat bersifat kondisional, tidak pasti dan dari waktu ke waktu terus berubah. Oleh karena itu orang yang mengejar bahagia sama saja dengan mengejar capaian yang relatif, cenderung ketercapaiannya selalu menjadi starting baru untuk ukuran bahagia yang berbeda. Orang yang semula berpikiran akan bahagia jika sudah punya rumah, kenyataannya ketika kemudian dia sudah punya rumah, ternyata muncul juga gagasan baru bahwa mereka akan lebih bahagia jika sudah punya mobil, rumah peristirahatan dan lain-lain. Praktis dengan demikian orang jadi terjebak pada ‘dambaan hasil’ yang tidak berujung, dan sesungguhnya berarti tidak bisa menikmati kebahagian sejati.
Guru spiritualku pernah menasehatiku, janganlah menjalani hidup terfokus mengejar hasil, karena hasil bukan otoritas kita tetapi otoritas Yang Maha. Nikmati saja kebahagiaan ‘berprosesnya’ atau mulai belajar menikmati bagaimana cara menjalani dan memperoleh harapan itu. Karena hakekatnya di situlah letak kemerdekaan, kenikmatan dan kebahagian hakiki kita. Persepsi kebahagiaan harus kita rubah , kebahagiaan sejati itu ada dalam proses atau pada cara kita menjalani langkah menggapai tiap keinginan dan harapan kita tentukan. Jadi kalau kita bisa menikmati dan menyukuri tiap tindakan kita yang terjaga dari kesalahan dan keburukan, maka sesungguhnya kita sudah mendapat satu perolehan hal baik.
Kalau kita bisa demikian, maka kita tidak akan perlu merasa iri pada orang lain, tidak perlu merasa ingin seperti orang lain. Pilihan bisa berproses yang selalu disyukuri akan membimbing setiap orang untuk seterusnya berproses yang benar, terukur dan terevaluasi. Ada kesadaran bahwa jalinan proses merealisasikan harapan sudah merupakan hal yang menyenangkan dan membahagiakan. Orang bijak berkata bahwa nilai tertinggi dari hidup terletak pada mutu bagaimana kita menjalaninya bukan pada apa yang kita peroleh, terlebih bila ukurannya adalah ‘materi’.
Mudah-mudahan Kang Begjo tidak terbius oleh performa ‘material’ temannya tanpa melihat proses yang dijalaninya. Sebab kita tidak tahu prosesnya benar atau salah, legal atau tidak legal, haram atau halal dan lain sebagainya. Harus disadari bahwa kita merupakan orang luar yang bisahanya menyawang dan disawang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar