Biasanya tradisi lebaranku adalah pulang kampung, menikmati suasana bersilahturahmi dengan sanak keluarga di kampung kelahiranku Banyumas atau di tempat kelahiran istriku di Banyuwangi. Tapi tidak kali ini, kami bersepakat untuk memanfaatkan situasi lebaran untuk ngelencer, rekreasi ke luar pulau, dan pilihan kami adalah pulau Lombok, pulangnya transit di pulau Bali. Pilihan tersebut hasil telusuran anak sulung aku yang kemudian digunakan untuk mempengaruhi adik-adiknya, aku sendiri sudah beberapa kali ke pulau itu, jadi mesti netral dan ngikut aja kesepakatan mereka. Pilihan tersebut juga diyakini berseberangan dengan arus mudik, sehingga harapannya lancar. Tetapi kewajiban bersalam-salaman dengan lingkungan tempat tinggal dan orang tua sebelumnya dipenuhi terlebih dahulu.
Benar juga, sepanjang perjalanan dari Malang hingga Banyuwangi lancer tanpa hambatan. Pilihan kami jalur selatan, mulai dari Malang melaju ke Turen terus ke Dampit, Lumajang, Kencong, Jember, Mrawan, dan berakhir di Banyuwangi. Hari berikutnya kami berangkat ke Lombok via Singaraja, sebentar menikmati pantai Lovina terus menyusuri keindahan pantai utara Bali. Jalanan sepi karena memang kebanyakan pengunjung pulau Dewata ini via jalur selatan, walau ada sebagian jalan bergelombang tidak ada kendala kendaraan kami bisa melalui. Dari Singaraja kami menuju punggung pulau ini yang dikenal dengan nama Kubutambahan, terus menyusuri tepian pantai melewati Tejakula, Tianyar, Amlapura, Karangasem hingga pelabuhan Padangbai. Waktu tempuh Banyuwangi – Padangbai berkiras 6 jam. Dari pelabuhan ini kami pilih langsung menyeberang karena pertimbangan waktu penyeberangan yang lama memakan waktu kurang lebih 5 jam, harapan kami agar sampai di Lombok tidak terlalu malam.
Lima jam perjalanan jelas waktu yang lama, untuk itu kami putuskan untuk menyewa kamar awak kapal yang persewakan, lumayan untuk meluruskan kaki dan melepas kengantukan. Tapi itupun baru aku pakai ketika hari sudah gelap, karena aku mesti menjaga ke 4 anak-anakku yang asyik melihat cakrawala dan laut lepas, belum lagi karena penasaran cerita ibunya yang kadang di samping kapal muncul rombongan lumba-lumba. Mereka merasa tidak beruntung, karena hingga matahari mulai tenggelam di cakrawala ikan-ikan itu tidak juga muncul. Panorama siluet saat matahari tenggelam di peraduan berulang diabadikan oleh anakku. Cantik sekali, matahari cahayanya mulai redup, sisa cahayanya berwarna jingga dan berbias di air laut yang seolah terbelah. Aku merasa ada energi purba yang merasuk dalam tubuhku ketika matahari itu menjingga, gairah menjadi bertambah. Aku tidak bosan Bali dan Lombok karena banyak tempat yang menawarkan kegairahan ini. Tetapi tidak juga, sebenarnya di negeri kita ini banyak tempat eksotik yang masih terpendam, beberapa aku sudah menikmatinya, dan aku tetap ingin menikmati sebisa dan semaksimal waktu yang aku punya, sebagai bentuk menyembahMU secara beda.
Seperti di Lombok kali ini, alhammdulillah aku bisa mengajak anak-anakku bersyukur ketika berada di tengah lautan yang tidak terlihat daratan mereka bisa merasakan betapa maha luasnya alam ini. Aku merasa anak-anakku ceria menikmati, sepanjang jalan penuh canda dan tawa, mereka menikmati percikan air sepanjang perjalanan ke Gili Trawangan, sebuah pulau yang sangat tersohor keindahannya. Banyak turis dari berbagai negara tumpah ruah di pulau ini, kalau dicermati sepertinya jumlahnya lebih banyak dari pada turis domestiknya. Layanan memanjakan ada di sepanjang tepian pantai pulau ini, mulai dari sewa dan layanan alat transportasi (cidomo, sepeda, kapal, perahu) tidak ada kendaraan bermotor, sewa alat renang, selancar, selam, aneka makanan minuman, pijat, tato, kasur jemur, kursi pantai, kamar hotel aneka model dan bentuk, pemandu, biro trevel, bank, restoran klas dunia, pln lokal, jaminan keamanan dan lain-lain. Berada di Gili Trawangan, termasuk juga di Gili Air, Gili Meno serasa berada di luar Indonesia, karena kita hanya pelengkap saja, semua seolah diperuntukan mereka. Bahkan sebagian pulau ini konon sudah menjadi milik orang asing, mereka menggunakan nama orang Indonesia yang ‘sangat’ kooperatif dalam menunjang kepemilikannya.
Sebagai implementasi semangat berbagi blog ‘cakrawala bening’ aku ingin berbagi kepada teman-teman yang hendak ke Lombok, ke mana kita bisa mengunjungi obyek wisatanya. Pertama, kita perlu menyempatkan ke tiga Gili yaitu Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno, pulau yang sering dianggap pulau ‘kayangan’ karena dikelilingi taman laut yang indah; kemudian ke Batu Bolong, tempat menikmati sunset yang cantik, Pantai Kuta dan Senggigi, dua pantai yang selalu disebut-sebut kalau orang ke Lombok, Narmada yaitu kebun rayanya Lombok, Sukarame tempat kerajinan tenun, Rambitan desa dengan rumah tradisi Lombok, Suranadi, tempat rekreasi lengkap dengan hotel dan kolam renang, Lingsar suatu pura yang memiliki ikan keramat, dan air terjun di Senaru. Malam hari anda bisa menikmati sayur plecing dan ayam taliwang di pusat keramaian kota Mataram bisa di rumah makan atau di warung-warung tenda.
Berlebaran melenceng dari tradisi ada plus minusnya, yang jelas bagi aku minusnya masih terasa seperti ada sesuatu yang hilang, tapi juga ada sesuatu yang tambah. Awalnya terasa ada yang mengganjal ketika meninggalkan kebiasaan ‘njung unjung’, ‘bertandang’ atau ‘anjangsana’ ke seluruh keluarga, ada yang kurang karena tahun ini hanya tetangga sekitar dan keluarga dekat yang dikunjung pasca sholat id, selebihnya setelah mudik dan rekreasi. Plusnya aku merasakan hal yang beda, minimal tidak terlibat kegaduhan proses mudik tidak merasakan kemacetan, lebih enjoi karena banyak menikmati perjalanan, menikmati tempat-tempat yang elok. Terus yang lebih penting lagi, menjadi terbuka pikiran kita bahwa wajah Indonesia tidak sesempit yang terberitakan, yang dominan memenuhi berita layar kaca, penuh dengan carut-marut problem yang 'memalukan'. Wajah Indonesia tidak sesempit ibu kota dan kota besar lainnya yang sakit, potensinya membentang luas, beragam, masih kaya dengan kesantunan masyarakatnya, masih digandrungi masyarakat luar, sayang dikotori oleh segelintir elit yang memurukkan derajat bangsa. Sangat disayangkan sekali !!!
Mudik lebaran dengan imbuhan wisata, aku kira bisa dilakukan siapapun. Bagi yang berkendaraan roda dua juga memungkinkan untuk mudik lebih santai, lebih bisa dinikmati, bisa melahirkan 'cita rasa' yang beda. Untukku, minimal sekarang terbersit inspirasi untuk mudik-mudik selanjutnya mesti didesain dengan silahturahmi plus wisata, supaya tidak melahirkan sikap memaksakan diri, rasa jenuh dan lelah, ketergesaan, yang paling banyak menjadi penyebab kecelakaan fatal. Kita sebagai bangsa juga perlu merasakan Indonesia yang lain, yang tidak sedikit diangkat di media-media informasi karena kalah komersial dengan berita politik dan kriminal. Nah, mulai sekarang mesti harus diplanning sekaligus mulai menyisihkan budget dana untuk itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar