Senin, 26 Oktober 2009

HIKMAH ‘NIAT’


Ketika seorang kerabat bertanya tentang pendapat saya perihal makna ‘niat’, benar-benar saya menjadi termenung, bibir ini kelu, pertanyaan sederhana tetapi ternyata tidak mudah menjawabnya. Bukankah ‘niat’ adalah sesuatu hal biasa yang mewarnai hidup kita, sehingga pertanyaan makna niat seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak lazim dan tidak penting. Tetapi bagi sang kerabat hal itu rupanya tiba-tiba menjadi penting. Mengapa demikian ?

Sikap rasa ingin tahu pada makna niat kerabat itu bermula dari kejadian sederhana yang dialaminya baru-baru ini. Ceritanya diawali ketika dia menukar setengah juta uang miliknya dengan uang baru recehan dan kemudian ‘berniat’ membagikannya kepada saudara, tetangga, dan masyarakat dikampungnya terutama pada anak-anak pada momen lebaran tahun ini. Setelah lewat lebaran dan melakukan pembagian ‘ang pao’, ada hal yang mengusik pikirannya. Dia merasa salah, dan merasa beberapa buntut kesialannya yang belakangan menimpanya adalah berpangkal pada ‘niat’ itu. Ia merasa telah ingkar niat, dengan jujur ia sampaikan apa yang dia niati belum sepenuhnya dia lakukan. Uang yang ditukarkan masih banyak yang belum ia bagi-bagikan.

Perasaan salah makin menjadi ketika ia juga sadar, bahwa ia telah berlaku pilah-pilah dalam memberi uang ang pao itu. Tidak semua anak-anak yang bersilahturahmi padanya diberi ang pao, jumlah yang diberikan juga tidak sama dari satu anak ke anak yang lainnya. Memang dia tidak bisa menghindari untuk melepaskan pertimbangan, misalnya: kedekatan, polah anak, kepatuhan, dan lain-lain. Menurut penalarannya, ia sadar telah melukai harapan beberapa anak-anak kecil yang biasanya saling gethok tular tentang siapa yang pada saat lebaran membagi-bagikan uang. Mungkin ada anak yatim atau yatim piatu atau anak biasa sekalipun yang merasa kecewa dan terbedakan. Padahal mereka tentunya punya hak atas berkah ‘niat’ kita yang sama.

Kata orang bijak niat termasuk perbuatan hati. Sehingga inti niat terletak pada lubuk hati bukan pada ucapan atau perkataan. Sehingga ketika seseorang ‘berniat’ maka sesungguhnya yang terjadi adalah sebuah kontrak ‘seuatu hal’ antara pelakunya yang mencetuskan niat dengan Allah SWT. Di sini butuh kejujuran dan konsistensi kontrak tersebut karena hanya ia dan Allah SWT yang tahu. Dalam kontek lebih lanjut memang semestinya nilai niat menjadi lebih bermakna mana kala ada keselarasan antara kata hati, lesan dan amal perbuatannya. Karena bisa terjadi niat yang baik, ketika kemudian sampai pada tataran praktisnya berevolusi menjadi niat kosong, atau menjadi niat jelek atau juga bisa sebaliknya ada ucapan, perbuatan yang baik tetapi sesungguhnya didorong oleh niat yang jelek.

Niat adalah sesuatu hal yang menentukan nilai suatu perbuatan. Baik dan buruknya nilai suatu perbuatan tergantung pada niat pelakunya. Bahkan, dalam kontek ibadah sering kita diingatkan bahwa tanpa niat, bisa jadi amal perbuatan atau ibadah kita bisa tidak bernilai sama sekali. Hemat penulis niat baik atau suci itu selangkah lebih maju dari pada tanpa niat. Kalaupun niat baik itu kemudian sebagian tidak terlaksanakan atau bahkan tidak terlaksana sama sekali, itu bukan seperti ‘hutang’ yang harus dibayar dengan rentetan resiko bunga-bunganya, bukan pula kemudian beresiko melahirkan buntut kesialan seperti yang dirasakan kerabat di atas.

Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah SAW menegaskan, ''Sesungguhnya Allah telah menentukan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka barang siapa yang berniat melakukan kebaikan tetapi tidak melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya kebaikan yang sempurna. Dan jika ia melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya sepuluh kebaikan sampai dengan tujuh ratus kali lipat. Dan barang siapa yang berniat melakukan keburukan tetapi tidak melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya kebaikan yang sempurna. Dan jika ia melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya satu keburukan.'' (HR Bukhari).

Jadi bagi kerabat yang telah digundahkan oleh ‘niat’ baiknya itu, sesungguhnya tidak perlu resah dan tidak perlu gundah, waktu belum habis untuk meneruskan semangat berbagi. Uang yang belum terbagi ya bagikan saja. Adalah hal biasa ketika sedang berbagi kemudian kita berlaku pilah-pilah dalam memberi besaran nominal ang pao, itu positif saja, karena hal seperti itu bisa menjadi edukasi sederhana pada anak-anak agar ia harus tumbuh baik, sopan, penurut pada orang tua dan lain-lain. Tetapi mengkaitkan segala musibah dengan permasalahan belum sempurnanya menjalankan niat yang telah dikontrakan rasanya juga bukan merupakan hal yang salah. Terlebih kalau itu kemudian melahirkan niat baru untuk perbaikan kekurangan yang lalu. Jadi, teruslah berniat baik, teruslah berintropeksi.

Minggu, 11 Oktober 2009

ORANG YANG BERBAHAGIA


Berbahagiakah kamu ? Begitu tanya seorang sahabat kepada saya di suatu pertemuan semacam ‘reuni’ kecil dari teman-teman sekampung ketika sama-sama mudik lebaran. Saya jadi tercenung mendapat pertanyaan yang tiba-tiba, bukan tidak bisa menjawab, tetapi memang dalam hati kecil kemudian jadi bertanya-tanya. Berbahagiakah saya ? Ya, berbahagiakah saya ? Cukup lama kami diam, baru ketika sang teman kembali mengulang pertanyaan itu, dengan spontan saya jawab: Ya, saya bahagia. Untung saja teman itu tidak bertanya lagi, seperti yang saya takutkan sebelumnya. Rupanya pertanyaan itu cuma berhenti sampai di situ, dan hanya beralih pada teman-teman yang lainnya.
Sepulang reuni kecil itu, pikiran saya justru tidak bisa bergeser dari pertanyaan sederhana teman tentang ‘bahagia’ itu ? Bagi saya spontan menjawab ‘ya bahagia’ sebetulnya hanya untuk menghindari rasa sungkan atau mungkin malu dianggap tidak bisa menjawab lebih nggak enak lagi kalau dianggap ‘nggak bahagia’. Kenyataannya justru hal itu malah melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dan muncul seperti ‘reaksi berantai’. Bahagia itu apa ? Apa ukuran bahagia ? Bahagia untuk apa ? Bahagia untuk siapa ? dan masih banyak lagi pertanyaan.
Bahagia, merupakan kata yang sering menjadi bahan perbincangan kita. Sepertinya itu menjadi termilologi yang setiap orang merasa tahu. Barangkali seperti terminologi ‘cinta’, gampang diucapkan, diungkapkan, divisualisasikan, seolah-olah dimengerti tetapi sulit didifinisikan kebanyakan orang. Yang jelas difinisi bahagia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia dimaknai sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram lahir dan batin (lepas dari segala yang menyusahkan). Dalam pemahaman Islam dalam surat Al-Ahzab: 71 ditegaskan orang yang berbahagia adalah mereka yang mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Dua makna bahagia di atas jelas berbeda, tetapi kalau disimak sesungguhnya memiliki singgungan benang merah yang tidak perlu dipermasalahkan. Bayangkan saja, bahagia kadang juga bisa lahir atau mewakili suatu kondisi yang sederhana, singkat, tanpa landasan ‘ketauhidan’ dan sesungguhnya juga beraroma kesusahan. Seorang anak keluarga fakir miskin dapat makan setiap harinya dia merasa sudah bahagia; seorang bapak merasa bahagia ketika ia mendapat kabar anaknya yang merantau di Padang terhindar dari gempa padahal ia tahu rumah anaknya luluh lantak; seorang kakek katanya merasa bahagia ketika ia bisa melihat matahari pagi diberanda sambil minum kopi. Nah, kalau begitu. Makna bahagia menjadi sangat personal dan kondisional bukan ?
Bahagia sering dikaitkan dengan aspek materi, pangkat, jabatan, popularitas, kecantikan, kebugaran dan lain sebagainya. Ketika seseorang mengatakan saya bahagia karena saya bisa mendapat yang saya inginkan atau seseorang lain mengatakan saya sedang sakit hati kekasih saya ingkar janji, saya orang paling tidak bahagia di dunia ini. Semua menggambarkan suasana ‘kebahagiaan atau ketidak kebahagiaan’ sesaat. Padahal pertanyaan awal ‘apakah anda bahagia ?’ adalah mestinya bermakna kebahagiaan dalam hidup. Sebuah resum apa yang kita dapatkan dan rasakan selama ini, selama hidup.
Sebagai penutup, perenungan tentang bahagia. Saya tertarik pada konsep dalam Islam tentang bagaimana sebaiknya kita selalu berusaha mencari jati diri sebagai hamba (makrifatullah). Memahami ‘kehambaan’ akan banyak membantu kita selalu syukur, tidak sombong dengan perolehan harta, kedudukan, ketenaran, kemolekan dan lain sebagainya. Menyukuri apa yang kita dapatkan setelah upaya kita menghidupi hidup, dan mampu memaknai dan mengevaluasi berbagai peristiwa yang menghiasi hidup kita termasuk yang menyedihkan sekalipun adalah ‘ruh bahagia’.
Bahagia akan bermakna holistik tidak akan bernilai sekedar sesaat, parsial mana kala dihiasi rasa syukur, tidak sombong, positif, ada semangat berbagi dan korektif. Seorang pengkotbah Jum’at mengatakan orang yang ‘bahagia’ adalah orang yang dalam hidupnya bisa dengan iklas memberi nasehat, mampu memlahirkan ide-ide dan member solusi. Nah, pertanyaan saya: apakah anda bahagia ?