Berbahagiakah kamu ? Begitu tanya seorang sahabat kepada saya di suatu pertemuan semacam ‘reuni’ kecil dari teman-teman sekampung ketika sama-sama mudik lebaran. Saya jadi tercenung mendapat pertanyaan yang tiba-tiba, bukan tidak bisa menjawab, tetapi memang dalam hati kecil kemudian jadi bertanya-tanya. Berbahagiakah saya ? Ya, berbahagiakah saya ? Cukup lama kami diam, baru ketika sang teman kembali mengulang pertanyaan itu, dengan spontan saya jawab: Ya, saya bahagia. Untung saja teman itu tidak bertanya lagi, seperti yang saya takutkan sebelumnya. Rupanya pertanyaan itu cuma berhenti sampai di situ, dan hanya beralih pada teman-teman yang lainnya.
Sepulang reuni kecil itu, pikiran saya justru tidak bisa bergeser dari pertanyaan sederhana teman tentang ‘bahagia’ itu ? Bagi saya spontan menjawab ‘ya bahagia’ sebetulnya hanya untuk menghindari rasa sungkan atau mungkin malu dianggap tidak bisa menjawab lebih nggak enak lagi kalau dianggap ‘nggak bahagia’. Kenyataannya justru hal itu malah melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dan muncul seperti ‘reaksi berantai’. Bahagia itu apa ? Apa ukuran bahagia ? Bahagia untuk apa ? Bahagia untuk siapa ? dan masih banyak lagi pertanyaan.
Bahagia, merupakan kata yang sering menjadi bahan perbincangan kita. Sepertinya itu menjadi termilologi yang setiap orang merasa tahu. Barangkali seperti terminologi ‘cinta’, gampang diucapkan, diungkapkan, divisualisasikan, seolah-olah dimengerti tetapi sulit didifinisikan kebanyakan orang. Yang jelas difinisi bahagia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia dimaknai sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram lahir dan batin (lepas dari segala yang menyusahkan). Dalam pemahaman Islam dalam surat Al-Ahzab: 71 ditegaskan orang yang berbahagia adalah mereka yang mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Dua makna bahagia di atas jelas berbeda, tetapi kalau disimak sesungguhnya memiliki singgungan benang merah yang tidak perlu dipermasalahkan. Bayangkan saja, bahagia kadang juga bisa lahir atau mewakili suatu kondisi yang sederhana, singkat, tanpa landasan ‘ketauhidan’ dan sesungguhnya juga beraroma kesusahan. Seorang anak keluarga fakir miskin dapat makan setiap harinya dia merasa sudah bahagia; seorang bapak merasa bahagia ketika ia mendapat kabar anaknya yang merantau di Padang terhindar dari gempa padahal ia tahu rumah anaknya luluh lantak; seorang kakek katanya merasa bahagia ketika ia bisa melihat matahari pagi diberanda sambil minum kopi. Nah, kalau begitu. Makna bahagia menjadi sangat personal dan kondisional bukan ?
Bahagia sering dikaitkan dengan aspek materi, pangkat, jabatan, popularitas, kecantikan, kebugaran dan lain sebagainya. Ketika seseorang mengatakan saya bahagia karena saya bisa mendapat yang saya inginkan atau seseorang lain mengatakan saya sedang sakit hati kekasih saya ingkar janji, saya orang paling tidak bahagia di dunia ini. Semua menggambarkan suasana ‘kebahagiaan atau ketidak kebahagiaan’ sesaat. Padahal pertanyaan awal ‘apakah anda bahagia ?’ adalah mestinya bermakna kebahagiaan dalam hidup. Sebuah resum apa yang kita dapatkan dan rasakan selama ini, selama hidup.
Sebagai penutup, perenungan tentang bahagia. Saya tertarik pada konsep dalam Islam tentang bagaimana sebaiknya kita selalu berusaha mencari jati diri sebagai hamba (makrifatullah). Memahami ‘kehambaan’ akan banyak membantu kita selalu syukur, tidak sombong dengan perolehan harta, kedudukan, ketenaran, kemolekan dan lain sebagainya. Menyukuri apa yang kita dapatkan setelah upaya kita menghidupi hidup, dan mampu memaknai dan mengevaluasi berbagai peristiwa yang menghiasi hidup kita termasuk yang menyedihkan sekalipun adalah ‘ruh bahagia’.
Bahagia akan bermakna holistik tidak akan bernilai sekedar sesaat, parsial mana kala dihiasi rasa syukur, tidak sombong, positif, ada semangat berbagi dan korektif. Seorang pengkotbah Jum’at mengatakan orang yang ‘bahagia’ adalah orang yang dalam hidupnya bisa dengan iklas memberi nasehat, mampu memlahirkan ide-ide dan member solusi. Nah, pertanyaan saya: apakah anda bahagia ?
Sepulang reuni kecil itu, pikiran saya justru tidak bisa bergeser dari pertanyaan sederhana teman tentang ‘bahagia’ itu ? Bagi saya spontan menjawab ‘ya bahagia’ sebetulnya hanya untuk menghindari rasa sungkan atau mungkin malu dianggap tidak bisa menjawab lebih nggak enak lagi kalau dianggap ‘nggak bahagia’. Kenyataannya justru hal itu malah melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru yang muncul dan muncul seperti ‘reaksi berantai’. Bahagia itu apa ? Apa ukuran bahagia ? Bahagia untuk apa ? Bahagia untuk siapa ? dan masih banyak lagi pertanyaan.
Bahagia, merupakan kata yang sering menjadi bahan perbincangan kita. Sepertinya itu menjadi termilologi yang setiap orang merasa tahu. Barangkali seperti terminologi ‘cinta’, gampang diucapkan, diungkapkan, divisualisasikan, seolah-olah dimengerti tetapi sulit didifinisikan kebanyakan orang. Yang jelas difinisi bahagia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahagia dimaknai sebagai keadaan atau perasaan senang dan tenteram lahir dan batin (lepas dari segala yang menyusahkan). Dalam pemahaman Islam dalam surat Al-Ahzab: 71 ditegaskan orang yang berbahagia adalah mereka yang mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Dua makna bahagia di atas jelas berbeda, tetapi kalau disimak sesungguhnya memiliki singgungan benang merah yang tidak perlu dipermasalahkan. Bayangkan saja, bahagia kadang juga bisa lahir atau mewakili suatu kondisi yang sederhana, singkat, tanpa landasan ‘ketauhidan’ dan sesungguhnya juga beraroma kesusahan. Seorang anak keluarga fakir miskin dapat makan setiap harinya dia merasa sudah bahagia; seorang bapak merasa bahagia ketika ia mendapat kabar anaknya yang merantau di Padang terhindar dari gempa padahal ia tahu rumah anaknya luluh lantak; seorang kakek katanya merasa bahagia ketika ia bisa melihat matahari pagi diberanda sambil minum kopi. Nah, kalau begitu. Makna bahagia menjadi sangat personal dan kondisional bukan ?
Bahagia sering dikaitkan dengan aspek materi, pangkat, jabatan, popularitas, kecantikan, kebugaran dan lain sebagainya. Ketika seseorang mengatakan saya bahagia karena saya bisa mendapat yang saya inginkan atau seseorang lain mengatakan saya sedang sakit hati kekasih saya ingkar janji, saya orang paling tidak bahagia di dunia ini. Semua menggambarkan suasana ‘kebahagiaan atau ketidak kebahagiaan’ sesaat. Padahal pertanyaan awal ‘apakah anda bahagia ?’ adalah mestinya bermakna kebahagiaan dalam hidup. Sebuah resum apa yang kita dapatkan dan rasakan selama ini, selama hidup.
Sebagai penutup, perenungan tentang bahagia. Saya tertarik pada konsep dalam Islam tentang bagaimana sebaiknya kita selalu berusaha mencari jati diri sebagai hamba (makrifatullah). Memahami ‘kehambaan’ akan banyak membantu kita selalu syukur, tidak sombong dengan perolehan harta, kedudukan, ketenaran, kemolekan dan lain sebagainya. Menyukuri apa yang kita dapatkan setelah upaya kita menghidupi hidup, dan mampu memaknai dan mengevaluasi berbagai peristiwa yang menghiasi hidup kita termasuk yang menyedihkan sekalipun adalah ‘ruh bahagia’.
Bahagia akan bermakna holistik tidak akan bernilai sekedar sesaat, parsial mana kala dihiasi rasa syukur, tidak sombong, positif, ada semangat berbagi dan korektif. Seorang pengkotbah Jum’at mengatakan orang yang ‘bahagia’ adalah orang yang dalam hidupnya bisa dengan iklas memberi nasehat, mampu memlahirkan ide-ide dan member solusi. Nah, pertanyaan saya: apakah anda bahagia ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar