Senin, 29 Maret 2010

SELF AWARENESS




Ini namanya gayung bersambut. Betapa tidak ! Tulisanku berjudul 'bercermin' ternyata kebaca teman lamaku yang terbilang dulu 'istimewa' buatku. Dia merasa disinggung. Lebih tepat nada bicaranya sesungguhnya bangga, dia mengatakan 'hai kamu masih ingat aku rupanya ?'. Prinsip aku happy, dia beralasan karena memang dia benar-benar takut cermin. Dari 'bercermin' munculah 'cermin diri', dan kali ini beberapa temanku memberondongkan amunisi pertanyaan menyangkut hal sekitar itu. Salah satunya bertanya bagaimana kita bisa menemukan gambaran 'jati diri' yang jelas, bisakah kita merubahnya sesuai dengan yang kita inginkan ?
Aku ingat, ada seorang teman memiliki permasalahan dengan keacuhan diri pada kondisi fisik dirinya yang mulai mengembang ke samping dan kondisi perut menggelembung. Dan ia akan gerah, ketika sahabat-sahabat mengingatkan pola hidupnya, teman ini dengan pandainya akan menerangkan berbagai kesibukannya yang seolah-olah menjadi penyebab 'sedikit obesitas' dirinya, ia akan mendebat kalau ada yang mendesaknya, bahkan kalau perlu balas menyerang. Cara mengelak tersebut tidak disadari menjadi pilihan ia 'menjauhi kesadaran' akan kekurangan dirinya.
Padahal jika direnungkan, sapaan orang lain menyangkut kondisi fisik kita sesungguhnya menggambarkan harapan orang lain terhadap diri kita yang positif dan hal itu kalau diakui secara jujur sesungguhnya sama dengan harapan kita. Sesungguhnya hal itu hanya menyangkut permasalahan kesadaran berpikir dan kesadaran berbuat saja. Menyadari kelemahan sesungguhnya bukan hal buruk, tetapi harus diyakini justru merupakan kelebihan kita. Pada posisi seperti itu kita bisa mendorong energi kita untuk berupaya bagaimana menyeimbangkan antara harapan dan kenyataan, sehingga kita melakukan perubahan diri.

Ruh bercermin untuk menggali kejelasan jati diri adalah 'kesadaran dari ketidaksadaran'. Kosa kata modern menyebutnya 'self awarness' yaitu suatu kemampuan bagaimana kita bisa melihat pola pikir, perilaku kita yang berada di fenomena 'ketidaksadaran' dan mengangkatnya serta menempatkannya dalam alam kesadaran. Karena dengan cara menyadari barulah kita bisa 'mengatur'nya sesuai keinginan dan harapan kita. Untuk bisa sadar dan menyadari dibutuhkan ketajaman persepsi dan observasi terhadap diri sendiri, baik pada aspek fisik maupun mental serta psikologis yang mewarnai dalam diri kita.

Untuk teman yang memiliki permasalah kondisi fisik di atas tentu harus diawali dengan kesadaran akan harapan dan kemampuan diri yang realistis, ini akan membantu melahirkan keputusan dan sikap yang pas, melakukan perubahan kegiatan dengan skala prioritas, tentu jangan lupa untuk mengembalikan sosok ideal anda 'seperti kondisi dulu sebelum menikah' perlu ada program 'diet' dan olah raga terprogram yang dilakukan secara konsisten, 'dinikmati', sehingga terasa enteng dan happi. Konon kata yang sudah menjalaninya, tantangannya cuma di awal ketika seseorang baru akan memulainya.

Selanjutnya, ringankan perasaan dengan meyakini yang bermasalah bukan kita saja bahwa tiap orang dilahirkan dan hidup di dunia memiliki permasalah sendiri-sendiri, ada yang memiliki kemampuan komunikasi yang jelek, ada yang memiliki permasalahan cinta, ada yang memiliki permasalahan kesehatan, ada yang memiliki permasalahan seksual, ada yang memiliki permasalahan penghasilan, ada yang memiliki permasalahan rupa, ada yang memiliki permasalahan kebiasaan dan lain-lain. Bila permasalahan itu tetap dibiarkan menjadi misteri, kesadaran diri tidak akan lahir, maka hal itu akan merugikan kita sendiri lantaran keadaan akan menjadi sulit berubah.

Kata orang bijak, bahwa self awarness akan mudah digapai dengan jalan kontemplatif, suatu upaya 'mengosongkan' pemikiran, pandangan dan pendapat mengenai diri sendiri, sehingga kita bisa lebih transparan menelanjangi diri kita yang sebenarnya. Janganlah kita mengembangkan harapan yang tidak terselesaikan, jangan kita membangun selubung yang menutupi kelemahan dan kekurangan kita, jangan kita lupakan kesadaran, jangan kita lupakan teman yang mengkritisi kita dengan perhatian dan keiklasan , jangan nafikan kecintaan dan harapan orang-orang terkasih kita, selalu sadar bahwa kita manusia biasa, mahluk yang memiliki segudang kekurangan (-) dan kelebihan (+). Maka Ayo Bercerminlah.





Selasa, 23 Maret 2010

CERMIN DIRI



Ketika aku tulis tentang 'bercermin' beberapa waktu yang lalu, beberapa hari setelah itu aku mendapat senyuman manis dari sahabatku yang merasa tergelitik, ia senang dan berterima kasih dapat sapaan atau kritikan atau apalah, yang jelas ia merasa mendapat hal positif dari aku, katanya disela senyumnya. Aku jadi tertegun, dalam hati aku bertanya, apakah sikap ' senyum menerima, bahkan tutur berterima kasih' bisa menjadi 'cermin diri' atau perlambang kematangan, kedewasaan dan sikap bijak diri pada sahabatku ini. Konon kata orang bijak salah satu ciri orang yang matang dan dewasa pemikirannya ditandai dengan mau menerima dan cenderung berterima kasih ketika ada saran dan kritik yang ditujukan pada dirinya.

Menurut kiai kondang AA. Gim, sahabatku ini termasuk sebagai orang yang telah bisa memahami tutur dan perasaan orang lain. Atau jelasnya sahabatku tahu maksudku, tahu tutur dan buah pikiranku yang aku tuliskan sebagai 'ketakutannya bercermin' di blog ini. Aku yakin sahabatku yang suka berdiam diri, cenderung mau mendengarkan, telah mencerna maksud terdalam dari tulisanku. Artinya sahabatku memang 'diam tapi aktif', walau diam tapi pikirannya berjalan. Kata orang tua ciri demikian juga menunjukan ciri orang dewasa dan bijaksana. Orang yang tidak dewasa dan tidak bijaksana bisa saja akan menganggap hal itu tindakan 'mencela atau membuka aib dirinya', sehingga mendorong lahirnya rasa tidak suka dan tindakan kritik balik atau balas mencela.

Ada cerita lain tentang seorang temanku lain, yang katanya sering mengaku dewasa, tetapi kalau dilihat dari perilakunya sebagai 'cermin diri', kebanyakan teman-teman beranggapan justru tidak menunjukan tanda-tanda kedewasaan dan kebijaksanaan. Misalnya omongannya seperti anak kecil, kata-katanya tidak merupakan kata yang terpilih, sehingga minus kesantunan, kurang bermakna, sering mengandung makna negatif, mudah marah dan tersinggung. Ada kecenderungan misalnya ketika seseorang menasehatinya atas suatu kesalahan yang jelas diperbuatnya, ia tidak bisa menerima dengan iklas, bahkan sering jawabnya cenderung 'mengaburkan permasalahan' malah bahkan balik menasehati bahkan sering 'menyudutkan' pada yang menasehatinya.

Ternyata untuk menjadi dewasa dan bijaksana memang tidak mudah. Ada pepatah bahwa 'setiap orang sudah pasti akan tua, tetapi tidak semua orang akan dewasa, karena dewasa adalah pilihan'. Bagaimana kita bisa menjadi dewasa ? Kata sang bijak, bahwa orang akan menjadi dewasa manakala orang itu bisa mengendalikan pikiran, perasaan dan tidakannya. Sehinga akan tercermin dari sikap yang kemudian menyertainya yaitu : 'hati-hati, tidak ceroboh atau sembrono, diam tapi aktif , sabar, tenang, mantap, stabil, amanah dan bertanggung jawab'.

Sikap lain yang menjadi cermin dewasa dan bijaksananya orang adalah seberapa besar 'empati' dan 'mau berbagi'-nya seseorang. Semakin orang mementingkan diri sendiri berarti semakin tidak dewasanya orang tersebut. Untuk mengasah kemampuan ini orang harus belajar memahami perasaan dan harapan orang lain, artinya kita perlu 'energi sosial' yang harus kita sisihkan, kita bagi dengan iklas. Sikap kekanakan yang mau menang sendiri, tidak mau tahu, cuek yang cenderung melekat pada diri anak kecil harus kita hilangkan seirama dengan usia dewasa kita. Kita mesti harus berani membuka hati kita agar dapat memahami hikmah di balik yang nampak, hikmah di balik kejadian apapun dengan sikap terbaik kita. Itulah cermin dewasa dan bijaksananya kita.

Sabtu, 20 Maret 2010

BERCERMIN


Suatu hari sahabat specialku bicara " Aku tidak suka bercermin, bahkan aku tidak suka cermin !!". Suaranya begitu mantap, mimiknya teramat serius menggambarkan atau setidaknya ingin mempertegas bahwa omongannya adalah benar. Aku mengiyakan saja, dan kadang berkelibat pikiran untuk mengingatkan ia kapan sih aku tidak mempercayainya. Termasuk aku percaya cerita tentang pengalaman-pengalamannya berhadapan dengan cermin yang selalu tidak nyaman, sebab yang terasa seperti tidak bercengkrama dengan wajah dirinya saja. Ada bayangan atau sosok lain yang ikut terlihat dan itu hidup lalu mengusik mengalahkan keberaniannya.
Cermin adalah sebuah kaca yang dilapisi bahan 'relfektor' di sisi baliknya yang kemudian memungkinkan kaca itu menangkap gambaran benda di depannya secara utuh tanpa ditambahi tanpa dikurangi. Jadi ketika menggunakan cermin untuk melihat gambaran utuh diri kita, maka harus disadari bahwa baik buruk muka kita itulah realita. Cermin selalu jujur menghadirkan refleksi cahaya kebendaan apapun yang ia tangkap. Dengan cermin kita bisa melihat detil wajah kita, lentik bulu mata, kerut-kerut di dahi, jerawat di hidung, lesung pipit, flek yang menyadarkan umur kita bertambah, dari situ kita dapat menilai apa kekurang dan kelebihan kita.
Bercermin adalah suatu tindakan melihat ke cermin agar kita bisa melihat diri kita sendiri apa adanya. Itu dilakukan karena kita tidak mungkin mampu melihat diri kita sendiri tanpa cermin atau 'reflektor' lainnya. Mata kita hanya mampu melihat sebagian kecil dari bagian tubuh kita yang lain, dan tidak mampu mempertontonkan pandangan yang utuh. Bercermin sesungguhnya bisa merupakan refleksi semangat kita dalam upaya mengenal diri, sebab melalui mengenal rasa kecintaan akan muncul, dan selanjutnya bercermin akan pula sebagai upaya evaluasi diri, dan kemudian berlanjut dengan pilihan penataan diri.

Ada orang yang suka bercermin, di manapun dan kapanpun orang macam ini akan selalu gelisah kalau tanpa cermin. Ia akan selalu mencuri-curi ketika ada kesempatan untuk bisa bercermin. Ada orang yang biasa-biasa saja menyikapi sebuah cermin, buat orang seperti ini bercermin juga kebutuhan tetapi bukan pula hal yang 'harus' dilakukan. Semua tentu ada alasan mengapa harus menyikapi demikian, bisa karena alasan kepercayaan diri, alasan pilihan yang substansional, alasan kehormatan, alasan kebiasaan dan lain-lain. Termasuk buat mereka yang takut bercermin tentu juga ada alasan, tidak mungkin tanpa sebab musababnya.

Yang jelas, bercermin itu perlu atau bisa jadi penting. Untuk itu butuh keberanian dalam melakukan serta bijaksana dan pandai -pandai menyikapi saat dan pasca 'bercermin'. Sebab 'cermin' bisa membuat orang lupa diri, bisa membuat orang sombong diri, menyalahkan diri, mengutuk diri, mencaci diri, menghakimi diri, bahkan bisa mengarah pada tindakan bunuh diri.

Bijak dan pandai bercermin berarti menempatkan 'bercermin' sebagai upaya melihat dan menerima realita atau kenyataan hidup, sehingga kemudian bisa melahirkan kesadaran akan diri manusia yang berkelemahan, butuh usaha dan semangat kerja keras untuk merengkuh harapan, butuh kesabaran, butuh ketekunan, butuh konsistensi, butuh kejujuran, butuh semangat berbagi, serta butuh keyakinan dan kepasrahan 'bahwa ada tangan 'Sang Maha' yang selalu menyertai langkah dan iktiar hidup kita.

Buat sahabatku yang takut bercermin, pahamilah bahwa 'takut bercermin' itu berarti takut pada diri sendiri, takut realita. Sebab apapun yang terpantulkan di cermin ketika kita ada di depannya, ya itulah realita diri kita yang harus dengan bijak dan pandai kita kelola. Beraikanlah untuk mengenaaql dan menyukainya. Memang butuh keberanian, kesabaran dan kesadaran. Mengenal diri berarti menelanjangi diri kita hingga tanpa selubung, tanpa bayang-bayang, bahkan seolah-olah tanpa sehelai benang yang menutupi di tubuh kita. Kalau ketika bercermin nampak selubung, bayang-bayang menakutkan atau apapun yang nampak bersama diri kita, kewajiban kita mencermati dan mengenal hal itu . Coba tata pikiran, bercerminlah dengan pikiran positif, singkirkan kegelisahan yang menakutkan. Mengenal selubung diri, bayang-bayang menakukan, atau apapun yang acap mengikuti kita juga merupakan bagian dari upaya agar kita bisa tahu 'ujud telanjang' kita.


Jumat, 05 Maret 2010

SELUBUNG BERSAYAP


Stimulus studi filsafat mengusik kebiasaan kontemplasiku yang dulu pernah menjadi tradisi tiap Jum'at malam dan ternyata sekarang mampu mengalirkan energi menulisku kembali yang selama beberapa tahun terbisukan waktu dan kini aku jadi rajin berupaya menghidupinya. Rasanya aku sadar, aku merasa dalam menulis aku bagai pisau yang jarang digunakan, kini kontemplasiku terasa tumpul tidak bertenaga seperti dulu. Tulisan-tulisanku aku akui masih sekedar bernostalgia 'meluangkan waktu' mencoba menulis, belum dalam 'dunia menulis' itu sendiri. Jadi harap dimaklumi ketika terkesan datar saja.


Hal itu terbukti, betapa sulitnya pikiranku berkompromi. Sekian lama aku mencari sebuah kata yang tepat untuk mengungkapkan sebuah gagasan. yang selama ini menggodaku. Sebuah gagasan yang lahir dari sebuah pernyataan apresiasi dari beberapa orang yang menyejukkan, menyanjung, sekaligus rasa pengakuan yang aku pikir tulus menyangkut peran dan keberadaan diriku. Harus diakui hal itu mengusik 'energi purbaku' yang kemudian hal itu menguatkan keasyikan kontemplasiku. Nyata ada keasyikan baru, kesenangan, kegembiraan yang menjelma menjadi virus kebutuhan dan kerinduan.


Ketika aku merenungi prinsip dasar logika yang disampaikan Aristoteles yang menegaskan bahwa 'sebuah pernyataan logis itu tidak mengandung pertentangan di dalam dirinya', aku menemukan apa yang selama ini aku cari itu. Aristoteles menegaskan bahwa misalnya jika kita mengatakan bunga itu merah, maka kita tidak bisa mengatakan bunga itu tidak merah. Pakar logika mengatakan akan menjadi 'nirmakna' ketika kita mengatakan 'saya ingin memelukmu, tetapi tanganku terbelenggu'. Juga ungkapan 'kami saling mencinta hingga kini, tetapi kami memiliki dan menghargai pilihan jodoh sendiri-sendiri'.


Dikatakan nirmakna karena dalam pernyataan di atas dianggap tidak logis, karena dalam pernyataan tersebut terdapat pertentangan. Aku lebih setuju menempatkan pernyataan tersebut sebagai pernyataan 'selubung bersayap', aku tidak setuju kalau itu dianggap tidak bermakna. Memang sesungguhnya dalam kontek 'logika' pernyataan semestinya harus menggambarkan kejelasan relasi antara fakta dan nilai, harapan dan kenyataan. Ketika faktanya bunga berwarna merah, maka nilai obyektifnya juga merah; bila harapannya ingin memeluk, maka kenyataannya adalah pelukan. Pernyataan logis adalah pernyataan yang tidak kontradiktif.


Mengapa saya tidak setuju ? Harus disadari bahwa hidup tidak sekedar logis. Bila kita cermati, bahwa agama, budaya, tradisi, alam telah membentuk manusia lepas dari hanya menggunakan logika dan segala yang berbau rasional, tetapi sadar bahwa 'hidup dan kehidupan' ini terjalin secara lebih luas dan holistik. Kita butuh jalan keluar 'untuk hal yang tidak logis', atau hal parsial lainnya, manusia butuh pernyataan 'pepesan' tetapi kalau dibedah secara positif tetap 'tinggi makna', manusia butuh 'selubung' sekaligus 'sayap' yang mampu menjelaskan hasrat dan ketakberdayaan dirinya entah karena alasan apa.


Kita tidak perlu merasa bersalah, pembelajaran dari fenomena alam baik di tingkat kasat mata hingga yang otomistik mempertontonkan bahwa kehidupan kita penuh dengan selubung-selubung atau 'topeng-topeng' yang dibutuhkan untuk melindungi (baca: bersayap) apapun, seperti melindungi kebutuhan akan keseimbangan, aktualisasi diri, eksistensi hidup, dan kelangsungan generasi. Contohnya sel memiliki membran dan dinding, biji dengan kulit biji, ketakutan berlindung pada keberanian, kelemahan berlindung pada kekuatan dan lain sebagainya. Membran bisa menerima atau menolak, dan bisa pula terpaksa menerima tetapi kemudian dibuang. Semua untuk menjamin kepentingan hidup, dan mengandung makna fleksibel, adaptif dan tidak kaku.
Hanya karena dalam kehidupan kita yang berkembang adalah cara berpikir rasional, dengan logika sebagai sarana menentukan kebenaran. Maka ketika kita membesut darinya dan mencoba holistik maka konsekuensinya pranata pembenarannya dianggap lemah, sebab kita berada pada kondisi minoritas dalam dominasi tuntutan harus logis. Sehingga jika anda merasa sudah saling cinta, antar dua keluarga juga sudah setuju, kemudian anda berdua tidak menindaklanjuti untuk menikah dan saling memiliki, maka kebanyakan orang jelas akan tidak mengerti, orang akan mengatakan tidak logis. Cinta memang butuk penyelesaian, tidak bisa dibiarkan. Rasa bersalah tergundahkan pada cinta pertama, atau cinta masa lalu, atau cinta dengan siapapun juga tidak bisa dibiarkan, tetapi butuh penyelesaian. Bagaimana penyelesaiannya ? Tentu, terserah anda.