Sabtu, 20 Maret 2010

BERCERMIN


Suatu hari sahabat specialku bicara " Aku tidak suka bercermin, bahkan aku tidak suka cermin !!". Suaranya begitu mantap, mimiknya teramat serius menggambarkan atau setidaknya ingin mempertegas bahwa omongannya adalah benar. Aku mengiyakan saja, dan kadang berkelibat pikiran untuk mengingatkan ia kapan sih aku tidak mempercayainya. Termasuk aku percaya cerita tentang pengalaman-pengalamannya berhadapan dengan cermin yang selalu tidak nyaman, sebab yang terasa seperti tidak bercengkrama dengan wajah dirinya saja. Ada bayangan atau sosok lain yang ikut terlihat dan itu hidup lalu mengusik mengalahkan keberaniannya.
Cermin adalah sebuah kaca yang dilapisi bahan 'relfektor' di sisi baliknya yang kemudian memungkinkan kaca itu menangkap gambaran benda di depannya secara utuh tanpa ditambahi tanpa dikurangi. Jadi ketika menggunakan cermin untuk melihat gambaran utuh diri kita, maka harus disadari bahwa baik buruk muka kita itulah realita. Cermin selalu jujur menghadirkan refleksi cahaya kebendaan apapun yang ia tangkap. Dengan cermin kita bisa melihat detil wajah kita, lentik bulu mata, kerut-kerut di dahi, jerawat di hidung, lesung pipit, flek yang menyadarkan umur kita bertambah, dari situ kita dapat menilai apa kekurang dan kelebihan kita.
Bercermin adalah suatu tindakan melihat ke cermin agar kita bisa melihat diri kita sendiri apa adanya. Itu dilakukan karena kita tidak mungkin mampu melihat diri kita sendiri tanpa cermin atau 'reflektor' lainnya. Mata kita hanya mampu melihat sebagian kecil dari bagian tubuh kita yang lain, dan tidak mampu mempertontonkan pandangan yang utuh. Bercermin sesungguhnya bisa merupakan refleksi semangat kita dalam upaya mengenal diri, sebab melalui mengenal rasa kecintaan akan muncul, dan selanjutnya bercermin akan pula sebagai upaya evaluasi diri, dan kemudian berlanjut dengan pilihan penataan diri.

Ada orang yang suka bercermin, di manapun dan kapanpun orang macam ini akan selalu gelisah kalau tanpa cermin. Ia akan selalu mencuri-curi ketika ada kesempatan untuk bisa bercermin. Ada orang yang biasa-biasa saja menyikapi sebuah cermin, buat orang seperti ini bercermin juga kebutuhan tetapi bukan pula hal yang 'harus' dilakukan. Semua tentu ada alasan mengapa harus menyikapi demikian, bisa karena alasan kepercayaan diri, alasan pilihan yang substansional, alasan kehormatan, alasan kebiasaan dan lain-lain. Termasuk buat mereka yang takut bercermin tentu juga ada alasan, tidak mungkin tanpa sebab musababnya.

Yang jelas, bercermin itu perlu atau bisa jadi penting. Untuk itu butuh keberanian dalam melakukan serta bijaksana dan pandai -pandai menyikapi saat dan pasca 'bercermin'. Sebab 'cermin' bisa membuat orang lupa diri, bisa membuat orang sombong diri, menyalahkan diri, mengutuk diri, mencaci diri, menghakimi diri, bahkan bisa mengarah pada tindakan bunuh diri.

Bijak dan pandai bercermin berarti menempatkan 'bercermin' sebagai upaya melihat dan menerima realita atau kenyataan hidup, sehingga kemudian bisa melahirkan kesadaran akan diri manusia yang berkelemahan, butuh usaha dan semangat kerja keras untuk merengkuh harapan, butuh kesabaran, butuh ketekunan, butuh konsistensi, butuh kejujuran, butuh semangat berbagi, serta butuh keyakinan dan kepasrahan 'bahwa ada tangan 'Sang Maha' yang selalu menyertai langkah dan iktiar hidup kita.

Buat sahabatku yang takut bercermin, pahamilah bahwa 'takut bercermin' itu berarti takut pada diri sendiri, takut realita. Sebab apapun yang terpantulkan di cermin ketika kita ada di depannya, ya itulah realita diri kita yang harus dengan bijak dan pandai kita kelola. Beraikanlah untuk mengenaaql dan menyukainya. Memang butuh keberanian, kesabaran dan kesadaran. Mengenal diri berarti menelanjangi diri kita hingga tanpa selubung, tanpa bayang-bayang, bahkan seolah-olah tanpa sehelai benang yang menutupi di tubuh kita. Kalau ketika bercermin nampak selubung, bayang-bayang menakutkan atau apapun yang nampak bersama diri kita, kewajiban kita mencermati dan mengenal hal itu . Coba tata pikiran, bercerminlah dengan pikiran positif, singkirkan kegelisahan yang menakutkan. Mengenal selubung diri, bayang-bayang menakukan, atau apapun yang acap mengikuti kita juga merupakan bagian dari upaya agar kita bisa tahu 'ujud telanjang' kita.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar