Stimulus studi filsafat mengusik kebiasaan kontemplasiku yang dulu pernah menjadi tradisi tiap Jum'at malam dan ternyata sekarang mampu mengalirkan energi menulisku kembali yang selama beberapa tahun terbisukan waktu dan kini aku jadi rajin berupaya menghidupinya. Rasanya aku sadar, aku merasa dalam menulis aku bagai pisau yang jarang digunakan, kini kontemplasiku terasa tumpul tidak bertenaga seperti dulu. Tulisan-tulisanku aku akui masih sekedar bernostalgia 'meluangkan waktu' mencoba menulis, belum dalam 'dunia menulis' itu sendiri. Jadi harap dimaklumi ketika terkesan datar saja.
Hal itu terbukti, betapa sulitnya pikiranku berkompromi. Sekian lama aku mencari sebuah kata yang tepat untuk mengungkapkan sebuah gagasan. yang selama ini menggodaku. Sebuah gagasan yang lahir dari sebuah pernyataan apresiasi dari beberapa orang yang menyejukkan, menyanjung, sekaligus rasa pengakuan yang aku pikir tulus menyangkut peran dan keberadaan diriku. Harus diakui hal itu mengusik 'energi purbaku' yang kemudian hal itu menguatkan keasyikan kontemplasiku. Nyata ada keasyikan baru, kesenangan, kegembiraan yang menjelma menjadi virus kebutuhan dan kerinduan.
Ketika aku merenungi prinsip dasar logika yang disampaikan Aristoteles yang menegaskan bahwa 'sebuah pernyataan logis itu tidak mengandung pertentangan di dalam dirinya', aku menemukan apa yang selama ini aku cari itu. Aristoteles menegaskan bahwa misalnya jika kita mengatakan bunga itu merah, maka kita tidak bisa mengatakan bunga itu tidak merah. Pakar logika mengatakan akan menjadi 'nirmakna' ketika kita mengatakan 'saya ingin memelukmu, tetapi tanganku terbelenggu'. Juga ungkapan 'kami saling mencinta hingga kini, tetapi kami memiliki dan menghargai pilihan jodoh sendiri-sendiri'.
Dikatakan nirmakna karena dalam pernyataan di atas dianggap tidak logis, karena dalam pernyataan tersebut terdapat pertentangan. Aku lebih setuju menempatkan pernyataan tersebut sebagai pernyataan 'selubung bersayap', aku tidak setuju kalau itu dianggap tidak bermakna. Memang sesungguhnya dalam kontek 'logika' pernyataan semestinya harus menggambarkan kejelasan relasi antara fakta dan nilai, harapan dan kenyataan. Ketika faktanya bunga berwarna merah, maka nilai obyektifnya juga merah; bila harapannya ingin memeluk, maka kenyataannya adalah pelukan. Pernyataan logis adalah pernyataan yang tidak kontradiktif.
Mengapa saya tidak setuju ? Harus disadari bahwa hidup tidak sekedar logis. Bila kita cermati, bahwa agama, budaya, tradisi, alam telah membentuk manusia lepas dari hanya menggunakan logika dan segala yang berbau rasional, tetapi sadar bahwa 'hidup dan kehidupan' ini terjalin secara lebih luas dan holistik. Kita butuh jalan keluar 'untuk hal yang tidak logis', atau hal parsial lainnya, manusia butuh pernyataan 'pepesan' tetapi kalau dibedah secara positif tetap 'tinggi makna', manusia butuh 'selubung' sekaligus 'sayap' yang mampu menjelaskan hasrat dan ketakberdayaan dirinya entah karena alasan apa.
Kita tidak perlu merasa bersalah, pembelajaran dari fenomena alam baik di tingkat kasat mata hingga yang otomistik mempertontonkan bahwa kehidupan kita penuh dengan selubung-selubung atau 'topeng-topeng' yang dibutuhkan untuk melindungi (baca: bersayap) apapun, seperti melindungi kebutuhan akan keseimbangan, aktualisasi diri, eksistensi hidup, dan kelangsungan generasi. Contohnya sel memiliki membran dan dinding, biji dengan kulit biji, ketakutan berlindung pada keberanian, kelemahan berlindung pada kekuatan dan lain sebagainya. Membran bisa menerima atau menolak, dan bisa pula terpaksa menerima tetapi kemudian dibuang. Semua untuk menjamin kepentingan hidup, dan mengandung makna fleksibel, adaptif dan tidak kaku.
Hanya karena dalam kehidupan kita yang berkembang adalah cara berpikir rasional, dengan logika sebagai sarana menentukan kebenaran. Maka ketika kita membesut darinya dan mencoba holistik maka konsekuensinya pranata pembenarannya dianggap lemah, sebab kita berada pada kondisi minoritas dalam dominasi tuntutan harus logis. Sehingga jika anda merasa sudah saling cinta, antar dua keluarga juga sudah setuju, kemudian anda berdua tidak menindaklanjuti untuk menikah dan saling memiliki, maka kebanyakan orang jelas akan tidak mengerti, orang akan mengatakan tidak logis. Cinta memang butuk penyelesaian, tidak bisa dibiarkan. Rasa bersalah tergundahkan pada cinta pertama, atau cinta masa lalu, atau cinta dengan siapapun juga tidak bisa dibiarkan, tetapi butuh penyelesaian. Bagaimana penyelesaiannya ? Tentu, terserah anda.
Semua harus terpasang tepat dan akurat
BalasHapus