Aku sempat katakan pada temenku muda Cak Bod, bahwa perumpamaannya tentang puasa yang disepadankan dengan perubahan ulat jadi kepongpong lalu jadi kupu-kupu adalah tepat, adalah mengena. Puasa dan upaya dzikirnya ulat adalah sebuah gambaran tafakurnya mahluk menjalankan ‘munajat’ kepada Sang Kholiq dalam rangka keinginan merubah nasib, merubah perilaku hidup. Ulat siapa yang suka, rakus menyebalkan, bulunya gatal menjijikan, merusak, cenderung mendorong kita untuk membunuhnya dengan berbagai cara. Melalui puasa ia mampu berubah dirinya menjadi kupu-kupu yang menyenangkan, menggembirakan, membantu penyerbukan, wataknya berubah seratus delapan puluh derajat dengan wujud awalnya sehingga siapapun menyayanginya.
Subhanallah. Jadi kalau kita melihat fenomena kejadian metamorphosis alam di atas, tentu akan terbersit pemikiran bahwa puasa sesungguhnya adalah ‘proses untuk menjadi’ dan bukan ‘substansi akhir’ yang bisa menggambarkan perolehan peribadahan kita kepada Allah. Kalau dengan puasa ulat bisa merubah dirinya menjadi kupu-kupu, atau mampu berproses melakukan perubahan ‘berperangai buruk’ menjadi ‘berperangai santun’. Maka kita harus pula punya ukuran perubahan yang setidaknya memiliki nilai yang sama, yaitu memiliki nilai ‘metamorfosis’ yang bermakna merubah perangai buruk kita yang ada selama ini dengan perangai yang lebih baik. Untuk yang rakus dan serakah harus mampu menjadi ‘bisa berbagi’, yang tamak dan sombong harus mampu menjadi santun dan rendah hati, yang tadinya jorok dan masa bodoh harus menjadi bersih dan suka peduli.
Jelas artinya, bahwa ketika orang berpuasa (baca: menjalani proses perubahan) semestinya pada akhir kegiatan puasa akan dapat kita lihat ‘hasilnya’ berupa suatu perubahan. Bagi yang benar-benar berpuasa maka perubahan fisik tentu akan terlihat dengan jelas, badanya akan nampak lebih ramping, lebih menarik, lebih sehat, seperti ulat berubah menjadi kepompong dan harus disadari hal itu belum final. Puasa harus melahirkan perubahan substantif, berupa perubahan perilaku dari perilaku yang dibenci Allah ke perilaku yang dicintai Allah. Tanpa adanya produk perubahan berarti puasa kita belum menjadi ‘proses’ bermakna, bisa jadi puasanya masih puasa formalitas, puasa yang hanya bermakna menahan lapar dan haus dan tidak sebagai mediasi peningkatan ‘iman dan islam’ kita.
Dalam kontek berpikir, fenomena alam menyangkut perubahan ulat menjadi kupu-kupu bisa menjadi pembelajaran positif hidup kita. Kata orang bijak bahwa ‘mustahil akan ada kemajuan atau perbaikan hidup tanpa perubahan, perubahan butuh keberanian diri dan usaha keras. Kita harus berani mengambil keputusan mengubah pikiran kita, memantapkan keyakinan kita, meluruskan dan membenarkan tindakan kita, jangan ragu walau sering menjadi berbeda dengan orang lain. Ingat, bahwa orang yang tak dapat merubah pikirannya tidak akan bisa mengubah apa-apa. Perubahan yang paling bermakna dalam hidup adalah perubahan sikap. Sikap yang benar akan menghasilkan tidandakan dan output yang benar’.
Ritual puasa ramadhan bagi umat Islam bangsa ini yang mayoritas akan sangat tepat bila dijadikan sebagai media untuk perubahan ‘moralitas’ yang dirasakan makin merosot tajam. Suburnya tindakan korupsi, nepotisme, kolusi yang menggiring kepada pengayaan segelintir orang dan meningkatnya jumlah masyarakat miskin, pengangguran, kriminalitas dan kebodohan. Puasa harusnya mampu membuka mata bangsa ini untuk berani mengatakan merah itu merah, putih itu putih, harus berani memutuskan yang salah itu salah dan yang benar itu benar. Harus bisa menjadi momentum perubahan setidaknya minimal bagi tiap-tiap yang menjalankan ibadah puasa menjadi ‘kembali bersih’ di akhir bulan ramadhan, menjadi fitri di hari ‘lebaran’ dan menjadi lebih baik di kehidupan berikutnya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar