Semalam pergeseran tahun baru Hijriah aku rayakan dengan sebuah perenungan panjang tentang dunia 'kecintaanku' yaitu dunia anggrek. Sangat kebetulan suasana tengah malam di Puncak Bogor yang gerimis, udara tidak begitu dingin, kamar di atas perbukitan dengan pemandangan kerlip lampu, suasana diskusi dengan Dirjen Hortikultura sore hingga malam ini sangat membantu aliran kontemplasi dan intropeksi. Entah mengapa kebetulan juga dalam beberapa hari terakhir ini, di penghujung tahun 1432 H, tiba-tiba aku dibayangi perasaan sedih, aku menjadi miris, aku disodori kenyataan yang membuat aku gundah gulana. Aku rasakan, aku lihat orang-orang yang selama ini aku panuti, aku banggakan, dan bisa menjadi cermin keberhasilan menjalankan bisnis peranggrekan, kini mereka 'jatuh' dirundung kesulitan usaha dan kepailitan.
Ironinya, kejatuhan atau keterpurukan itu ternyata juga berdampak pada perubahan mendasar pada cara pandang mereka, sikap, dan pola komunikasi terhadap orang-orang di sekitarnya termasuk padaku. Cara pandangnya menjadi sempit, segala sesuatu dilihat sebagai sesuatu yang menggelisahkan, penuh curiga, tidak sabar, cepat marah, merasa terasing, terpinggirkan dan komunikasi menjadi buruk karena sering mudah tersinggung. Sementara kenyataan yang terjadi jelas terasakan bahwa daya dan power mereka makin mengecil, makin melemah. Usaha yang tadinya memberi kebanggaan, kehormatan, kini berbalik seperti menjadi godam yang tidak bisa dihindari dan menjadi hantaman rasa kegagalan yang mematikan.
Telisik punya telisik hal tersebut disebabkan karena terjadinya pilihan-pilihan langkah yang salah dan berimplikasi alternatif pilihan berikutnya yang juga salah. Problem diawali oleh lesunya pasar yang kemudian berdampak pada serapan produk yang berkurang, income minus, pengurangan tenaga kerja, pelanggalan SOP, yang ujungnya menjadikan penurunan kualitas dan kuantitas produk dan akhirnya berakibat balik pada pengingkaran terhadap tuntutan pasar yang menghendaki kualitas produk yang baik sehingga makin membuat kemandegan usaha. Hal itu menjadi lingkaran permasalahan yang tidak putus-putus. Menyedihkan.
Salah langkah, salah pilih, salah tindakan bisa membuat fatal apapun rencana atau usaha kita. Dalam hidup keseharian, kita selalu mendapat kesempatan memilih, peluang pilihan selalu ada yang bisa benar dan ada pula bisa salah. Ketika kita sekali mengalami kesalahan memilih dan kemudian sadar akan kesalahan itu, sering kali kita masih bisa berbalik pada pilihan yang memang benar, setelah itu di depan menghadang dua pilihan lagi yang bisa benar dan bisa pula salah. Tetapi ketika kita melakukan pilihan yang salah dan kita tidak sadar atau menggampangkan kesalahan itu maka di depan kita akan menghadang dua pilihan yang sama-sama salah. Pada kondisi demikian berarti kita sudah terjerumus pada tindakan yang akan membawa kita selalu melakukan tindakan yang salah.
Guru spiritualku selalu mencontohkan fenomena hal tersebut di atas dengan perumpamaan sebuah cerita tentang kejujuran seseorang. Ada seseorang yang pada suatu kesempatan ditanya oleh orang yang baru dijumpainya di jamuan makan. "Kerja di mana bapak ?" Respon mendengar pertanyaan tersebut dimungkinkan keluar jawaban jujur menyebut pekerjaan sebenarnya dan dapat pula menjawab salah seenaknya alias bohong. Pilihan jawaban itu akan menentukan tindakan kita selanjutnya. Coba renungkan ketika kita kemudian menjawab bohong misalnya dengan menjawab:" Saya bekerja sebagai Guru". Padahal sebenarnya kita bukan guru. Maka ketika ada pertanyaan lanjutan " Guru apa ? Di mana ? Sudah berapa lama ? dan seterusnya. Hal tersebut memaksa kita harus melakukan atau membuat kebohongan-kebohongan baru sebagai resiko ego pilihan, mestinya kalau jujur jawabannya maka anak pinak kesalahan tidak perlu terjadi.
Keberanian diri untuk mengevaluasi kesalahan, mengakuinya secara gentlemen sebagai tindakan yang keliru, dan menjadikan hal itu pengalaman sekaligus pembelajaran yang penting untuk segera merubah diri. Semua kuncinya ada pada kesadaran betapa pentingnya semangat berhijriah, yaitu semangat memperjuangkan kebenaran dan selalu berbenah agar kualitas hidup kita semakin baik. Bagi insan anggrek Indonesia harus mau belajar, harus berani mengurai permasalahan mengapa perkembangan peranggrekan nasional stagnan atau mungkin turun. Tentu nantinya akan ditemukan sederet kelemahan dan kesalahan-kesalahan kebijakan yang semestinya tidak perlu terjadi. Lalu yang penting mau memperbaikinya. Konsorsium Pengembangan Anggrek Indonesia mudah-mudahan bisa menjadi wadah yang memungkinkan terjadinya jalinan kerja, peran, dan sinergisme hingga berkembang produktivitas anggrek Indonesia yang berdaya saing. Singkirkan ego individu, mari berhijrah ke peranggrekan yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar