“ Kau ikhlas menerimaku apa adanya, sayang ? “ ucap seorang lelaki bersahaja, wajah pas-pasan, dan tidak begitu proporsional untuk ukuran badan dan wajah yang ideal, dibisikan di depan pelaminan pada telinga perempuan cantik yang baru dinikahinya. Sang perempuan tersenyum, mengangguk penuh arti sambil menggenggam jemari tangan suaminya. Tanpa kata-kata, dean tidak perlu ada kata-kata. Getaran yang bicara. Hati sang lelaki berbunga, dadanya mengembang, setiap udara yang dihirup ke dalamnya seperti energi yang mampu menggetarkan tiap sel tubuhnya. Rasa bangga tak terlukiskan, kegundahan menjadi luruh dan kini menjadi tenang dan bahagia.
Ikhlas ? Kata ini begitu menggelitik pikiranku. Apa sih gerangan yang dinamakan ikhlas, teman ? Kata orang yang aku kagumi, iklas itu tindakan tanpa harapan. Sementara kata Ustadz di kampungku, ikhlas itu berserah diri pada Allah, semua kita serahkan pada Allah. Intinya kalau kita gabungkan dua pendapat itu dan mungkin telah menjadi pendapat umum bahwa ikhlas itu berbuat tanpa harap timbale baliknya dan hanya karena Allah. Benarkah ikhlas itu tanpa harapan pribadi yang melakukannya ? Pertanyaan ini penting agar kita bisa memahami dimensi ikhlas yang lebih dalam, memang sih banyak orang tidak perduli apa pentingnya difinisi ? Kalau toh kita sulit merumuskan difinisi, ndak apa-apa, setidaknya proses bertanya menuntun kita pada pemahaman ‘simbul dan tanda-tanda’ yang menyertainya dari ungkapan tersebut.
Guru spiritualku, pernah bertanya padaku tentang cinta, apa itu cinta ? Waktu itu aku bingung, orang bilang cinta itu senang atau suka, sesederhana itu cinta ? orang lain bilang cinta itu cerita indah namun tiada arti, apa itu guyonan ? Pertanyaan sederhana tapi ternyata susah njawabnya. Jadi ketika kita bingung mengungkapkan pemahaman kata cinta, maka jangan pernah saling menyalahkan ketika terjadi ‘putus cinta’ karena di antara kita yang saling menyatakan ‘cinta’ tidak memahami makna sebenarnya cinta. Minimal cinta itu akan melahirkan rasa ingin tahu, kerinduan untuk dekat, ada rasa ingin memiliki, dan yang penting ada rasa ingin melindungi. Demikian guru spiritualku membuka kebuntuan pikiranku. Benar atau salah itu relative, minimal kita ada tawaran berpikir, dan aku setuju.
Kembali ke permasalahan ikhlas, Guru Spiritualku pernah mengatakan bahwa ikhlas itu berkaitan dengan ‘sikap menerima’, dan tantingan seberapa ‘kepasrah kita kepada Allah’ baik terhadap pilihan tindakan kita, rejeki kita, kepemilikan kita, musibah yang mengenai kita, nasib kita dan lain-lain. Keikhlasan akan melahirkan laku kita yang akan memiliki kecenderungan kontra negatif, misalnya: menghindari rasa penyesalan pasca kejadian, minus ketidakpercayaan pada sesama, minus kecurigaan, minus tuntutan balasan, minus ‘keakuan’, dan minus kegelisahan. Aku kembali bertanya apakah ikhlas itu tanpa harapan ? Tidak juga, kita berbuat ikhlas kan juga karena kita faham bahwa ikhlas adalah ‘tindakan mulia’ menurut agama kita, berarti setidaknya jauh di lubuk pikiran kita ada harapan, yaitu menyangkut laku kita agar ‘dibarokahi Allah’. Aku setuju mendengar jawabnya.
Ketika orang bisa berbuat, melakukan, menyikapi hidup secara iklas, maka pada orang itu akan tercermin ketenangan pikir dan jiwa. Ketenangan pikir dan jiwa akan menentukan pencapaian kebahagiaan yang diharapkan semua orang. Rasa syukur akan nasib dan rejeki, akan menjadi momentum terjadinya efek domino kebaikan yang akan menjadikan orang tertempa kesabaran dan tetap ulet meraih harapan, tidak sombong, selalu mau berbagi. Keikhlasan seorang dapat dilihat pula dari raut muka, tutur kata, serta gerak-gerik perilakunya yang selalu menyenangkan, tenang dan damai. Sebagai efek domino seorang yang berlaku ikhlas, lambat laun akan memiliki kekuatan yang besar, seakan-akan memiliki pancaran energi yang melimpah, sehingga akan mampu menjadi penyebar ‘virus’ keiklhlasan pada orang lain di sekitarnya.
Sebaliknya seseorang yang tidak ikhlas akan selalu tidak menyukuri apa yang telah diperoleh, meratapi apa yang terjadi, menyesali kesalahan atau kekeliruan yang dibuat dan terpaku pada waktu mereka yang telah berlalu, hal itu pasti akan menimbulkan rasa kesusahan, kesengsaraan, kegelapan dan keputusasaan. Jika orang yang berada dalam seperti itu dan ingin merubah hidupnya maka ia harus bangun. Mulailah memilih hal baik, jalani hidup dengan banyak bersyukur, dan bersabar, semua yang kita alami ada makna dan hikmah, di balik sebuah permasalahan pasti akan muncul kemudahan. Guru Ngajiku menekankan, bahwa: “Hidup memberi kita banyak pelajaran, tergantung pada kita apakah kita mau mempelajarinya atau tidak, serta memetik buahnya”. Termasuk tentang belajar ikhlas dan efek dominonya, kataku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar