Jam sepuluh lebih sepuluh menit di bulan sepuluh tahun dua ribu sepuluh menjadi momentum istimewa bagi segelintir orang yang memang sengaja ‘mengistimewakan’ kejadian waktu serba sepuluh itu. Ada yang untuk momentum pernikahan, ada yang untuk melahirkan anak, ada yang untuk lamaran, buka usaha, lounching produk dan lain-lain. Keinginan menjadi istimewa, beda, mendorong geseran waktu yang sesungguhnya biasa diimagekan sebagai yang istimewa. ‘All of Ten’ menjadi kebanggaan, tonggak sejarah, sesuatu yang beda dengan lainnya. Untuk meraih sensasi dan kebanggaan itu ada saja orang mau bersusah payah, mengeluarkan biaya besar dan menempuh tantangan.
Menurut berita, di sebuah kota besar ada pasangan muda kaya yang menjadikan all of ten menjadi tonggak kelahiran anak pertama mereka yang sebetulnya belum genap 9 bulan dalam perut ibunya. Dengan teknologi kebidanan masa kini hal seperti itu bukan hal sulit, kelahiran berarti bisa dipercepat sesuai order waktu, bayi yang lahir belum waktunya bukan masalah karena ditopang teknologi incubator yang menjamin pertumbuhan yang baik. Tentu kejadian itu, melalui diskursus dan prosedur klinis yang dapat dipertanggung jawabkan dan difahami ke dua belah pihak termasuk biaya dan resiko sebagai sesuatu yang dibenarkan. Pada batas ini, walau sesungguhnya waktu kelahiran mahluk semestinya adalah otorita yang di atas, rasanya kita masih bisa mentorerir atas dasar telaah ilmu dan teknologi yang dikuasai manusia.
Pada guliran waktu serba sepuluh, tanpa disengaja aku baca berita yang diendus Komnas Perlindungan Anak bahwa pada tahun 2009 lalu tercatat 186 bayi dibuang dan 68 sudah dalam keadaan meninggal di Indonesia. Tahun 2010 belum ada data, mungkin meningkat karena kabarnya kesusahan masyarakat makin meningkat. Berita di bulan sepuluh ini saja saya catat ada 5 bayi di buang, dimulai penemuan di daerah Tambora (6/10), Depok (7/10), Tangerang (15/10), Batu Ceper (15/10) dan Kalideres (17/10). Kemudian di China di temukan 21 mayat bayi di sungai se sebuah desa. Gila !!! Manusia makin tidak beradab saja rasanya. Makin banyak manusia menjadi bukan manusia. Kenapa bayi tidak berdosa diterlantarkan begitu saja, padahal ‘sang bayi’ adalah buah dari perbuatan senang orang yang melahirkannya, yang semestinya harus mempertanggungjawabkannya.
Orang bilang bayi dibuang bisa jadi atas alasan: ekonomi, rasa malu, aib, dan kelainan jiwa. Faktor ekonomi konon merupakan faktor utama yang menyebabkan hal itu, mungkin saja benar, dalam situasi sekarang di mana program KB yang dulu digalakkan pemerintah sekarang terkesan melempem kelahiran bayi seperti tidak dibatasi lagi walau dengan slogan sekalipun. Banyak di kantung-kantung kemiskinan kita jumpai pasangan keluarga yang tidak ber-KB, anak mereka banyak sementara ekonomi mereka buruk. Daerah seperti ini rawan sebagai daerah yang menyumbangkan meningkatnya jumlah anak jalanan, anak tak terdidik, anak putus sekolah. Hemat saya, anak-anak yang tumbuh dan berkembang tanpa tanggung jawab orang tua akan pemenuhan makanan bergizi, pendidikan, kesehatan, masa depan sama saja dengan tindakan orang tua yang ‘membuang’ anaknya juga.
Atas alasan apapun membuang darah daging sendiri adalah tidakan tidak berperasaan, sudah gelap mata, gelap pikiran. Manusia yang kehilangan rasa, kehilangan pikiran maka sesungguhnya ia telah kehilangan kemanusiaannya atau ia bukan lagi manusia. Karena beda antara manusia dengan mahluk Allah lainnya terutama pada adanya rasa dan pikiran. Binatang saja banyak yang berperangai penuh kasih dan selalu melindungi anaknnya dari mara bahaya dan gangguan lingkungan sekitarnya. Mestinya perilalu manusia harus di atas semua itu, karena manusia mesti sadar bahwa anak adalah titipan Sang Pencipta, tanggung jawab dan sekaligus masa depan kita.
Sadar dan bersyukurlah ketika kita diberi kenyataan memiliki kesempurnaan sebagai mahluk, bisa makan dan minum dengan sempurna, bisa bergerak, bisa tumbuh dan berkembang sempurna, bisa adaptasi berbagai cuaca, dan bisa pula berketurunan. Tidak sumua manusia diberi kesempurnaan, ada yang sakit, cacad, hilang pikiran, ada pula yang tidak berkemampuan untuk mendapatkan anak. Jadi mendapat anak adalah barokah, adalah rejeki, dan merupakan hal yang harus disyukuri, berarti kita diberi kemampuan meneruskan generasi, kita terpilih dalam proses evolusi jagad raya ini. Kelahiran adalah pertanda keberlangsungan hidup, pertanda kehidupan baru, masa depan baru yang mungkin kita belum tentu mengalami. Jadi jangan hakimi kehidupan masa depan yang bi bawa anak-anak kita dengan menghentikan paksa.
Kata Khalil Gibran bahwa anak adalah ‘anak panah’ dan kita adalah ‘gendewa’nya. Anak punya hidup dan dunianya sendiri-sendiri, tugas kita adalah mengarahkan anak panah pada sasaran yang menurut kita tepat, baik, lalu melesatkannya dan selesai. Soal anak panah itu benar mengenai sasaran, sedikit meleset, melenceng jauh adalah hak anak panah dan pilihan mereka masing-masing sesuai dengan tantangan mereka dan harapan mereka yang sangat mungkin berbeda. Yang penting jangan mematahkan anak panah itu, meluluh lantakannya, menghancur leburkan tanpa berkesempatan merasakan bentangan gendewa kita dan melesat sebagai anak zaman. Kalau hal itu terjadi berarti kita telah gagal sebagai manusia, dan kita bukan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar