Ada seorang teman bertutur kepadaku dengan penuh kesungguhan bahwa walau ia berada dalam kondisi serba ada, memiliki rumah tinggal yang terbilang mewah, rumah peristirahatan ada dua di Tretes dan Batu, aset-aset lainnya menjadi berkepanjangan untuk diurai satu-satu karena sangat banyak, yang jelas bahwa perusahaan miliknya juga telah memberinya ‘kemerdekaan finansial’ yang mantap, namun mengapa ia masih sering merasa gundah-gulana, masih merasa belum cukup, belum bisa tenang dan belum juga bahagia hidupnya. Seorang teman lainnya bicara bahwa ia sudah merasa cukup hidup tenang, damai dan bahagia tinggal di sebuah desa terpencil sebagai seorang guru yang dianggap pendapatannya pas-pasan, di luar ngajar ia memanfaatkan waktu luangnya untuk bertani. Jangan tanya kekayaannya, jangan tanya asset-asetnya, rumahnya yang sederhana adalah istana satu-satunya bagi teman yang satu ini.
Walau bisa saja mestinya kita perlu mempertanyakan keseriusan pengakuan mereka, rasanya aku lebih memilih mempercayai mereka. Lagi pula kebahagiaan dan ketidak bahagiaan akan sangat sulit untuk kita ukur tanpa pengakuan yang bersangkutan. Karena kebahagiaan dan ketidak bahagiaan ada pada diri mereka, aku sangat setuju atas pemahaman bahwa ‘kebahagiaan adalah kondisi pikiran, sikap seseorang terhadap situasi hidupnya dan bukan sebuah pencapaian, lebih tidak pas lagi bila dikaitkan dengan pencapaian atau ketidak pencapaian dari satu aspek yang mempengaruhinya misalnya ekonomi. Artinya pengakuan sang teman yang kaya tapi ia merasa tidak bahagia adalah sebuah ilustrasi bahwa pencapaian kekayaan material tidak menjamin orang bisa bahagia, terlebih orang yang miskin dan serba kekurangan untuk bisa bahagia akan lebih sulit. Bahagia itu milik orang yang bisa beranjak dari kemiskinan, mampu memfokuskan menjadi dirinya sendiri (bersikap) , bukan terus berusaha membuktikan diri sendiri (mengejar pencapaian).
Banyak orang beranggapan bahwa kebahagian ada di luar diri, untuk itu dalam upaya mendapat kebahagiaan orang terus menerus mencarinya di luar. Segala bentuk capaian seperti harga diri dan identitasnya menjadi terkait dengan apa yang dicari dan dicapai. Kemudian kecenderungannya menjadi terus-menerus lupa diri dan menginginkan lebih banyak lagi, lalu ukuran kebahagiaan seseorang berdasarkan keadaan keuangan dan posisi, kita menilai diri kita berdasarkan bagaimana kita menilai orang lain, kondisi itu akan melahirkan rasa iri dan akan terjadi kondisi kompetitif, akan ada situasi desak mendesak, kalah menang, yang buntut-buntutnya akan menciptakan rasa ketidak puasan, ketidak nikmatan, dan ketidak damaian. Dalam paradigma lama ini, kebahagiaan dikaitkan dengan upaya ‘melakukan’ dan ‘memiliki’. Kita diliputi pemikiran bahwa jika kita banyak melakukan dan banyak memiliki maka kita akan bahagia.
Paradigma baru tentang kebahadiaan, menempatkan kebahagian sebagai ‘kondisi di dalam’, bukan di luar, jadi paradigma baru menyadarkan kita untuk tidak lagi mencari-cari di luar diri kita sendiri. Kebagaiaan adalah kondisi pikiran, artinya harga diri dan identitas kita terkait dengan sikap kita, bukan dengan pencapaian kita. Kebahagiaan adalah menjadi jujur terhadap diri kita sendiri, bukan sebatas hanya mengumpulkan harta benda, kompetitif, dan kemenangan; adalah hal yang mencukupi, mengandung sikap legowo, iklas dan menerima dengan besyukur. Kebahagian akan selalu menciptakan suasana ketenangan, kenyamanan, terpenuhi, damai dan kemerdekaan.
Agar kita mampu bersikap ‘bahagia’ secara tulus iklas, maka upaya meningkatkan ‘spiritualitas’ diri harus terus kita lakukan. Spiritualitas harus mampu menjadi nada-nada dalam rentang harian kehidupan kita, ukurannya adalah setiap hari sebisa mungkin kita bisa evaluasi ‘nilai’ hidup kita. Upayakan untuk belajar meyakini bahwa setiap hari yang kita miliki adalah barokah dan kesempatan baru, untuk itu setiap hari kita mesti bersyukur dan makin menyayangi diri sendiri serta menghargai orang lain, menghargai alam dan giat bekerja dengan kreativitas, kasih sayang dan cinta. Memang hal itu tidak mudah untuk dilakukan, tetapi siapa yang tidak mau bahagia ? Jadi semestinya cepat-cepat kita untuk merubah diri, memulai belajar bersikap agar bisa merasakan kebahagian harian yang akan membentuk kebahagiaan hidup.
Guru spiritualku berkata bahwa menurutnya memang benar bahwa kebahagiaan adalah sikap dan ada dalam diri kita. Janganlah mencoba mencari kebahagiaan di luar diri kita, akan sia-sia saja dan pasti tidak akan menemukannya. Untuk mampu melahirkan sikap, kita perlu belajar mengenal diri, diri sebagai bagian kecil dari alam semesta, alam yang penuh keajaiban, rumit, akan rusak; lakukan tafakur – meditasi-intropeksi-coba selalu bersyukur. Lalu fahami potensi kita masing-masing dan kembangkan sikap kreatif sehingga kita bisa bekerja dan berkarya dengan kasih sayang dan cinta, bisa bekerja dan berkarya tanpa keterpaksaan. Terakhir cobalah belajar peduli, belajar memberi atau berbagi kepada orang lain, karena kebersamaan akan meringankan hidup. Nikmatilah terus hidup, hidup hidupilah hidup agar hidup makin hidup, agar hidup memberi kecukupan kebutuhan, kebahagiaan dan kedamaian. Hmmm aku ingin berubah….aku ingin belajar bahagia.
Artikel yang mencerahkan....mari kita temukan kebahagiaan yang bersumber dalam diri kita....
BalasHapusterima kasih udah ikut berbagi....mari kita mulai aja hal baik itu
BalasHapus