Rabu, 18 Agustus 2010

CERITA 2 SUFI


Genap seminggu menalani ibadah puasa, siang ini aku kedatangan dua orang sahabat yang akhir-akhir ini jarang bisa ketemu karena kami masing-masing mempunyai kesibukan sendiri-sendiri yang sulit untuk mempertemukan. Jadi kumpulnya kami apalagi di bulan penuh berkah ini benar-benar mencairkan kerinduan. Asyiknya lagi, ketika mereka berada di antara tanaman anggrekku yang banyak berbunga, satu di antara mereka melontarkan ide yang cantik yaitu mengisi momentum pertemuan itu dengan acara tartil Al Qur’an bersama untuk meraih barokah pahala di bulan ramadhan ini.

Kami setuju dan akupun mengambil tiga Al Qur’an untuk memenuhi niat itu. Lalu setelah berwudlu dan berdoa agar dijernihkan hati dan pikiran, diberi kemudahan belajar, kemudian mengawali dengan membaca suarat Al Fatehah, maka selanjutnya kami membaca surat dan ayat-ayat lainya yang disepakati bersama. Walau terbata-bata aku berusaha mengikutinya, aku bersyukur, kekuranganku ini setidaknya sekarang terbayar pada kemampuan anak-anakku yang tiap sore ada jam untuk les mengaji.

Pasca membaca dan saling koreksi, kami mencoba mengupas pemaknaannya. Dan entah bagaimana jalan ceritanya, setelah diskusi panjang tiba-tiba diskursus yang mencoba menjawab pertanyaan: bagaimana cara kita mendekatkan diri pada Allah, di tengah nikmat hidup keduniawian ?
“ Bicara tentang itu, “ kata satu temanku. “Aku punya cerita menarik tentang dua orang sufi yang saling bersahabat sejak kecil, dan memang mulai beranjak dewasa keduanya mempunyai cita-cita sama yaitu pingin menjadi sufi. “ lanjutnya. Aku tersenyum dan tertarik untuk mendengar cerita selanjutnya, sementara satu sahabatku yang lainnya, meletakkan Al Qur’an di atas meja, sebelumnya selama diskusi berada dalam dekapannya.

“ Dua sufi bersahabat ini menjalani laku kesufiannya dengan jalan yang berbeda. Satu sufi, sebut bernama Al Ruki, memilih menjalani hidup kesufiannya dengan jalan menjauhi dunia keramaian, mengasingkan diri ke daerah terpencil, hidup bersahaja, tinggal di rumah sangat sederhana, makan dan pakaian juga seadanya. Sang Ruki lebih mengutamakan komunikasi dengan Allah, dan selama ini ia telah merasa mampu mencapainya dan mampu menjauhi nikmat dunia,” tutur temanku, aku tambah tertarik mendengarnya.

“ Sufi kedua, sebut saja bernama Al Runi, berbeda dengan sahabatnya ia memilih mencoba menjalani proses menjadi sufi tetapi tetap hidup seperti layaknya masyarakat biasa. Bahkan Sang Runi yang memang tekun akhirnya mampu menjalani kesufiannya dalam kehidupan yang bergelimang harta dan kenikmatan dunia. Tak ayal namanya menjadi buah bibir masyarakat sekitarnya, dan akhirnya berita itu terdengar oleh sufi sahabat lamanya, Al Ruki, “ lanjut cerita temanku. Mendengar berita sahabatnya Al Runi mampu menjalani kesufiannya di digelimang kenikmatan dunia, Ruki tidak percaya dan mendorong keinginan untuk melihat sendiri ke kota. Sebab dalam pemahaman dan keyakinannya kesufian tidak mungkin dicapai bila orang masih cinta dunia, atau tergantung pada hal dunia. Dan untuk memenuhi kepenasarannya itu, iapun bergegas ke kota untuk mencoba menemui sahabatnya.

Al Runi yang barangkali benar pupuler di antero kota raja maka dengan mudah bisa ditemuinya, Al Ruki sangat gembira karena ia disambut sahabat masa kecilnya dengan penuh suka cita dan pelayanan bak di istana. Ia terkagum-kagum dan tidak berhenti melihat dan menikmati gelimang harta dunia sahabatnya, namun dari balik hatinya ia selalu berkata: “jangan larut…..jangan larut pada nikmat dunia, itu nikmat semu.” Berhari-hari ia jalani hidup dikota, ia merasa kesufiannya tidak begitu terganggu. Dalam pikirnya sekarang ia ingin mengajak sahabatnya untuk sebaliknya bertandang atau ikut ke tempat kediamannya tempat kehidupan kesufiannya di pinggiran kota.

Dengan senang Sang Runi mengiyakan dengan wajah yang senang ketika diajak sahabatnya untuk bertandang balik ke rumahnya di pinggiran kota, bahkan tanpa persiapan apapun, hanya dengan pakaian yang sedang ia kenakan dan beberapa bekal sekedarnya ia mengikuti kepulangan sahabatnya saat itu juga.

Perjalanan dua sufi bersahabat itu mengasyikan bagi mereka, jalan yang mendaki dan berliku tidak terasa penuh dengan canda dan tawa. Sesampai di rumah sufi Ruki yang teramat sederhana, lalu juga makan seadanya ternyata bagi sufi Runi sahabatnya yang biasa hidup bergelimang harta dunia ternyata tidak menjadi masalah. Runi tetap nampak kesufiannya. Suasana agak berubah ketika hari mulai malam, Al Ruki Nampak gelisah, hal tersebut membuat temannya dari kota bertanya.
“ Kenapa gelisah sahabatku ? ”
“ Rasanya tasbihku ketinggalan di kota,” jawab Ruki.
“ Kenapa harus gelisah ? “
“ Aku sangat menyukai tasbihku, “ jawab Ruki makin gelisah. Dia mengatakan bahwa tasbih itu telah menemaninya selama lebih dari 40 tahun selama proses kesufiannya. Kegelisahan itu bertahan hingga matahari terbit, wajahnya makin kusut, ia merasa komunikasinya dengan Allah terganggu tanpa tasbih kesayangannya. Temannya Sang Runi prihatin mendengar itu, bahkan sangat prihatin pada sahabatnya, ia membatin bahwa ternyata temannya yang merasa dan mengaku menjalani kesufiannya dengan jalan menjauhi nikmat dunia, agar ia lebih leluasa bercumbu dengan sang Kholiq, tetapi justru ia malah terjebak oleh sebuah ‘tasbih’ yang nilainya tidak seberapa. Alhamdulillah, walau aku bergelimang harta dunia aku tidak dijajah oleh hartaku, kata Runi bersyukur.

Apa hikmah yang bisa diambil dari cerita dua sufi itu ? Menurutku cerita itu minimal memberi pemahaman dan sekaligus mengingatkan kita, bahwa tidak ada jalan tunggal untuk dekat dengan Allah, ada banyak jalan. Kehidupan dunia adalah sebuah realita yang harus kita jalani, nikmat dunia yang sedikit, sedang-sedang atau berlimpah bukan ukuran seseorang bisa dekat dengan Allah. Ukurannya adalah bagaimana kita menyikapi terhadap nikmat dunia itu, bagaimana kita bisa tidak mendesain keduniawian kita untuk meraih barokah hidup agar makin kuat iman dan islam kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar